VIKTOR POV
Kulambatkan laju mobilku dan menghentikannya tepat saat aku tidak sengaja melihat seseorang yang kukenal turun dari mobil hitam yang terparkir di depan kawasan apartemen yang kuhuni.
“Vanessa?” gumamku ragu.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk memastikan bahwa orang yang kulihat benar-benar tetangga penghuni apartemen sebelahku ketika perempuan itu menoleh menatap lawan bicaranya dan tersenyum padanya. Dahiku mengernyit dan mataku menyipit tanpa sadar. Lalu aku mulai mendengus keras saat aku menyadari aku tidak familiar dengan laki-laki yang Vanessa bawa masuk ke apartemennya. Astaga… Laki-laki mana lagi itu yang perempuan itu bawa? Sepertinya perempuan itu belum juga kapok dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Apa dia sudah lupa? Bahkan hanya mengingatnya saja bisa membuatku berdecih pelan. Bagaimana bisa perempuan itu selalu menemukan orang baru hampir setiap minggunya? Dan lagi bagaimana bisa semua laki-laki yang ia bawa sama-sama bodoh hingga bisa terjebak dengan kata-katanya?
Dengan tidak sabaran, kubanting pintu mobilku dengan keras dan segera mengikuti mereka berdua. Kupercepat langkahku saat mereka berdua masuk ke dalam lift, berusaha sebisa mungkin menyusul dan menghentikan apapun rencana Vanessa saat ini. Tapi terlambat. Pintu lift sudah menutup dan mengantarkan mereka ke lantai apartemen kami.
Aku menggerutu pelan. Menyebalkan. Apa aku tidak usah menghentikannya sekalian saja ya? Lagian urusannya kan bukan urusanku? Ia mungkin hanya akan mengomeliku dan bersikap sinis padaku kalau aku ikut campur lagi dengan hobinya yang aneh itu. Tapi… Tidak. Tidak. Aku menggeleng pelan, menghentikan pikiran apapun yang lewat di otakku saat ini. Kulirik pintu untuk tangga darurat yang berada tak jauh dari lift. Apartemen kami berada di lantai 5 dan membayangkan harus menaiki tangga di jam segini setelah pulang bekerja sudah membuatku merasa jauh lebih lelah, jadi ku urungkan niatku dan memutuskan menunggu lift saja. Toh tidak mungkin terjadi apapun dalam 5 menit kedepan bukan? Kuharap begitu.
Sembari menunggu, aku mengingat kembali kejadian baru-baru ini yang menimpa Vanessa yang membuatku tahu tentang hobi anehnya itu.
Sejujurnya bukan sifatku untuk ingin tahu tentang hidup orang lain. Tapi mungkin sedari awal tanpa kusadari aku tahu Vanessa berbeda. Entah bagaimana aku tahu saja dia benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita yang pernah kutemui. Bahkan sejak pertama kali kami bertukar pandangan. Bahkan saat aku belum mengetahui hobi anehnya itu. Dan tahu-tahu saja aku sudah berakhir menjadi pengamat kehidupannya.
Dari yang bisa kuamati, Vanessa bukanlah tipe orang yang ingin terlihat mencolok. Ia hidup biasa-biasa saja. Pulang-pergi ke kantor, bertemu teman, belanja atau menyempatkan diri mengundangku makan saat ia punya banyak makanan lebih. Hidupnya berjalan sebiasa cara berpakaiannya. Tidak ada yang spesial darinya, sungguh, tapi entah bagaimana aku menjelaskannya, dia sepertinya punya magnet tidak terlihat yang membuatku ingin terus berada di sekitarnya. Yah, itulah yang kupikirkan tentangnya selama ini sampai aku tidak sengaja memergokinya terlibat masalah dengan wanita lain yang merasa Vanessa merebut pacarnya.
Plak!
Aku menghentikan pintu apartemenku yang baru kubuka setengah saat melihat seorang wanita menampar Vanessa di depan apartemennya dan dengan beringas menarik kuat rambutnya. Vanessa tidak membalas. Ia menerima perlakuan tidak menyenangkan itu dan hanya balik menatap wanita itu tajam.
“Berani-beraninya,” teriak wanita itu. “Berani-beraninya perempuan sepertimu merebut pacarku! Dasar nggak tahu diri!”
