Semboja dan Dewi Rimbu bersiap-siap untuk menyerang Pranata. Hampir seketika, keduanya menyerang. Dewi Rimbu bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Banyu Biru untuk membuka pertahanan Pranata.Sementara itu, Semboja menggunakan ilmu yang diajarkan Dewi Rimbu untuk menyerang Pranata dari belakang.Berdasarkan instruksi Dewi Rimbu, Semboja mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan bersiap untuk serangan mereka berdua. Pranata berdiri tegak menunggu, siap untuk menghadapi apa pun yang mereka lakukan.Pertarungan tersebut akhirnya mencapai puncaknya. Pedang Semboja beradu, meluncur cepat menebas udara menuju Pranata. Serangan ganda mereka mengejutkan Pranata, membuatnya bergeming sejenak. Namun, hanya sebentar. Dengan cepat dan tangkas, satu tangan Pranata memegang pedang Semboja, sementara tangan yang lain menangkis serangan dari Dewi Rimbu."Mereka berdua … sangat hebat," Pranata membatin sambil mengerutkan keningnya. Dia merasakan tekanan dari serangan mereka berdua. Jantungnya berdegup
Mardawa menatap Semboja yang tertunduk. Dia merasa nyaman berada di dekat gadis tersebut. Begitu juga Semboja, sejak pertemuannya dulu dirinya tertarik kepada pemuda itu Di tengah gemerlap mentari yang mengintip di ufuk timur, di bawah keteduhan rimba yang menyimpan nafsu dan cinta, keduanya merajut janji. Janji yang akan membawa angin perubahan bagi kehidupan mereka. "Bagaimana latihanmu, Semboja?" tanya Mardawa sambil tergagap. Dia bingung harus memulai dari mana. Bahkan kata-kata manis yang sudah disusun rapi raib bagai debu tertiup angin.Semboja mengeluh dalam hatinya. Bukan kata-kata mesra yang didengarnya tapi tentang ilmu kanuragan. Meskipun begitu dirinya sangat bahagia. Apa pun topik yang dibahas asal Mardawa di sisinya tetap mengasyikan."Seperti yang Kakang lihat tadi. Aku sudah berhasil menguasai jurus bermain pedang. Dewi Rimbu mengajarkan aku banyak hal." Semboja menjawab sambil tetap menunduk. Rasanya badan panas dingin, karena dalam hidupnya baru dengan Mardawa dia
Mardawa yang berdiri di samping Semboja merasa tersindir dengan kata-kata Kusuma. Mukanya merah, malu sudah mengajak Kusuma berduaan dengannya. Dewi Rimbu memang keterlaluan. Wanita itu pergi entah ke mana, meninggalkan mereka berdua. Ini malah menjadi boomerang buat mereka. "Jaga ucapanmu, Kusuma!" sergah Mardawa. Dia tidak terima jika dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh. Bagaimanapun, dirinya masih punya batasan."Aku tidak bicara padamu, Kakang. Aku bicara sama gadis kegatelan ini!" teriak Kusuma sambil menunjuk ke arah Semboja. Wajahnya tampak sangat emosi karena kecemburuan yang sangat besar. Dirinya sudah rela menjalani latihan yang keras, demi cintanya pada Mardawa. Gadis itu yakin, jika dirinya mempunyai ilmu kanuragan tentu Mardawa akan tertarik padanya."Dia bersamaku di sini. Aku pergi sebentar mencari daun-daunan untuk obat. Ada yang salah dengan Semboja?" Tiba-tiba ada suara wanita menengahi. Wanita itu datang bagaikan siluman, tahu-tahu ada di hadapan mereka.Kusu
Panji membawa kabar mengenai ancaman Mardawa. Pemuda itu mengatakan bahwa Dewi Rimbu telah bergabung dengan Mardawa untuk menyerang Perguruan Serigala Putih. Itu merupakan ancaman baru untuk mereka. Rupanya sekarang pendekar sudah berkongsi untuk melenyapkannya. Pranata marah mendengar kabar tersebut. Dia harus mengatur strategi jitu untuk mengalahkan Mardawa. Pemuda itu yang harus lebih dulu dimusnahkan. Jika Pranata sudah tidak ada di muka bumi ini, pendekar yang lainnya adalah urusan kecil bagi Pranata."Hmm, aku pikir kita bisa menggunakan kekuatan hitam untuk menyelesaikan masalah ini," kata Pranata bergumam. "Atau menggabungkan kekuatan air dan api." Beberapa jurus yang disebutkan terakhir, baru saja dikuasainya setelah dirinya bergabung dengan kekuatan hitam yang misterius."Panji, susun rencana yang bagus untuk menghadapi serangan mereka!" suruh Juragan Pranata. Panji adalah muridnya yang bisa dipercaya, beberapa kali berhasil dalam perampokan ke kampung-kampung."Baik, Jurag
Mardawa terkejut, hampir saja dia terjatuh dari dahan tempatnya tidur. Suara lolongan serigala itu mengagetkan dirinya yang tengah tidur-tidur ayam. Di benaknya langsung berbunyi tanda bahaya. Serigala itu begitu cepat jika sudah minta korban."Seperti suara serigala saat kedatangan Ratu Kali Wingit dan Ratu Duyung dulu." Mardawa membatin. Dia duduk tegak, meruncingkan telinga agar jelas arah mana yang harus didatangi.Mardawa buru-buru turun dengan cara bersalto. Kakinya menyentuh tanah dan berusaha meredakan degup jantungnya yang masih berdebar kencang. Dia ingat betul saat Ratu Kali Wingit dan Ratu Duyung datang waktu itu, kematian anak buah Pranata menjadi tumbalnya. Saatnya kini Mardawa harus mencari tahu apa yang terjadi. Adakah mereka berdua ada hubungannya dengan serigala tersebut?Menyusuri hutan, Mardawa mulai merasakan ada aura ganjil. Semilir angin menerpa wajahnya, mengingatkan pada fenomena alam yang pernah diceritakan Eyang Suwita dulu. Hutan yang biasanya hangat dan ce
Mardawa kaget dengan serangan Ratu Kali Wingit. Dia tidak menyangka jika wanita itu mengarahkan pukulannya ke arah rimbunan pohon. Mardawa tahu ada pengintip sejak tadi. Hanya saja dirinya sibuk menghadapi serigala tadi."Aku perintahkan lagi, keluar!" bentak Ratu Kali Wingit. Rupanya dia sudah habis kesabaran. Sekali lagi dia akan mengarahkan pukulannya ke tempat yang sama. Namun, sesosok laki-laki muda melompat keluar."Tahan!" Seorang pemuda datang dari tempat persembunyiannya. Wajahnya sedikit pucat karena kematian Anggara yang disesalinya. Dia tidak berhasil menyelamatkannya."Kau Panji? Apa hubunganmu dengan serigala tadi?" tanya Mardawa. Dirinya curiga dengan kehadiran Panji, mungkin benar kata orang. Bahwasanya serigala itu peliharaan Juragan Pranata."Justru aku yang ingin bertanya, mengapa serigala itu membantai anak buahku? Dan muncul bersama kalian!" Panji melirik ke arah Ratu Kali Wingit. Merasa dicurigai Ratu Kali Wingit marah, dia menuding ke arah Panji. Dia merasa tid
Kusuma mundur saat melihat makhluk yang mengaku sebagai Eyang Chou. Dia kaget melihat muka tersebut. Wajahnya menyeramkan, mata melotot seperti mau keluar. Pipi cekung dengan tulang pipi menonjol, bibir tebal dan hitam. Kepala besar dan licin tanpa rambut. Kusuma bergidik melihatnya. Entah dari mana datangnya makhluk tersebut. Entah itu manusia atau bukan."Eyang Chou, di manakah kau?" Kusuma meratap memanggil gurunya. Rasanya dia tak mampu lagi menggerakkan kakinya untuk berlari saat mata itu menatapnya tajam. Mendadak tubuh Kusuma panas dingin. Aura yang keluar dari mata tersebut sangat menakutkan. Kusuma menduga inilah terakhir kali dia melihat matahari. Mata gadis itu masih mencoba mencari sosok Eyang Chou.Di saat yang sudah terasa mencekam itu, tiba-tiba sebuah angin kencang berhembus mengelilingi Kusuma, seperti melindungi dirinya dari bahaya yang semakin mendekat. Kusuma sempat terkejut, namun sebelum dia sempat mengeluarkan suara, sosok yang sudah lama dicari muncul di depan
Makhluk itu berdiri di bawah pohon rindang, gelisah dan melolong panjang. Mungkin ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Kusuma. Matahari yang menghilang di ufuk barat, membiarkan kegelapan bercampur dengan kesedihan menyelimuti hutan. Eyang Chou memandang gadis di pangkuannya."Pergilah, Saga!" Eyang Chou mengibaskan tangannya. Mengusir binatang itu yang enggan menjauh. Matanya memandang Kusuma dengan sendu. Rasa bersalah memenuhi hatinya.. Seandainya bisa rasanya biar dirinya saja yang celaka."Dia terluka dalam." Eyang Chou bergumam. Segera kakek tua itu membawa Kusuma ke pondoknya, merawat Kusuma dengan penuh kasih sayang. Dirinya yang hidup tanpa anak menjadikan Kusuma sebagai anaknya. Apalagi bapak Kusuma sudah menjadi saudara angkatnya.Dalam kegelapan yang menyelimuti pondok, api unggun di dalam perlahan membesar seiring usapan lembut di ubun-ubun gadis itu. Eyang Chou begitu sayang padanya."Hatimu belum bersih, Kusuma. Jika tidak cepat-cepat sadar dengan hal itu, anak