Mardawa kaget dengan serangan Ratu Kali Wingit. Dia tidak menyangka jika wanita itu mengarahkan pukulannya ke arah rimbunan pohon. Mardawa tahu ada pengintip sejak tadi. Hanya saja dirinya sibuk menghadapi serigala tadi."Aku perintahkan lagi, keluar!" bentak Ratu Kali Wingit. Rupanya dia sudah habis kesabaran. Sekali lagi dia akan mengarahkan pukulannya ke tempat yang sama. Namun, sesosok laki-laki muda melompat keluar."Tahan!" Seorang pemuda datang dari tempat persembunyiannya. Wajahnya sedikit pucat karena kematian Anggara yang disesalinya. Dia tidak berhasil menyelamatkannya."Kau Panji? Apa hubunganmu dengan serigala tadi?" tanya Mardawa. Dirinya curiga dengan kehadiran Panji, mungkin benar kata orang. Bahwasanya serigala itu peliharaan Juragan Pranata."Justru aku yang ingin bertanya, mengapa serigala itu membantai anak buahku? Dan muncul bersama kalian!" Panji melirik ke arah Ratu Kali Wingit. Merasa dicurigai Ratu Kali Wingit marah, dia menuding ke arah Panji. Dia merasa tid
Kusuma mundur saat melihat makhluk yang mengaku sebagai Eyang Chou. Dia kaget melihat muka tersebut. Wajahnya menyeramkan, mata melotot seperti mau keluar. Pipi cekung dengan tulang pipi menonjol, bibir tebal dan hitam. Kepala besar dan licin tanpa rambut. Kusuma bergidik melihatnya. Entah dari mana datangnya makhluk tersebut. Entah itu manusia atau bukan."Eyang Chou, di manakah kau?" Kusuma meratap memanggil gurunya. Rasanya dia tak mampu lagi menggerakkan kakinya untuk berlari saat mata itu menatapnya tajam. Mendadak tubuh Kusuma panas dingin. Aura yang keluar dari mata tersebut sangat menakutkan. Kusuma menduga inilah terakhir kali dia melihat matahari. Mata gadis itu masih mencoba mencari sosok Eyang Chou.Di saat yang sudah terasa mencekam itu, tiba-tiba sebuah angin kencang berhembus mengelilingi Kusuma, seperti melindungi dirinya dari bahaya yang semakin mendekat. Kusuma sempat terkejut, namun sebelum dia sempat mengeluarkan suara, sosok yang sudah lama dicari muncul di depan
Makhluk itu berdiri di bawah pohon rindang, gelisah dan melolong panjang. Mungkin ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Kusuma. Matahari yang menghilang di ufuk barat, membiarkan kegelapan bercampur dengan kesedihan menyelimuti hutan. Eyang Chou memandang gadis di pangkuannya."Pergilah, Saga!" Eyang Chou mengibaskan tangannya. Mengusir binatang itu yang enggan menjauh. Matanya memandang Kusuma dengan sendu. Rasa bersalah memenuhi hatinya.. Seandainya bisa rasanya biar dirinya saja yang celaka."Dia terluka dalam." Eyang Chou bergumam. Segera kakek tua itu membawa Kusuma ke pondoknya, merawat Kusuma dengan penuh kasih sayang. Dirinya yang hidup tanpa anak menjadikan Kusuma sebagai anaknya. Apalagi bapak Kusuma sudah menjadi saudara angkatnya.Dalam kegelapan yang menyelimuti pondok, api unggun di dalam perlahan membesar seiring usapan lembut di ubun-ubun gadis itu. Eyang Chou begitu sayang padanya."Hatimu belum bersih, Kusuma. Jika tidak cepat-cepat sadar dengan hal itu, anak
Mardawa dan Ratu Kali Wingit sepakat untuk menyambangi Dewi Rimbu. Pemuda itu ingin bertemu dengan Semboja. Ratu Kali Wingit juga ada maksud untuk mengajak kembali Dewi Rimbu ke Istana Kali Wingit. Ada sesuatu yang harus segera diketahui Dewi Rimbu.Gemuruh suara air terjun menyambut mereka. Mardawa melihat ke atas sambil menyipitkan matanya. Pancaran sinar matahari menyilaukan pandangannya. Tidak terlihat bayangan Dewi Rimbu atau Semboja di atas sana.Mardawa mencari sesuatu di balik sebuah batu. Setelah ketemu dia menekannya sekuat tenaga. Terdengar bunyi kerincingan lonceng di atas sana. Mardawa tertawa lebar mendengarnya. "Hahaha hahaha hahaha.""Bunyi apa itu?" tanya Ratu Kali Wingit. Baru kali ini dia tahu benda semacam itu. Di kerajaannya tidak ada bunyi-bunyian seperti itu."Itu lonceng, pertanda ada yang ingin bertamu." Mardawa menjawab sambil tertawa. Dia melambaikan tangannya saat Dewi Rimbu berdiri di atas air terjun. "Hai, Mardawa!" Dewi Rimbu berteriak senang. "Semboja
Mardawa menggelengkan kepalanya. Dia berharap tidak ada kejadian yang tidak diinginkan. Mereka melanjutkan perjalanan menuju istana, mengabaikan firasat buruk yang beberapa saat lalu sempat mereka rasakan. Sesampainya di istana, para penjaga segera membuka gerbang dan menyambut kedatangan para pendekar yang akan membantu kerajaan. Para prajurit itu membungkuk hormat."Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja. Selamat datang di Istana Kali Wingit," kata Ratu Kali Wingit sambil turun dari kereta. Penampilan yang anggun dan berwibawa membuatnya begitu dihormati rakyatnya.Semboja yang baru sekali ini datang tentu saja sangat mengagumi keindahan istana tersebut. Sementara Dewi Rimbu matanya melihat kiri-kanan, jangan sampai Ciwang Adiwara mendekat padanya. Akan dia bekukan lagi tubuh laki-laki bejat itu."Dia masih menjalani pemulihan selama puluhan tahun lagi. Dia sangat menyesali perbuatannya." Dewi Kali Wingit berkata seolah-olah tahu apa yang dicari Dewi Rimbu. Dewi Rimbu hanya diam, kemarah
Buntal Hitam yang merasa terdesak mulai mengeluarkan jurus yang lain. Dia mengambil napas dalam-dalam. Perutnya semakin membesar dan membesar. Semua orang memperhatikan dengan sikap waspada. Perut itu seperti diisi oleh ribuan liter air. Semakin membesar dan tampak bergerak-gerak.Brak!Terdengar semacam letusan diiringi keluarnya benda-benda hitam dari perut Buntal Hitam.Lelaki itu berteriak sambil menjentikkan jarinya, "Jurus Seribu Angsa Hitam!" Langit yang pekat dengan asap tiba-tiba dipenuhi oleh seribu angsa hitam yang keluar dari tubuh Buntal Hitam. Mereka dengan cepat mengeroyok Dewi Rimbu yang sudah bersiaga dengan Sumbu Pencair Balok Es."Astaga, banyak sekali angsa hitam! Apa yang harus aku lakukan? Aku harus segera melawan mereka agar tidak memakan banyak korban," gumam Dewi Rimbu dengan wajah datar. Tidak tampak sorot ketakutan dalam matanya. Sumbu Pencair Balok Es siap dikebutkan ke arah angsa-angsa itu.Mardawa melihat keadaan semakin sulit, lelaki itu berteriak, "Pa
Semboja diam sambil memandangi mereka yang bersuka cita. Bibirnya tersenyum tapi hatinya menggeliat sakit. Teringat tiba-tiba Mardawa memeluk Dewi Rimbu tadi, artinya apa kalau dia tidak menyukainya. Banyak sekali pertanyaan di benaknya yang tidak mampu dijawab."Bukankah Kakang Mardawa belum pernah bilang apa pun tentang perasaannya padaku? Mengapa aku harus geer sendiri?" Semboja tertawa kecil, mentertawakan kekonyolannya sendiri. Sementara Dewi Rimbu mengerti kegelisahan Semboja. Hatinya memang mulai suka dengan Mardawa. Pendekar slengean tapi tampan dan tinggi ilmunya. Sebagai pendekar wanita tangguh tentu dirinya tidak ingin bersaing dengan muridnya sendiri. Dewi Rimbu tahu jika Mardawa tidak pernah bilang cinta kepada Semboja."Ini harus dirayakan! Ayo kita kembali ke istana!" ajak Ratu Kali Wingit. Senyum cerah tak lepas dari bibirnya. Tidak demikian halnya dengan Dewi Rimbu. Begitu mendengar Ratu Kali Wingit mengajak mereka ke istana, seketika senyum di wajahnya lenyap. Waja
Malam pertama mereka di desa tersebut, tercipta suasana damai dan tenang. Mereka diberi tempat tinggal yang sederhana, dengan tikar pandan sebagai alas tidur dan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh. "Sepi sekali desa ini. Padahal di luar sedang terang bulan, mengapa anak-anak tidak ada yang bermain-main di halaman?" tanya Mardawa kepada Dewi Rimbu dan Semboja. Mereka duduk di luar karena ingin melihat bulan. Padahal tadi sudah diwanti-wanti penduduk agar mereka segera masuk."Iya, padahal ini indah." Dewi Rimbu menimpali. Teringat masa kanak-kanaknya.Semboja diam saja, dirinya tidak turut bicara. Dia merasa canggung duduk di antara mereka. Namun, dirinya harus pandai-pandai menjaga perasaan. Dia tidak boleh cemburu melihat kedekatan mereka."Siapa tahu memang sangat berbahaya. Mereka lebih tahu keadaan kampung ini." Akhirnya Semboja turut berbicara. Lama-lama anginnya terasa lain. Ada hawa dingin setelah sebelumnya hawa dirasakan cukup hangat."Ya, mereka bilang setiap malam bulan
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti