Bagian 12 Pencurian “Kau mau ke mana, Is?” Saat gadis keras kepala itu membuka jendela dan hampir melompat, Tuan Guru telah berada di depan jendela terlebih dahulu. Lelaki yang sudah memutih semua rambutnya itu bisa menebak apa isi kepala cucunya. “Eh, tidak ke mana-mana, Abu Syik. Mau cari udara segar, entah kenapa tiba-tiba pengap sekali di dalam kamar.” Isnani salah tingkah ketika hampir dipergoki kakenya kabur dari perjodohan malam itu. “Banyak alasan. Sekarang ke luar dan temui pihak laki-laki. Kalau kau keberatan katakan, kalau kau menerima katakan juga dengan jelas. Jangan terlalu banyak isyarat. Tapi, jauh di dalam lubuk hati kakekmu yang sudah udzur ini berharap kau menerimanya.” Tuan Guru kemudian berlalu meninggalkan cucu kesayangannya yang masih mematung di depan jendela. Terlihat jelas binar di mata lelaki tua itu, ia sangat mengharapkan Isnani menikah layaknya anak gadis yang lain. Hal yang menjadi beban tersendiri bagi putri sulung Hasan tersebut. Isnani meletakkan
Bagian 13 Mencari BuktiIsnani pergi dari rumahnya pagi-pagi sekali ketika pengaruh bubuk racun itu telah sepenuhnya hilang. Ia tak mengendap-endap, melainkan memang sudah tugasnya untuk masuk ke dalam istana. Namun, sebelum menuju tempat di mana Pangeran Antanagra tinggal, gadis bermata tajam itu mencari dua temannya yang tertinggal tadi malam. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan mereka berdua. “Oh, syukurlah kalau kalian berdua baik-baik saja.” Isnani berpapasan dengan dua temannya yang baru saja pulang dari pengejaran. Terlihat mereka membawa tubuh yang diikat di atas kuda. “Kami mengejarnya sangat jauh, dia termasuk lihai, sayangnya ....” Teman Isnani itu tak meneruskan ucapannya. “Kenapa?” Tak sabar gadis itu menunggu jawaban temannya. “Dia mati bunuh diri. Menggigit lidahnya sampai putus. Lihat.” Darah terus menetes dari tubuh perompak itu. Isnani sampai bergidik ngeri ada yang berani berbuat senekat itu. “Kalau begitu kita kehilangan saksi kunci. Padahal darinya kita bisa
Bagian 14 Persiapan Pernikahan “Paksa dia sampai buka mulut. Kalau tak mau siksa terus sampai mati!” perintah Isnani pada dua adik seperguruannya. Gadis keras kepala itu berhasil meringkus salah satu lelaki yang tadinya berniat melecehkannya. Tak berdaya melawan, lelaki tersebut menurut saja saat di bawa ke sebuah rumah kosong. Berkali-kali kepalanya dibenamkan dalam air yang sangat dingin sampai napasnya hampir habis. “Kuliti saja dia. Lalu lempar ke laut beri makan ikan-ikan kepalaran.” Isnani tak sabaran melihat lelaki itu tak juga mau berkata sepatah kata pun. “Be-benar, aku tak tahu apa-apa tentang mereka. Kau tahu sendiri di pasar itu banyak simbol-simbol yang bertebaran. Sudah, jangan siksa aku lagi.” Lelaki itu memohon belas kasihan pada para gadis berselendang putih. “Bohong. Kau tahu aku tak pernah main-main menyiksa orang, kau rasakan pisauku ini melepas kukumu satu demi satu.” Putri sulung Hasan itu memegang telunjuk lelaki yang ia tangkap. Kemudian ujung belatinya me
Bagian 15 Mengejar Pencuri Pangeran Antanagra mengatur pergerakan pencurian yang kali ini jumlahnya harus lebih besar. semuanya harus sudah selesai sebelum hari pernikahannya bersama dengan Isnani. Putra bungsu sultan itu sudah memesan sebuah racun yang sangat mematikan. Pangeran Antanagra tak peduli pada banyaknya nyawa yang harus ia tumbangkan demi berdirinya sebuah kerajaan baru. “Saat sudah berhasil kalian curi. Lekas bawa ke Hutan Lembah Hitam terlebih dahulu. Tempat itu berada di dekat wilayah Kerajaan Hambu Aer dan kudengar tak pernah ada orang yang berani memasukinya. Maka di sanalah tempat kalian bersembunyi sampai kapal dilabuhkan di dekat sungai. Mengerti?” tanya Antanagra memastikan pada beberapa bawahannya. Semakin lama pengikutnya semakin bertambah. Bahkan mereka berencana membawa serta keluarga mereka untuk menyingkir dari wilayah Kesultanan Samudra Pasai. “Persiapkan semua kereta dan beberapa kuda untuk mengangkut peti hasil jarahan. Tunggu aba-aba dariku, maka kal
Bagian 16 Pertengkaran Isnani memapah tubuh Gayatri yang tiba-tiba saja jatuh lemas usai memuntahkan darah. Penyihir itu tak tahan berada di dekat Maulana lama-lama. Namun, keadaan di luar yang sedang angin ribut membuat Maulana dan Isnani tak bisa meninggalkan gubug milik Gayatri. “Ah, menyusahkan saja semuanya. Pekerjaanku mengejar perampok jadi terhambat.” Isnani menggerutu ketika ia harus mengurus Gayatri yang keringatnya terus menetes di dahi. “Jangan begitu. Anggap saja menolong orang. Setelah dia sadar kita tanyai saja dia,” sahut Maulana. Pemuda berlesung pipi itu memandang kamar Gayatri yang banyak sekali sesajen di dalamnya. “Bukti sebanyak ini sudah jelas terpampang di matamu. Tuan masih ingin bertanya lagi apa dia penyihir atau tidak. Kalau di kerajaanku sudah lama habis nyawanya. Mereka ini penyumbang kejahatan terbesar. Suami dan istri terpisah, orang-orang mati dengan kejam akibat guna-guna yang dikirim.” “Aku tahu. Tapi setidaknya kita tanyai dia dulu, supaya leb
Bagian 17 Kapal Impian “Diam! Dari tadi kalian berdebat tak selesai-selesai. Maaf. Aku harus meninggikan suaraku. Tapi sebaiknya kita menenangkan diri sejenak. Hari sudah malam, sebaiknya kita istirahat.” Maulana membuat dua orang gadis yang tadinya ingin saling membunuh diam sejenak. “Setelah istirahat?” tanya balik Isnani. “Nyai, apa kau tak keberatan kalau kami bermalam di sini malam ini saja. Besok pagi kami akan pergi ke tujuan kami masing-masing.” “Tentu saja, Tuan. Tapi kau bisa beristirahat di luar, tak mungkin kita ....” “Iya, iya, aku paham, terima kasih atas kebaikan hatimu. Semoga Allah membalasmu.” Maulana ke luar tak ingin lagi satu kamar di tempat yang penuh sesajen dan patung besar itu. “Cih, baik sekali kau jadi orang. Pasti karena kau menyukainya,” gerutu Isnani tanpa didengar siapa pun. “Kau tidur di sini saja. Aku bisa mencari tempat lain,” ujar Gayatri. Ia tak mau satu tempat bersama orang yang tak bisa menjaga mulutnya. Bagi penyihir itu Isnani terlalu te
Bagian 18 Teman Lama Panglima Hasan dan Pangeran Antanagra beristirahat ketika sudah memasuki wilayah Hambu Aer. Mereka harus sesegera mungkin menemukan Isnani dan para perampok itu, sebab pernikahan besar akan digelar hanya dalam kurun waktu tak sampai sepekan. Putra bungsu sultan Samudra Pasai tersebut tak ingin semua yang ia rencanakan gagal begitu saja. Ia harus menggenggam keduanya, cinta Isnani dan juga kerajaan baru yang akan ia bangun. Lelaki berwajah rupawan itu pergi mencuci mukanya di sungai. Ia berkaca di aliran air yang jernih. Mustahil rasanya jika Isnani tak jatuh cinta padanya, sebab wajahnya juga tak kalah tampan dibandingkan dua abangnya. Pangeran Antanagra mendongak ketika ia mendengar pekik suara elang yang terbang rendah ke arahnya. Burung pemangsa itu kemudian bertengger di sebuah dahan di mana sang pangeran duduk di dekatnya. Melihat sebuah surat diikat di bagian kaki, gegas lelaki itu mengambilnya, kemudian elang itu terbang menjauh usai tugasnya ditunaikan.
Bagian 19 Tuan Guru Syarif Hidayatullah Pagi buta sekali Ratu Prameswari telah ke luar dari istananya. Ia akan mengunjungi sebuah makam yang tak sama sekali ia duga akan datangi. Penyebab utamanya karena ia dihantui dalam mimpi jika Danur Seta dan Gandari telah hidup bahagia di alam lain. Padahal Gandari saat mengembuskan napas terakhir masih bersuamikan Syarif Hidayatullah. Ratu Prameswari hanya dihantui ketakutannya sendiri saja yang tak beralasan. Wanita itu berjalan ketika orang-orang sedang menunaikan ibadah Shubuh di masjid yang berdindingkan papan dan beralaskan tanah. Ia tak mengizinkan pengawalnya ikut. Ratu Prameswari hanya ingin berbicara berdua dengan batu nisan yang bertuliskan nama Gandari saja. “Apa hebatnya dirimu sampai dicintai Kanda Danur Seta sebegitu mendalamnya. Bahkan saat ia mengembuskan napas terakhirnya masih namamu yang disebutnya.” Ratu Prameswari menatap gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan. Makam itu begitu sederhana tak seperti milik keluar
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab