"Apa? Menikah? Tidak! Aku tidak membutuhkan itu, ayah!" balas Verlyn tegas setelah mendengar rencana soal perjodohannya dengan CEO perusahaan Vyntie milik keluarga Konglomerat ternama di Amerika.
"Sudah ke berapa kali ayah membahas soal perjodohan ini, aku tidak mau melakukan itu!" lanjut Verlyn kesal. Alih-alih marah, pria berambut coklat dengan bola mata berwarna hijau army itu hanya menghembuskan nafasnya sabar. "Ini tidak buruk untukmu, Verlyn. Pikirkanlah baik-baik," ujar Kaze tenang. Verlyn menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menatap Kaze dengan tajam. "Kehidupanku sudah sempurna, ayah. Aku tidak membutuhkan pria yang berkewajiban memenuhi kebutuhan hidupku kelak di masa depan nanti, karena aku bisa menghidupi diriku sendiri!" Kaze mengangguk mendengarkan perkataan Verlyn dan duduk di kasur di sebelah Verlyn. "Tapi kau belum pernah bertemu dengannya, kan? Bagaiman kalau kau membuat janji dengan Kayn untuk bertemu?" tawar Kaze. Verlyn lagi-lagi menggelengkan kepalanya. "Tidak ada jaminan jika aku sudah bertemu dengannya maka aku akan menerima perjodohan ini." "Baiklah, kalau itu maumu, ayah tidak mau memaksamu lagi, tapi..." Kaze bangkit dan melangkah perlahan keluar dari kamar Verlyn. "Tapi apa, ayah?" Sebelum menutup pintu, Kaze menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Ayah akan memindahkan ahli waris perusahaan Kizen kepada Ace jika kau tidak mau menerima perjodohan ini." "Apa!? Maksud, ayah ap–" "Tidak ada alasan juga bagi ayah untuk mempertahankan posisimu ini, bukan?" potong Kaze cepat. Pintu kamar perlahan tertutup dan Verlyn tidak bisa berkutik lagi setelah mendengar perkataan Kaze. Verlyn mengacak-acak rambutnya dan menjatuhkan dirinya ke kasur. 'Apa yang harus aku lakukan sekarang?' "Keinginanku untuk menjadi ahli waris hanya ini, tapi–kenapa, akh!" Verlyn meraih ponselnya dan melihat jam yang menunjukkan pukul 08.00 PM. Dia menghembuskan nafasnya dan bangkit sembari membawa ponselnya, hendak menemui Kaze untuk membicarakan soal perjodohan tadi. Setelah sampai di depan ruangan kerja Kaze, Verlyn pun mengetuk dan membuka pintu tersebut perlahan. Terlihat Kaze sedang memperhatikan layar laptop dan menoleh ke arah Verlyn yang sedang mengintip melalui celah pintu. Verlyn yang menyadari Kaze sudah melihatnya, melangkah masuk ke dalam lalu kembali menutup pintu ruangan tersebut. "Apa ayah sedang sibuk?" tanya Verlyn. Kaze melirik sebentar ke arah layar laptopnya lalu bangkit dan menggeleng. "Tidak. Ada apa, Verlyn?" Verlyn menarik nafas dalam-dalam dan memberanikan diri menatap Kaze di depannya. "Soal rencana perjodohan tadi, aku–" "Ayah tahu," potong Kaze cepat. Verlyn menatap bingung dan Kaze dengan santai mengambil berkas-berkas yang ada di meja kerjanya dan memberikannya kepada Verlyn. Dia menerimanya dan sambil Verlyn mengecek berkas tersebut, Kaze menjelaskan mengenai isi berkas-berkas itu. "Berkas-berkas ini berisi tentang perpindahan ahli waris perusahaan dan ayah sedang membicarakannya dengan para–" "Aku datang kesini untuk bilang bahwa aku bersedia menerima perjodohan ini, ayah!" potong Verlyn sebelum Kaze menyelesaikan perkataannya. "Ayah tidak mengajarimu memotong pembicaraan orang tua, Verlyn," ujar Kaze tegas. Verlyn mengepalkan tangannya dan menunduk. "Maaf, ayah ..." Kaze menghembuskan nafasnya dan melanjutkan perkataannya. "Para manajer dan staf tinggi di perusahaan menuai pro dan kontra setelah ayah mendiskusikan soal perpindahan ahli waris ini," jelas Kaze sambil menatap tajam ke arah Verlyn. Verlyn hanya terdiam di tempat dan terus mendengarkan penjelasan Kaze dengan seksama. Kaze melangkah mendekat ke arah Verlyn dan menepuk pelan pundaknya. "Dalam diskusi itu, para manajer dan staf tinggi lebih memilihmu sebagai ahli waris untuk meneruskan ayah," lanjut Kaze tenang. Verlyn terkejut dan mengangkat kepalanya. "B–bagaimana bisa, ayah?! Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa mempercayaiku untuk menjadi penerus ayah." Kaze tersenyum. "Itu karena..." Pintu ruangan kerja Kaze tiba-tiba terbuka oleh seseorang. "Karena aku tidak mau menerima tawaran itu, Verlyn!" ujar seorang pria di belakang Verlyn. Verlyn membalikkan badannya dan terkejut melihat sosok pria dengan seragam pilot dan celana hitam, juga rambut yang berwarna merah dan bola mata berwarna hijau army, sama seperti bola mata miliknya berada di depannya sekarang. Mata Verlyn perlahan tergenang air mata dan langsung lari ke arah pria itu dan memeluknya dengan erat. "Kak Ace! Kangen banget, huhu..." ungkap Verlyn sembari menangis. Dia tidak bisa menahan air matanya itu karena sudah terlalu lama tidak bertemu dengan Ace, Kakak laki-laki satu-satunya itu. Ace tersenyum dan mengelus pelan rambut adiknya yang panjang terurai berwarna krem. "Sudah jangan nangis lagi, nanti seragam Kakak basah loh," ujar Ace menenangkan Verlyn sembari bercanda. Verlyn mengangguk dan melepas pelukannya dari Ace. Dia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya dan mengatur kembali nafasnya. "Kakak kapan datang? Kok aku ga tahu?" tanya Verlyn dengan nada kesal. "Kakak ambil cuti libur seminggu untuk istirahat, tadi baru saja sampai disini," jawab Ace santai. "Terus Delcina di ma–" Verlyn yang sedang bertanya, di potong oleh Kaze. "Verlyn, ayah ingin berbicara empat mata dulu dengan Ace. Bisa tinggalkan kami dulu untuk sementara?" Verlyn terdiam dan mengangguk. Dia berbalik dan melangkah perlahan keluar lalu menutup kembali pintu ruangan tersebut. Verlyn merasa sedikit pusing dan memutuskan untuk turun ke lantai pertama dan meminum teh hijau agar pikirannya kembali tenang. Setelah menuruni tangga, pandangannya teralihkan kepada seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang berwarna kuning yang sedang mengobrol dengan beberapa pelayan. "Kaka Velyn!" panggil seorang gadis kecil yang membuat pandangan Verlyn menoleh ke sumber suara. Gadis kecil dengan rambut berwarna merah yang di ikat dua dan bola mata berwarna hijau army sedang melambaikan tangan ke arahnya, Verlyn sangat mengenalinya dan langsung menghampirinya cepat. "Delcina lagi main sendirian aja, nih?" tanya Verlyn sembari duduk di sebelah Delcina. Delcina mengangguk dan memberi Verlyn sebuah cupcake yang di lumuri oleh krim stoberi, membuat Verlyn terharu dan menerimanya dengan senang hati. "Terimakasih! Delcina tahu kakak suka rasa stoberi dari mana?" tanya Verlyn senang. "Dari ibunyalah, siapa lagi?" jawab seorang wanita di belakang Verlyn. Verlyn menoleh. "Kak Selvania!" Verlyn dan Selvania berpelukan sebelum saling bertanya kabar dan kehidupan mereka masing-masing. Wanita yang sekarang duduk di sebelahnya adalah Istri dari Kakaknya, Ace dan menjadi teman curhat yang sangat Verlyn percaya dan sudah Verlyn anggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Di tengah pembicaraan yang hangat, Selvania membuka topik baru. "Verlyn, apa kau sanggup menerima perjodohan ini?" *** "Apa ayah sudah mempertimbangkan perjodohan ini dan mendiskusikannya dengan Verlyn?" Ace memulai pembicaraan. Kaze mengangguk. "Ini yang terbaik untuknya." Ace terdiam sesaat. "Tanpa didasari dengan cinta yang tulus, bukannya sebuah hubungan tidak akan bertahan lama? Ayah sendiri yang mengatakan itu kepadaku." Kaze kembali mengangguk dan tersenyum yang tidak bisa di mengerti oleh Ace. "Karena itulah Ayah menjodohkannya." Pintu ruangan terbuka perlahan. "Apa yang tidak akan bertahan lama, Kak?""Verlyn, apa kau sudah siap? Ingat janjimu hari ini!" teriak Kaze dari lantai bawah. Verlyn menatap sayu ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna ungu lavender dan melihat jam yang berada di atas nakas sebelah kasurnya. Jam menunjukkan pukul 08.40 AM yang membuat Verlyn membelalakkan matanya setelah melihat jam "Bagaimana aku bisa bangun setelat ini! Janji temu yang ayah beritahu adalah jam 09.00 pagi! Arghh, 'shibal'!" Verlyn segera bangun untuk mengambil handuk dan segera pergi mandi. Selesai mandi, Verlyn langsung bersiap dan memilih pakaian asal-asalan karena dia merasa tidak ada waktu untuk memilih pakaian di saat ini. Setelah berpakaian, Verlyn menyempatkan dirinya untuk berhias diri di bantu oleh salah satu pelayan rumahnya, Sofia untuk mengeringkan rambutnya. "Sudah selesai, Nona! Semoga pertemuannya lancar!" ujar Sofia menyemangati. Verlyn menghela nafas, dia bangkit dan bercermin untuk melihat penampilannya hari ini. Kemeja lengan panjang berwarna putih dengan j
Pak Rian turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Verlyn. "Turunlah perlahan, Nona." "Oke, terima kasih!" Verlyn turun dan menatap gedung tinggi yang berada di depannya sekarang yang terlihat mengkilap akibat terkena pantulan sinar matahari. "Gedungnya sama megah dan besarnya dengan perusahaan Kizen milik ayah!" pujinya. Verlyn melangkah masuk ke dalam gedung tersebut di ikuti pengawalnya dari belakang sedangkan Pak Rian menunggu di dalam mobil. Verlyn menghampiri meja resepsionis untuk bertanya perihal janjinya bertemu Kayn dengan sekretaris disana. Wanita berambut coklat muda yang di sanggul rapi tersebut tersenyum dan mengucapkan salam kepada Verlyn. "Selamat datang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" "Ah, saya memiliki janji temu dengan Tuan Kayn, hari ini. Saya harus menunggu dimana, ya?" balas Verlyn. Wanita di depannya tersebut tampak bingung sekilas. "Mohon tunggu sebentar ya, Nona." Wanita tersebut menelepon seseorang untuk bertanya perihal janji pertemuan s
Verlyn terkejut setelah mendengar perkataan Kayn tadi dan hampir tersedak setelah meminum teh yang sekarang dia pegang. "Saya tidak salah dengar, kan?" Verlyn memastikan. Kayn menggeleng. "Tidak, Anda mendengar dengan baik. Anda bisa melihat kertas yang berada di meja depan Anda. Itu berisi tentang perjanjian yang akan saya berikan apabila Anda mau membatalkan pertunangan ini." Verlyn menaruh cangkir di meja. "Beri saya waktu untuk membaca isinya dulu." Kayn mengangguk dan membiarkan Verlyn untuk melihat isi kertas tersebut dengan teliti. Baru saja Verlyn membaca paragraf pertama, dia tiba-tiba tertawa "Kau hanya memberiku segini? Yang benar saja, rugi dong! Hahaha," ujar Verlyn sembari tertawa. Kayn keheranan dengan reaksi wanita di depannya sekarang, seolah isi dari kertas tersebut hanya sebagai candaan saja baginya. "Anda bisa mendapatkan keuntungan hingga satu juta dolar pertahun, jika saya memberikan perusahaan-perusahaan tersebut secara cuma-cuma kepada Anda," jelas Kayn.
Kayn langsung bangkit dan sedikit menjauh dari Verlyn setelah mendengar perkataan Verlyn. Entah apa yang ada di pikirannya sampai berani mengatakan hal seperti itu. "Cukup mengejutkan kau wanita seperti ini, Nona Verlyn," puji Kayn. Verlyn menggeleng. "Kau benar, aku seperti ini hanya kepada seseorang yang aku sukai saja." Verlyn bangkit dan melangkah kembali mendekati Kayn. "Apa yang ingin kau lakukan lagi padaku, Nona Verlyn?" tanya Kayn dengan nada dingin. "Aku suka padamu, saat pandangan pertama! Bukankah ini seperti pernyataan cinta?" ujar Verlyn sembari tersenyum. Kayn menatap Verlyn kesal. "Sebelum menyatakan cinta kepada seseorang, seharusnya kau memikirkan terlebih dulu apakah itu benar rasa cinta atau hanya rasa kagum sementara." Kayn melangkah melewati Verlyn yang ada di depannya dan pergi ke arah pintu. Verlyn membalikkan badannya. "Lihatlah sifat arogannya itu, aku sangat menyukainya!" Verlyn pergi ke sofa untuk mengambil tas selempangnya dan ikut melangkah keluar da