Wanita itu siap memberikan satu tamparan lagi saat Vanessa bergerak menahan tangan itu di udara dan membebaskan rambutnya dengan paksa.
“Bisa nggak sih kalo ngomong sama mulut aja, nggak usah pake tangan?” tanya Vanessa.
“Nggak usah pura-pura bego,” balas wanita itu geram. “Perempuan sepertimu emang cocoknya harus ngomong sama tangan dulu daripada pakai mulut."
"Ah, begitu? Lalu kau sendiri?" Dengan gerakan tidak terduga, Vanessa menampar wanita di depannya itu dengan keras. Wanita itu terlihat syok dan tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi padanya. Ia memegang pipinya yang mulai memerah dan menatap garang Vanessa. Wajahnya merah padam penuh amarah. Vanessa melirik telapak tangan kanannya yang ia layangkan tadi sebelum balas menatap wanita itu santai. "Hmm. Entah bagaimana menjelaskannya tapi sepertinya kau juga cocok untuk bicara dengan tangan dulu daripada dengan mulut," sindir Vanessa.
"Kau…" geram wanita itu tidak terima.
"Jadi kau memang harus ditampar dulu baru mau ngomong sama mulut?" sela Vanessa.
"Kau benar-benar…"
Aku dengan cepat bergerak menahan tangan wanita itu yang mulai terangkat lagi sebelum Vanessa melakukan apapun untuk menghentikannya. Dahi wanita itu mengernyit tidak suka melihatku menghentikan tangannya. Vanessa tidak terlihat terkejut melihat apa yang kulakukan, tapi ia sempat melirikku sejenak sebelum kembali menghadapi wanita yang tengah marah itu.
"Seorang wanita harusnya tidak memulai apapun dengan kekerasan,” kataku.
“Jangan ikut campur,” sergah wanita itu. Ia menarik tangannya lepas dariku. “Apa kau pikir aku bisa berbicara baik-baik dengan pelakor semacam ini?”
“Pelakor?” ulangku tidak mengerti.
“Ya. Pelakor,” wanita itu dengan cepat mengiyakan pertanyaanku. “Dia…” Tudingnya dengan jari telunjuk mengarah lurus pada Vanessa. “Dia yang merebut pacarku. DIA BERSELINGKUH DENGANNYA!!!” tambah wanita itu murka. “Padahal dia tahu pasti aku sangat mencintai pria itu.”
Aku berbalik tidak percaya menatap Vanessa yang menunjukkan seraut wajah datar. Apakah itu benar? Tidak mungkin! Dari luar Vanessa tidak mungkin melakukan hal rendahan semacam itu. Ia berlaku baik pada siapapun. Tidak hanya aku, semua orang yang tinggal disini bahkan satpam sekalipun akan tidak akan percaya dengan omong kosong itu. Aku lebih percaya jika pacar wanita itu yang salah paham pada Vanessa ketimbang Vanessa yang merebut pacar orang.
“Apa buktinya? Apa bukti yang membuatmu berpikir aku selingkuh dengannya?” tanya Vanessa.
“Banyak! Dia sekarang lebih memilih mengajakmu keluar diam-diam ketimbang bertemu denganku. Dia juga sekarang lebih sering bertanya tentangmu padaku. Dia juga lebih memilih untuk bertukar chat denganmu daripada memperhatikan ucapanku. Dia…”
Aku mengernyit. Tunggu dulu. Aku merasa ada yang salah dari penjelasannya ini.
“Dia kan? Bukan aku,” sela Vanessa sinis. “Dia yang melakukan semua itu padamu. Lalu kenapa kau menyalahkanku?”
Benar juga! Wanita itu hanya memberi alasan dari sudut pandangnya tentang pacarnya. Bukan bukti kuat yang menunjukkan kalau Vanessa berselingkuh dengan pacarnya.
Wanita itu menghentikan mulutnya yang terbuka lebar, menghentikan setiap perkataannya yang akan keluar saat mendengar perkataan sinis Vanessa. Tak lama terdengar sanggahannya, “Tapi ia tidak akan begitu jika saja kau tidak meladeninya!”
Aku mendengar Vanessa mendengus sedikit sebelum menjawab, “Jadi sekarang bersikap baik pada pacar teman itu sebuah kesalahan?”
Wanita itu terdiam. Masih menunjukkan raut tidak suka tapi tidak bisa membantah apapun.
“Aku bersikap baik padanya karena dia pacarmu. Dia bertanya segala sesuatu tentangmu yang kupikir akan membantu hubungan kalian berkembang. Karena itu aku selalu meladeninya. Aku mengiyakan ajakannya keluar karena dia bilang akan mencari hadiah buatmu tapi tidak tahu harus memberi apa. Dan sebagai gantinya ia biasanya mengajakku makan atau hanya duduk-duduk di cafe,” jelas Vanessa panjang. Ia menarik nafas sejenak. “Jadi jika dia tertarik padaku, itu bukan salahku, Els. Karena aku tidak melakukan apapun yang bisa membuatnya tertarik padaku.”
Aku tersenyum samar penuh kelegaan mendengar penjelasan Vanessa. Seperti dugaanku sebelumnya. Pasti laki-laki itu yang salah paham dengan kebaikan-kebaikan yang Vanessa lakukan padanya. Padahal Vanessa tidak hanya baik padanya saja, karena ia memang punya sifat baik pada semua orang. Dan karena itu juga Vanessa harus menerima semua ini? Dasar laki-laki bodoh! Apa ia tidak bisa melihat mana perempuan yang sungguh menyukainya atau hanya baik padanya? Dan lagi ia merasa Vanessa menyukainya saat ia sendiri punya seorang pacar cantik seperti wanita ini? Entah dimana otaknya itu hilang, sungutku dalam hati.
“Pembohong,” geram wanita yang dipanggil Els oleh Vanessa yang kuduga namanya pasti Elsa atau Else. “Jika kau sungguh tidak melakukan apapun, lalu kenapa semua pacar teman kita yang dikenalkan padamu, semuanya berakhir menyukaimu? Ini bukan kejadian satu-dua kali, Ca. Kejadian ini sudah terjadi berkali-kali meskipun awalnya aku tidak mempercayainya.”
Aku mengernyit tidak percaya. Apa? Semua temannya yang mengenalkan pacar mereka mengalami hal yang sama? Kulirik raut muka Vanessa yang berubah tapi aku tidak bisa mengira apa yang sedang dia pikirkan saat ini.
“Kupikir itu hanya rumor. Dan karena aku lebih percaya padamu, aku mengenalkan pacarku,” tambah Els. “Awalnya kupikir itu adalah kesalahanku karena tidak percaya dengan rumor yang beredar. Tapi setelah dipikir-pikir lagi sepertinya itu bukan keputusan yang terlalu buruk, karena aku mulai mengerti teman macam apa kau ini.”
Tatapanku masih tertuju pada Vanessa yang memilih untuk diam. Ia hanya balas menatap Els dan sepertinya tidak berniat menyelanya sedikitpun. .
“Kusarankan kau berhenti melakukan hal seperti ini. Atau karma buruk akan mendatangimu sebagai gantinya,” kata Els sebelum meninggalkan kami berdua.
Vanessa tersenyum sinis dan bergumam pelan, “Karma buruk ya? Tidak apa. Toh aku sudah pernah mengalaminya.”
Aku berpura-pura tidak mendengarkan gumamannya dan dengan cepat mengalihkan perhatian saat tatapan Vanessa beralih padaku.
“Kita harus bicara,” katanya padaku.
Ting!
Suara lift membuyarkan lamunanku. Aku dengan cepat masuk saat pintu lift terbuka dan menekan tombol lantai 5 seraya berharap aku bisa menghentikan Vanessa.
*****
Aku mengernyit melihat pintu apartemen Vanessa yang tidak tertutup sempurna dan ruangannya yang gelap. Vanessa pernah bilang ia takut gelap karena itu aku yakin ada yang tidak beres di dalam sana. Aku membukanya perlahan, sedikit penasaran kenapa ia tidak menyalakan lampunya.
Aku mencoba menekan saklar samping pintu. Kebetulan karena aku sudah pernah masuk ke apartemennya, aku tahu benar letak saklar lampu. Sepertinya semua apartemen disini punya tata letak saklar lampu yang sama, karena di apartemenku pun begitu. Tapi kemudian pemandangan paling kusesali seumur hidup terpampang di hadapanku.
Sialan! Laki-laki itu mencium Vanessa-ku.
*****
VANESSA POV Aku baru saja akan membalas ciuman Richard saat pintu apartemenku tiba-tiba terbuka lebar dan lampu ruanganku menyala terang. Perlu beberapa waktu bagiku dan Richard untuk membiasakan diri dengan cahaya yang menyerang tiba-tiba. Lalu aku melihat Viktor, atau yang biasa kupanggil Vik, tetanggaku yang super ganteng, single, baik tapi suka ikut campur itu, berdiri ditengah pintu apartemenku. Ia menunjukkan senyumnya yang kubalas dengan tatapan sebal. "Halo, tetangga," sapanya tenang seolah tidak melihat apa yang baru saja kulakukan dengan Richard. "Aku melihat pintu apartemenmu sedikit terbuka tapi lampunya padam. Kupikir ada maling atau apa," lanjutnya. Aku mendengus pelan, tahu benar bahwa apa yang Vik bilang bukanlah alasan sebenarnya. Sejak kejadian Else melabrakku tempo hari, Vik sepertinya memang sedikit banyak mulai ikut campur terhadap urusanku. Apalagi jika ia memergokiku membawa laki-laki ke apartemen. Ia pasti akan melakukan segala cara untuk menghentikanku. Sepe
VIKTOR POV “... Itulah yang membuatmu tersenyum saat tahu ia memutuskan pacarnya bukan?” kataku mengakhiri kesimpulan yang kulemparkan padanya. Dan bukannya membantah atau apa, Vanessa melemparkan senyum miring yang berhasil membuatku tertegun tidak percaya. Apa dia benar-benar Vanessa yang selama ini kukenal atau seorang psikopat dengan topeng wajah polos untuk menyembunyikan keinginannya yang haus darah? Tapi setelah dipikir-pikir Vanessa tidak pernah menunjukkan ia memiliki sisi psikopat. Setidaknya untuk sekarang aku bisa sedikit santai mengetahui ia tidak akan menggorok leherku karena membiarkan calon korbannya pergi. “Aku tidak percaya kau ternyata cukup pintar juga,” komentar Vanessa. Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Vanessa. Sedikit lambat meresapi kata-katanya. Jadi apa maksudnya itu? Apa selama ini dia meremehkanku dan mengira aku bodoh? “Yah… Bisa kubilang kau memang benar. Aku memang tidak berselingkuh dengannya, tapi bukan berarti bukan aku yang merusak hubung
VIKTOR POV Aku geram. Tentu saja aku geram. Siapapun yang ada di posisiku dan tengah mendengarkan kata-kata konyol Vanessa barusan bisa kupastikan juga akan bereaksi sama sepertiku. Bagaimana bisa Vanessa bermain-main dengan kekasih orang lain tapi menolak kelakuannya disebut perselingkuhan? “Kenapa jadi kau yang marah-marah? Apa kau seperti ini karena pernah diselingkuhi?” Wajahku merah padam. Tapi bukan karena malu. Tidak. Tidak pernah. Aku bahkan belum pernah tertarik menjalani hubungan dengan satu wanitapun seumur hidupku. Karena sebagian besar wanita yang mengetahui latar belakangku, tidak akan mendekatiku tanpa terlihat ketara apa yang dia incar. Jadi jika ditanya apa aku tahu perasaan seseorang yang diselingkuhi, aku tidak perlu menjalin hubungan dulu untuk tahu jawabannya. Aku hanya tidak menjawab pertanyaan Vanessa karena aku tidak sudi membayangkannya. Tapi Vanessa menyalahartikan keterdiamanku. Ia menatapku dengan pandangan iba dan prihatin yang bercampur dengan pengerti
VANESSA POV Aku menghela nafas panjang sekali lagi, berusaha menahan rasa jengkelku saat melihat Vik muncul menungguku di depan kantor. Ia menunjukkan senyum lebar menawannya dengan wajah polos sembari melambaikan tangan menghampiriku. “Sepertinya orang itu melambai padamu,” kata Stefan yang berdiri di sampingku. “Benarkah?” responku pura-pura tidak tahu. “Ya. Dia bahkan menuju kearah kita sekarang.” Stefan menoleh kearahku saat Vik meneriakkan namaku dengan lantang. Geez, bocah itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan disini? “Sepertinya dia benar-benar kenalanmu. Tapi kau bilang tidak ada yang menjemputmu,” tambahnya kemudian. “Kupikir juga begitu.” Kulihat Vik masih tersenyum lebar saat ia berhenti tepat di depanku. Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak mengenalnya sejak ia meneriakkan namaku dengan lantang sampai beberapa orang yang lewat menoleh menatapnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku padanya. “Menjemputmu.” Aku melirik mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami
VANESSA POV “Kau? Mau mentraktirku?” tanyaku tidak percaya. “Kau?” Vik tertawa kecil. “Kenapa kau kelihatan tidak percaya begitu? Aku juga punya uang kau tahu.” “Aku tahu,” mataku menyipit curiga menatapnya. “Tapi sangat aneh melihat orang yang biasa memintaku masak untuk makan malam agar bisa menghemat uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mentraktir makan diluar. Aku curiga kau punya niat buruk dibelakangnya.” Tawa Vik menyembur keluar mendengar kata-kataku. “Aku akan sangat berterima kasih jika seandainya kau juga seperti ini pada laki-laki lain dan bukannya padaku,” jawab Vik. Tawanya sedikit mereda. “Tapi jika kau khawatir tentang hal itu, jawabannya adalah tidak. Aku tidak punya maksud buruk dengan mentraktirmu makan. Lagipula memangnya kau sudah mengenalku berapa lama sampai mencurigaiku begitu? Aku hanya ingin memastikanmu makan hari ini. Kau bilang kau capek.” “Dan aku juga bilang kalau aku mengantuk, kalau kau ingat,” kataku mengingatkannya. “Kenapa kau malah mengajak
VANESSA POV “Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Vik balas menatapku dan mengangkat dua bahunya, “Yaa siapa tahu itu juga termasuk kan? Kau bilang makanan seperti ini bisa mengatasi rasa kesalmu.” Kali ini giliranku yang mendengus. Astaga… Apa dia baru saja membalasku karena menyindirnya soal ia yang belum mendapat pekerjaan? Aku tertawa kecil. “Mungkin saja. Kau berniat mencobanya?” jawabku singkat sambil mulai menyuapkan potongan daging ke dalam mulut. Gila! Ini benar-benar enak. Pantas saja restoran ini sangat terkenal. “Benarkah?” Aku mengangguk. Tapi kali ini dengan mulut yang sibuk mencicipi masakan lain yang dihidangkan. Tidak ada respon dari Vik yang aku dengar. Untuk beberapa saat kami hanya sibuk mengunyah dan menelan makanan yang rasanya sangat enak. “Kalau begitu kau mau taruhan denganku?” Aku berusaha menelan makanan di mulutku dengan seteguk minuman sebelum menjawab Vik. “Taruhan? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku taruhan?” “Karena kurasa ini jalan satu-satuny
VIKTOR POV “Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku setiap satu bulan terlewati.” Ekspresiku seketika menjadi masam mendengarnya. Sejak awal aku sudah menduga kalau Vanessa tidak akan semudah itu mengiyakan ajakan taruhanku. Jadi tentu saja terasa masuk akal jika dia mengajukan hal yang akan memberikannya keuntungan lebih. Tapi aku tidak pernah mengira hal ini. Tiga bulan berarti tiga permintaan. Sebenarnya tidak sulit tapi aku benar-benar penasaran, apa ya kira-kira permintaannya sampai dia menginginkan permintaan sebanyak itu? Dan lagi jika aku terlihat akan menolak syaratnya, dia mungkin tidak akan menyetujui hal ini lagi dikemudian hari. “Kalau kau tidak bisa melakukannya, lebih baik lupakan saja hal ini,” tambahnya lagi melihat keterdiamanku. “Kalau begitu, jika kau gagal sejak bulan pertama, apa itu artinya aku juga mendapat tiga permintaan darimu?” “Enak saja! Tentu saja tidak begitu. Tiga permintaan itu hanya khusus untukku.” “Kok begitu? Tidak adil dong,” protesku
Hai... Terima kasih sudah mampir dan masukin tulisanku ke pustaka. Tapi maaf banget... Ternyata aku lebih sibuk di real life daripada dugaanku gaes huhu. Dan sudah seminggu ini naskah ini bahkan belum sempet kusentuh. Maaf banget yaa huhu Aku seneng lihat banyak orang mulai tertarik sama tulisanku tapi itu juga bikin aku sedih pas aku tahu aku belum bisa update naskah ini. Maafin yaa gaes. I'll try to have time to write this beatiful story. Bakal coba kucicil disela-sela waktuku yang entah bagaimana berasa dikit banget huhu Sekali lagi terima kasih sudah tertarik dengan kisah Vanessa dan Vik.... Semoga kita bisa berjumpa sebentar lagi. See you...
VIKTOR POV“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku menuntut penjelasan.Daniel, si brengsek penyuka warna hitam yang sedari tadi mengikutiku yang juga sekaligus teman dan sepupuku itu, hanya meringis dengan muka tidak bersalah saat melihatku memergokinya. Ia melepas kacamata hitam besarnya, memperlihatkan wajah memuakkannya yang entah bagaimana bisa membuat para wanita berbaris itu.Bagaimana muka seperti itu dianggap tampan oleh sebagian besar wanita ya? Sungguh suatu misteri.“Eh? Bagaimana kau tahu aku disini?” tanyanya.Oke, sejujurnya, selain ketampanan yang aku tidak mengerti dari sisi mananya yang dia miliki, aku tidak tahu dia akan jadi apa jika tidak mewarisi kekayaan dalam jumlah besar dari orang tuanya. Maks
VIKTOR POV“Sepertinya ada yang mengikuti kita.”“Apa?” tanyaku terkejut, tidak mengira dengan apa yang dikatakan Vanessa. Saat melihat perubahan tidak biasa pada raut wajahnya tadi, kupikir ia sedang memikirkan pekerjaannya atau teringat sesuatu yang tertinggal di apartemen.Tapi malah ada yang mengikuti kami? Bagaimana bisa…Dan ngomong-ngomong siapa laki-laki brengsek yang berani-beraninya melakukan itu saat aku sedang menghabiskan waktu dengan tetanggaku tersayang yang sangat jarang menerima ajakanku?!Dibanding rasa marah, aku merasa sangat kesal dan ingin menonjok siapapun itu yang tengah mengikuti kami.Aku hampir menoleh ke belakang saat Vaness
VANESSA POV“Jadi kau mau belanja apa saja hari ini?” tanya Vik yang mendorong trolley belanjaan di belakangku. Aku menoleh padanya, mulai memikirkan apa yang enak untuk dimasak hari ini.“Kau sendiri mau kumasakkan apa malam ini?” tanyaku balik.“How about Italian food?”“Pasta?”Ia mengangguk. Aku mendengus kecil dengan senyuman.“As always,” komentarku. “Kalau begitu harus
VANESSA POV Aku bangun sangat siang keesokan harinya. Dengan mood sangat baik tentunya setelah makan makanan enak semalam. Ditambah karena hari ini adalah weekend yang selalu ditunggu-tunggu para pekerja keras sepertiku hehe. Meskipun sebenarnya aku hanya berencana untuk malas-malasan hari ini, seperti menonton film, membaca novel yang baru kubeli atau hanya sekedar melihat-lihat barang di online shop. Tapi mood baikku yang jarang-jarang kumiliki untuk melakukan semua itu mendadak buyar saat aku mendengar seseorang mengetuk pintu apartemenku. Aku mengalihkan pandangan dari teh hangat yang baru saja kuseruput dan menatap pintu apartemen dengan pandangan tajam, bisa menduga siapa yang ada di baliknya. “Pagii…” sapa Vik dengan senyum cerah begitu aku membuka pintu untuknya dengan malas. Aku menatapnya dengan masam. Menampilkan dengan jel
Hai... Terima kasih sudah mampir dan masukin tulisanku ke pustaka. Tapi maaf banget... Ternyata aku lebih sibuk di real life daripada dugaanku gaes huhu. Dan sudah seminggu ini naskah ini bahkan belum sempet kusentuh. Maaf banget yaa huhu Aku seneng lihat banyak orang mulai tertarik sama tulisanku tapi itu juga bikin aku sedih pas aku tahu aku belum bisa update naskah ini. Maafin yaa gaes. I'll try to have time to write this beatiful story. Bakal coba kucicil disela-sela waktuku yang entah bagaimana berasa dikit banget huhu Sekali lagi terima kasih sudah tertarik dengan kisah Vanessa dan Vik.... Semoga kita bisa berjumpa sebentar lagi. See you...
VIKTOR POV “Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku setiap satu bulan terlewati.” Ekspresiku seketika menjadi masam mendengarnya. Sejak awal aku sudah menduga kalau Vanessa tidak akan semudah itu mengiyakan ajakan taruhanku. Jadi tentu saja terasa masuk akal jika dia mengajukan hal yang akan memberikannya keuntungan lebih. Tapi aku tidak pernah mengira hal ini. Tiga bulan berarti tiga permintaan. Sebenarnya tidak sulit tapi aku benar-benar penasaran, apa ya kira-kira permintaannya sampai dia menginginkan permintaan sebanyak itu? Dan lagi jika aku terlihat akan menolak syaratnya, dia mungkin tidak akan menyetujui hal ini lagi dikemudian hari. “Kalau kau tidak bisa melakukannya, lebih baik lupakan saja hal ini,” tambahnya lagi melihat keterdiamanku. “Kalau begitu, jika kau gagal sejak bulan pertama, apa itu artinya aku juga mendapat tiga permintaan darimu?” “Enak saja! Tentu saja tidak begitu. Tiga permintaan itu hanya khusus untukku.” “Kok begitu? Tidak adil dong,” protesku
VANESSA POV “Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Vik balas menatapku dan mengangkat dua bahunya, “Yaa siapa tahu itu juga termasuk kan? Kau bilang makanan seperti ini bisa mengatasi rasa kesalmu.” Kali ini giliranku yang mendengus. Astaga… Apa dia baru saja membalasku karena menyindirnya soal ia yang belum mendapat pekerjaan? Aku tertawa kecil. “Mungkin saja. Kau berniat mencobanya?” jawabku singkat sambil mulai menyuapkan potongan daging ke dalam mulut. Gila! Ini benar-benar enak. Pantas saja restoran ini sangat terkenal. “Benarkah?” Aku mengangguk. Tapi kali ini dengan mulut yang sibuk mencicipi masakan lain yang dihidangkan. Tidak ada respon dari Vik yang aku dengar. Untuk beberapa saat kami hanya sibuk mengunyah dan menelan makanan yang rasanya sangat enak. “Kalau begitu kau mau taruhan denganku?” Aku berusaha menelan makanan di mulutku dengan seteguk minuman sebelum menjawab Vik. “Taruhan? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku taruhan?” “Karena kurasa ini jalan satu-satuny
VANESSA POV “Kau? Mau mentraktirku?” tanyaku tidak percaya. “Kau?” Vik tertawa kecil. “Kenapa kau kelihatan tidak percaya begitu? Aku juga punya uang kau tahu.” “Aku tahu,” mataku menyipit curiga menatapnya. “Tapi sangat aneh melihat orang yang biasa memintaku masak untuk makan malam agar bisa menghemat uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mentraktir makan diluar. Aku curiga kau punya niat buruk dibelakangnya.” Tawa Vik menyembur keluar mendengar kata-kataku. “Aku akan sangat berterima kasih jika seandainya kau juga seperti ini pada laki-laki lain dan bukannya padaku,” jawab Vik. Tawanya sedikit mereda. “Tapi jika kau khawatir tentang hal itu, jawabannya adalah tidak. Aku tidak punya maksud buruk dengan mentraktirmu makan. Lagipula memangnya kau sudah mengenalku berapa lama sampai mencurigaiku begitu? Aku hanya ingin memastikanmu makan hari ini. Kau bilang kau capek.” “Dan aku juga bilang kalau aku mengantuk, kalau kau ingat,” kataku mengingatkannya. “Kenapa kau malah mengajak
VANESSA POV Aku menghela nafas panjang sekali lagi, berusaha menahan rasa jengkelku saat melihat Vik muncul menungguku di depan kantor. Ia menunjukkan senyum lebar menawannya dengan wajah polos sembari melambaikan tangan menghampiriku. “Sepertinya orang itu melambai padamu,” kata Stefan yang berdiri di sampingku. “Benarkah?” responku pura-pura tidak tahu. “Ya. Dia bahkan menuju kearah kita sekarang.” Stefan menoleh kearahku saat Vik meneriakkan namaku dengan lantang. Geez, bocah itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan disini? “Sepertinya dia benar-benar kenalanmu. Tapi kau bilang tidak ada yang menjemputmu,” tambahnya kemudian. “Kupikir juga begitu.” Kulihat Vik masih tersenyum lebar saat ia berhenti tepat di depanku. Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak mengenalnya sejak ia meneriakkan namaku dengan lantang sampai beberapa orang yang lewat menoleh menatapnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku padanya. “Menjemputmu.” Aku melirik mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami