VANESSA POV
Aku memasukkan kunci kode apartemenku. Memang apartemen ini murah dan jauh dari pusat kota, tapi keamanannya benar-benar bisa kuandalkan. Semua apartemen disini sudah dipasang kunci angka di setiap pintunya, CCTV di setiap lantai dan tiga shift satpam yang siap menjaga 24 jam. Alasan apalagi yang bisa membuatmu menolak apartemen seperti ini?
“Kunci kode apartemenmu 1234?” tanya Richard heran.
Aku mengangguk, “Hmm. Kenapa?”
“Maaf, bukannya aku sengaja ingin melihat tadi. Tapi tidakkah kau berpikir itu terlalu mudah? Bagaimana jika ada orang yang ingin membobol kamarmu?”
Aku mengangkat bahuku ringan, “Kurasa karena aku bisa mengandalkan keamanan disini. Lagipula otakku sepertinya memang tercipta untuk membenci angka-angka. Aku tidak bisa mengingat angka yang rumit.”
“Kalau begitu kenapa tidak menggunakan angka kelahiranmu saja?”
Aku tergelak. “Bukannya itu malah lebih mudah ditebak?” jawabku sembari membuka pintu apartemenku. “Karena orang-orang biasanya menggunakan tanggal lahir agar lebih mudah diingat, kurasa bukan keputusan bijak untuk menggunakannya. Apalagi untuk kunci apartemen. Aku malah berpikir mungkin sebagian orang tidak akan menyangka bahwa kunci kode apartemenku menggunakan angka berurutan.”
Richard terdiam tampak memikirkan jawabanku, “Benar juga. Tapi kenapa kau tidak segera masuk?” tanyanya heran melihatku yang hanya berdiri diam.
Aku tersenyum polos padanya, “Sudah kubilang aku takut gelap.”
Richard tertawa geli, tampak menertawakan dirinya sendiri yang malah melupakan hal itu. Ia menyalakan senter dari ponselnya dan melangkah masuk ke apartemenku lebih dulu yang kemudian diikuti olehku.
“Dimana saklarnya?” tanyanya.
Aku hampir saja menabrak dadanya saat ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik padaku. Aku menunjuk saklar dekat pintu yang kemudian ia coba tapi tidak menghasilkan apapun selain bunyi cetik.
“Lihat?” kataku padanya. “Bagaimana menurutmu?”
“Melihat tidak ada respon sama sekali, sepertinya aliran listrik ke kamarmu terputus.”
“Begitu ya,” jawabku pelan meskipun aku tahu benar bukan itu alasan sebenarnya. Saklar itu hanya saklar kosong yang tidak terhubung dengan apapun di apartemenku. Jadi ditekan beberapa kali pun tidak akan menyalakan apapun. Sepertinya pemilik sebelumnya entah bagaimana tidak lagi menggunakan arus listrik itu ketika merenovasi apartemen ini dulu. Atau mungkin pekerja renovasinya yang lupa untuk melepaaskannya. Entahlah. Tapi saat aku menempati apartemen ini, saklar itu menjadi salah satu alat keberuntunganku yang kugunakan untuk menjerat laki-laki manapun yang aku mau. I'm so lucky!
Kemudian aku masuk ke dalam, melewati Richard menuju ranjangku yang berada di tengah ruangan karena apartemenku hanyalah apartemen berukuran studio. Aku sengaja tidak menyalakan senter ponselku dan hanya mengandalkan pencahayaan minim dari luar yang terhalang tirai jendela tipis. Selagi Richard masih sibuk mengamati kenapa kamarku masih tidak mendapat pencahayaan, aku berjalan pelan mengambil gelas dari nakas di sebelah ranjang dan menyiram diriku sendiri dengan sengaja. Bunyi gelas terjatuh memenuhi kamarku. Aku berpura-pura terkejut dengan itu.
“Astaga!” kataku.
Cahaya senter Richard langsung menyorot ke arahku. “Kenapa? Ada apa?” Richard datang menghampiri.
“Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas saat mencari senter,” jawabku memberi alasan. “Bajuku jadi basah semua.”
“Kenapa kau tidak menggunakan ponselmu saja?” tanya Richard heran.
“Baterai ponselku habis.”
Richard terdiam dengan alasan sederhana yang kulontarkan. Aku mengamatinya dengan seksama.
“Kalau begitu kurasa kau harus mengganti bajumu,” kata Richard kemudian.
Memang itu tujuanku, Richard sayang! Aku menahan senyum lebar di bibirku melihat semuanya benar-benar berjalan lancar sesuai rencanaku. Sangat lancar malah.
