Mardawa menegakkan tubuhnya biar bisa berpikir lebih keras lagi. Pembunuhan yang terjadi di kampung Jatiwarna ini begitu beruntun. Semua hanya menyisakan misteri yang menguap begitu saja. Tidak ada yang berani mengungkap, apalagi harus berurusan dengan Juragan Pranata."Pembunuh Intan apakah sama dengan pembunuh anak buah Pranata." Mardawa menghubungkan kejadian demi kejadian yang menurutnya ganjil. Penduduk berprasangka jika Juragan Pranata ada di balik semua itu. Namun, menurut Mardawa, tidak mungkin jika anak buahnya juga turut dibantai. Mentah lagi pendapatnya. Set set set!Seseorang berkelebat di depan Mardawa. Mardawa seperti mengenal pendekar tersebut. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, berniat mengejar wanita tersebut."Eh … siapa itu? Apakah dia Dewi …."Set set set!Rupanya orang tadi di kejar juga oleh seseorang. Mardawa juga seperti mengenali orang tersebut. "Dewi Rimbu dikejar Ratu Kali Wingit? Ada urusan apa mereka?" Mardawa mengejar mereka berdua. Dia pernah bertemu deng
Mereka berdua kaget dengan kedatangan Mardawa. Dewi Rimbu diam, parasnya berubah di balik cadarnya. Sementara Ratu Kali Wingit melihat Mardawa sambil mengingat-ingat pemuda itu. "Bangunlah, Ratu Kali Wingit! Tidak pantas dilihatnya, lagian ke sesama manusia tidak boleh bersujud." Mardawa berkata yang kemudian disesalinya sendiri. Dia tidak yakin jika mereka berdua adalah manusia biasa. "Eeh … maksudku sesama makhluk."Ratu Kali Wingit bangun, dia menatap Dewi Rimbu dengan penuh harap. Masih jelas di balik keagungan sikapnya sebagai seorang Ratu, matanya menyiratkan kelukaan."Ada baiknya kamu mendengar permintaannya, Dewi Rimbu." Mardawa berkata lagi sambil menatap wanita yang berdiri di dahan pohon."Kamu tidak tahu … kamu tidak tahu," desis Dewi Rimbu. Dia menggeleng kuat kepalanya. Bersama dengan itu air matanya mengalir. Bahunya berguncang tanda dia menahan tangisan."Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan suamiku–Ciwang Adiwara. Aku tertidur seperti kena sirep. Aku minta m
Lorong istana itu kini sepi, emban memastikan tidak ada orang di sana. Walaupun dia tidak mengerti, dia tahu akan ada sesuatu yang bersipat rahasia akan terjadi."Dorong!" Tabib Istana memberi perintah kepada Mardawa. Pemuda itu menurut, dia mendorong kotak es itu. Air di dalam berguncang, ular itu kepalanya. Sementara badannya terendam air es. Ratu Kali Wingit ikut berjalan di belakang. Wajahnya tanpa senyum, terlihat keresahan di matanya. Dalam pikirannya apakah Ciwang Adiwara bisa kembali ke raganya yang dulu."Di sini saja, Anak Muda. Kita pecahkan kotak es ini bersama-sama." Tabib Istana memberi perintah. Mardawa berhenti mendorong. Walau terlihat sangat berat, kotak es itu tidak terlalu sulit kala mereka dorong. Meluncur seperti ada roda di bawahnya."Bagaimana cara memecahkannya, Tabib?" tanya Mardawa. Dia tidak berani berbuat apa-apa tanpa perintah. "Tarik sumbu yang kau pegang!" suruh Tabib Istana. Dia menunjuk ke arah tangan Mardawa yang masih memegang sumbu.Krak krak kra
Mardawa berlari sesaat setelah keluar dari Istana Ratu Kali Wingit. Dia harus mencari Dewi Rimbu yang membawa Semboja. Dirinya harus menanyakan perkembangan Semboja dalam mempelajari ilmu kanuragan.Setelah berlari beberapa menit, Mardawa akhirnya menemukan Dewi Rimbu yang sedang beristirahat di bawah pohon besar di tepi sungai. "Dewi Rimbu, mana Semboja?" tanya Mardawa curiga. Dia tidak melihat gadis itu bersama dengan Dewi Rimbu. Mardawa khawatir dengan keadaan Semboja.Lelaki itu mendekati Dewi Rimbu dengan cepat dan langsung menanyakan bagaimana keberadaan Semboja.Dewi Rimbu kaget dan memasang kuda-kuda. Tadi dirinya tengah bersantai sejenak melepas lelah setelah bertarung dengan Dewi Arum, penguasa Hutan Tatuka.Setelah melihat Mardawa dia bernapas lega. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya yang bersiap menyerang lelaki tersebut.Dewi Rimbu menjawab, "Aah, rupanya kamu, Mardawa. Semboja sedang berlatih dengan tekun untuk menguasai ilmu kanuragan, dia cukup berbakat dalam hal i
Semboja dan Dewi Rimbu berlari keluar dari hutan. Mereka harus secepatnya kembali ke goa tempat mereka tinggal. Sudah cukup bagi mereka untuk beristirahat. Hari sudah mulai gelap.Jleng!Seorang lelaki datang menghadang. Tentu saja membuat gadis itu terkejut. Semboja langsung mengenali orang tersebut."Juragan Pranata." Semboja tahu sekali siapa yang datang itu. "Lelaki tua, mengapa menghalangi jalan kami?" teriak Dewi Rimbu. Muka gadis itu tampak berubah, rupanya dia tidak suka dengan kehadiran Pranata. "Tidak ada yang menghalangi jalanmu, Cantik, Hahaha hahaha hahaha." Pranata menjawab sambil tertawa terbahak-bahak. Dia pura-pura minggir ke tepi jalan setapak itu.Semboja waspada dengan ilmu yang baru saja dikuasainya. Sementara Dewi Rimbu tidak tahu siapa Juragan Pranata. Rupanya dia lupa pernah bertempur dulu dengan Panji. Panji adalah anak buah Pranata."Aku tidak mengenalmu dan tidak ada urusan denganmu, Juragan. Menepilah! Aku masih banyak urusan!" Dewi Rimbu berteriak dengan
Semboja dan Dewi Rimbu bersiap-siap untuk menyerang Pranata. Hampir seketika, keduanya menyerang. Dewi Rimbu bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Banyu Biru untuk membuka pertahanan Pranata.Sementara itu, Semboja menggunakan ilmu yang diajarkan Dewi Rimbu untuk menyerang Pranata dari belakang.Berdasarkan instruksi Dewi Rimbu, Semboja mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan bersiap untuk serangan mereka berdua. Pranata berdiri tegak menunggu, siap untuk menghadapi apa pun yang mereka lakukan.Pertarungan tersebut akhirnya mencapai puncaknya. Pedang Semboja beradu, meluncur cepat menebas udara menuju Pranata. Serangan ganda mereka mengejutkan Pranata, membuatnya bergeming sejenak. Namun, hanya sebentar. Dengan cepat dan tangkas, satu tangan Pranata memegang pedang Semboja, sementara tangan yang lain menangkis serangan dari Dewi Rimbu."Mereka berdua … sangat hebat," Pranata membatin sambil mengerutkan keningnya. Dia merasakan tekanan dari serangan mereka berdua. Jantungnya berdegup
Mardawa menatap Semboja yang tertunduk. Dia merasa nyaman berada di dekat gadis tersebut. Begitu juga Semboja, sejak pertemuannya dulu dirinya tertarik kepada pemuda itu Di tengah gemerlap mentari yang mengintip di ufuk timur, di bawah keteduhan rimba yang menyimpan nafsu dan cinta, keduanya merajut janji. Janji yang akan membawa angin perubahan bagi kehidupan mereka. "Bagaimana latihanmu, Semboja?" tanya Mardawa sambil tergagap. Dia bingung harus memulai dari mana. Bahkan kata-kata manis yang sudah disusun rapi raib bagai debu tertiup angin.Semboja mengeluh dalam hatinya. Bukan kata-kata mesra yang didengarnya tapi tentang ilmu kanuragan. Meskipun begitu dirinya sangat bahagia. Apa pun topik yang dibahas asal Mardawa di sisinya tetap mengasyikan."Seperti yang Kakang lihat tadi. Aku sudah berhasil menguasai jurus bermain pedang. Dewi Rimbu mengajarkan aku banyak hal." Semboja menjawab sambil tetap menunduk. Rasanya badan panas dingin, karena dalam hidupnya baru dengan Mardawa dia
Mardawa yang berdiri di samping Semboja merasa tersindir dengan kata-kata Kusuma. Mukanya merah, malu sudah mengajak Kusuma berduaan dengannya. Dewi Rimbu memang keterlaluan. Wanita itu pergi entah ke mana, meninggalkan mereka berdua. Ini malah menjadi boomerang buat mereka. "Jaga ucapanmu, Kusuma!" sergah Mardawa. Dia tidak terima jika dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh. Bagaimanapun, dirinya masih punya batasan."Aku tidak bicara padamu, Kakang. Aku bicara sama gadis kegatelan ini!" teriak Kusuma sambil menunjuk ke arah Semboja. Wajahnya tampak sangat emosi karena kecemburuan yang sangat besar. Dirinya sudah rela menjalani latihan yang keras, demi cintanya pada Mardawa. Gadis itu yakin, jika dirinya mempunyai ilmu kanuragan tentu Mardawa akan tertarik padanya."Dia bersamaku di sini. Aku pergi sebentar mencari daun-daunan untuk obat. Ada yang salah dengan Semboja?" Tiba-tiba ada suara wanita menengahi. Wanita itu datang bagaikan siluman, tahu-tahu ada di hadapan mereka.Kusu