Pria berpakaian hitam dengan rambut berwarna hitam dan melangkah keluar dari balik dinding. Dia melepas kacamata hitamnya dan melangkah mendekati Verlyn lalu membungkukkan badannya. "Saya meminta maaf atas perilaku adik saya kepada Anda, Nona Verlyn!" ujar pria tersebut. Verlyn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah pria di depannya. "Angkat badanmu, Farga," perintah Verlyn. Farga mengangkat badannya dan tetap menunduk, dia tidak berani menatap mata Verlyn yang berada di depannya sekarang. 'Warna yang sama dengan mata milik wanita bernama Gwen, itu. Kenapa aku bisa tidak menyadari, itu?' batin Verlyn. "Jika Nona hendak memecat saya dari pekerjaan ini, saya akan menerimanya. Ini kesalahan saya, karena tidak bisa mendidik adik saya dengan, baik," ujar Farga. "Ini bukan kesalahanmu, tapi.." Verlyn menepuk pelan pundak Farga dan mendekat. "Sebagai bayarannya, kau harus memberikan segala informasi soal apa yang di rencanakan adikmu dengan temannya itu, kepadaku. Sepakat?" bi
"Selamat pagi, Nona Verlyn!" sapa para karyawan setelah Verlyn melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan Kizen, gedung tinggi berwarna hijau army yang mengkilap. "Pagi juga semua, semangat untuk kerja hari, ini!" balas Verlyn lalu melangkah masuk ke dalam lift, di ikuti oleh seorang wanita berkacamata yang adalah sekretarisnya, Fayyara. Setelah pintu tertutup, lift mulai bergerak menuju lantai lima belas. Sembari menunggu, Verlyn memainkan ponselnya. "Nona, hari ini Anda tidak lupa dengan rapat dengan para ketua divisi jam sebelas siang nanti, kan?" tanya Fayyara, seorang wanita dengan rambut berwarna coklat tua di gulung rapi dan bola mata berwarna coklat muda. "Eh? Oh–ya! Aku ingat," jawab Verlyn sedikit kaget. Fayyara menatap heran kepada atasannya itu. "Jawaban Nona telihat–tidak, meyakinkan," ujar Fayyara. Verlyn menghela napasnya. "Kau sudah mengenalku selama dua tahun, Fayyara. Kenapa kau menanyakan hal yang sudah pasti kau tahu, menyebalkan." 'Sial, aku lupa kalau hari
"Saya rasa itu rapat tercepat yang pernah Anda selesaikan, Nona," ujar Fayyara setelah melangkah keluar dari ruang rapat. Verlyn tersenyum bangga lalu memencet tombol pintu lift khusus untuk dirinya. "Aku berterima kasih jika itu sebuah pujian," balas Verlyn lalu melangkah masuk ke dalam lift dan memainkan ponselnya. Pintu lift tertutup dan bergerak kembali menuju ke lantai lima belas. "Nona, ada yang ingin saya, tanyakan," ujar Fayyara. Verlyn mengangguk sembari memainkan ponselnya. "Tanyakan, saja." "Bagaimana Nona bisa tahu soal rapat tadi akan membahas tentang pengeluaran uang perusahaan yang tidak tercatat di laporan pengeluaran iang?" tanya Fayyara. "Oh, soal itu ..." Verlyn mematikan ponselnya. "Saat aku mengecek laporan yang kau berikan, ada salah satu laporan yang membahas soal pengeluaran uang perusahaan. Jarang sekali ada laporan yang membahas tentang hal itu, jadi aku berpikir mungkin masalah itu yang akan di bahas di rapat, tadi," jelas Verlyn panjang lebar. "Jika s
"Yeay! Aku menang, lagi!" Seorang wanita berambut coklat muda dengan bola mata berwarna safir yang sedang duduk di sebelah Kayn sambil kegirangan. Kayn tersenyum dan mengacak-acak rambut wanita di sebelahnya itu. "Sellinaku ini memang, pintar!" Sellina tersenyum bangga dan memeluk erat Kayn. "Lanjut ke game sembilan ga, nih?" tawar Sellina. "Tentu saja, Cantik," jawab Kayn senang sebelum ponselnya berdering dan melihat panggilan dari Villian. Kayn melihat layar ponselnya dan menoleh ke arah Sellina "Aku angkat telepon dulu ya, Sellina." Sellina mengangguk. "Jangan lama-lama, ya." Kayn mengangguk dan beranjak dari kursinya. Dia melangkah keluar dari ruangan 'Private Gaming and Karaoke Room' lalu menerima panggilan dari Villian. "Kayn?" "Iya, bu. Ada apa?" "Hari ini kan, hari liburmu bekerja. Apa kau bisa menjemput Ibu di Mall Testimoonial, sekarang? Supir yang mengantar ibu tiba-tiba merasa tidak enak badan." Kayn terdiam sejenak. 'Kalau begini, waktu yang aku habiskan dengan
"Tidak, maksudku. Aku ingin pergi ke kamarku dulu untuk membersihkan diri, ayah," ujar Kayn. Khalix menatap tajam ke arah Kayn dan menoleh ke arah Verlyn lalu tersenyum senang. "Selamat datang, Verlyn! Ayo kita masuk, dulu. Langit sudah mulai gelap," ajak Khalix. Verlyn dan Villian mengangguk lalu mengikuti Khalix melangkah ke dalam rumah. Sebelum masuk, Verlyn menoleh ke arah Kayn yang masih terdiam di luar mobil. "Kau tidak masuk, Kayn?" tanya Verlyn. Kayn menatap Verlyn dingin dan tidak menjawab pertanyaan Verlyn. "Segeralah masuk, Kayn. Cuacanya akan menjadi lebih dingin daripada tatapanmu, itu." Verlyn tersenyum dan melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah masuk ke dalam rumah, Verlyn melihat Villian yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama Khalix dan melambaikan tangannya ke arahnya. "Kemari, Verlyn!" panggil Villian. "Baik!" Verlyn melangkah menghampiri Villian dan Khalix disana, lalu duduk di sofa sebelah Villian. "Verlyn ..." Villian memberikan sebuah paperbag ber
"Aku pulang!" Verlyn melangkah masuk ke dalam rumah. Caroline tersenyum. "Bagaimana harimu, Verlyn? Apa kau sudah, makan?" tanya Caroline. Verlyn duduk di sofa sebelah Caroline dan mengangguk. "Aku bahagia karena hari ini aku sudah mendapatkan hal yang aku inginkan, ibu!" jawab Verlyn senang. "Aku juga sudah makan di kediaman Tuan Presdir Khalix!" Caroline mengelus pelan rambut Verlyn. "Pintar, ibu ikut bahagia jika kau bahagia, Verlyn. Sekarang, pergilah ke kamarmu dan istirahat." Verlyn mengangguk dan menoleh ke arah Kaze yang dari tadi terdiam dan hanya fokus menatap layar laptopnya. 'Lagi-lagi, ayah tidak ikut menanyakan keadaanku seperti, Ibu.' "Baik, aku ke kamar dulu, ibu, ayah ..." Verlyn beranjak dari sofa dan melangkah pergi meninggalkan Kaze dan Caroline di ruang tamu. "Ayah ikut senang, Verlyn. Kau sudah melakukan yang terbaik," ujar Kaze tiba-tiba sebelum Verlyn menginjakkan kakinya di anak tangga pertama. Verlyn terdiam dan mengangguk. "Terima kasih, ayah.
"Berhentilah menatapku!" ujar Kayn kesal. Verlyn tersenyum. "Terserah aku dong!" Kayn menghela napas kesal dan menoleh ke arah Rainon yang terdiam berdiri di sisi Kayn, masih menundukkan kepalanya. "Kenapa kau tidak bilang hal ini kepadaku sebelumnya?" tanya Kayn pelan sembari mengecek beberapa laporan yang masih ada di mejanya. Rainon menelan ludah dan membungkukkan badannya. "I–ini perintah dari Tuan Presdir Terdahulu, Tuan Kayn. Maafkan, saya!" "Aku akan tanyakan pada yah saat pulang, nanti!" "Kenapa kalian berbisik seperti, itu?" tanya Verlyn tiba-tiba. "Bukan, urusanmu," jawab Kayn dingin. Verlyn tersenyum dan terus menatap Kayn sampai ada seorang pria yang datang membawa pesanan Verlyn. "Permisi, Nona Verlyn?" ujar pria itu. "Wah, sudah datang!" Verlyn beranjak dari sofa dan menghampiri pria itu lalu menerima pesanannya. "Terima kasih, ya!" Verlyn kembali duduk di sofa dan mengeluarkan sekotak makanan yang berisi sushi isi tuna dan salmon. Kayn menatap Verlyn kesal. "
'Aku benar-benar merasa tidak nyaman!' batin Kayn saat rapat sedang berlangsung. "Jangan memasang ekspresi seperti itu, Kayn! Nanti para manajermu mengira kalau kau akan, marah!" bisik Verlyn. "Tidak usah ikut, campur!" jawab Kayn. Rainon yang duduk di kursi sebelah kanan Kayn hanya tersenyum melihat tingkah Kayn dan Verlyn di depannya. 'Tuan Kayn terlihat sangat terganggu, ya ...' Kayn menatap ke arah Rainon dengan tatapan kesal. 'Semua ini karenamu, Rainon!" Rainon menelan ludah dan langsung menatap ke lantai. Sepuluh menit sebelum rapat berlangsung. "Kenapa kau tertawa seperti, itu?" tanya Kayn kesal. "Hm ..." Verlyn menyentuh dagunya. "Mungkin Rainon tahu sesuatu, ya, kan?" ujar Verlyn sembari menoleh ke arah Rainon yang terdiam saat namannya disebut oleh Verlyn. "Sa–saya?!" tanya Rainon gugup sambil membalikkan badannya. Verlyn tersenyum. "Kau pasti tahu, kan?" tanya Verlyn senang. Kayn menoleh ke arah Rainon dan menatap tajam ke arahnya. "Jelaskan padaku sekarang!" "I