“Memang, tapi sepertinya aku tidak bisa mengganti baju di kamar mandi.”
“Kenapa tidak?” tanya Richard.
“Sudah kubilang aku takut gelap,” jawabku dengan nada yang aku yakin bisa membuat laki-laki manapun melakukan hal yang aku mau. “Bahkan dengan senter di tanganku, aku masih ketakutan. Jika sekarang kau tidak melihatnya, kurasa karena kau ada disini menemaniku.”
Lagi-lagi Richard terdiam, kali ini sepertinya ia sedang memikirkan cara lain agar aku bisa mengganti baju dengan nyaman. Tapi sepertinya aku tahu apa yang sedang dia pikirkan.
“Kalau begitu kau ganti baju disini saja dan aku akan menunggu diluar.”
“Ric, sudah kubilang aku takut gelap. Jika kau keluar dari kamarku, lebih baik aku juga mengikutimu keluar. Lebih baik memakai baju basah daripada aku sendirian gelap-gelapan begini,” kataku.
Dan entah kenapa sekilas aku menangkap raut wajahnya yang berubah. Meskipun karena pencahayaan minim membuatku tidak bisa melihatnya dengan jelas, aku bisa merasakan ada yang berubah dengan sikapnya padaku. Dadaku berdebar penuh antisipasi. Apa dia berpikir untuk menolakku? Tidak. Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya melakukan itu.
“Aku bisa berganti pakaian disini dengan kau yang menghadap ke arah lain. Setidaknya itu akan membuatku lebih tenang dan masalah pakaianku yang basah bisa terselesaikan,” tambahku cepat kemudian.
Butuh beberapa saat bagi Richard untuk mengiyakan kata-kataku, “Baiklah.”
Aku tersenyum. Richard melewatiku dan menghadapkan dirinya kearah pintu, sedangkan aku berjalan membuka tirai jendela bermaksud menambahkan pencahayaan untuk kamarku. Sambil mengganti pakaianku, aku masih tersenyum dengan menatap punggung Richard yang tidak bergerak dari tempatnya.
“Kau sudah selesai?” tanyanya.
“Sebentar lagi,” jawabku. “Aw…” keluhku kemudian.
Richard menolehkan kepalanya sedikit tapi tidak menatapku, “Apa yang terjadi?”
“Sebentar. Sepertinya rambutku tersangkut resleting baju. Aish...”
Aku berpura-pura berkutat dengan rambutku yang dengan sengaja kujepitkan pada resleting gaunku. Lama mendengarku kewalahan dan tak kunjung selesai, Richard membalikkan badannya dan berjalan ke arahku, menawarkan bantuan.
“Biar kubantu,” katanya.
“Maaf ya,” sahutku dengan nada–pura-pura tentu saja–tak enak. “Malam ini aku banyak merepotkanmu.”
“Jangan khawatir.”
Aku membalikkan badan, menyerahkan punggungku yang terbuka lebar pada Richard. Aku menatap luar jendela sambil tersenyum penuh kemenangan saat Richard menyentuh resleting gaunku. Tangannya berusaha mengeluarkan rambut panjangku yang terjepit. Aku sempat mengaduh pelan saat Richard tidak sengaja menarik rambutku agak keras.
“Sorry,” katanya, masih melanjutkan kegiatannya.
Aku tidak mengatakan apapun untuk menjawabnya. Aku menutup mataku, berusaha fokus pada sentuhan-sentuhan tidak sengaja kulit tangannya pada kulit punggungku. Suhu tubuhku mulai memanas. Dan sepertinya Richard mulai menyadarinya. Tangannya yang panas berhenti bergerak dan menempel pada punggungku.
“Kau sudah selesai, Ric?” aku menoleh sedikit pada Richard sembari mengumpulkan rambutku dan meletakkannya pada satu sisi bahuku, sengaja mengekspos leherku yang putih dan mulus.
Ekspresi Richard tidak terkatakan. Mulutnya sedikit terbuka menatapku hingga menambahkan kesan seksi pada dirinya. Dalam hati aku tahu aku sudah benar-benar berhasil mendapatkannya sekarang. Aku bisa melihat matanya yang menggelap diantara cahaya remang yang menerpanya.
Aku balas menatap matanya.
“Ric?” suaraku membelah kesunyian.
Dan Richard meletakkan bibirnya diatas bibirku, menciumku.
Aku tersenyum senang penuh kemenangan saat bibirnya menutup bibirku dengan lembut. Sudah kubilang bukan kalau aku akan mendapatkannya?
*****
VIKTOR POV Kulambatkan laju mobilku dan menghentikannya tepat saat aku tidak sengaja melihat seseorang yang kukenal turun dari mobil hitam yang terparkir di depan kawasan apartemen yang kuhuni. “Vanessa?” gumamku ragu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memastikan bahwa orang yang kulihat benar-benar tetangga penghuni apartemen sebelahku ketika perempuan itu menoleh menatap lawan bicaranya dan tersenyum padanya. Dahiku mengernyit dan mataku menyipit tanpa sadar. Lalu aku mulai mendengus keras saat aku menyadari aku tidak familiar dengan laki-laki yang Vanessa bawa masuk ke apartemennya. Astaga… Laki-laki mana lagi itu yang perempuan itu bawa? Sepertinya perempuan itu belum juga kapok dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Apa dia sudah lupa? Bahkan hanya mengingatnya saja bisa membuatku berdecih pelan. Bagaimana bisa perempuan itu selalu menemukan orang baru hampir setiap minggunya? Dan lagi bagaimana bisa semua laki-laki yang ia bawa sama-sama bodoh hingga bisa terjebak dengan kata
VANESSA POV Aku baru saja akan membalas ciuman Richard saat pintu apartemenku tiba-tiba terbuka lebar dan lampu ruanganku menyala terang. Perlu beberapa waktu bagiku dan Richard untuk membiasakan diri dengan cahaya yang menyerang tiba-tiba. Lalu aku melihat Viktor, atau yang biasa kupanggil Vik, tetanggaku yang super ganteng, single, baik tapi suka ikut campur itu, berdiri ditengah pintu apartemenku. Ia menunjukkan senyumnya yang kubalas dengan tatapan sebal. "Halo, tetangga," sapanya tenang seolah tidak melihat apa yang baru saja kulakukan dengan Richard. "Aku melihat pintu apartemenmu sedikit terbuka tapi lampunya padam. Kupikir ada maling atau apa," lanjutnya. Aku mendengus pelan, tahu benar bahwa apa yang Vik bilang bukanlah alasan sebenarnya. Sejak kejadian Else melabrakku tempo hari, Vik sepertinya memang sedikit banyak mulai ikut campur terhadap urusanku. Apalagi jika ia memergokiku membawa laki-laki ke apartemen. Ia pasti akan melakukan segala cara untuk menghentikanku. Sepe
VIKTOR POV “... Itulah yang membuatmu tersenyum saat tahu ia memutuskan pacarnya bukan?” kataku mengakhiri kesimpulan yang kulemparkan padanya. Dan bukannya membantah atau apa, Vanessa melemparkan senyum miring yang berhasil membuatku tertegun tidak percaya. Apa dia benar-benar Vanessa yang selama ini kukenal atau seorang psikopat dengan topeng wajah polos untuk menyembunyikan keinginannya yang haus darah? Tapi setelah dipikir-pikir Vanessa tidak pernah menunjukkan ia memiliki sisi psikopat. Setidaknya untuk sekarang aku bisa sedikit santai mengetahui ia tidak akan menggorok leherku karena membiarkan calon korbannya pergi. “Aku tidak percaya kau ternyata cukup pintar juga,” komentar Vanessa. Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Vanessa. Sedikit lambat meresapi kata-katanya. Jadi apa maksudnya itu? Apa selama ini dia meremehkanku dan mengira aku bodoh? “Yah… Bisa kubilang kau memang benar. Aku memang tidak berselingkuh dengannya, tapi bukan berarti bukan aku yang merusak hubung
VIKTOR POV Aku geram. Tentu saja aku geram. Siapapun yang ada di posisiku dan tengah mendengarkan kata-kata konyol Vanessa barusan bisa kupastikan juga akan bereaksi sama sepertiku. Bagaimana bisa Vanessa bermain-main dengan kekasih orang lain tapi menolak kelakuannya disebut perselingkuhan? “Kenapa jadi kau yang marah-marah? Apa kau seperti ini karena pernah diselingkuhi?” Wajahku merah padam. Tapi bukan karena malu. Tidak. Tidak pernah. Aku bahkan belum pernah tertarik menjalani hubungan dengan satu wanitapun seumur hidupku. Karena sebagian besar wanita yang mengetahui latar belakangku, tidak akan mendekatiku tanpa terlihat ketara apa yang dia incar. Jadi jika ditanya apa aku tahu perasaan seseorang yang diselingkuhi, aku tidak perlu menjalin hubungan dulu untuk tahu jawabannya. Aku hanya tidak menjawab pertanyaan Vanessa karena aku tidak sudi membayangkannya. Tapi Vanessa menyalahartikan keterdiamanku. Ia menatapku dengan pandangan iba dan prihatin yang bercampur dengan pengerti
VANESSA POV Aku menghela nafas panjang sekali lagi, berusaha menahan rasa jengkelku saat melihat Vik muncul menungguku di depan kantor. Ia menunjukkan senyum lebar menawannya dengan wajah polos sembari melambaikan tangan menghampiriku. “Sepertinya orang itu melambai padamu,” kata Stefan yang berdiri di sampingku. “Benarkah?” responku pura-pura tidak tahu. “Ya. Dia bahkan menuju kearah kita sekarang.” Stefan menoleh kearahku saat Vik meneriakkan namaku dengan lantang. Geez, bocah itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan disini? “Sepertinya dia benar-benar kenalanmu. Tapi kau bilang tidak ada yang menjemputmu,” tambahnya kemudian. “Kupikir juga begitu.” Kulihat Vik masih tersenyum lebar saat ia berhenti tepat di depanku. Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak mengenalnya sejak ia meneriakkan namaku dengan lantang sampai beberapa orang yang lewat menoleh menatapnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku padanya. “Menjemputmu.” Aku melirik mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami
VANESSA POV “Kau? Mau mentraktirku?” tanyaku tidak percaya. “Kau?” Vik tertawa kecil. “Kenapa kau kelihatan tidak percaya begitu? Aku juga punya uang kau tahu.” “Aku tahu,” mataku menyipit curiga menatapnya. “Tapi sangat aneh melihat orang yang biasa memintaku masak untuk makan malam agar bisa menghemat uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mentraktir makan diluar. Aku curiga kau punya niat buruk dibelakangnya.” Tawa Vik menyembur keluar mendengar kata-kataku. “Aku akan sangat berterima kasih jika seandainya kau juga seperti ini pada laki-laki lain dan bukannya padaku,” jawab Vik. Tawanya sedikit mereda. “Tapi jika kau khawatir tentang hal itu, jawabannya adalah tidak. Aku tidak punya maksud buruk dengan mentraktirmu makan. Lagipula memangnya kau sudah mengenalku berapa lama sampai mencurigaiku begitu? Aku hanya ingin memastikanmu makan hari ini. Kau bilang kau capek.” “Dan aku juga bilang kalau aku mengantuk, kalau kau ingat,” kataku mengingatkannya. “Kenapa kau malah mengajak
VANESSA POV “Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Vik balas menatapku dan mengangkat dua bahunya, “Yaa siapa tahu itu juga termasuk kan? Kau bilang makanan seperti ini bisa mengatasi rasa kesalmu.” Kali ini giliranku yang mendengus. Astaga… Apa dia baru saja membalasku karena menyindirnya soal ia yang belum mendapat pekerjaan? Aku tertawa kecil. “Mungkin saja. Kau berniat mencobanya?” jawabku singkat sambil mulai menyuapkan potongan daging ke dalam mulut. Gila! Ini benar-benar enak. Pantas saja restoran ini sangat terkenal. “Benarkah?” Aku mengangguk. Tapi kali ini dengan mulut yang sibuk mencicipi masakan lain yang dihidangkan. Tidak ada respon dari Vik yang aku dengar. Untuk beberapa saat kami hanya sibuk mengunyah dan menelan makanan yang rasanya sangat enak. “Kalau begitu kau mau taruhan denganku?” Aku berusaha menelan makanan di mulutku dengan seteguk minuman sebelum menjawab Vik. “Taruhan? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku taruhan?” “Karena kurasa ini jalan satu-satuny
VIKTOR POV “Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku setiap satu bulan terlewati.” Ekspresiku seketika menjadi masam mendengarnya. Sejak awal aku sudah menduga kalau Vanessa tidak akan semudah itu mengiyakan ajakan taruhanku. Jadi tentu saja terasa masuk akal jika dia mengajukan hal yang akan memberikannya keuntungan lebih. Tapi aku tidak pernah mengira hal ini. Tiga bulan berarti tiga permintaan. Sebenarnya tidak sulit tapi aku benar-benar penasaran, apa ya kira-kira permintaannya sampai dia menginginkan permintaan sebanyak itu? Dan lagi jika aku terlihat akan menolak syaratnya, dia mungkin tidak akan menyetujui hal ini lagi dikemudian hari. “Kalau kau tidak bisa melakukannya, lebih baik lupakan saja hal ini,” tambahnya lagi melihat keterdiamanku. “Kalau begitu, jika kau gagal sejak bulan pertama, apa itu artinya aku juga mendapat tiga permintaan darimu?” “Enak saja! Tentu saja tidak begitu. Tiga permintaan itu hanya khusus untukku.” “Kok begitu? Tidak adil dong,” protesku
VIKTOR POV“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku menuntut penjelasan.Daniel, si brengsek penyuka warna hitam yang sedari tadi mengikutiku yang juga sekaligus teman dan sepupuku itu, hanya meringis dengan muka tidak bersalah saat melihatku memergokinya. Ia melepas kacamata hitam besarnya, memperlihatkan wajah memuakkannya yang entah bagaimana bisa membuat para wanita berbaris itu.Bagaimana muka seperti itu dianggap tampan oleh sebagian besar wanita ya? Sungguh suatu misteri.“Eh? Bagaimana kau tahu aku disini?” tanyanya.Oke, sejujurnya, selain ketampanan yang aku tidak mengerti dari sisi mananya yang dia miliki, aku tidak tahu dia akan jadi apa jika tidak mewarisi kekayaan dalam jumlah besar dari orang tuanya. Maks
VIKTOR POV“Sepertinya ada yang mengikuti kita.”“Apa?” tanyaku terkejut, tidak mengira dengan apa yang dikatakan Vanessa. Saat melihat perubahan tidak biasa pada raut wajahnya tadi, kupikir ia sedang memikirkan pekerjaannya atau teringat sesuatu yang tertinggal di apartemen.Tapi malah ada yang mengikuti kami? Bagaimana bisa…Dan ngomong-ngomong siapa laki-laki brengsek yang berani-beraninya melakukan itu saat aku sedang menghabiskan waktu dengan tetanggaku tersayang yang sangat jarang menerima ajakanku?!Dibanding rasa marah, aku merasa sangat kesal dan ingin menonjok siapapun itu yang tengah mengikuti kami.Aku hampir menoleh ke belakang saat Vaness
VANESSA POV“Jadi kau mau belanja apa saja hari ini?” tanya Vik yang mendorong trolley belanjaan di belakangku. Aku menoleh padanya, mulai memikirkan apa yang enak untuk dimasak hari ini.“Kau sendiri mau kumasakkan apa malam ini?” tanyaku balik.“How about Italian food?”“Pasta?”Ia mengangguk. Aku mendengus kecil dengan senyuman.“As always,” komentarku. “Kalau begitu harus
VANESSA POV Aku bangun sangat siang keesokan harinya. Dengan mood sangat baik tentunya setelah makan makanan enak semalam. Ditambah karena hari ini adalah weekend yang selalu ditunggu-tunggu para pekerja keras sepertiku hehe. Meskipun sebenarnya aku hanya berencana untuk malas-malasan hari ini, seperti menonton film, membaca novel yang baru kubeli atau hanya sekedar melihat-lihat barang di online shop. Tapi mood baikku yang jarang-jarang kumiliki untuk melakukan semua itu mendadak buyar saat aku mendengar seseorang mengetuk pintu apartemenku. Aku mengalihkan pandangan dari teh hangat yang baru saja kuseruput dan menatap pintu apartemen dengan pandangan tajam, bisa menduga siapa yang ada di baliknya. “Pagii…” sapa Vik dengan senyum cerah begitu aku membuka pintu untuknya dengan malas. Aku menatapnya dengan masam. Menampilkan dengan jel
Hai... Terima kasih sudah mampir dan masukin tulisanku ke pustaka. Tapi maaf banget... Ternyata aku lebih sibuk di real life daripada dugaanku gaes huhu. Dan sudah seminggu ini naskah ini bahkan belum sempet kusentuh. Maaf banget yaa huhu Aku seneng lihat banyak orang mulai tertarik sama tulisanku tapi itu juga bikin aku sedih pas aku tahu aku belum bisa update naskah ini. Maafin yaa gaes. I'll try to have time to write this beatiful story. Bakal coba kucicil disela-sela waktuku yang entah bagaimana berasa dikit banget huhu Sekali lagi terima kasih sudah tertarik dengan kisah Vanessa dan Vik.... Semoga kita bisa berjumpa sebentar lagi. See you...
