"A–apa, maksudmu?!" ujar Verlyn sedikit menjauh dari Kayn.
Kedua pipi Verlyn menjadi merah seketika setelah Kayn berbisik di dekat telinganya. Kayn melipat kedua tangannya dan terdiam memperhatikan Verlyn dengan tatapan dingin, menunggu penjelasan Verlyn yang tampak sedang gugup di depannya sekarang. "Mengaku saja, kau orang mesum, kan?!" tanya Kayn dengan nada sedikit tinggi. Verlyn menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak, kau salah! Sudah aku bilang, aku hanya mengantarkan makan siang untukmu dan ingin meminta maaf soal–" "Perkataanmu di taman, tadi?" potong Kayn. Verlyn mengangguk pelan dan menoleh ke arah Kayn. "Kau ingin aku, apa? Akan aku kabulkan itu, kecuali jika kau meminta untuk membatalkan perjodohan ini. Aku tidak mau," ujar Verlyn sambil menggelengkan kepalanya di akhir kalimat. Kayn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah Verlyn. "Sudahlah, lupakan saja. Kau keluar sekarang, aku merasa tidak nyaman jika kau berada di dekatku," ujar Kayn. Verlyn terdiam sebentar setelah mendengar perkataan Kayn dan tersenyum. "Ternyata kau memiliki rasa malu juga, ya." Kayn menatap Verlyn kesal. "Keluar sekarang!" perintah Kayn. Verlyn terkikik dan mengangguk. "Baiklah-baiklah, aku akan keluar, Kayn," ujar Verlyn sambil melangkah ke arah pintu. Setelah sampai di dekat pintu, Verlyn menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kayn yang masih memperhatikannya sambil memasang raut wajah kesal. "Tapi, Kayn. Aku bersungguh-sungguh soal perkataanku di taman, tadi." Verlyn menggenggam gagang pintu perlahan. "Jika, kau meremehkanku lagi seperti di pertemuan pertama kita pagi tadi.." Verlyn membalikkan badannya ke arah Kayn dan tersenyum. "Aku tidak akan tinggal diam," ujar Verlyn lalu melangkah keluar dari kamar Kayn. Sebelum menutup pintu, Verlyn menoleh kembali ke arah Kayn. "Aku lupa mengatakan ini, padahal ini penting," ujar Verlyn. Kayn tetap diam meperhatikan Verlyn sambil melipat tangannya. "Kau memiliki badan yang bagus, ya!" "Apa?! Kau benar-benar ..." Kayn melangkah menghampiri Verlyn. Verlyn tersenyum nakal dan langsung menutup pintu kamar Kayn lalu melangkah pergi. "Tidak perlu berterima kasih, Kayn. Itu benar-benar pujian, dariku!" *** "Sayang sekali, padahal kau bisa disini lebih lama, Verlyn," ujar Villian sedih. Verlyn tersenyum dan memegang tangan Villian. "Aku akan mampir lagi, Ibu. Jangan khawatir!" ujar Verlyn menenangkan Villian. Villian mengangguk dan tersenyum. "Ibu akan selalu menunggu kedatanganmu!" "Datanglah kapan saja, Verlyn. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu!" ujar Khalix semangat. "Hehe, baik, Ayah!" Verlyn mengkah masuk ke dalam mobil dan membuka kaca jendela mobilnya. "Aku pergi dulu, Ayah, Ibu!" Verlyn melambaikan tangannya ke arah Khalix dan Villian. Khalix dan Villian mengangguk dan ikut melambaikan tangannya ke arah Verlyn. "Hati-hati, Nak!" ujar Khalix dan Villian bersama. Mobil yang di naiki Verlyn mulai melaju dan perlahan menghilang dari pandangan Khalix dan Villian. Verlyn memandang keluar jendela sepanjang perjalanan dan melihat salah satu restoran yang membuatnya teringat tentang supir dan para pengawalnya yang belum makan