“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.
Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?
“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.
“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa mengklaim saya seenaknya. Emang saya barang umum bisa Bapak akui seenak jidat gitu?” Aku menyuarakan uneg-unegku.
“Loh, memangnya kenapa? Bukannya, kamu juga pernah mengakui saya seenak jidatmu,” balas Pak Dika datar.
Eh? Maksudnya?
“Jangan pura-pura pikun, Intan. Kamu belum terlalu tua untuk melupakan kejadian beberapa hari lalu di kampus kamu itu. Iya ‘kan?” tambah Pak Dika mengingatkanku.
Ah, pasti yang dia maksud adalah moment memandikan aku di pinggir jalan itu. Eh! Kenapa malah ingetnya ke sana, sih?
Ralat-ralat. Maksudku moment waktu aku berdebat sama Guntur, terus ngakuin dia jadi calon suami. Nah, ini baru benar!
“Oh, jadi Bapak mau balas saya ceritanya?” tanyaku memastikan.
“Tepatnya saya mau kamu balas budi ke saya, untuk pertolongan saya waktu itu. Mengerti?” terangnya dengan lugas.
Oh ... gitu toh ternyata? I see sekarang. Cuma ... kok aku kecewa ya?
Ya ampun, Intan! Emang apa yang kamu harapkan? Jangan halu!
“Udah! Kita obrolin ini nanti aja. Sekarang penting temuin Bella dulu. Saya khawatir sama dia. Oke!” lanjut Pak Dika membuat aku mau tak mau mengangguk setuju saja.
Bisa apa aku selain setuju? Ya kali aku ngerengek minta dijadiin ibu sambung beneran. Lah, bukannya kemarenan aku sendiri yang tolak Bella.
Ih, munafik sekali aku?
“Ya, udah. Kita pencar aja gimana, Pak? Biar cepet ketemunya,” usulku kemudian.
“Pencar?” beo Pak Dika.
“Iya, berpencar. Bapak ke kanan saya ke kiri. Kitakan nggak tau Bella perginya ke arah mana setelah dari sini. Soalnya saya cuma lihat sampai belokan sana saja. Nah, ini udah sampe pertigaan. Jadi ... lebih baik kita berpencar. Oke?” jelasku lagi.
Pak Dika pun terlihat berpikir sejenak sambil melirik dengan curiga.
Dih, apa pula maksud tatapannya itu?
Naksir? Bilang, Bos!
“Ini beneran berpencar, atau memang akal-akalan kamu saja?”
Hah?
“Maksudnya?”
“Ya ... siapa tau kamu cuma cari cara buat kabur saja. Secara kamu ‘kan nggak pernah suka sama Bella. Makanya kamu pasti nggak mau repot cari dia ‘kan?”
Astaga! Dzolim banget dia sama aku! Emang aku sejahat itu ya? Selama ini kelihatannya?
“Jangan asal nuduh! Saya emang suka kesel sama setan kecil itu. Tapi ... saya nggak sejahat itu, kok. Ya kali Bella beneran hilang saya diam aja. Nanti nggak ada kawan buat nyinyir dong tiap hari,” akuku dengan lugas dan setengah kesal.
Serius loh, aku ini memang memang sering kesal sama bocah itu. Pengen banget nyubitin ginjalnya biar dia bisa kapok usilin aku. Cuma masalahnya, aku nggak sejahat itu kok. Sumpah, deh! Karena bagaimana pun, aku tau alasan Bella sering berbuat onar seperti itu. Dia hanya butuh perhatian, karena kesepian.
Bagaimana tidak kesepian, kalau tiap hari dia hanya diurus neneknya sama pembantu rumahnya saja. Sementara ayah dan kakeknya, seringnya nggak punya waktu karena bekerja.
Udah gitu, yang aku tau Bella juga nggak punya temen si kompleks kami. Itu karena kelakuan usilnya dan status yang nggak punya ibu, sering membuatnya dirundung anak-anak lain.
Itulah penyebab kenapa dia lebih sering di rumah dan malah ngerjain aku terus. Aku benar-benar mengerti untuk hal itu, karena apapun umpatan yang aku katakan padanya, semua tidak benar-benar dari hati.
“Udahlah! Bakal lama kalau kita bahas ini. Lebih baik langsung berpencar aja biar Bella nggak semakin jauh,” usulku lagi, yang untungnya kali ini langsung diangguki Pak Dika.
Setelah itu, kami pun memisahkan diri seperti amoeba dan mulai mencari ke arah berlawanan.
***
“Gimana? Udah ketemu, Tan?” tanya Pak Dika, saat kami berpapasan kembali.
“Belum, Pak,” jawabku dengan napas ngos-ngosan.
Begini nih kalau orang malas gerak kaya aku, dipaksa olahraga dadakan, langsung deh bengek seketika.
“Astaga! Di mana anak itu, sih?” geram Pak Dika sambil menyugar rambutnya yang mulai lepek karena keringat.
Fokus, Tan! Fokus! Jangan tergoda sama cogan minta dilap kayak gitu!
“Kamu bener-bener nyari Bella nggak, sih, Tan? Masa udah dua jam kita muter nggak nemu juga? Kamu niat bantu nggak, sih!” sentak Pak Dika tiba-tiba, membuat aku langsung menganga kaget.
Lah, kenapa dia jadi sewot gitu? Apa dia nggak lihat kalau napas aku udah senin kamis begini?
Wah! Kebangetan, sih, ini mah!
“Bapak kenapa, sih? Kok kayaknya nggak percayaan banget sama saya? Apa tampang saya emang sejahat itu makanya Bapak suudzon terus sama saya?” amarahku tak mau kalah.
Ya, iyalah aku nggak mau kalah. Udah capek-capek bantu nyari, malah dituduh yang enggak-enggak. Kan sebel ya?
“Bukannya gitu. Tapi semua orang pun tau hubungan kalian seperti apa selama ini? Jadi ... siapa tau kamu di sini cuma pura-pura cari dia, biar bisa narik simpati saya aja.”
What the hell!
Picik sekali pria ini? Berasa ganteng banget kali ya? Mentang-mentang jadi idola emak-emak sekomplek.
Oke! Dia memang ganteng. Aku akui itu. Cuma ... bisa nggak dia nggak usah narsis juga kali. Bikin nilai plusnya langsung drop seketika.
“Itu aja terus yang Bapak ungkit. Kalau emang nggak percaya sama saya, ngapain ngajak saya nyari bareng? Bapak cari aja sendiri anak Bapak itu! Jadi orang kok nggak tau makasih banget! Sudahlah, saya males debat sama Bapak. Mending saya balik daripada diragukan terus. Selamat berjuang sendiri. Bye!”
Akhirnya, aku ngambek dong. Soalnya, emang Pak Dika ini udah kebangetan kok. Masa dia yang narik aku ke sini. Dia juga yang nuduh terus. Kan Hayati lelah, Mak. Mending turu di kamar sambil kemulan anget. Bodo amat sama Bella. Biar Bapaknya aja yang usaha sendiri.
“Tan, bukan kayak gitu?” Pak Dika mencoba menghentikanku. Dia mencekal tanganku seperti yang ada di sinetron, tapi, langsung kuhela dengan kasar kayak di film-film India karena ... emang aku cewek apaan. Dipegang seenaknya begitu?
“Au ah! Saya udah males sama Bapak. Jadi bapak cari aja sendiri si Bella yang super— aduh!” Ucapanku langsung terhenti, tatkala seseorang menabrakku dari belakang. Emosiku semakin memuncak, karena semakin kesal oleh keadaan.
Namun, baru saja aku ingin menyentak orang itu. Aku pun langsung mengurungkan niat dan menahan diri sekuat mungkin, karena ternyata, yang menabrakku itu adalah orang gila dan sukses membuatku jiper seketika.
Mampus! Ngapa aku harus ketemu orang gila ini, sih?
“Cantik ... cantik ... boneka jatuh ... nangis ... huhuhu ....” racaunya nggak jelas. Aku mundur pelan-pelan, dan berniat sembunyi di balik tubuh Pak Dika yang tegap.
Akan tetapi, baru saja aku mau menjauh, orang gila itu malah menarik tanganku dan menyeretku sembarangan. Aku meronta karena takut dicelakai orang tidak waras ini.
Ih ... apaan dah? Ngapa nih orgil tarik-tarik aku sembarangan coba? Dikira aku temannya, apa?
“Lepasin? Lo ngapain, sih, narik-narik gue! Gue bukan temen lo tau!” hardikku tak terima. Aku terus meronta untuk bisa melepaskan diri.
Orang gila itu nggak mau berhenti dan semakin menyeretku. Dia membuatku berteriak ketakutan dan meminta tolong Pak Dika.
“Hei, lepaskan!” Untungnya Pak Dika masih mau menolongku. Dia langsung melerai tangan orang gila, yang mencengkram tanganku kuat banget.
“Cantik ... boneka jatuh ... nangis … huhuhu ...” Namun, orang gila itu masih meracau nggak jelas sambil menghentakan kakinya.
Lah, bodo amat! Boneka lo mau jatuh, kek. Nyungsep, kek. Bukan urusan gue!
“Cantik ... jatuh ... huhuhu ...” Orang gila itu semakin menghentakan kakinya dan menggaruk-garuk rambutnya.
Namun, karena aksinya itu, sesuatu dari rambutnya jatuh yang sangat kukenali selama ini.
Kutu! Eh, salah! Jepitannya si Bella!
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?
“Tan?”“Iya, Pah?”“Sini bentar, Nak,”Aku pun langsung mengurungkan niatku yang tadinya hendak ke dapur untuk ambil minum. Kini aku berbelok ke arah ruang tv, di mana Papa dan Mama berada.“Duduk sini, Nak,” titah Papah saat sudah dekat dengan tempat itu.Aku pun mengambil duduk di sofa samping Mama, karena Papa sendiri duduk di sofa single. Mama duduk di sebelahnya, di
Ratu Isabella sakit!Wew! Haruskah aku bikin pengajian buat ngerayainnya? Soalnya aku senang banget dengar kabar ini.Asli!Please, jangan bilang aku kejam atau nggak punya hati. Kalian nggak tau aja bagaimana rasanya hidup berdampingan sama makhluk ngeselin kayak bocah itu.Hidupku rasanya runyam!Makanya boleh ya aku adain pengajian syukuran. Biar boc
Sluuurrrppp ….Aaahhh ….Glek!Aku meneguk ludah tanpa sadar. Saat melihat Bella menyeruput kuah sayur yang aku buatkan, hingga tak bersisa di mangkuknya.Gila! Nih bocah doyan apa lapar, sih? Sampai bersih gitu mangkoknya. Nggak usah dicuci lagi kayaknya. Sudah licin gitu kok.“Enak, Tante. Nanti bikinin lagi ya?”Kebiasaan! Sakit-sakit tetap aja ngelunjak.“Masih ad
“Pagi, Tan. Udah mau berangkat kuliah ya?” sapa Bu Nana, saat aku baru saja nengeluarkan motor matic ke halaman rumah.Bu Nana ini adalah ibunya Pak Dika dan saat ini dia sedang menyiram tanaman kesayangannya di depan rumah. Orang tua Pak Dika memang sudah kembali pulang, sehari setelah kejadian itu.Duh, nggak usah diingetin ya soal kejadian itu. Soalnya jantung aku suka mau copot kalau inget moment mendebarkan itu.
“Tante, lama,” rengek Bella, saat siang itu aku jemput di sekolahnya.“Jangan rewel. Udah untung Tante jemput,” balasku malas plus kesal.Soalnya gara-gara harus jemput Bella, aku harus absen dari acara nonton bareng duo Nur. Padahal, acaranya sudah kami rencanakan dari jauh-jauh hari. Gara-gara telepon dari Bu Nana, semua jadi buyar sudah.“Tan,
Aku pernah sakit hati, aku pernah dikecewakan, bahkan pernah diselingkuhi. Karena aku bukan gadis polos yang tak pernah mengenal pacaran.Tidak! Tentu saja aku pernah pacarana, bahkan sejak SMP pun aku sudah punya pacar dan sering menangis karena putus cinta. Akan tetapi, hanya menangis seadanya karena sakit hati biasa, yang akan hilang seiring berlalunya hari.Hanya saja, kenapa aku merasa sakit hati kali ini beda ya?Rasanya lebih sakit dan lebih menyesakan. Sampai membuat aku kehilangan semangat hidup berhari-hari.
“Anjrit!” seru duo Nur kompak, saat aku selesai menceritakan kejadian itu.Kejadian saat aku dicium duda— eh Pak Dika tepatnya. Soalnya, sejak itu aku kaya orang gila katanya. Suka senyum sendiri, mesem sendiri, bahkan ngikik sendiri kayak Mbak Kunkun di pojokan.Si Nurhayati aja sampai berbaik hati bawain aku air Yasin saking nyangka aku beneran kesurupan.Ternyata, aku ini bukan kesurupan Mbak Kunkun, melainkan kesurupan Dewa Amor.Aish! Bahasaku ya?
Mahardika POV“Mas, sarapannya udah siap!”“Iya, sebentar.”Sekali lagi, aku pun merapikan tampilanku dan memastikan kalau semuanya sudah terpasang sempurna. Setelah itu, aku langsung bergegas turun memenuhi panggilan istriku tadi.Istriku? Ya! Barusan yang tadi memanggilku memang adalah istriku. Namanya Intan Mulia Mardani. Mahasiswi cantik yang dulu tinggal di samping rumahku.“Bella nggak mau Mama!”“Nggak pakai ya, Bell! Pokoknya kamu harus belajar!”“Tapi Bella nggak suka.”“Ya, belajar sukalah!&rdquo
Bella POV“Bell, dimakan dong, Sayang. Jangan cuma diacak-acak terus. Nanti nasinya nangis loh.”Bodo amat! Nangis juga bukan urusan Bella. Bagus malah. Biar Bella ada temannya.“Bella, Sayang. Kamu kenapa, sih? Masih marah karena kita pindah ke sini atau ada yang menggangu kamu di sekolah barumu?”Semuanya benar! Bella memang masih kesal, karena tiba-tiba harus pindah ke sini, ke lingkungan yang banyak orangnya. Juga, harus sekolah di sekolah baru, yang nggak keren sama sekali.Hanya saja lebih dari itu, Bella kesal karena Papa selalu saja sibuk, bahkan di weekend seperti ini pun
Aku membuka mataku dengan tidak ikhlas pagi ini. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan sakit saat digerakkan. Rasanya, aku seperti baru saja menjadi korban tawuran antar kampung. Benar-benar remuk redam.Namun, yang paling terasa ngilu di antara semuanya adalah area pangkal paha. Rasanya seperti ada setrum setiap kali aku bergerak.Ah, tempat itu. Aku ingat. Semalam dia juga sempat mengeluarkan darah, saat Pak Dika pertama kali menerobosnya.Ya! Akhirnya, setelah sekian purnama dan ribuan halangan yang membentang, Pak Dika pun akhirnya berhasil buka puasa semalam, bahkan sampai nambah berkali-kali.Lebay ya aku? Emang! Hanya saja aku serius ini. Memang setelah menikah, kami tak bisa langsung menikmati malam pertama.Ada aja halan
Sebenarnya, mataku masih sangat perih untuk dibuka. Namun, kecupan bertubi di pipi dan leherku sangat mengganggu sekali. Membuatku mau tak mau terbangun, dan mulai mengerjapkan mata demi mengumpulkan kesadaranku.Ck, sialan! Siapa, sih, yang gangguin aku tidur? Nggak tahu apa, kalau badan aku capek banget, abis jadi ratu seharian tadi.Aku butuh tidur!CupCupCupCiuman itu semakin membuatku merinding, karena kini sudah sampai pada belahan dadaku.Nggak hanya itu saja, aku bahkan merasakan sebuah rasa dingin mulai merayap naik dari bawah kaos tidurku. Terus naik, naik dan naik hingga ....
Bella nih emang rese banget, sumpah!Padahal dia sendiri yang minta adik cepat, tapi dia juga yang berkali-kali menggagalkan proses pembuatannya.Menyebalkan banget ya ‘kan?Lebih dari itu, aku kasihan sama Pak Dika juga. Soalnya, dua kali lho pria itu harus berhenti saat nanggung. Nggak bisa aku bayangkan gimana sakitnya tuh, hihihi .…Rasanya, pasti seperti siap-siap mau bersin. Eh, malah digagalin teman. Jengkelnya sampai ke ubun-ubun.Akan tetapi mau gimana lagi? Kami nggak bisa mengabaikan Bella dan malah asyik sendiri dengan urusan kami ‘kan?Sekarang ini dia anak kami dan tentu nggak boleh mengabaikannya. Untung, Pak Dika lumayan paham akan hal itu dan si
“Njir! Akhirnya bisa rebahan juga!” seruku girang. Sambil melemparkan diri ke atas tempat tidur sembarangan.“Tan? Language, please!” tegur Pak Dika, yang baru saja menutup pintu di kamar kami.Ah, iya. Aku lupa kalau sekarang lagi sama dia. Akhirnya aku pun melirik ke arahnya, dan langsung nyengir konyol sambil bangkit untuk duduk kembali.“Maaf, Mas. Refleks,” cicitku kemudian.Kukira, dia awalnya akan mengomel dan menceramahiku seperti biasanya. Namun, yang terjadi dia hanya m
Acara pun beralih pada resepsi, di kebun belakang. Seperti yang aku bilang. Enaknya nikah sama tetangga itu tuh kaya gini. Kita nggak harus sewa gedung mahal-mahal.Soalnya, dua rumah jadi satu aja. Udah lebih dari cukup untuk menampung banyaknya para tamu yang hadir.Sebenarnya, acara resepsi ini konsepnya sederhana dan santai, mengikuti kemauanku yang ingin pesta ala remaja modern dan nggak mau ribet. Makanya, tema kali ini kami pakai garden party yang santai banget.Aku aja cuma pakai gaun pengantin simple selutut, dengan akses yang nggak terlalu glamor, tapi tetap chick
“Njir, laki lo cakep banget, Cuy. Jadi pengen jadi pelakor.”Aku sontak meremas kuat lengan Nurbaeti, sampai dia meringis tertahan. Saat seenaknya dia ngomong seperti tadi. Enak aja! Baru sah, masa udah ngadepin setan rumah tangga alias valakor!Mana valakornya teman sendiri lagi. Oh, tidak! Aku nggak mau hidupku sampai kayak di sinetron ikan terbang ya?“Nyet, dengar kenapa. Nunduk mulu. Nyari apaan, sih, lu? Duit koinan ya?”Ini lagi satu si Nurhayati. Nggak ngerti banget apa yang aku rasain. Ya kali aku harus bikin pengumuman, kalau aku lagi grogi parah. Makanya aku nggak berani lihat ke depan.Iya benar. Aku memang grogi parah saat ini. Itulah kenapa dari mulai keluar kamar sampai menunju mimbar te
Akhirnya, hari besar itu pun tiba setelah satu minggu ini aku menjalani pingitan dan segala macam adat yang harus aku laksanakan. Kini, di sinilah aku sekarang. Duduk gelisah di pinggiran tempat tidur, menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari ruang tamu rumahku.Kabar apa?Ya, apalagi? Tentu saja aku menunggu kabar selanjutnya dari prosesi ijab qabul yang sedang Pak Dika lakukan.Duh ... kira-kira lancar nggak, ya?“Nggak usah grogi gitu ngapa, Cuy. Gue yakin Pak Dika pasti lancar kok, ngucapin ijab qabulnya. Secara, dia ‘kan udah pernah melakukannya. Jadi ... pasti udah bukan hal berat lagi buat dia mengulanginya.”Entah aku harus bahagia atahu menangis mendengar celetukan Nurbaeti tadi. Soalnya, dia tu