Teman-temanku ngakak so hard, sampai guling-guling di tengah lapangan ketika aku selesai menceritakan kejadian tadi. Eh, canda. Nggak sampai guling-guling ke tengah lapangan kok. Cuma terpingkal-pingkal aja. Itu, sih, emang akunya aja yang lebay.
Maklum, aku memang punya motto hidup, kalau 'nggak lebay itu, gak indah' dari dulu. Karena hidupku terlalu monoton kalau nggak lebay. Makanya butuh diwarnai sama pensil warna si Bella yang sering nyelip di pouch make up aku, sampai kadang aku salah pakai pensil alis sama pensil warna anak sialan itu.
Ah, pokoknya kacau dah!
Namun, kembali ke topik. Teman-temanku memang ngakak so hard seusai kuceritakan kejadian tadi di mobil Pak Dika yang bikin aku rasanya ingin mati saja.
“Iler kamu mengotori kaca jendela saya.”
Allahu ...
Rasanya aku pengen nyungsep saja mengingatnya. Bisa-bisanya dari semua hal yang ada di sana, Pak Dika itu malah merhatiin iler aku.
Ya, salam! Seindah itukah ilerku?
Padahal selain iler, tadi ada belek juga loh yang ikut nongol. Gede lagi. Serius deh! Aku aja sampai ditarik si Nur ke toilet demi menunjukan karya alami tidurku. Hanya saja ... kenapa Pak Dika hanya fokus pada iler saja? Heran aku!
Akan tetapi, peduli setan sama iler dan belek tadi. Gara-gara kejadian tadi, rasa-rasanya aku mau minggat aja dari rumah, supaya nggak perlu ketemu Pak Dika lagi. Soalnya ...
Gila, sih! Masa hanya dalam kurun waktu singkat. Aku sudah mempermalukan diriku berkali-kali di depan cowok itu.
Kan, kesel ya? Aku ngerasa udah nggak punya harga diri di depan tuh cowok sekarang. Sepertinya image diriku udah anjlok banget ke dasar yang paling rendah di hadapannya.
Lebay, lagi! Ah, biarin. Namanya juga lagi kesel. Jadi, maklumin aja, ya?
“Diem ngapa, sih, lo semua! Bikin mood gue semakin anjlok aja!” hardikku kesal. Aku menatap garang kedua temanku yang sudah jadi BFF banget.
Gimana nggak BFF, segala macam kegiatan kami selalu bersama. Sampai ke toilet aja wajib saling tarik biar bisa gosip. Habis itu welfie deh, depan kaca. Hehehe ...
“Ya, abis gimana? Lo parah banget, sih, Ntan! Bisa-bisanya lo molor sampe ngiler di depan cowo ganteng. Kalo gue, sih, udah tengsin abis,” balas Nurhayati. Benar-benar tidak menolong sama sekali.
“Lo kira gue kagak! Gue juga tengsin, Bego!” Aku menoyor kepalanya dengan kesal.
“Bagus deh. Berarti lo masih punya kemaluan kalo gitu!”
Semprul! Dikira aku apa, sampe nggak punya itu? Aku juga masih manusia normal kali!
“Ngomong lo ambigu banget, Nyet! Orang yang denger bisa salah paham,” tegurku tak terima.
“Peduli amat! Nggak minta makan sama mereka ini,” timpal si Nur lagi dengan acuh. Dia itu memang paling santuy di antara temanku yang lain.
“Ya, kalo gitu, harusnya lo jangan tidur tadi. Udah tau lo kalo tidur gak ada manis-manisnya. Masih aja cari mati molor di depan cogan. Beuh ...! Gue yakin banget tuh cowok pasti udah nggak mau kenal lo lagi setelah ini. Secara, lo kalo tidur bukan cuma ngorok kan, Tan? Mangap juga iya.”
Ini lagi satu, malah memperjelas aibku. Bikin aku semakin kesal aja.
“Kan tadi gue udah bilang Nurbaeti ...! Gue nggak sengaja ketiduran. Soalnya dia nggak ngajak ngobrol sepanjang perjalanan. Mana nyetel musik juga kaga. Itu mendukung banget buat merem ya kan? Lagian, niat awal gue cuma merem bentar kok. Siapa sangka malah jadi nyaman? Terus ... jadinya kebablasan. Bukan salah gue dong!” pungkasku sebal dengan menggebu-gebu.
Dasar duo Nur. Otaknya nggak ada yang jalan sama sekali. Nggak bisa dijelasin satu kali. Musti aja berulang kali, bikin lelah hayati.