VIKTOR POV “Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku setiap satu bulan terlewati.” Ekspresiku seketika menjadi masam mendengarnya. Sejak awal aku sudah menduga kalau Vanessa tidak akan semudah itu mengiyakan ajakan taruhanku. Jadi tentu saja terasa masuk akal jika dia mengajukan hal yang akan memberikannya keuntungan lebih. Tapi aku tidak pernah mengira hal ini. Tiga bulan berarti tiga permintaan. Sebenarnya tidak sulit tapi aku benar-benar penasaran, apa ya kira-kira permintaannya sampai dia menginginkan permintaan sebanyak itu? Dan lagi jika aku terlihat akan menolak syaratnya, dia mungkin tidak akan menyetujui hal ini lagi dikemudian hari. “Kalau kau tidak bisa melakukannya, lebih baik lupakan saja hal ini,” tambahnya lagi melihat keterdiamanku. “Kalau begitu, jika kau gagal sejak bulan pertama, apa itu artinya aku juga mendapat tiga permintaan darimu?” “Enak saja! Tentu saja tidak begitu. Tiga permintaan itu hanya khusus untukku.” “Kok begitu? Tidak adil dong,” protesku
VANESSA POV “Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Vik balas menatapku dan mengangkat dua bahunya, “Yaa siapa tahu itu juga termasuk kan? Kau bilang makanan seperti ini bisa mengatasi rasa kesalmu.” Kali ini giliranku yang mendengus. Astaga… Apa dia baru saja membalasku karena menyindirnya soal ia yang belum mendapat pekerjaan? Aku tertawa kecil. “Mungkin saja. Kau berniat mencobanya?” jawabku singkat sambil mulai menyuapkan potongan daging ke dalam mulut. Gila! Ini benar-benar enak. Pantas saja restoran ini sangat terkenal. “Benarkah?” Aku mengangguk. Tapi kali ini dengan mulut yang sibuk mencicipi masakan lain yang dihidangkan. Tidak ada respon dari Vik yang aku dengar. Untuk beberapa saat kami hanya sibuk mengunyah dan menelan makanan yang rasanya sangat enak. “Kalau begitu kau mau taruhan denganku?” Aku berusaha menelan makanan di mulutku dengan seteguk minuman sebelum menjawab Vik. “Taruhan? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku taruhan?” “Karena kurasa ini jalan satu-satuny
VANESSA POV “Kau? Mau mentraktirku?” tanyaku tidak percaya. “Kau?” Vik tertawa kecil. “Kenapa kau kelihatan tidak percaya begitu? Aku juga punya uang kau tahu.” “Aku tahu,” mataku menyipit curiga menatapnya. “Tapi sangat aneh melihat orang yang biasa memintaku masak untuk makan malam agar bisa menghemat uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mentraktir makan diluar. Aku curiga kau punya niat buruk dibelakangnya.” Tawa Vik menyembur keluar mendengar kata-kataku. “Aku akan sangat berterima kasih jika seandainya kau juga seperti ini pada laki-laki lain dan bukannya padaku,” jawab Vik. Tawanya sedikit mereda. “Tapi jika kau khawatir tentang hal itu, jawabannya adalah tidak. Aku tidak punya maksud buruk dengan mentraktirmu makan. Lagipula memangnya kau sudah mengenalku berapa lama sampai mencurigaiku begitu? Aku hanya ingin memastikanmu makan hari ini. Kau bilang kau capek.” “Dan aku juga bilang kalau aku mengantuk, kalau kau ingat,” kataku mengingatkannya. “Kenapa kau malah mengajak
VANESSA POV Aku menghela nafas panjang sekali lagi, berusaha menahan rasa jengkelku saat melihat Vik muncul menungguku di depan kantor. Ia menunjukkan senyum lebar menawannya dengan wajah polos sembari melambaikan tangan menghampiriku. “Sepertinya orang itu melambai padamu,” kata Stefan yang berdiri di sampingku. “Benarkah?” responku pura-pura tidak tahu. “Ya. Dia bahkan menuju kearah kita sekarang.” Stefan menoleh kearahku saat Vik meneriakkan namaku dengan lantang. Geez, bocah itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan disini? “Sepertinya dia benar-benar kenalanmu. Tapi kau bilang tidak ada yang menjemputmu,” tambahnya kemudian. “Kupikir juga begitu.” Kulihat Vik masih tersenyum lebar saat ia berhenti tepat di depanku. Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak mengenalnya sejak ia meneriakkan namaku dengan lantang sampai beberapa orang yang lewat menoleh menatapnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku padanya. “Menjemputmu.” Aku melirik mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami