Mardawa datang menyelamatkan Semboja. Panji yang sedang menertawakan sikap Kusuma terdiam seketika. Semboja terlepas dari pegangan anak buah Panji."Keparat! Siapa dia?" tanya Panji. "Susul, bodoh!" suruh Panji pada anak buahnya. Dia berteriak marah karena anak buahnya melongo, terpana melihat kecepatan Mardawa merebut gadis itu.Kusuma menjerit ketakutan menyadari Mardawa sudah pergi lagi demi menyelamatkan Semboja. Anak buah Panji menyusul, melesat mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dikuasainya. Kusuma hanya melongo melihatnya. Jeritannya malah mengundang orang kampung datang."Ada apa, Neng?" Seorang pemuda datang mendekat. Sudah lama dia menyukai Kusuma, tapi gadis itu tidak menghiraukannya, Fajar namanya."Percuma! Orangnya sudah pergi, bawain tuh cucianku!" jawab Kusuma ketus. Kesal sekali dia, merasa tak dihargai oleh Mardawa. Ternyata Semboja lebih berarti ketimbang dirinya. "Huh, cantik juga enggak. Pasti dia pakai pelet," gerutunya. Fajar merasa senang karena disuruh mem
Anak buah Panji dengan gesit menculik Semboja yang tidak terjaga oleh Mardawa. Gadis itu tidak punya kemampuan ilmu kanuragan sama sekali. Maka dengan mudah anak buah Panji membekuk dan membawanya lari."Bagaimana dengan Panji?" tanya yang satunya kepada temannya. "Tadi aku sempat melihat, dia melirik kita, jadi dia tahu apa yang kita lakukan," sahut temannya. "Ayo cepat kita harus mempersembahkan gadis ini kepada Juragan Pranata.""Ayo!"Mereka berlari menembus hutan, kadang-kadang memotong jalan biar cepat sampai. Wajah mereka semringah, karena sudah pasti juragannya itu memberi mereka banyak hadiah. "Hiaaat! Lepaskan wanita itu, kalau masih sayang nyawamu!" Badal dan Bedul menghentikan larinya. Di depan mereka sudah berdiri wanita yang mereka kenal. Tempo hari wanita ini juga berhasil menggagalkan penculikan mereka terhadap Semboja."Aneh, selalu saja gagal jika menculik gadis ini." Badal bergumam sambil menurunkan Semboja. Semboja cepat-cepat berlari ke belakang wanita tadi. D
"Hap hap hap!" Seorang gadis tampak mempelajari ilmu kanuragan tingkat dasar. Seorang wanita cantik memperhatikannya. Sesekali dia membetulkan posisi gadis tersebut agar kuda-kudanya selalu kokoh."Kakak, bolehkah aku beristirahat?" tanya gadis itu."Panggil aku Dewi Rimbu, Semboja. Kita seumuran, tidak pantas aku kamu panggil kakak." Dewi Rimbu berkata sambil berjalan ke arah batu besar."Iya, Kak … eh Dewi." Semboja lantas tertawa kecil. Gadis cantik itu duduk menjelepok di batu yang lebih kecil.Tempat terang yang tempo hari sekarang tak membuat dirinya penasaran lagi. Tempat itu adalah sebuah tempat datar dengan atap goa yang terbuka. Tempat itu sejuk karena angin berhembus dari atap goa."Kamu betah di sini?" tanya Dewi Rimbu. Gadis cantik itu kini tidak memakai cadar. Semboja sangat mengagumi kecantikan tersebut. Auranya bersinar membuat orang betah memandangnya."Aku harus betah. Bagaimana aku melawan Juragan Pranata jika tidak punya ilmu kanuragan, Dewi." Semboja menjawab sam
Tabib Istana terdiam setelah memeriksa urat nadi Ciwang Adiwara. Tampak sejenak ragu-ragu, lalu memeriksa sekali lagi.Ratu Kali Wingit menyaksikan dengan seksama. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mulutnya terkatup, wajahnya pucat pasi. Dia masih tidak mengerti dengan kejadian ini.Sementara itu emban satunya yang disuruh memanggil Ratu Duyung, dia masih tetap berdiri di depan pintu kamar gadis tersebut. Merasa sudah terlalu lama menunggu, dia memberanikan mengetuk pintu lagi.Tidak ada jawaban, emban itu mencoba mendorong pintu dengan sangat pelan. "Pintu ini tidak dikunci," gumamnya perlahan. Dia melongokkan kepala ke dalam. Matanya seketika terbelalak, tubuhnya mengejang karena kaget. "Apa yang terjadi?" tanya Ratu Kali Wingit akhirnya. Dirinya tidak sabar untuk segera mengetahui keadaan yang sebenarnya. "Jiwanya tidak kembali." Tabib itu menjawab setelah lama terdiam dan berkali-kali memeriksa nadi Ciwang Adiwara."Apa yang terjadi? Mengapa tidak bisa kembali, dia t
Mardawa menegakkan tubuhnya biar bisa berpikir lebih keras lagi. Pembunuhan yang terjadi di kampung Jatiwarna ini begitu beruntun. Semua hanya menyisakan misteri yang menguap begitu saja. Tidak ada yang berani mengungkap, apalagi harus berurusan dengan Juragan Pranata."Pembunuh Intan apakah sama dengan pembunuh anak buah Pranata." Mardawa menghubungkan kejadian demi kejadian yang menurutnya ganjil. Penduduk berprasangka jika Juragan Pranata ada di balik semua itu. Namun, menurut Mardawa, tidak mungkin jika anak buahnya juga turut dibantai. Mentah lagi pendapatnya. Set set set!Seseorang berkelebat di depan Mardawa. Mardawa seperti mengenal pendekar tersebut. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, berniat mengejar wanita tersebut."Eh … siapa itu? Apakah dia Dewi …."Set set set!Rupanya orang tadi di kejar juga oleh seseorang. Mardawa juga seperti mengenali orang tersebut. "Dewi Rimbu dikejar Ratu Kali Wingit? Ada urusan apa mereka?" Mardawa mengejar mereka berdua. Dia pernah bertemu deng
Mereka berdua kaget dengan kedatangan Mardawa. Dewi Rimbu diam, parasnya berubah di balik cadarnya. Sementara Ratu Kali Wingit melihat Mardawa sambil mengingat-ingat pemuda itu. "Bangunlah, Ratu Kali Wingit! Tidak pantas dilihatnya, lagian ke sesama manusia tidak boleh bersujud." Mardawa berkata yang kemudian disesalinya sendiri. Dia tidak yakin jika mereka berdua adalah manusia biasa. "Eeh … maksudku sesama makhluk."Ratu Kali Wingit bangun, dia menatap Dewi Rimbu dengan penuh harap. Masih jelas di balik keagungan sikapnya sebagai seorang Ratu, matanya menyiratkan kelukaan."Ada baiknya kamu mendengar permintaannya, Dewi Rimbu." Mardawa berkata lagi sambil menatap wanita yang berdiri di dahan pohon."Kamu tidak tahu … kamu tidak tahu," desis Dewi Rimbu. Dia menggeleng kuat kepalanya. Bersama dengan itu air matanya mengalir. Bahunya berguncang tanda dia menahan tangisan."Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan suamiku–Ciwang Adiwara. Aku tertidur seperti kena sirep. Aku minta m
Lorong istana itu kini sepi, emban memastikan tidak ada orang di sana. Walaupun dia tidak mengerti, dia tahu akan ada sesuatu yang bersipat rahasia akan terjadi."Dorong!" Tabib Istana memberi perintah kepada Mardawa. Pemuda itu menurut, dia mendorong kotak es itu. Air di dalam berguncang, ular itu kepalanya. Sementara badannya terendam air es. Ratu Kali Wingit ikut berjalan di belakang. Wajahnya tanpa senyum, terlihat keresahan di matanya. Dalam pikirannya apakah Ciwang Adiwara bisa kembali ke raganya yang dulu."Di sini saja, Anak Muda. Kita pecahkan kotak es ini bersama-sama." Tabib Istana memberi perintah. Mardawa berhenti mendorong. Walau terlihat sangat berat, kotak es itu tidak terlalu sulit kala mereka dorong. Meluncur seperti ada roda di bawahnya."Bagaimana cara memecahkannya, Tabib?" tanya Mardawa. Dia tidak berani berbuat apa-apa tanpa perintah. "Tarik sumbu yang kau pegang!" suruh Tabib Istana. Dia menunjuk ke arah tangan Mardawa yang masih memegang sumbu.Krak krak kra
Mardawa berlari sesaat setelah keluar dari Istana Ratu Kali Wingit. Dia harus mencari Dewi Rimbu yang membawa Semboja. Dirinya harus menanyakan perkembangan Semboja dalam mempelajari ilmu kanuragan.Setelah berlari beberapa menit, Mardawa akhirnya menemukan Dewi Rimbu yang sedang beristirahat di bawah pohon besar di tepi sungai. "Dewi Rimbu, mana Semboja?" tanya Mardawa curiga. Dia tidak melihat gadis itu bersama dengan Dewi Rimbu. Mardawa khawatir dengan keadaan Semboja.Lelaki itu mendekati Dewi Rimbu dengan cepat dan langsung menanyakan bagaimana keberadaan Semboja.Dewi Rimbu kaget dan memasang kuda-kuda. Tadi dirinya tengah bersantai sejenak melepas lelah setelah bertarung dengan Dewi Arum, penguasa Hutan Tatuka.Setelah melihat Mardawa dia bernapas lega. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya yang bersiap menyerang lelaki tersebut.Dewi Rimbu menjawab, "Aah, rupanya kamu, Mardawa. Semboja sedang berlatih dengan tekun untuk menguasai ilmu kanuragan, dia cukup berbakat dalam hal i