Jangan heran kalau aku menyebut mereka duo Nur. Soalnya nama mereka itu kaya anak kembar. Nurhayati sama Nurbaeti. Cuma nama doang yang rada mirip tapinya ya? Sisanya nggak ada. Eh, sama satu lagi, sih. Sifat gesreknya itu.
Nah, kalau itu kita satu server, kok.
Kalau kalian ngeh, nama kami itu cocok loh! Mereka Nur, aku intan. Kalau disatuin jadi ... Intan yang bercahaya. Ganda lagi cahayanya. Soalnya Nur-nya ada dua. Silau-silau gitu deh kalian kalau lihat kami bertiga ya kan? Hahaha ….
“Lo aja yang Bego. Kalo dia nggak ngajak ngobrol. Lo ‘kan bisa ngajak duluan. Eman si sapi, Mbak bro! Wanita nggak harus selalu menunggu!” balas Si Nurhayati.
“Lidah lo lurusin dulu. Ngomong belum bener aja coba nasehati orang. Emansipasi, Paijo. Bukan eman si sapi,” timpalku galak, meralat ucapan Nurbaeti yang sering sekali keseleo lidahnya.
“Yang penting ada sapinya,” tukasnya tak mau kalah. Membuat aku gemas dan menarik kuncirannya di hijabnya.
Dia pun langsung memekik marah, sebelum membalas menjambak rambutku. Tentu saja, si Nurhayati juga nggak mau ketinggalan. Dia pun ikut nimbrung, menjambak rambut kami berdua. Jadinya ... terjadilah perang jambak antara kami.
Tenang saja. Kami sudah biasa kok kaya gini. Makanya, mau sampai botak pun kami saling jambak, nggak bakalan akan ada yang misahin. Buktinya, teman-teman yang lain hanya geleng-geleng saja melihat tingkah kami. Biasanya, aksi jambak itu nggak akan berhenti kalau belum ada salah satu yang berteriak menyerah antara kami.
Namun, sayangnya. Aksi kami kali itu pun terpaksa dihentikan. Saat seorang wanita tiba-tiba saja menghampiriku dan menuangkan air kobokan ke wajahku.
“Bangke! Masalah lo apa sama gue!” hardikku tak terima sambil menatapnya garang.
“Masalahnya lo udah bikin gue putus sama Guntur. Dasar Pecun!”
Byur!
Sekali lagi, cewek itu pun menyiramkan air padaku, yang kali ini baunya busuk sekali.
Air apa ini, woy!
Menurut kalian, apa yang harus kulakukan setelah disiram tak manusia seperti itu? Apalagi dengan Air yang aromanya busuk sekali.Mengamuk.Tentu saja! Memangnya aku harus diam saja diperlakukan seperti itu? Oh ... maaf. Aku nggak sebaik itu dan tidak salah. Jadi, tidak ada alasan untukku mengalah. Betul?Aku mengamuk, aku berteriak marah dan menerjang si cewek gila itu.Tadinya aku menjambak rambut cewek itu, tapi dia membalasku sambil meraup wajahku. Ya, sudah. Aku juga ikutin aksinya, meraup wajahnya yang penuh dempulan.Tak hanya itu, aku juga sengaja membasahi tanganku dengan tetesan air di baj
'Sayang'Hanya karena satu kata itu, aku langsung linglung seketika. Blank dan haluku membumbung tinggi.Serius!Saking linglungnya, setelah itu aku sampai tidak tau bagaimana perdebatan Pak Dika dengan Guntur. Aku hanya ingat mereka memang sempat berdebat sebentar, sebelum Pak Dika menggiringku pergi dari sana.Anehnya, Pak Dika tidak membawaku ke parkiran atau tempat mobilnya terparkir, melainkan ke sebuah warung rokok yang ada di dekat kampusku. Warung ya
“Papa nggak ada!”“Masa, sih, Bel? Itu mobilnya masih ada kok?”“Bella bilang nggak ada, ya gak ada! Udah tante pergi sana!”“Ih, Bella. Kok nggak sopan, sih? Gini-gini Tante calon Mama kamu, loh. Belajar hormat sama Tante, Sayang!”“Ogah! Bella nggak mau punya Mama kaya Tante.”“Eh, Bella. Kok ngomongnya gitu? Tante bisa loh jadi Mama yang baik buat kamu. Plus ngasih kamu adik-adik yang lucu, terus— arghhh ... Bella! Kok Tante disiram, sih? Jadinya basah baju Tante nih?”
“Kiri-kiri, Sist. Di sini aja.” Aku menepuk pundak Nur, yang hari ini tumben baik hati mau nganterin aku pulang.Nurhayati tepatnya, karna Nurbaiti sedang tidak masuk hari ini. Si Nur pun mencebik kesal dan menoyorku yang tadi iseng memperlakukannya seperti kang ojeg.“Kunyuk! Ngelunjak emang lo ya? Udah gue anterin bukannya makasih, malah bikin gue kaya kang ojek aja,” omelnya membuat aku terbahak saja.“Abis lo mirip banget sama kang ojek jaman now. Sweater ijo sama helm ijo. Jadi salfok ‘kan gue. Lo kayaknya benar-benar menghayati banget peran lo jadi kang ojek ya, Nur?” sindirku di sela kekehanku.“Bangke emang lo! Temen nggak ada akhlak. Nama gue emang Nurhayati, kali! Dan gue—”“POKOKNYA BELLA NGGAK MAU!”Ucapan si Nur pun langsung terhenti, tatkala lengkingan suara Bella menginterupsi dari arah rumahnya. Aku dan si Nur sontak menoleh ke arah sumber suara. Kami langsung melihat Bella tiba-tiba keluar dari sana, sambil berlari sembarang arah. Entah mau ke mana itu bocah, yang jela
“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa men
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?
“Tan?”“Iya, Pah?”“Sini bentar, Nak,”Aku pun langsung mengurungkan niatku yang tadinya hendak ke dapur untuk ambil minum. Kini aku berbelok ke arah ruang tv, di mana Papa dan Mama berada.“Duduk sini, Nak,” titah Papah saat sudah dekat dengan tempat itu.Aku pun mengambil duduk di sofa samping Mama, karena Papa sendiri duduk di sofa single. Mama duduk di sebelahnya, di
Ratu Isabella sakit!Wew! Haruskah aku bikin pengajian buat ngerayainnya? Soalnya aku senang banget dengar kabar ini.Asli!Please, jangan bilang aku kejam atau nggak punya hati. Kalian nggak tau aja bagaimana rasanya hidup berdampingan sama makhluk ngeselin kayak bocah itu.Hidupku rasanya runyam!Makanya boleh ya aku adain pengajian syukuran. Biar boc
Mahardika POV“Mas, sarapannya udah siap!”“Iya, sebentar.”Sekali lagi, aku pun merapikan tampilanku dan memastikan kalau semuanya sudah terpasang sempurna. Setelah itu, aku langsung bergegas turun memenuhi panggilan istriku tadi.Istriku? Ya! Barusan yang tadi memanggilku memang adalah istriku. Namanya Intan Mulia Mardani. Mahasiswi cantik yang dulu tinggal di samping rumahku.“Bella nggak mau Mama!”“Nggak pakai ya, Bell! Pokoknya kamu harus belajar!”“Tapi Bella nggak suka.”“Ya, belajar sukalah!&rdquo
Bella POV“Bell, dimakan dong, Sayang. Jangan cuma diacak-acak terus. Nanti nasinya nangis loh.”Bodo amat! Nangis juga bukan urusan Bella. Bagus malah. Biar Bella ada temannya.“Bella, Sayang. Kamu kenapa, sih? Masih marah karena kita pindah ke sini atau ada yang menggangu kamu di sekolah barumu?”Semuanya benar! Bella memang masih kesal, karena tiba-tiba harus pindah ke sini, ke lingkungan yang banyak orangnya. Juga, harus sekolah di sekolah baru, yang nggak keren sama sekali.Hanya saja lebih dari itu, Bella kesal karena Papa selalu saja sibuk, bahkan di weekend seperti ini pun
Aku membuka mataku dengan tidak ikhlas pagi ini. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan sakit saat digerakkan. Rasanya, aku seperti baru saja menjadi korban tawuran antar kampung. Benar-benar remuk redam.Namun, yang paling terasa ngilu di antara semuanya adalah area pangkal paha. Rasanya seperti ada setrum setiap kali aku bergerak.Ah, tempat itu. Aku ingat. Semalam dia juga sempat mengeluarkan darah, saat Pak Dika pertama kali menerobosnya.Ya! Akhirnya, setelah sekian purnama dan ribuan halangan yang membentang, Pak Dika pun akhirnya berhasil buka puasa semalam, bahkan sampai nambah berkali-kali.Lebay ya aku? Emang! Hanya saja aku serius ini. Memang setelah menikah, kami tak bisa langsung menikmati malam pertama.Ada aja halan
Sebenarnya, mataku masih sangat perih untuk dibuka. Namun, kecupan bertubi di pipi dan leherku sangat mengganggu sekali. Membuatku mau tak mau terbangun, dan mulai mengerjapkan mata demi mengumpulkan kesadaranku.Ck, sialan! Siapa, sih, yang gangguin aku tidur? Nggak tahu apa, kalau badan aku capek banget, abis jadi ratu seharian tadi.Aku butuh tidur!CupCupCupCiuman itu semakin membuatku merinding, karena kini sudah sampai pada belahan dadaku.Nggak hanya itu saja, aku bahkan merasakan sebuah rasa dingin mulai merayap naik dari bawah kaos tidurku. Terus naik, naik dan naik hingga ....
