“Tanteee …!”
Astagfirullah ...
Aku langsung meloncat kaget, saat seruan itu menggema begitu saja dari belakangku. Saking kagetnya, bahkan donat yang sedang aku makan pun, melompat dari tanganku dan meluncur mulus ke arah got di sebelahku.
Ya salam! Sarapan aku, tuh!
Tak ayal karena hal itu, aku pun langsung melirik cepat dengan sinis ke arah belakang. Tepatnya pada mobil Range rover sport warna putih. Di mana pada salah satu kacanya menampilkan si anak setan yang sedang tertawa kemenangan melihat penderitaanku pagi ini.
Oh, tentu saja. Dia ‘kan anak setan. Pastinya akan selalu bahagia diatas penderitaan orang lain.
“Bocah, rese! Pagi-pagi udah bikin orang jantungan aja lu!” omelku kesal, tetapi malah ditanggapi Bella dengan tawa semakin renyah.
Dasar bocah nggak ada akhlak!
“Biarin, wlee ....” Seperti biasa, bocah itu pun malah meledekku setelahnya. Membuat aku semakin kesal dibuatnya.
Dasar sialan!
Dosa apa aku punya tetangga macam nih bocah?
“Tumben berangkatnya sendiri, Tan? Pacar kamu yang itu nggak jemput?” Tiba-tiba Pak Dika mengeluarkan suaranya dari balik kemudi. Dia seperti tidak terganggu pada interaksiku dan anaknya.
Mungkin dia sudah biasa melihat kami perang, karena memang bagi aku dan Bella, tiada hari tanpa ribut. Ada aja keusilan bocah itu yang selalu membuatku kesal dan marah.
“Dia lagi sibuk ngurus persiapan penerimaan maba taun ini. Makanya nggak sempet jemput,” jawabku dengan jujur.
“Oh, ya udah. Masuk, Tan. Saya anterin sekalian.”
Eh? Kok, dia baik ya?
“Nggak usah, Pak. Saya bisa berangkat sendiri kok.” Tentu saja aku harus tetap jual mahal supaya nggak dianggap cewek gampangan.
“Ih, Tante! Jangan pakai lama deh. Buruan, Tante! Nanti Bella telat,” tukas Bella seenaknya.
Lah? Urusannya sama aku apa coba?
“Nggak masalah, Tan. Kebetulan saya juga nanti lewat kampusmu, kok. Ayo sekalian bareng aja,” timpal Pak Dika lagi.
“Tapi—”
“Nggak usah sok jual mahal, Tante. Diobral aja Tante tuh belum tentu ada yang mau. Makanya mumpung Papa lagi baik. Buruan masuk!” titah bocah itu lagi tanpa tau sopan santun.
Kurang asem emang nih bocah sebiji!
Namun mau bagaimana lagi? Aku akhirnya mengalah dan ikut masuk ke kursi belakang mobil mahal itu.
Lumayan, bisa ngirit ongkos.
Baru saja aku mendaratkan pantat dengan nyaman, Bella tiba-tiba merangkak dari kursinya dan berpindah duduk kesebelahku. Ia meninggalkan ayahnya yang fokus menyetir.
Ya ampun, bocah ini! Mau apa lagi coba, dia?
“Tante sisirin dong!”
Hah?
Tentu saja aku langsung bengong menerima titah kurang ajar Bella sambil menyerahkan sebuah sisir dari dalam tasnya.
Apa-apaan, sih, dia ini?! Masa perihal nyisir aja harus ngerjain aku juga.
“Kamu ‘kan bisa nyisir sendiri, Bell,” tolakku nggak mau begitu saja dijadikan babu oleh bocah itu.
“Susah, Tante. Rambut Bella ‘kan, panjang,” jawabnya sambil meletakkan paksa sisir itu ke tanganku, sebelum berbalik memunggungiku.
Rese banget, sih!
Sebenarnya, aku males banget nurutin kemauan nih bocah. Berhubung lagi numpang mobil bapaknya, aku pun terpaksa menuruti keinginan si Ratu Isabella ini. Ya ... itung-itung bayar ongkos tebengan.
“Kuncirin sekalian ya, Tante. Soalnya hari ini Bella ada mapel olahraga. Ribet kalo digerai.”
Ngelunjak! Di kasih hati minta jantung.
“Mana kuncirannya. Tante nggak punya ikat rambut lebih,” balasku kesal.
“Di dalem tas. Di kantong pertama.”
Nah, kan? Sekarang dia semakin nggak tau diri nyuruh ngambilin sekalian. Kan, itu tas ada di kakinya. Apa dia nggak bisa ambil sendiri?
“Kuncir dua yang imut, Tante. Biar aku semakin lucu.”
Allahurobbi ...
Baru juga ketemu nih kunciran. Eh dia udah nyuruh lagi seenaknya. Dasar anak bisul! Tau gini, mending tadi nggak usah nebeng.
“Buruan, Tante. Bentar lagi kita sampe!”
Huft ... sabar, Tan. Sabar! Orang sabar di sayang Dika. Eh, Guntur maksudnya. Duh, kacau. Kenapa malah jadi ngarepin bapaknya nih bocah coba?
“Nih, udah kelar semua,” balasku setelah memastikan ikatan di rambut Bella terpasang sempurna.
Padahal, harusnya kuikat saja sekalian tadi lehernya. Biar nih bocah nggak bisa bertingkah lagi. Aman pasti hidupku setelah ini. Apalah daya. Aku masih takut dosa. Jadi, pending dulu deh jahatnya. Masih muda ini. Lain waktu masih bisa ye kan?
“Dadah, Tante! Besok-besok kuncirin lagi ya, biar Bella semakin cinta sama Tante. Muuuaaahhh ...”
Aku pun langsung memutar mata jengah, menanggapi salam perpisahan dari Bella barusan dari balik jendela mobil.
Ya! Dia memang sudah sampai di sekolahnya dan aku sudah bisa bernapas lega setelahnya.
“Go sah lebay. Minggat sana kau tuyul!” balasku sambil menjauhkan wajahnya dari mobil, membuat bocah itu memberengut kesal.
“Dasar, Tante jelek! Pantes jones!” ejeknya sebelum menjulurkan lidah dan lari begitu saja.
Dasar bocah tengik! Setelah itu, tanpa menghiraukan apapun. Pak Dika pun menjalankan mobilnya kembali, menjauh dari sekolah Bella.
Sebenarnya, aku ingin menawarkan diri untuk pindah ke depan setelah Bella pergi tadi. Soalnya, nggak enak juga duduk di belakang begini sendirian. Berasa kurang ajar aja gitu. Secara nggak langsung, aku kaya jadiin Pak Dika sopir dengan duduk di depan sendirian. Padahal, aku cuma nembeng loh. Tapi posisi kami malah kaya supir dan majikan. aku jadi nggak enak hati.
Namun, berhubung Pak Dika diam saja, aku pun jadi sungkan ngomongnya. Apalagi setelah mobil berjalan kembali, Pak Dika benar-benar tidak membuka obrolan sama sekali, membuat aku malah jadi ngantuk karenanya.
Alhasil, aku memang tertidur setelahnya, karena hawa dingin dan suasana hening. Memang perpaduan yang klop buat bobo egen. Apalagi ini juga masih pagi, ya ‘kan? Semakin deh aku pulesnya.
Terserah deh Pak Dika mau anggap aku nggak sopan atau gimana? Salah siapa nyuekin aku? Kan aku jenuh!
“Tan, sudah sampai.”
Aku merasakan seseorang mengguncang bahuku, membuatku terbangun dengan linglung. Jujur saja, aku belum rela dibangunkan. Asli, nih mata kaya salak muda. Sepet banget!
“Bangun. Sudah sampai,” jelas Pak Dika lagi dan aku mengerjap beberapa kali, hingga semua kesadaranku perlahan muncul.
Astaga!
Setelah itu aku pun gelagapan, karena merasa malu sudah ketauan tidur di mobil Pak Dika.
“Eh! Maaf, Pak. Itu ... tadi ... saya ....” Aku malah meracau bingung setelahnya, membuat pria itu terkekeh pelan. Ia tiba-tiba saja menyodorkan selembar tisu kering padaku.
Eh? Ini maksudnya apa?
“Iler kamu mengotori kaca mobil saya.”
Teman-temanku ngakak so hard, sampai guling-guling di tengah lapangan ketika aku selesai menceritakan kejadian tadi. Eh, canda. Nggak sampai guling-guling ke tengah lapangan kok. Cuma terpingkal-pingkal aja. Itu, sih, emang akunya aja yang lebay.Maklum, aku memang punya motto hidup, kalau 'nggak lebay itu, gak indah' dari dulu. Karena hidupku terlalu monoton kalau nggak lebay. Makanya butuh diwarnai sama pensil warna si Bella yang sering nyelip di pouch make up aku, sampai kadang aku salah pakai pensil alis sama pensil warna anak
Menurut kalian, apa yang harus kulakukan setelah disiram tak manusia seperti itu? Apalagi dengan Air yang aromanya busuk sekali.Mengamuk.Tentu saja! Memangnya aku harus diam saja diperlakukan seperti itu? Oh ... maaf. Aku nggak sebaik itu dan tidak salah. Jadi, tidak ada alasan untukku mengalah. Betul?Aku mengamuk, aku berteriak marah dan menerjang si cewek gila itu.Tadinya aku menjambak rambut cewek itu, tapi dia membalasku sambil meraup wajahku. Ya, sudah. Aku juga ikutin aksinya, meraup wajahnya yang penuh dempulan.Tak hanya itu, aku juga sengaja membasahi tanganku dengan tetesan air di baj
'Sayang'Hanya karena satu kata itu, aku langsung linglung seketika. Blank dan haluku membumbung tinggi.Serius!Saking linglungnya, setelah itu aku sampai tidak tau bagaimana perdebatan Pak Dika dengan Guntur. Aku hanya ingat mereka memang sempat berdebat sebentar, sebelum Pak Dika menggiringku pergi dari sana.Anehnya, Pak Dika tidak membawaku ke parkiran atau tempat mobilnya terparkir, melainkan ke sebuah warung rokok yang ada di dekat kampusku. Warung ya
“Papa nggak ada!”“Masa, sih, Bel? Itu mobilnya masih ada kok?”“Bella bilang nggak ada, ya gak ada! Udah tante pergi sana!”“Ih, Bella. Kok nggak sopan, sih? Gini-gini Tante calon Mama kamu, loh. Belajar hormat sama Tante, Sayang!”“Ogah! Bella nggak mau punya Mama kaya Tante.”“Eh, Bella. Kok ngomongnya gitu? Tante bisa loh jadi Mama yang baik buat kamu. Plus ngasih kamu adik-adik yang lucu, terus— arghhh ... Bella! Kok Tante disiram, sih? Jadinya basah baju Tante nih?”
“Kiri-kiri, Sist. Di sini aja.” Aku menepuk pundak Nur, yang hari ini tumben baik hati mau nganterin aku pulang.Nurhayati tepatnya, karna Nurbaiti sedang tidak masuk hari ini. Si Nur pun mencebik kesal dan menoyorku yang tadi iseng memperlakukannya seperti kang ojeg.“Kunyuk! Ngelunjak emang lo ya? Udah gue anterin bukannya makasih, malah bikin gue kaya kang ojek aja,” omelnya membuat aku terbahak saja.“Abis lo mirip banget sama kang ojek jaman now. Sweater ijo sama helm ijo. Jadi salfok ‘kan gue. Lo kayaknya benar-benar menghayati banget peran lo jadi kang ojek ya, Nur?” sindirku di sela kekehanku.“Bangke emang lo! Temen nggak ada akhlak. Nama gue emang Nurhayati, kali! Dan gue—”“POKOKNYA BELLA NGGAK MAU!”Ucapan si Nur pun langsung terhenti, tatkala lengkingan suara Bella menginterupsi dari arah rumahnya. Aku dan si Nur sontak menoleh ke arah sumber suara. Kami langsung melihat Bella tiba-tiba keluar dari sana, sambil berlari sembarang arah. Entah mau ke mana itu bocah, yang jela
“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa men
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?
“Tan?”“Iya, Pah?”“Sini bentar, Nak,”Aku pun langsung mengurungkan niatku yang tadinya hendak ke dapur untuk ambil minum. Kini aku berbelok ke arah ruang tv, di mana Papa dan Mama berada.“Duduk sini, Nak,” titah Papah saat sudah dekat dengan tempat itu.Aku pun mengambil duduk di sofa samping Mama, karena Papa sendiri duduk di sofa single. Mama duduk di sebelahnya, di
Mahardika POV“Mas, sarapannya udah siap!”“Iya, sebentar.”Sekali lagi, aku pun merapikan tampilanku dan memastikan kalau semuanya sudah terpasang sempurna. Setelah itu, aku langsung bergegas turun memenuhi panggilan istriku tadi.Istriku? Ya! Barusan yang tadi memanggilku memang adalah istriku. Namanya Intan Mulia Mardani. Mahasiswi cantik yang dulu tinggal di samping rumahku.“Bella nggak mau Mama!”“Nggak pakai ya, Bell! Pokoknya kamu harus belajar!”“Tapi Bella nggak suka.”“Ya, belajar sukalah!&rdquo
Bella POV“Bell, dimakan dong, Sayang. Jangan cuma diacak-acak terus. Nanti nasinya nangis loh.”Bodo amat! Nangis juga bukan urusan Bella. Bagus malah. Biar Bella ada temannya.“Bella, Sayang. Kamu kenapa, sih? Masih marah karena kita pindah ke sini atau ada yang menggangu kamu di sekolah barumu?”Semuanya benar! Bella memang masih kesal, karena tiba-tiba harus pindah ke sini, ke lingkungan yang banyak orangnya. Juga, harus sekolah di sekolah baru, yang nggak keren sama sekali.Hanya saja lebih dari itu, Bella kesal karena Papa selalu saja sibuk, bahkan di weekend seperti ini pun
Aku membuka mataku dengan tidak ikhlas pagi ini. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan sakit saat digerakkan. Rasanya, aku seperti baru saja menjadi korban tawuran antar kampung. Benar-benar remuk redam.Namun, yang paling terasa ngilu di antara semuanya adalah area pangkal paha. Rasanya seperti ada setrum setiap kali aku bergerak.Ah, tempat itu. Aku ingat. Semalam dia juga sempat mengeluarkan darah, saat Pak Dika pertama kali menerobosnya.Ya! Akhirnya, setelah sekian purnama dan ribuan halangan yang membentang, Pak Dika pun akhirnya berhasil buka puasa semalam, bahkan sampai nambah berkali-kali.Lebay ya aku? Emang! Hanya saja aku serius ini. Memang setelah menikah, kami tak bisa langsung menikmati malam pertama.Ada aja halan
Sebenarnya, mataku masih sangat perih untuk dibuka. Namun, kecupan bertubi di pipi dan leherku sangat mengganggu sekali. Membuatku mau tak mau terbangun, dan mulai mengerjapkan mata demi mengumpulkan kesadaranku.Ck, sialan! Siapa, sih, yang gangguin aku tidur? Nggak tahu apa, kalau badan aku capek banget, abis jadi ratu seharian tadi.Aku butuh tidur!CupCupCupCiuman itu semakin membuatku merinding, karena kini sudah sampai pada belahan dadaku.Nggak hanya itu saja, aku bahkan merasakan sebuah rasa dingin mulai merayap naik dari bawah kaos tidurku. Terus naik, naik dan naik hingga ....
Bella nih emang rese banget, sumpah!Padahal dia sendiri yang minta adik cepat, tapi dia juga yang berkali-kali menggagalkan proses pembuatannya.Menyebalkan banget ya ‘kan?Lebih dari itu, aku kasihan sama Pak Dika juga. Soalnya, dua kali lho pria itu harus berhenti saat nanggung. Nggak bisa aku bayangkan gimana sakitnya tuh, hihihi .…Rasanya, pasti seperti siap-siap mau bersin. Eh, malah digagalin teman. Jengkelnya sampai ke ubun-ubun.Akan tetapi mau gimana lagi? Kami nggak bisa mengabaikan Bella dan malah asyik sendiri dengan urusan kami ‘kan?Sekarang ini dia anak kami dan tentu nggak boleh mengabaikannya. Untung, Pak Dika lumayan paham akan hal itu dan si
“Njir! Akhirnya bisa rebahan juga!” seruku girang. Sambil melemparkan diri ke atas tempat tidur sembarangan.“Tan? Language, please!” tegur Pak Dika, yang baru saja menutup pintu di kamar kami.Ah, iya. Aku lupa kalau sekarang lagi sama dia. Akhirnya aku pun melirik ke arahnya, dan langsung nyengir konyol sambil bangkit untuk duduk kembali.“Maaf, Mas. Refleks,” cicitku kemudian.Kukira, dia awalnya akan mengomel dan menceramahiku seperti biasanya. Namun, yang terjadi dia hanya m
Acara pun beralih pada resepsi, di kebun belakang. Seperti yang aku bilang. Enaknya nikah sama tetangga itu tuh kaya gini. Kita nggak harus sewa gedung mahal-mahal.Soalnya, dua rumah jadi satu aja. Udah lebih dari cukup untuk menampung banyaknya para tamu yang hadir.Sebenarnya, acara resepsi ini konsepnya sederhana dan santai, mengikuti kemauanku yang ingin pesta ala remaja modern dan nggak mau ribet. Makanya, tema kali ini kami pakai garden party yang santai banget.Aku aja cuma pakai gaun pengantin simple selutut, dengan akses yang nggak terlalu glamor, tapi tetap chick
“Njir, laki lo cakep banget, Cuy. Jadi pengen jadi pelakor.”Aku sontak meremas kuat lengan Nurbaeti, sampai dia meringis tertahan. Saat seenaknya dia ngomong seperti tadi. Enak aja! Baru sah, masa udah ngadepin setan rumah tangga alias valakor!Mana valakornya teman sendiri lagi. Oh, tidak! Aku nggak mau hidupku sampai kayak di sinetron ikan terbang ya?“Nyet, dengar kenapa. Nunduk mulu. Nyari apaan, sih, lu? Duit koinan ya?”Ini lagi satu si Nurhayati. Nggak ngerti banget apa yang aku rasain. Ya kali aku harus bikin pengumuman, kalau aku lagi grogi parah. Makanya aku nggak berani lihat ke depan.Iya benar. Aku memang grogi parah saat ini. Itulah kenapa dari mulai keluar kamar sampai menunju mimbar te
Akhirnya, hari besar itu pun tiba setelah satu minggu ini aku menjalani pingitan dan segala macam adat yang harus aku laksanakan. Kini, di sinilah aku sekarang. Duduk gelisah di pinggiran tempat tidur, menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari ruang tamu rumahku.Kabar apa?Ya, apalagi? Tentu saja aku menunggu kabar selanjutnya dari prosesi ijab qabul yang sedang Pak Dika lakukan.Duh ... kira-kira lancar nggak, ya?“Nggak usah grogi gitu ngapa, Cuy. Gue yakin Pak Dika pasti lancar kok, ngucapin ijab qabulnya. Secara, dia ‘kan udah pernah melakukannya. Jadi ... pasti udah bukan hal berat lagi buat dia mengulanginya.”Entah aku harus bahagia atahu menangis mendengar celetukan Nurbaeti tadi. Soalnya, dia tu