siang sama sekali. "Pak, kita berhenti di restoran depan sana, ya," perintah Verlyn kepada Pak Rian. "Baik, Nona." Pak Rian pelan-pelan memberhentikan mobilnya dan parkir di depan sebuah restoran berbintang lima bernama Steaks't. Para pengawal Verlyn ikut berhenti dan parkir di sisi mobil yang Verlyn naiki. Pak Rian turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Verlyn. Sebelum dia melangkah keluar dari mobil, Verlyn menggunakan kaca mata hitam agar orang lain tidak terlalu mengenalinya. Keluar dari mobil, para pengawal Verlyn sudah siaga di belakangnya, karena sama-sama menggunakan kacamata hitam seperti para pengawalnya, Verlyn terkikik. "Duh, jadi kayak mamba gini, ya. Haha ..." Verlyn tertawa pelan kepada para pengawalnya. "Ayo kita masuk ke dalam," ajak Verlyn. Para pengawalnya hanya tersenyum dan mengikuti Verlyn dari belakang, begitu juga dengan Pak Rian. Sesampainya di dalam restoran, Verlyn memesan meja VIP dengan 6 kursi lalu meminta Pak Rian dan para pengawalnya untuk memilih menu makanan setelah Verlyn memaksa mereka untuk duduk di kursi masing-masing. "Pesanlah sebanyak apapun yang kalian mau," ujar Verlyn sambil tersenyum ke arah mereka. Mereka hanya terdiam setelah mendengar perkataan Verlyn. 'Apa perkataanku ada yang, salah? Kenapa mereka terdiam?' "Nona, tugas kami adalah melindungi Anda. Kami tidak berhak ikut makan seperti ini bersama Nona Verlyn, disini," ujar Farga sambil bangkit dari kursinya. Saron, Divan dan Regi mengangguk setuju dan ikut bangkit dari kursi mereka. "Jika Nona ingin makan, akan kami temani disini. Tapi, kami tidak bisa ikut makan, Nona," ujar Saron. "Kami akan berdiri disini sambil menjaga Nona Verlyn, agar Anda bisa makan dengan nyaman," lanjut Divan. Regi mengangguk. "Jika Anda membutuhkan apapun, bisa bilang kepa–" "Aku tidak akan makan, jika kalian tidak ikut makan," potong Verlyn tegas. Farga, Divan, dan Saron terdiam, tapi tidak dengan Regi. "Tapi, Nona.." "Pak Rian, tolong jelaskan kepada mereka. Aku lupa mereka baru bekerja hari ini, uhh.." perintah Verlyn sambil melihat-lihat isi buku menu. "Baik, Nona Verlyn." Pak Rian bangkit dari kursinya lalu menjelaskan beberapa hal yang di maksud oleh Verlyn. Setelah menjelaskan kepada Farga, Divan, Saron dan Regi, mereka terdiam sejenak dan membungkukkan badan mereka. "Maaf kan kelancangan kami, Nona Verlyn!" ucap mereka serempak. Verlyn terdiam sesaat dan mengangguk. "Tidak apa-apa, sekarang kalian sudah mengerti, kan?" tanya Verlyn. "Kami mengerti, Nona Verlyn!" ujar mereka kembali. "Baguslah, sekarang kalian duduk dan pesanlah apapun yang kalian mau, akan aku bayar semuanya!" ujar Verlyn bersemangat. Farga, Divan, Saron dan Regi mengangguk senang dan kembali duduk lalu melihat-lihat isi buku menu untuk memesan begitu juga dengan Pak Rian. Setelah itu mereka berbincang-bincang sambil menunggu pesanan mereka datang. Verlyn yang sedang asik tertawa bersama para pengawalnya, di kejutkan dengan getaran dari ponselnya. 'Nomor tidak, dikenal?' batin Verlyn setelah melihat layar ponselnya. "Ada apa, Nona Verlyn?" tanya Saron. Verlyn menggeleng. "Bukan apa-apa, lanjutkan saja perbincangan kalian. Aku ingin pergi ke toilet dulu, sebentar." Verlyn bangkit dari kursinya dan melangkah pergi ke arah toilet. Dia masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi dan mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal itu. "Hallo?" ujar Verlyn. Tidak ada suara yang terdengar. 'Apa, sih? Ga jelas banget jadi, manusia!' Verlyn langsung mematikan panggilan tersebut dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jas, lalu keluar dari bilik kamar mandi dan mencuci tangan di wastafel. Dia bercermin sebentar lalu melangkah pergi tanpa melihat-lihat, alhasil Verlyn tidak sengaja menabrak seseorang di depannya, membuat kacamata hitamnya jatuh seketika. "Aw ... kacamataku!" Verlyn langsung mengambil kacamata hitamnya dan melihat seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang berwarna coklat berada di depannya sekarang. Verlyn membungkukkan badannya sedikit. "Maaf, aku tidak sengaja menabrak, Anda." "Dasar pengganggu!" ketus wanita itu pelan. Wanita itu melipat tangannya dan langsung melangkah ke wastafel tanpa membalas ucapan Verlyn. Verlyn menghembuskan napasnya dan berbalik menghadap ke arah wanita itu. "Apa kau tidak bisa membalas perkataanku, dulu?" tanya Verlyn dingin. Wanita itu memutar bola matanya dan menatap Verlyn tajam. "Untuk apa? Kau sudah meminta maaf, lalu aku harus, apa?" tanya wanita itu. 'Wanita ini benar-benar menyebal ... Eh!'' Verlyn melihat mata wanita tersebut dan baru menyadari warna mata wanita tersebut adalah biru safir. Warna yang tampak tidak asing bagi Verlyn. 'Warna mata itu? Aku seperti pernah melihatnya. Tapi, kapan?'"Apa, sudah datang? Aku ingin memesan sesuatu, lagi," ujar Verlyn dengan nada sedikit kesal setelah duduk di kursinya. Farga, Divan, Saron dan Regi saling bertatapan heran mendengar ucapan Verlyn dan melihat seorang 'waiter' datang menghampiri mereka di belakang Verlyn. "Baru saja sampai, Nona," balas Farga. Seorang pelayan pria dengan rambut berwarna kuning datang membawa pesanan mereka dengan menggunakan gueridon, kereta dorong yang berfungsi untuk mengantarkan makanan kepada pelanggan yang memesan banyak makanan. Pria tersebut berhenti di dekat meja yang di tempati Verlyn dan membungkukkan badannya sedikit. "Pesanan atas nama, Pak Rian dengan nomor meja 14, benar?" tanya pelayan pria tersebut. Pak Rian mengangguk dan pelayan pria tersebut pelan-pelan menaruh pesanan-pesanan mereka di atas meja. Saat hendak pergi, Verlyn memanggilnya. "Tunggu, aku ingin menambah pesananku, lagi." Pria tersebut mengangguk dan siap mencatat menu yang ingin Verlyn pesan. "Aku ingin memesan Steak bu
Pria berpakaian hitam dengan rambut berwarna hitam dan melangkah keluar dari balik dinding. Dia melepas kacamata hitamnya dan melangkah mendekati Verlyn lalu membungkukkan badannya. "Saya meminta maaf atas perilaku adik saya kepada Anda, Nona Verlyn!" ujar pria tersebut. Verlyn menghembuskan napasnya dan menatap tajam ke arah pria di depannya. "Angkat badanmu, Farga," perintah Verlyn. Farga mengangkat badannya dan tetap menunduk, dia tidak berani menatap mata Verlyn yang berada di depannya sekarang. 'Warna yang sama dengan mata milik wanita bernama Gwen, itu. Kenapa aku bisa tidak menyadari, itu?' batin Verlyn. "Jika Nona hendak memecat saya dari pekerjaan ini, saya akan menerimanya. Ini kesalahan saya, karena tidak bisa mendidik adik saya dengan, baik," ujar Farga. "Ini bukan kesalahanmu, tapi.." Verlyn menepuk pelan pundak Farga dan mendekat. "Sebagai bayarannya, kau harus memberikan segala informasi soal apa yang di rencanakan adikmu dengan temannya itu, kepadaku. Sepakat?" bi
"Selamat pagi, Nona Verlyn!" sapa para karyawan setelah Verlyn melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan Kizen, gedung tinggi berwarna hijau army yang mengkilap. "Pagi juga semua, semangat untuk kerja hari, ini!" balas Verlyn lalu melangkah masuk ke dalam lift, di ikuti oleh seorang wanita berkacamata yang adalah sekretarisnya, Fayyara. Setelah pintu tertutup, lift mulai bergerak menuju lantai lima belas. Sembari menunggu, Verlyn memainkan ponselnya. "Nona, hari ini Anda tidak lupa dengan rapat dengan para ketua divisi jam sebelas siang nanti, kan?" tanya Fayyara, seorang wanita dengan rambut berwarna coklat tua di gulung rapi dan bola mata berwarna coklat muda. "Eh? Oh–ya! Aku ingat," jawab Verlyn sedikit kaget. Fayyara menatap heran kepada atasannya itu. "Jawaban Nona telihat–tidak, meyakinkan," ujar Fayyara. Verlyn menghela napasnya. "Kau sudah mengenalku selama dua tahun, Fayyara. Kenapa kau menanyakan hal yang sudah pasti kau tahu, menyebalkan." 'Sial, aku lupa kalau hari
"Saya rasa itu rapat tercepat yang pernah Anda selesaikan, Nona," ujar Fayyara setelah melangkah keluar dari ruang rapat. Verlyn tersenyum bangga lalu memencet tombol pintu lift khusus untuk dirinya. "Aku berterima kasih jika itu sebuah pujian," balas Verlyn lalu melangkah masuk ke dalam lift dan memainkan ponselnya. Pintu lift tertutup dan bergerak kembali menuju ke lantai lima belas. "Nona, ada yang ingin saya, tanyakan," ujar Fayyara. Verlyn mengangguk sembari memainkan ponselnya. "Tanyakan, saja." "Bagaimana Nona bisa tahu soal rapat tadi akan membahas tentang pengeluaran uang perusahaan yang tidak tercatat di laporan pengeluaran iang?" tanya Fayyara. "Oh, soal itu ..." Verlyn mematikan ponselnya. "Saat aku mengecek laporan yang kau berikan, ada salah satu laporan yang membahas soal pengeluaran uang perusahaan. Jarang sekali ada laporan yang membahas tentang hal itu, jadi aku berpikir mungkin masalah itu yang akan di bahas di rapat, tadi," jelas Verlyn panjang lebar. "Jika s
"Yeay! Aku menang, lagi!" Seorang wanita berambut coklat muda dengan bola mata berwarna safir yang sedang duduk di sebelah Kayn sambil kegirangan. Kayn tersenyum dan mengacak-acak rambut wanita di sebelahnya itu. "Sellinaku ini memang, pintar!" Sellina tersenyum bangga dan memeluk erat Kayn. "Lanjut ke game sembilan ga, nih?" tawar Sellina. "Tentu saja, Cantik," jawab Kayn senang sebelum ponselnya berdering dan melihat panggilan dari Villian. Kayn melihat layar ponselnya dan menoleh ke arah Sellina "Aku angkat telepon dulu ya, Sellina." Sellina mengangguk. "Jangan lama-lama, ya." Kayn mengangguk dan beranjak dari kursinya. Dia melangkah keluar dari ruangan 'Private Gaming and Karaoke Room' lalu menerima panggilan dari Villian. "Kayn?" "Iya, bu. Ada apa?" "Hari ini kan, hari liburmu bekerja. Apa kau bisa menjemput Ibu di Mall Testimoonial, sekarang? Supir yang mengantar ibu tiba-tiba merasa tidak enak badan." Kayn terdiam sejenak. 'Kalau begini, waktu yang aku habiskan dengan
"Tidak, maksudku. Aku ingin pergi ke kamarku dulu untuk membersihkan diri, ayah," ujar Kayn. Khalix menatap tajam ke arah Kayn dan menoleh ke arah Verlyn lalu tersenyum senang. "Selamat datang, Verlyn! Ayo kita masuk, dulu. Langit sudah mulai gelap," ajak Khalix. Verlyn dan Villian mengangguk lalu mengikuti Khalix melangkah ke dalam rumah. Sebelum masuk, Verlyn menoleh ke arah Kayn yang masih terdiam di luar mobil. "Kau tidak masuk, Kayn?" tanya Verlyn. Kayn menatap Verlyn dingin dan tidak menjawab pertanyaan Verlyn. "Segeralah masuk, Kayn. Cuacanya akan menjadi lebih dingin daripada tatapanmu, itu." Verlyn tersenyum dan melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah masuk ke dalam rumah, Verlyn melihat Villian yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama Khalix dan melambaikan tangannya ke arahnya. "Kemari, Verlyn!" panggil Villian. "Baik!" Verlyn melangkah menghampiri Villian dan Khalix disana, lalu duduk di sofa sebelah Villian. "Verlyn ..." Villian memberikan sebuah paperbag ber
"Aku pulang!" Verlyn melangkah masuk ke dalam rumah. Caroline tersenyum. "Bagaimana harimu, Verlyn? Apa kau sudah, makan?" tanya Caroline. Verlyn duduk di sofa sebelah Caroline dan mengangguk. "Aku bahagia karena hari ini aku sudah mendapatkan hal yang aku inginkan, ibu!" jawab Verlyn senang. "Aku juga sudah makan di kediaman Tuan Presdir Khalix!" Caroline mengelus pelan rambut Verlyn. "Pintar, ibu ikut bahagia jika kau bahagia, Verlyn. Sekarang, pergilah ke kamarmu dan istirahat." Verlyn mengangguk dan menoleh ke arah Kaze yang dari tadi terdiam dan hanya fokus menatap layar laptopnya. 'Lagi-lagi, ayah tidak ikut menanyakan keadaanku seperti, Ibu.' "Baik, aku ke kamar dulu, ibu, ayah ..." Verlyn beranjak dari sofa dan melangkah pergi meninggalkan Kaze dan Caroline di ruang tamu. "Ayah ikut senang, Verlyn. Kau sudah melakukan yang terbaik," ujar Kaze tiba-tiba sebelum Verlyn menginjakkan kakinya di anak tangga pertama. Verlyn terdiam dan mengangguk. "Terima kasih, ayah.
"Berhentilah menatapku!" ujar Kayn kesal. Verlyn tersenyum. "Terserah aku dong!" Kayn menghela napas kesal dan menoleh ke arah Rainon yang terdiam berdiri di sisi Kayn, masih menundukkan kepalanya. "Kenapa kau tidak bilang hal ini kepadaku sebelumnya?" tanya Kayn pelan sembari mengecek beberapa laporan yang masih ada di mejanya. Rainon menelan ludah dan membungkukkan badannya. "I–ini perintah dari Tuan Presdir Terdahulu, Tuan Kayn. Maafkan, saya!" "Aku akan tanyakan pada yah saat pulang, nanti!" "Kenapa kalian berbisik seperti, itu?" tanya Verlyn tiba-tiba. "Bukan, urusanmu," jawab Kayn dingin. Verlyn tersenyum dan terus menatap Kayn sampai ada seorang pria yang datang membawa pesanan Verlyn. "Permisi, Nona Verlyn?" ujar pria itu. "Wah, sudah datang!" Verlyn beranjak dari sofa dan menghampiri pria itu lalu menerima pesanannya. "Terima kasih, ya!" Verlyn kembali duduk di sofa dan mengeluarkan sekotak makanan yang berisi sushi isi tuna dan salmon. Kayn menatap Verlyn kesal. "