Bella nih emang rese banget, sumpah!Padahal dia sendiri yang minta adik cepat, tapi dia juga yang berkali-kali menggagalkan proses pembuatannya.Menyebalkan banget ya ‘kan?Lebih dari itu, aku kasihan sama Pak Dika juga. Soalnya, dua kali lho pria itu harus berhenti saat nanggung. Nggak bisa aku bayangkan gimana sakitnya tuh, hihihi .…Rasanya, pasti seperti siap-siap mau bersin. Eh, malah digagalin teman. Jengkelnya sampai ke ubun-ubun.Akan tetapi mau gimana lagi? Kami nggak bisa mengabaikan Bella dan malah asyik sendiri dengan urusan kami ‘kan?Sekarang ini dia anak kami dan tentu nggak boleh mengabaikannya. Untung, Pak Dika lumayan paham akan hal itu dan si
“Njir! Akhirnya bisa rebahan juga!” seruku girang. Sambil melemparkan diri ke atas tempat tidur sembarangan.“Tan? Language, please!” tegur Pak Dika, yang baru saja menutup pintu di kamar kami.Ah, iya. Aku lupa kalau sekarang lagi sama dia. Akhirnya aku pun melirik ke arahnya, dan langsung nyengir konyol sambil bangkit untuk duduk kembali.“Maaf, Mas. Refleks,” cicitku kemudian.Kukira, dia awalnya akan mengomel dan menceramahiku seperti biasanya. Namun, yang terjadi dia hanya m
Acara pun beralih pada resepsi, di kebun belakang. Seperti yang aku bilang. Enaknya nikah sama tetangga itu tuh kaya gini. Kita nggak harus sewa gedung mahal-mahal.Soalnya, dua rumah jadi satu aja. Udah lebih dari cukup untuk menampung banyaknya para tamu yang hadir.Sebenarnya, acara resepsi ini konsepnya sederhana dan santai, mengikuti kemauanku yang ingin pesta ala remaja modern dan nggak mau ribet. Makanya, tema kali ini kami pakai garden party yang santai banget.Aku aja cuma pakai gaun pengantin simple selutut, dengan akses yang nggak terlalu glamor, tapi tetap chick
“Njir, laki lo cakep banget, Cuy. Jadi pengen jadi pelakor.”Aku sontak meremas kuat lengan Nurbaeti, sampai dia meringis tertahan. Saat seenaknya dia ngomong seperti tadi. Enak aja! Baru sah, masa udah ngadepin setan rumah tangga alias valakor!Mana valakornya teman sendiri lagi. Oh, tidak! Aku nggak mau hidupku sampai kayak di sinetron ikan terbang ya?“Nyet, dengar kenapa. Nunduk mulu. Nyari apaan, sih, lu? Duit koinan ya?”Ini lagi satu si Nurhayati. Nggak ngerti banget apa yang aku rasain. Ya kali aku harus bikin pengumuman, kalau aku lagi grogi parah. Makanya aku nggak berani lihat ke depan.Iya benar. Aku memang grogi parah saat ini. Itulah kenapa dari mulai keluar kamar sampai menunju mimbar te
Akhirnya, hari besar itu pun tiba setelah satu minggu ini aku menjalani pingitan dan segala macam adat yang harus aku laksanakan. Kini, di sinilah aku sekarang. Duduk gelisah di pinggiran tempat tidur, menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari ruang tamu rumahku.Kabar apa?Ya, apalagi? Tentu saja aku menunggu kabar selanjutnya dari prosesi ijab qabul yang sedang Pak Dika lakukan.Duh ... kira-kira lancar nggak, ya?“Nggak usah grogi gitu ngapa, Cuy. Gue yakin Pak Dika pasti lancar kok, ngucapin ijab qabulnya. Secara, dia ‘kan udah pernah melakukannya. Jadi ... pasti udah bukan hal berat lagi buat dia mengulanginya.”Entah aku harus bahagia atahu menangis mendengar celetukan Nurbaeti tadi. Soalnya, dia tu