Kayn mengernyitkan dahinya setelah melihat Verlyn yang sedang duduk di sebelah Villian dan tersenyum polos, seolah tidak ada masalah di antara mereka. "Kita bertemu lagi! Dunia ini memang sempit ya, Tuan Kayn!" ujar Verlyn senang. Verlyn bangun dan memeluk lengan Kayn. "Atur ekspresimu, Tuan! Ini demi dirimu juga," ucap Verlyn pelan dan kembali tersenyum ke arah Khalix dan Villian. Kayn memasang senyuman terpaksa di wajahnya dan mengangguk. "Iya, Nona Verlyn. Aku harap kita bisa sering bertemu seperti ini, ya!" balas Kayn dengan nada senang yang di paksakan. Walau Verlyn tahu Kayn terpaksa mengatakan itu untuk dirinya sendiri, tapi Verlyn merasa bahagia dan memeluk lengan Kayn dengan lebih erat, membuatnya merasa semakin tidak nyaman. "Bisa kau lepaskan pelukkanmu, itu? Aku merasa tidak nyaman!" ucap Kayn pelan. "Kau tidak jago akting ya, Tuan?" balas Verlyn pelan. "Ibu jadi teringat masa muda saat melihat kalian," ujar Villian, membuat Verlyn dan Kayn langsung menoleh ke arah V
"A–apa, maksudmu?!" ujar Verlyn sedikit menjauh dari Kayn. Kedua pipi Verlyn menjadi merah seketika setelah Kayn berbisik di dekat telinganya. Kayn melipat kedua tangannya dan terdiam memperhatikan Verlyn dengan tatapan dingin, menunggu penjelasan Verlyn yang tampak sedang gugup di depannya sekarang. "Mengaku saja, kau orang mesum, kan?!" tanya Kayn dengan nada sedikit tinggi. Verlyn menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak, kau salah! Sudah aku bilang, aku hanya mengantarkan makan siang untukmu dan ingin meminta maaf soal–" "Perkataanmu di taman, tadi?" potong Kayn. Verlyn mengangguk pelan dan menoleh ke arah Kayn. "Kau ingin aku, apa? Akan aku kabulkan itu, kecuali jika kau meminta untuk membatalkan perjodohan ini. Aku tidak mau," ujar Verlyn sambil menggelengkan kepalanya di akhir kalimat. Kayn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah Verlyn. "Sudahlah, lupakan saja. Kau keluar sekarang, aku merasa tidak nyaman jika kau berada di dekatku," ujar Kayn. Verlyn terdiam s
"Apa, sudah datang? Aku ingin memesan sesuatu, lagi," ujar Verlyn dengan nada sedikit kesal setelah duduk di kursinya. Farga, Divan, Saron dan Regi saling bertatapan heran mendengar ucapan Verlyn dan melihat seorang 'waiter' datang menghampiri mereka di belakang Verlyn. "Baru saja sampai, Nona," balas Farga. Seorang pelayan pria dengan rambut berwarna kuning datang membawa pesanan mereka dengan menggunakan gueridon, kereta dorong yang berfungsi untuk mengantarkan makanan kepada pelanggan yang memesan banyak makanan. Pria tersebut berhenti di dekat meja yang di tempati Verlyn dan membungkukkan badannya sedikit. "Pesanan atas nama, Pak Rian dengan nomor meja 14, benar?" tanya pelayan pria tersebut. Pak Rian mengangguk dan pelayan pria tersebut pelan-pelan menaruh pesanan-pesanan mereka di atas meja. Saat hendak pergi, Verlyn memanggilnya. "Tunggu, aku ingin menambah pesananku, lagi." Pria tersebut mengangguk dan siap mencatat menu yang ingin Verlyn pesan. "Aku ingin memesan Steak bu
Pria berpakaian hitam dengan rambut berwarna hitam dan melangkah keluar dari balik dinding. Dia melepas kacamata hitamnya dan melangkah mendekati Verlyn lalu membungkukkan badannya. "Saya meminta maaf atas perilaku adik saya kepada Anda, Nona Verlyn!" ujar pria tersebut. Verlyn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah pria di depannya. "Angkat badanmu, Farga," perintah Verlyn. Farga mengangkat badannya dan tetap menunduk, dia tidak berani menatap mata Verlyn yang berada di depannya sekarang. 'Warna yang sama dengan mata milik wanita bernama Gwen, itu. Kenapa aku bisa tidak menyadari, itu?' batin Verlyn. "Jika Nona hendak memecat saya dari pekerjaan ini, saya akan menerimanya. Ini kesalahan saya, karena tidak bisa mendidik adik saya dengan, baik," ujar Farga. "Ini bukan kesalahanmu, tapi.." Verlyn menepuk pelan pundak Farga dan mendekat. "Sebagai bayarannya, kau harus memberikan segala informasi soal apa yang di rencanakan adikmu dengan temannya itu, kepadaku. Sepakat?" bi