Mereka berdua kaget dengan kedatangan Mardawa. Dewi Rimbu diam, parasnya berubah di balik cadarnya. Sementara Ratu Kali Wingit melihat Mardawa sambil mengingat-ingat pemuda itu. "Bangunlah, Ratu Kali Wingit! Tidak pantas dilihatnya, lagian ke sesama manusia tidak boleh bersujud." Mardawa berkata yang kemudian disesalinya sendiri. Dia tidak yakin jika mereka berdua adalah manusia biasa. "Eeh … maksudku sesama makhluk."Ratu Kali Wingit bangun, dia menatap Dewi Rimbu dengan penuh harap. Masih jelas di balik keagungan sikapnya sebagai seorang Ratu, matanya menyiratkan kelukaan."Ada baiknya kamu mendengar permintaannya, Dewi Rimbu." Mardawa berkata lagi sambil menatap wanita yang berdiri di dahan pohon."Kamu tidak tahu … kamu tidak tahu," desis Dewi Rimbu. Dia menggeleng kuat kepalanya. Bersama dengan itu air matanya mengalir. Bahunya berguncang tanda dia menahan tangisan."Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan suamiku–Ciwang Adiwara. Aku tertidur seperti kena sirep. Aku minta m
Lorong istana itu kini sepi, emban memastikan tidak ada orang di sana. Walaupun dia tidak mengerti, dia tahu akan ada sesuatu yang bersipat rahasia akan terjadi."Dorong!" Tabib Istana memberi perintah kepada Mardawa. Pemuda itu menurut, dia mendorong kotak es itu. Air di dalam berguncang, ular itu kepalanya. Sementara badannya terendam air es. Ratu Kali Wingit ikut berjalan di belakang. Wajahnya tanpa senyum, terlihat keresahan di matanya. Dalam pikirannya apakah Ciwang Adiwara bisa kembali ke raganya yang dulu."Di sini saja, Anak Muda. Kita pecahkan kotak es ini bersama-sama." Tabib Istana memberi perintah. Mardawa berhenti mendorong. Walau terlihat sangat berat, kotak es itu tidak terlalu sulit kala mereka dorong. Meluncur seperti ada roda di bawahnya."Bagaimana cara memecahkannya, Tabib?" tanya Mardawa. Dia tidak berani berbuat apa-apa tanpa perintah. "Tarik sumbu yang kau pegang!" suruh Tabib Istana. Dia menunjuk ke arah tangan Mardawa yang masih memegang sumbu.Krak krak kra
Mardawa berlari sesaat setelah keluar dari Istana Ratu Kali Wingit. Dia harus mencari Dewi Rimbu yang membawa Semboja. Dirinya harus menanyakan perkembangan Semboja dalam mempelajari ilmu kanuragan.Setelah berlari beberapa menit, Mardawa akhirnya menemukan Dewi Rimbu yang sedang beristirahat di bawah pohon besar di tepi sungai. "Dewi Rimbu, mana Semboja?" tanya Mardawa curiga. Dia tidak melihat gadis itu bersama dengan Dewi Rimbu. Mardawa khawatir dengan keadaan Semboja.Lelaki itu mendekati Dewi Rimbu dengan cepat dan langsung menanyakan bagaimana keberadaan Semboja.Dewi Rimbu kaget dan memasang kuda-kuda. Tadi dirinya tengah bersantai sejenak melepas lelah setelah bertarung dengan Dewi Arum, penguasa Hutan Tatuka.Setelah melihat Mardawa dia bernapas lega. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya yang bersiap menyerang lelaki tersebut.Dewi Rimbu menjawab, "Aah, rupanya kamu, Mardawa. Semboja sedang berlatih dengan tekun untuk menguasai ilmu kanuragan, dia cukup berbakat dalam hal i
Semboja dan Dewi Rimbu berlari keluar dari hutan. Mereka harus secepatnya kembali ke goa tempat mereka tinggal. Sudah cukup bagi mereka untuk beristirahat. Hari sudah mulai gelap.Jleng!Seorang lelaki datang menghadang. Tentu saja membuat gadis itu terkejut. Semboja langsung mengenali orang tersebut."Juragan Pranata." Semboja tahu sekali siapa yang datang itu. "Lelaki tua, mengapa menghalangi jalan kami?" teriak Dewi Rimbu. Muka gadis itu tampak berubah, rupanya dia tidak suka dengan kehadiran Pranata. "Tidak ada yang menghalangi jalanmu, Cantik, Hahaha hahaha hahaha." Pranata menjawab sambil tertawa terbahak-bahak. Dia pura-pura minggir ke tepi jalan setapak itu.Semboja waspada dengan ilmu yang baru saja dikuasainya. Sementara Dewi Rimbu tidak tahu siapa Juragan Pranata. Rupanya dia lupa pernah bertempur dulu dengan Panji. Panji adalah anak buah Pranata."Aku tidak mengenalmu dan tidak ada urusan denganmu, Juragan. Menepilah! Aku masih banyak urusan!" Dewi Rimbu berteriak dengan
Semboja dan Dewi Rimbu bersiap-siap untuk menyerang Pranata. Hampir seketika, keduanya menyerang. Dewi Rimbu bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Banyu Biru untuk membuka pertahanan Pranata.Sementara itu, Semboja menggunakan ilmu yang diajarkan Dewi Rimbu untuk menyerang Pranata dari belakang.Berdasarkan instruksi Dewi Rimbu, Semboja mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan bersiap untuk serangan mereka berdua. Pranata berdiri tegak menunggu, siap untuk menghadapi apa pun yang mereka lakukan.Pertarungan tersebut akhirnya mencapai puncaknya. Pedang Semboja beradu, meluncur cepat menebas udara menuju Pranata. Serangan ganda mereka mengejutkan Pranata, membuatnya bergeming sejenak. Namun, hanya sebentar. Dengan cepat dan tangkas, satu tangan Pranata memegang pedang Semboja, sementara tangan yang lain menangkis serangan dari Dewi Rimbu."Mereka berdua … sangat hebat," Pranata membatin sambil mengerutkan keningnya. Dia merasakan tekanan dari serangan mereka berdua. Jantungnya berdegup
Mardawa menatap Semboja yang tertunduk. Dia merasa nyaman berada di dekat gadis tersebut. Begitu juga Semboja, sejak pertemuannya dulu dirinya tertarik kepada pemuda itu Di tengah gemerlap mentari yang mengintip di ufuk timur, di bawah keteduhan rimba yang menyimpan nafsu dan cinta, keduanya merajut janji. Janji yang akan membawa angin perubahan bagi kehidupan mereka. "Bagaimana latihanmu, Semboja?" tanya Mardawa sambil tergagap. Dia bingung harus memulai dari mana. Bahkan kata-kata manis yang sudah disusun rapi raib bagai debu tertiup angin.Semboja mengeluh dalam hatinya. Bukan kata-kata mesra yang didengarnya tapi tentang ilmu kanuragan. Meskipun begitu dirinya sangat bahagia. Apa pun topik yang dibahas asal Mardawa di sisinya tetap mengasyikan."Seperti yang Kakang lihat tadi. Aku sudah berhasil menguasai jurus bermain pedang. Dewi Rimbu mengajarkan aku banyak hal." Semboja menjawab sambil tetap menunduk. Rasanya badan panas dingin, karena dalam hidupnya baru dengan Mardawa dia
Mardawa yang berdiri di samping Semboja merasa tersindir dengan kata-kata Kusuma. Mukanya merah, malu sudah mengajak Kusuma berduaan dengannya. Dewi Rimbu memang keterlaluan. Wanita itu pergi entah ke mana, meninggalkan mereka berdua. Ini malah menjadi boomerang buat mereka. "Jaga ucapanmu, Kusuma!" sergah Mardawa. Dia tidak terima jika dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh. Bagaimanapun, dirinya masih punya batasan."Aku tidak bicara padamu, Kakang. Aku bicara sama gadis kegatelan ini!" teriak Kusuma sambil menunjuk ke arah Semboja. Wajahnya tampak sangat emosi karena kecemburuan yang sangat besar. Dirinya sudah rela menjalani latihan yang keras, demi cintanya pada Mardawa. Gadis itu yakin, jika dirinya mempunyai ilmu kanuragan tentu Mardawa akan tertarik padanya."Dia bersamaku di sini. Aku pergi sebentar mencari daun-daunan untuk obat. Ada yang salah dengan Semboja?" Tiba-tiba ada suara wanita menengahi. Wanita itu datang bagaikan siluman, tahu-tahu ada di hadapan mereka.Kusu
Panji membawa kabar mengenai ancaman Mardawa. Pemuda itu mengatakan bahwa Dewi Rimbu telah bergabung dengan Mardawa untuk menyerang Perguruan Serigala Putih. Itu merupakan ancaman baru untuk mereka. Rupanya sekarang pendekar sudah berkongsi untuk melenyapkannya. Pranata marah mendengar kabar tersebut. Dia harus mengatur strategi jitu untuk mengalahkan Mardawa. Pemuda itu yang harus lebih dulu dimusnahkan. Jika Pranata sudah tidak ada di muka bumi ini, pendekar yang lainnya adalah urusan kecil bagi Pranata."Hmm, aku pikir kita bisa menggunakan kekuatan hitam untuk menyelesaikan masalah ini," kata Pranata bergumam. "Atau menggabungkan kekuatan air dan api." Beberapa jurus yang disebutkan terakhir, baru saja dikuasainya setelah dirinya bergabung dengan kekuatan hitam yang misterius."Panji, susun rencana yang bagus untuk menghadapi serangan mereka!" suruh Juragan Pranata. Panji adalah muridnya yang bisa dipercaya, beberapa kali berhasil dalam perampokan ke kampung-kampung."Baik, Jurag
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti