Kayn mengernyitkan dahinya setelah melihat Verlyn yang sedang duduk di sebelah Villian dan tersenyum polos, seolah tidak ada masalah di antara mereka.
"Kita bertemu lagi! Dunia ini memang sempit ya, Tuan Kayn!" ujar Verlyn senang. Verlyn bangun dan memeluk lengan Kayn. "Atur ekspresimu, Tuan! Ini demi dirimu juga," ucap Verlyn pelan dan kembali tersenyum ke arah Khalix dan Villian. Kayn memasang senyuman terpaksa di wajahnya dan mengangguk. "Iya, Nona Verlyn. Aku harap kita bisa sering bertemu seperti ini, ya!" balas Kayn dengan nada senang yang di paksakan. Walau Verlyn tahu Kayn terpaksa mengatakan itu untuk dirinya sendiri, tapi Verlyn merasa bahagia dan memeluk lengan Kayn dengan lebih erat, membuatnya merasa semakin tidak nyaman. "Bisa kau lepaskan pelukkanmu, itu? Aku merasa tidak nyaman!" ucap Kayn pelan. "Kau tidak jago akting ya, Tuan?" balas Verlyn pelan. "Ibu jadi teringat masa muda saat melihat kalian," ujar Villian, membuat Verlyn dan Kayn langsung menoleh ke arah Villian yang sedang melihat ke arah mereka sembari tersenyum. Khalix berdeham dan mengangguk tanda setuju dengan ucapan Villian. "Ayah lebih suka kalian memanggil dengan nama masing-masing, itu akan membuat kalian menjadi semakin dekat," ujar Khalix. "Aku setuju, Ayah!" balas Verlyn bersemangat. Kayn terkejut setelah mendengar ucapan Verlyn dan menoleh ke arahnya. "Bagaimana bisa, kau.." Verlyn menoleh ke arah Kayn dan tersenyum licik. Villian mengangguk dan menoleh ke arah Verlyn dan Kayn. "Kayn, temanilah Verlyn berkeliling ke taman belakang. Disana ada banyak macam-macam bunga yang mungkin saja Verlyn menyukainya." Verlyn menjadi bersemangat setelah mendengar ucapan Villian dan mengangguk senang. "Terima kasih, Ibu!" Verlyn menggenggam tangan Kayn dan menariknya. "Ayo Kayn, kita berkeliling sekarang!" "Kau belum menjawab pertanyaanku, Ver–" kata-kata Kayn terpotong. "Kami pergi dulu, Ayah, Ibu!" ujar Verlyn sembari melambaikan tangannya dan melangkah pergi bersama Kayn. Setelah Verlyn dan Kayn hilang dari balik pintu, Villian menatap tajam ke arah Khalix. "Perjodohan ini harus berhasil, aku tidak ingin Kayn menikah dengan wanita lain kecuali Verlyn seorang, Sayang." *** "Kau bisa melepas tanganku sekarang, kan?" ujar Kayn dengan nada kesal. "Ups, maaf." Verlyn melepas genggaman tangannya dari tangan Kayn dan melihat ke sekitar. Dia takjub dengan pemandangan taman yang penuh dengan berbagai jenis bunga. "Pemandangan disini indah sekali! Sangat sejuk meskipun cuaca hari ini sedang panas," puji Verlyn. "Apa kau bisa menjawab pertanyaanku, sekarang?" tanya Kayn tanpa basa basi. Verlyn menatap Kayn sebentar dan mengangguk. Dia berbalik dan menghampiri para pengawalnya yang berada tidak jauh di belakangnya. "Kalian bisa pergi, aku akan aman disini karena Kayn bersamaku," ujar Verlyn lembut. Mereka mengangguk. "Jika Nona membutuhkan sesuatu, panggil saja kami," ujar Farga. Verlyn mengangguk dan mereka membungkukkan badan sedikit sebelum pergi meninggalkan Verlyn dan Kayn berdua di taman. "Jadi, bagaimana kau bisa cepat akrab dengan kedua orang tuaku?" tanya Kayn lagi. Verlyn menghembuskan napasnya dan berbalik menghadap Kayn. "Seperti yang kau tahu, kita di jodohkan oleh kedua orang kita masing-masing. Wajar kan kalau kedua orang tuamu mudah membuka hati kepadaku?" "Jangan bertele-tele, apa maumu setelah berhasil membuka hati kedua orang tuaku?" tanya Kayn tegas. "Kau cepat tanggap, ya?" Verlyn melangkah mendekati sebuah bunga yang berada tidak jauh dari posisi Kayn berada. "Apa maksud–" "Bunga Geranium berwarna biru ini cantik sekali, bukan?" Verlyn mengubah topik pembicaraan. Kayn mengernyitkan dahi dan menatap Verlyn kesal. "Jangan mengubah topik, apa maksud dari perkataanmu sebelumnya itu, hah?!" Verlyn bangun dan tersenyum. "Itu ..." Verlyn melihat pelayan rumah Kayn datang menghampiri mereka di belakang Kayn. "Bunga ini mirip seperti warna matamu. Benar, kan?" "Permisi, Tuan, Nona, Nyonya besar meminta Anda berdua sekalian untuk masuk ke dalam karena sudah masuk waktu makan siang," ujar salah satu pelayan rumah Kayn yang berada tidak jauh dari mereka. Verlyn mengangguk. "Baiklah, kami akan segera masuk ke dalam." Pelayan tersebut membungkukkan badannya dan pamit pergi sedangkan Verlyn dan Kayn masih terdiam di tempat mereka masing-masing. "Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti saja," ujar Verlyn sembari melangkah melewati Kayn. "Secepatnya, akan aku ungkap sifat aslimu ini di depan kedua orang tuaku," ujar Kayn dingin. Verlyn menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kayn. "Kau berbicara seperti itu seolah kau sudah sangat mengenal diriku, itu lucu!" *** "Apa benar saya boleh ikut makan siang disini, Ayah, Ibu?" tanya Verlyn memastikan. Khalix mengangguk mantap. "Kau sudah bertanya seperti itu sebanyak tiga kali, Verlyn. Anggaplah ini sebagai rumahmu sendiri, tidak perlu sungkan begitu, Nak." "Makanlah yang banyak, Verlyn! Semoga makanan disini cocok dengan lidahmu," ujar Villian senang. Verlyn mengangguk malu. "Hehe, terima kasih Ayah, Ibu!" Kayn yang duduk di depan Verlyn tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Aku akan makan nanti, aku ingin istirahat di kamarku." Kayn melangkah pergi meninggalkan meja makan dan menaiki tangga menuju kamarnya. Verlyn terus memperhatikan Kayn hingga dia tidak terlihat dari balik pintu kamarnya, Villian menghela napasnya. "Tidak perlu di pikirkan, Verlyn. Kayn memang suka seperti itu jika dia terlalu lelah, lanjutkan saja makanmu." Verlyn mengangguk. 'Apa perkataanku tadi di taman menyinggung perasaannya, ya?' Saat sedang melanjutkan makan, tiba-tiba muncul ide di kepalanya. "Ibu, apa aku boleh mengantarkan makanan ke kamar Kayn? Mungkin candaanku di taman tadi sedikit menyinggung perasaannya, jadi aku ingin meminta maaf kepadanga sekalian aku mengantar makan siang untuknya," jelas Verlyn. "Ide yang bagus, Verlyn!" puji Khalix. Villian mengangguk. "Ibu pasti memberi izin, Nak. Sekarang habiskan dulu makananmu lalu setelah itu kau boleh antarkan makanan ke kamar Kayn, ya." Verlyn mengangguk senang dan melanjutkan makan bersama dengan Villian dan Khalix. Setelah selesai menghabiskan makanan di piringnya, Verlyn membawa nampan berisi makanan, minuman dan sedikit cemilan untuk Kayn. "Ibu, aku antarkan ini dulu ke kamar Kayn, ya," ujar Verlyn. Villian mengangguk. "Hati-hati membawanya, Nak! Jika kesulitan, kau bisa meminta tolong kepada pelayan." "Baik!" balas Verlyn. Verlyn perlahan menaiki anak tangga demi anak tangga dan sampailah dia di depan pintu berwarna hitam, ruangan yang di masuki oleh Kayn tadi. 'Ini pasti kamarnya, kan?' Verlyn mengetuk pintu tersebut beberapa kali dan tidak ada jawaban dari dalam. "Aku masuk, ya?" Verlyn menggerakkan gagang pintu dan pintu terbuka. Verlyn melangkah masuk dan benar saja bahwa ruangan tersebut adalah kamar Kayn. Verlyn melihat ke dalam dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Kayn sama sekali. 'Aku taruh makanannya di nakas sebelah kasur deh, kalau di kasur nanti bisa saja tumpah.' Verlyn menaruh nampan berisi makanan dan minuman tersebut di atas nakas dan hendak melangkah keluar kamar. Verlyn membalikkan badannya dan melihat Kayn yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang di ikat di pinggulnya, rambutnya juga terlihat basah. Kayn terkejut melihat Verlyn sedang berada di kamarnya. "Apa yang kau lakukan di kamarku?!" tanya Kayn dengan nada marah. Verlyn langsung menoleh ke arah lain. "A–aku tidak terlalu melihat, kok. Aku kesini hanya untuk mengantarkan makan siang untukmu dan, eh ..." Verlyn tidak sadar bahwa Kayn sudah berada tepat di depannya dan mendekat ke telinga Verlyn. "Selain serakah dan licik, kau juga orang mesum, ya?""A–apa, maksudmu?!" ujar Verlyn sedikit menjauh dari Kayn. Kedua pipi Verlyn menjadi merah seketika setelah Kayn berbisik di dekat telinganya. Kayn melipat kedua tangannya dan terdiam memperhatikan Verlyn dengan tatapan dingin, menunggu penjelasan Verlyn yang tampak sedang gugup di depannya sekarang. "Mengaku saja, kau orang mesum, kan?!" tanya Kayn dengan nada sedikit tinggi. Verlyn menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak, kau salah! Sudah aku bilang, aku hanya mengantarkan makan siang untukmu dan ingin meminta maaf soal–" "Perkataanmu di taman, tadi?" potong Kayn. Verlyn mengangguk pelan dan menoleh ke arah Kayn. "Kau ingin aku, apa? Akan aku kabulkan itu, kecuali jika kau meminta untuk membatalkan perjodohan ini. Aku tidak mau," ujar Verlyn sambil menggelengkan kepalanya di akhir kalimat. Kayn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah Verlyn. "Sudahlah, lupakan saja. Kau keluar sekarang, aku merasa tidak nyaman jika kau berada di dekatku," ujar Kayn. Verlyn terdiam s
"Apa, sudah datang? Aku ingin memesan sesuatu, lagi," ujar Verlyn dengan nada sedikit kesal setelah duduk di kursinya. Farga, Divan, Saron dan Regi saling bertatapan heran mendengar ucapan Verlyn dan melihat seorang 'waiter' datang menghampiri mereka di belakang Verlyn. "Baru saja sampai, Nona," balas Farga. Seorang pelayan pria dengan rambut berwarna kuning datang membawa pesanan mereka dengan menggunakan gueridon, kereta dorong yang berfungsi untuk mengantarkan makanan kepada pelanggan yang memesan banyak makanan. Pria tersebut berhenti di dekat meja yang di tempati Verlyn dan membungkukkan badannya sedikit. "Pesanan atas nama, Pak Rian dengan nomor meja 14, benar?" tanya pelayan pria tersebut. Pak Rian mengangguk dan pelayan pria tersebut pelan-pelan menaruh pesanan-pesanan mereka di atas meja. Saat hendak pergi, Verlyn memanggilnya. "Tunggu, aku ingin menambah pesananku, lagi." Pria tersebut mengangguk dan siap mencatat menu yang ingin Verlyn pesan. "Aku ingin memesan Steak bu
Pria berpakaian hitam dengan rambut berwarna hitam dan melangkah keluar dari balik dinding. Dia melepas kacamata hitamnya dan melangkah mendekati Verlyn lalu membungkukkan badannya. "Saya meminta maaf atas perilaku adik saya kepada Anda, Nona Verlyn!" ujar pria tersebut. Verlyn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah pria di depannya. "Angkat badanmu, Farga," perintah Verlyn. Farga mengangkat badannya dan tetap menunduk, dia tidak berani menatap mata Verlyn yang berada di depannya sekarang. 'Warna yang sama dengan mata milik wanita bernama Gwen, itu. Kenapa aku bisa tidak menyadari, itu?' batin Verlyn. "Jika Nona hendak memecat saya dari pekerjaan ini, saya akan menerimanya. Ini kesalahan saya, karena tidak bisa mendidik adik saya dengan, baik," ujar Farga. "Ini bukan kesalahanmu, tapi.." Verlyn menepuk pelan pundak Farga dan mendekat. "Sebagai bayarannya, kau harus memberikan segala informasi soal apa yang di rencanakan adikmu dengan temannya itu, kepadaku. Sepakat?" bi
"Selamat pagi, Nona Verlyn!" sapa para karyawan setelah Verlyn melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan Kizen, gedung tinggi berwarna hijau army yang mengkilap. "Pagi juga semua, semangat untuk kerja hari, ini!" balas Verlyn lalu melangkah masuk ke dalam lift, di ikuti oleh seorang wanita berkacamata yang adalah sekretarisnya, Fayyara. Setelah pintu tertutup, lift mulai bergerak menuju lantai lima belas. Sembari menunggu, Verlyn memainkan ponselnya. "Nona, hari ini Anda tidak lupa dengan rapat dengan para ketua divisi jam sebelas siang nanti, kan?" tanya Fayyara, seorang wanita dengan rambut berwarna coklat tua di gulung rapi dan bola mata berwarna coklat muda. "Eh? Oh–ya! Aku ingat," jawab Verlyn sedikit kaget. Fayyara menatap heran kepada atasannya itu. "Jawaban Nona telihat–tidak, meyakinkan," ujar Fayyara. Verlyn menghela napasnya. "Kau sudah mengenalku selama dua tahun, Fayyara. Kenapa kau menanyakan hal yang sudah pasti kau tahu, menyebalkan." 'Sial, aku lupa kalau hari
"Saya rasa itu rapat tercepat yang pernah Anda selesaikan, Nona," ujar Fayyara setelah melangkah keluar dari ruang rapat. Verlyn tersenyum bangga lalu memencet tombol pintu lift khusus untuk dirinya. "Aku berterima kasih jika itu sebuah pujian," balas Verlyn lalu melangkah masuk ke dalam lift dan memainkan ponselnya. Pintu lift tertutup dan bergerak kembali menuju ke lantai lima belas. "Nona, ada yang ingin saya, tanyakan," ujar Fayyara. Verlyn mengangguk sembari memainkan ponselnya. "Tanyakan, saja." "Bagaimana Nona bisa tahu soal rapat tadi akan membahas tentang pengeluaran uang perusahaan yang tidak tercatat di laporan pengeluaran iang?" tanya Fayyara. "Oh, soal itu ..." Verlyn mematikan ponselnya. "Saat aku mengecek laporan yang kau berikan, ada salah satu laporan yang membahas soal pengeluaran uang perusahaan. Jarang sekali ada laporan yang membahas tentang hal itu, jadi aku berpikir mungkin masalah itu yang akan di bahas di rapat, tadi," jelas Verlyn panjang lebar. "Jika s
"Yeay! Aku menang, lagi!" Seorang wanita berambut coklat muda dengan bola mata berwarna safir yang sedang duduk di sebelah Kayn sambil kegirangan. Kayn tersenyum dan mengacak-acak rambut wanita di sebelahnya itu. "Sellinaku ini memang, pintar!" Sellina tersenyum bangga dan memeluk erat Kayn. "Lanjut ke game sembilan ga, nih?" tawar Sellina. "Tentu saja, Cantik," jawab Kayn senang sebelum ponselnya berdering dan melihat panggilan dari Villian. Kayn melihat layar ponselnya dan menoleh ke arah Sellina "Aku angkat telepon dulu ya, Sellina." Sellina mengangguk. "Jangan lama-lama, ya." Kayn mengangguk dan beranjak dari kursinya. Dia melangkah keluar dari ruangan 'Private Gaming and Karaoke Room' lalu menerima panggilan dari Villian. "Kayn?" "Iya, bu. Ada apa?" "Hari ini kan, hari liburmu bekerja. Apa kau bisa menjemput Ibu di Mall Testimoonial, sekarang? Supir yang mengantar ibu tiba-tiba merasa tidak enak badan." Kayn terdiam sejenak. 'Kalau begini, waktu yang aku habiskan dengan
"Tidak, maksudku. Aku ingin pergi ke kamarku dulu untuk membersihkan diri, ayah," ujar Kayn. Khalix menatap tajam ke arah Kayn dan menoleh ke arah Verlyn lalu tersenyum senang. "Selamat datang, Verlyn! Ayo kita masuk, dulu. Langit sudah mulai gelap," ajak Khalix. Verlyn dan Villian mengangguk lalu mengikuti Khalix melangkah ke dalam rumah. Sebelum masuk, Verlyn menoleh ke arah Kayn yang masih terdiam di luar mobil. "Kau tidak masuk, Kayn?" tanya Verlyn. Kayn menatap Verlyn dingin dan tidak menjawab pertanyaan Verlyn. "Segeralah masuk, Kayn. Cuacanya akan menjadi lebih dingin daripada tatapanmu, itu." Verlyn tersenyum dan melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah masuk ke dalam rumah, Verlyn melihat Villian yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama Khalix dan melambaikan tangannya ke arahnya. "Kemari, Verlyn!" panggil Villian. "Baik!" Verlyn melangkah menghampiri Villian dan Khalix disana, lalu duduk di sofa sebelah Villian. "Verlyn ..." Villian memberikan sebuah paperbag ber
"Aku pulang!" Verlyn melangkah masuk ke dalam rumah. Caroline tersenyum. "Bagaimana harimu, Verlyn? Apa kau sudah, makan?" tanya Caroline. Verlyn duduk di sofa sebelah Caroline dan mengangguk. "Aku bahagia karena hari ini aku sudah mendapatkan hal yang aku inginkan, ibu!" jawab Verlyn senang. "Aku juga sudah makan di kediaman Tuan Presdir Khalix!" Caroline mengelus pelan rambut Verlyn. "Pintar, ibu ikut bahagia jika kau bahagia, Verlyn. Sekarang, pergilah ke kamarmu dan istirahat." Verlyn mengangguk dan menoleh ke arah Kaze yang dari tadi terdiam dan hanya fokus menatap layar laptopnya. 'Lagi-lagi, ayah tidak ikut menanyakan keadaanku seperti, Ibu.' "Baik, aku ke kamar dulu, ibu, ayah ..." Verlyn beranjak dari sofa dan melangkah pergi meninggalkan Kaze dan Caroline di ruang tamu. "Ayah ikut senang, Verlyn. Kau sudah melakukan yang terbaik," ujar Kaze tiba-tiba sebelum Verlyn menginjakkan kakinya di anak tangga pertama. Verlyn terdiam dan mengangguk. "Terima kasih, ayah.