VANESSA POV
Aku menghela nafas pelan sembari mencoba menikmati ice americano yang kupesan. Aku berpura-pura tertarik dengan apa yang sedang Debby, teman sedivisiku, bicarakan. Meskipun dalam hati aku sebenarnya lebih memilih pergi ketimbang mendengarkannya. Saat ini, ia sedang menceritakan pacar barunya--yang baru 2 minggu ini ia pacari--yang katanya sangat-sangat baik, pengertian dan perhatian padanya. Tipe laki-laki ideal yang ia ocehkan dengan mulut berbusa yang ia kira akan membuat banyak orang iri padanya.
Aku mendengus tidak ketara dan berdecih dalam hati. Cih, cuma itu doang dan dia bangga? Apa seleranya memang serendah itu? Harusnya dia lebih bangga jika punya pacar ganteng dan kaya. Karena jika benar begitu, aku akan dengan senang hati memakluminya. Dan mungkin lebih bersemangat mendengarkan ocehan-ocehannya sekarang. Tapi sejauh aku bisa menyimpulkan dari cerita-ceritanya, aku tidak menemukan tanda-tanda pacarnya mempunyai dua ciri-ciri seperti yang kusebut.
Aku memalingkan muka sebentar, menyempatkan diri memutar mata saat Debby menceritakan lagi--yang jika kuingat sudah kelima kalinya--saat bagaimana ia bertemu dengan kekasihnya dan bagaimana ia merasa laki-laki itu adalah takdirnya sejak awal.
Haduh… tolong ya, apa gunanya bertemu dan berpacaran dengan laki-laki jika ia tidak kaya? Apa baik dan perhatian saja bisa membuatmu kenyang? Sejujurnya bagiku itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Bahkan jika ia tidak cukup kaya, kurasa kau bisa cukup terhibur saat kau punya pacar ganteng. Yah… siapa sih yang tidak suka memandangi salah satu keajaiban dunia--muka ganteng--seseorang yang notabene pacarmu? Seseorang yang akan kau lihat setiap hari setiap saat selama waktu terbatas yang kalian punya. Jadi, jika itu terjadi padaku tentu saja aku akan senang-senang saja. Dan apa kau penasaran kenapa pacaran kubilang punya waktu terbatas? Karena menurut pandanganku, hanya ada dua hal di dunia ini yang bisa membuat pacarmu pergi darimu: Tuhan atau temanmu sendiri. Yah… kau pasti tahulah maksudku.
Kulirik Debby yang tengah mengangkat ponselnya yang tadi sempat bergetar. Melihat nada suaranya yang melembut dan raut wajahnya yang lebih cerah dibanding sebelumnya, aku tahu dia sedang mengangkat telepon dari pacarnya yang ia sebut-sebut itu. Aku mendengus kecil dan tersenyum sinis tak ketara. Ya ampun… Apa semua orang yang baru berpacaran memang menyembunyikan sifat-sifat aslinya? Aku tidak akan bilang kalau Debby perempuan tidak baik, tapi bicara lembut seperti itu jelas bukan dirinya. Ia punya kebiasaan bicara dengan nada sedikit arogan dan cenderung merendahkan untuk segala hal. Wah, jika dipikir-pikir lagi dunia benar-benar menakutkan ya? Bahkan di depan orang yang kau bilang kau cintai saja, kau harus menjaga image-mu agar tidak terlihat buruk. Benar-benar palsu!
Tapi aku tidak bisa protes lebih jauh dari ini. Aku sendiri pun juga menutupi bagaimana diriku sebenarnya dengan image polos gadis baik-baik. Jika kau melihat Debby dan aku bersebelahan, kau mungkin tidak akan mengira bahwa aku punya banyak sifat liar dalam diriku. Debby yang cantik--walaupun tetep cantikan aku sih kemana-mana--dengan baju stylish ala pekerja muda keren, blazer warna cokelat muda yang dikombinasikan dengan tanktop putih didalamnya dan make up yang tidak bisa kubilang tipis karena baru saja ia touch up sebelum datang kemari dibandingkan dengan aku yang hampir tidak terlihat memakai make up--yep, inilah kekuatan make up tipis ala korea hohoho--dengan dandanan yang mungkin bisa dibilang biasa aja, hanya gaun one piece hitam yang kututupi dengan jaket denim kebesaran. Meskipun begitu, siapapun yang melihat kami jelas tahu siapa yang paling cantik diantara kami. Jelas aku orangnya!
Aku mengecek ponselku sembari tetap mencuri dengar perkataan Debby di telepon. Debby menyebutkan dengan jelas alamat cafe yang kami datangi saat ini yang membuatku langsung tahu kalau pacarnya akan menjemput Debby kemari.
"Pacarmu?" tanyaku basa-basi.
Debby mengangguk, "Yap. Dia bilang akan menjemputku kemari."
"Benarkah?" tanyaku pura-pura antusias ikut bahagia. "Ciyee… Dijemput pacar baru."
"Apaan sih?!" Debby tersenyum malu.
Aku tersenyum sinis dalam hati. Please deh nggak usah lebay! Kita berdua sudah hampir berusia seperempat abad dan kau masih bisa tersipu seperti abg yang baru jatuh cinta kayak gitu? Lagipula aku yakin kau tadi bicara keras-keras begitu agar kau bisa memamerkan pacar barumu padaku kan?
"Kalau dia menjemputmu kemari, sebaiknya aku pesan taxi online saja sekarang. Kita kan tadi kesini nebeng Fina," kataku mengangkat ponsel dengan ketara berharap Debby akan menghentikanku. Fina adalah teman sedivisi kami juga, hanya saja dia sedang tidak ingin ikut nongkrong saat ini.
Dan gotcha! Debby benar-benar melakukan seperti apa yang kuharapkan. "Nggak usah! Ngapain sih? Nanti bareng kita aja. Pacarku bawa mobil kok."
"Beneran? Nggak ngerepotin nih?" kataku mencoba terlihat sungkan. "Nggak. Nggak. Masa aku jadi obat nyamuk?! Nggak usah deh. Apartemenku kan jauh."
"Hei, apaan sih? Nggak usah sungkan begitu. Lagian rumah pacarku emang searah denganmu kok. Nggak ngerepotin sama sekali."
Dan sekali lagi aku berpura-pura menerimanya dengan terpaksa, menyunggingkan senyum sungkan yang tampak tulus sembari mengucapkan terimakasih. Bagus! Kalau memang rumah pacarnya searah dengan tempat kosku, ini artinya Debby mungkin akan diturunkan lebih dulu. Aku tertawa senang dalam hati. Haruskah kurebut pacarnya malam ini juga? Hmm… ide yang tidak terlalu buruk. Well, itupun kalau setidaknya pacarnya ganteng atau kaya tentu saja. Kalau tidak… Meh, mari kita lupakan.
Kami melanjutkan obrolan sampai seseorang datang menghampiri Debby dan memeluknya dari belakang. Aku mendongak sedikit. Ia jangkung, berwajah ganteng dengan hidung mancung yang ingin sekali kupegang, serta tubuh tidak terlalu kurus yang ditutupi dengan stylish ala cowok-cowok keren. Hanya satu kata yang bisa menggambarkannya, WOW! Ciptaan indah manalagi yang sudah kau ciptakan ini, Tuhan…
Aku mengulurkan tanganku sopan, bergaya seperti gadis-gadis polos pada umumnya, saat Debby memperkenalkan kami berdua.
“Richard,” katanya memperkenalkan diri.
Aku menahan senyum lebarku. Wah… Bahkan suaranya yang khas benar-benar bisa langsung memikatku ditempat. Aku menggigit bibir bagian dalamku, mencoba menahan diri untuk tidak mengatakan dengan keras isi pikiran kotorku tentangnya. Tenang sedikit, Vanessa, kataku menenangkan dalam hati. Aku harus mengingatkan diri berulang kali, image-ku sekarang adalah cewek polos dan baik-baik, jadi saat ini aku hanya bisa membalasnya dengan mengucapkan nama panggilanku.
Aroma parfum Richard tercium inderaku saat ia bergerak lewat untuk duduk sebentar di kursi sebelah Debby. Aroma parfumnya yang lembut tapi maskulin langsung memenuhi rongga dadaku. Membuatku bertanya-tanya bagaimana rasanya kulitnya di bibirku dengan aku yang tengah menggigit kecil lehernya yang beraroma campuran keringatnya dan parfumnya yang harum. Aku benar-benar ingin menciumnya dengan lumatan keras dan basah saat ini juga.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Berusaha mengenyahkan pikiranku padanya. Astaga… Otakku benar-benar kotor. Bagaimana bisa aku semudah ini ditaklukkan? Tidak. Tidak. Aku Vanessa. Aku yang menaklukkan para laki-laki. Meskipun jujur saja, saat Debby menceritakannya, aku tidak bisa membayangkan kalau pacarnya akan semenarik ini. Apalagi baru kali ini rasanya ada seorang yang berhasil memikatku dalam beberapa menit kehadirannya. Dan tentu saja aku tidak mungkin melepaskan seseorang seperti dia begitu saja, bukan?
Jadi sudah kuputuskan. Malam ini aku harus memulai langkah kecilku.
“Maaf ya, kita harus pulang sekarang. Apa kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut padaku.
Aw, selain dia ganteng, dia juga sopan dan berlaku manis sekali. Pantas saja Debby terlihat sedikit tergila-gila padanya. Aku tidak bisa menyalahkannya untuk itu.
Aku membalas senyumnya, “Tidak apa-apa. Kami juga sudah agak lama disini.”
Dan begitulah. Aku akhirnya pulang bersama dengan Richard yang sudah menurunkan Debby terlebih dahulu. Aku yang masih duduk di belakang merasa sedikit tidak nyaman dan sepertinya Richard tahu hal itu. Ia menawarkanku duduk di kursi samping pengemudi tempat Debby duduk tadi.
“Maaf merepotkanmu,” kataku pelan, mencoba membuat obrolan dengannya sembari menarik seatbelt melewati dadaku. Sialan! Kenapa seatbelt ini susah sekali ditarik?
“Tidak apa-apa. Bukan masalah besar,” jawabnya.
Aku masih berusaha menarik seatbelt sialan yang macet itu saat tiba-tiba rasanya oksigen di sekitarku mendadak menipis dan membuatku menahan nafas tanpa sadar saat Richard mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tangannya yang melewatiku berusaha menggapai seatbelt yang belum berhasil kutarik. Kulit tangannya tanpa sengaja menyentuh kulit tanganku yang masih memegangi seatbelt, mengirimkan sengatan listrik kecil yang menjalar hingga pangkal lenganku. Tak lama ia mencondongkan tubuhnya lebih lagi--hampir seperti seseorang yang terlihat akan mencumbu kekasihnya--saat seatbelt yang macet itu sedikit ia tarik paksa. Hidungnya yang mancung sempat tanpa sengaja menggesek pipiku pelan sebelum ia berhasil memakaikan seatbelt terkutuk itu padaku.
“Maaf. Sejak dulu memang sedikit susah menggunakan seatbelt mobil ini,” katanya.
Mendengar kata-katanya aku menarik nafas dengan cepat. Mengisi paru-paruku yang sempat kosong karena kejadian tadi. Aku menjawabnya dengan setengah tergagap, “Ti-tidak apa-apa.”
Richard kemudian memastikan alamatku yang ia dengar dari Debby dan aku mengangguk mengiyakannya. Kami kemudian mengobrol banyak hal untuk membunuh waktu termasuk bagaimana ia bisa mengenal Debby dan berpacaran dengannya atau tentang pekerjaan membosankanku sembari aku memutar otak mencari alasan untuk menjeratnya masuk ke apartemenku. Tak lama, kami kemudian sampai di depan alamat tempat tinggalku. Sebuah kawasan apartemen murah yang letaknya memang sedikit jauh dari pusat kota.
“Kenapa?” tanya Richard saat melihatku terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu.
Aku mulai menjalankan rencanaku. Aku membuka dan menutup mulutku, memperlihatkan dengan jelas bahwa aku sedang ragu. Aku bahkan menutup mataku sejenak seolah-olah aku tidak enak untuk mengatakan itu padanya. Disaat seperti inilah terkadang aku ingin memuji diriku sendiri untuk bakat akting yang entah bagaimana bisa ada dalam diriku padahal aku sama sekali tidak pernah tertarik dengan teater.
“Hei, ada apa?” tanyanya lagi.
“Itu… Aku… Bagaimana mengatakannya ya…”
Richard menunggu dengan sabar.
“Aku takut gelap,” lanjutku sembari menggigit bibir. “Tadi pagi mendadak seluruh lampu apartemenku mati. Dan karena pekerjaanku di kantor dari pagi, aku lupa meminta pak satpam untuk mengeceknya. Dan kalau aku memintanya mengecek apartemenku tengah malam begini…”
Aku tidak meneruskan kalimatku, tapi sepertinya Richard paham apa maksudku. Ia terdiam sebentar seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Oh ayolah, Richard! Apa kau akan membiarkan seorang gadis cantik sendirian di apartemennya yang gelap? Atau setidaknya apartemenku yang memang sengaja kubuat gelap?
“Aku benar-benar lupa. Harusnya aku menginap di apartemen Debby saja tadi,” tambahku dengan nada seakan-akan aku meruntuki kecerobohanku.
Tidak butuh waktu lama sampai Richard merespon, “Ayo kuantar. Aku bisa mengecek apakah memang arus listriknya yang terputus atau kau hanya perlu mengganti lampu.”
Yes! I did it again! Aku tertawa keras dalam hati seperti singa yang berhasil menjebak mangsanya.
*****
VANESSA POV Aku memasukkan kunci kode apartemenku. Memang apartemen ini murah dan jauh dari pusat kota, tapi keamanannya benar-benar bisa kuandalkan. Semua apartemen disini sudah dipasang kunci angka di setiap pintunya, CCTV di setiap lantai dan tiga shift satpam yang siap menjaga 24 jam. Alasan apalagi yang bisa membuatmu menolak apartemen seperti ini? “Kunci kode apartemenmu 1234?” tanya Richard heran. Aku mengangguk, “Hmm. Kenapa?” “Maaf, bukannya aku sengaja ingin melihat tadi. Tapi tidakkah kau berpikir itu terlalu mudah? Bagaimana jika ada orang yang ingin membobol kamarmu?” Aku mengangkat bahuku ringan, “Kurasa karena aku bisa mengandalkan keamanan disini. Lagipula otakku sepertinya memang tercipta untuk membenci angka-angka. Aku tidak bisa mengingat angka yang rumit.” “Kalau begitu kenapa tidak menggunakan angka kelahiranmu saja?” Aku tergelak. “Bukannya itu malah lebih mudah ditebak?” jawabku sembari membuka pintu apartemenku. “Karena orang-orang biasanya menggunakan ta
VIKTOR POV Kulambatkan laju mobilku dan menghentikannya tepat saat aku tidak sengaja melihat seseorang yang kukenal turun dari mobil hitam yang terparkir di depan kawasan apartemen yang kuhuni. “Vanessa?” gumamku ragu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memastikan bahwa orang yang kulihat benar-benar tetangga penghuni apartemen sebelahku ketika perempuan itu menoleh menatap lawan bicaranya dan tersenyum padanya. Dahiku mengernyit dan mataku menyipit tanpa sadar. Lalu aku mulai mendengus keras saat aku menyadari aku tidak familiar dengan laki-laki yang Vanessa bawa masuk ke apartemennya. Astaga… Laki-laki mana lagi itu yang perempuan itu bawa? Sepertinya perempuan itu belum juga kapok dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Apa dia sudah lupa? Bahkan hanya mengingatnya saja bisa membuatku berdecih pelan. Bagaimana bisa perempuan itu selalu menemukan orang baru hampir setiap minggunya? Dan lagi bagaimana bisa semua laki-laki yang ia bawa sama-sama bodoh hingga bisa terjebak dengan kata
VANESSA POV Aku baru saja akan membalas ciuman Richard saat pintu apartemenku tiba-tiba terbuka lebar dan lampu ruanganku menyala terang. Perlu beberapa waktu bagiku dan Richard untuk membiasakan diri dengan cahaya yang menyerang tiba-tiba. Lalu aku melihat Viktor, atau yang biasa kupanggil Vik, tetanggaku yang super ganteng, single, baik tapi suka ikut campur itu, berdiri ditengah pintu apartemenku. Ia menunjukkan senyumnya yang kubalas dengan tatapan sebal. "Halo, tetangga," sapanya tenang seolah tidak melihat apa yang baru saja kulakukan dengan Richard. "Aku melihat pintu apartemenmu sedikit terbuka tapi lampunya padam. Kupikir ada maling atau apa," lanjutnya. Aku mendengus pelan, tahu benar bahwa apa yang Vik bilang bukanlah alasan sebenarnya. Sejak kejadian Else melabrakku tempo hari, Vik sepertinya memang sedikit banyak mulai ikut campur terhadap urusanku. Apalagi jika ia memergokiku membawa laki-laki ke apartemen. Ia pasti akan melakukan segala cara untuk menghentikanku. Sepe
VIKTOR POV “... Itulah yang membuatmu tersenyum saat tahu ia memutuskan pacarnya bukan?” kataku mengakhiri kesimpulan yang kulemparkan padanya. Dan bukannya membantah atau apa, Vanessa melemparkan senyum miring yang berhasil membuatku tertegun tidak percaya. Apa dia benar-benar Vanessa yang selama ini kukenal atau seorang psikopat dengan topeng wajah polos untuk menyembunyikan keinginannya yang haus darah? Tapi setelah dipikir-pikir Vanessa tidak pernah menunjukkan ia memiliki sisi psikopat. Setidaknya untuk sekarang aku bisa sedikit santai mengetahui ia tidak akan menggorok leherku karena membiarkan calon korbannya pergi. “Aku tidak percaya kau ternyata cukup pintar juga,” komentar Vanessa. Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Vanessa. Sedikit lambat meresapi kata-katanya. Jadi apa maksudnya itu? Apa selama ini dia meremehkanku dan mengira aku bodoh? “Yah… Bisa kubilang kau memang benar. Aku memang tidak berselingkuh dengannya, tapi bukan berarti bukan aku yang merusak hubung
VIKTOR POV Aku geram. Tentu saja aku geram. Siapapun yang ada di posisiku dan tengah mendengarkan kata-kata konyol Vanessa barusan bisa kupastikan juga akan bereaksi sama sepertiku. Bagaimana bisa Vanessa bermain-main dengan kekasih orang lain tapi menolak kelakuannya disebut perselingkuhan? “Kenapa jadi kau yang marah-marah? Apa kau seperti ini karena pernah diselingkuhi?” Wajahku merah padam. Tapi bukan karena malu. Tidak. Tidak pernah. Aku bahkan belum pernah tertarik menjalani hubungan dengan satu wanitapun seumur hidupku. Karena sebagian besar wanita yang mengetahui latar belakangku, tidak akan mendekatiku tanpa terlihat ketara apa yang dia incar. Jadi jika ditanya apa aku tahu perasaan seseorang yang diselingkuhi, aku tidak perlu menjalin hubungan dulu untuk tahu jawabannya. Aku hanya tidak menjawab pertanyaan Vanessa karena aku tidak sudi membayangkannya. Tapi Vanessa menyalahartikan keterdiamanku. Ia menatapku dengan pandangan iba dan prihatin yang bercampur dengan pengerti
VANESSA POV Aku menghela nafas panjang sekali lagi, berusaha menahan rasa jengkelku saat melihat Vik muncul menungguku di depan kantor. Ia menunjukkan senyum lebar menawannya dengan wajah polos sembari melambaikan tangan menghampiriku. “Sepertinya orang itu melambai padamu,” kata Stefan yang berdiri di sampingku. “Benarkah?” responku pura-pura tidak tahu. “Ya. Dia bahkan menuju kearah kita sekarang.” Stefan menoleh kearahku saat Vik meneriakkan namaku dengan lantang. Geez, bocah itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan disini? “Sepertinya dia benar-benar kenalanmu. Tapi kau bilang tidak ada yang menjemputmu,” tambahnya kemudian. “Kupikir juga begitu.” Kulihat Vik masih tersenyum lebar saat ia berhenti tepat di depanku. Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak mengenalnya sejak ia meneriakkan namaku dengan lantang sampai beberapa orang yang lewat menoleh menatapnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku padanya. “Menjemputmu.” Aku melirik mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami
VANESSA POV “Kau? Mau mentraktirku?” tanyaku tidak percaya. “Kau?” Vik tertawa kecil. “Kenapa kau kelihatan tidak percaya begitu? Aku juga punya uang kau tahu.” “Aku tahu,” mataku menyipit curiga menatapnya. “Tapi sangat aneh melihat orang yang biasa memintaku masak untuk makan malam agar bisa menghemat uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mentraktir makan diluar. Aku curiga kau punya niat buruk dibelakangnya.” Tawa Vik menyembur keluar mendengar kata-kataku. “Aku akan sangat berterima kasih jika seandainya kau juga seperti ini pada laki-laki lain dan bukannya padaku,” jawab Vik. Tawanya sedikit mereda. “Tapi jika kau khawatir tentang hal itu, jawabannya adalah tidak. Aku tidak punya maksud buruk dengan mentraktirmu makan. Lagipula memangnya kau sudah mengenalku berapa lama sampai mencurigaiku begitu? Aku hanya ingin memastikanmu makan hari ini. Kau bilang kau capek.” “Dan aku juga bilang kalau aku mengantuk, kalau kau ingat,” kataku mengingatkannya. “Kenapa kau malah mengajak
VANESSA POV “Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Vik balas menatapku dan mengangkat dua bahunya, “Yaa siapa tahu itu juga termasuk kan? Kau bilang makanan seperti ini bisa mengatasi rasa kesalmu.” Kali ini giliranku yang mendengus. Astaga… Apa dia baru saja membalasku karena menyindirnya soal ia yang belum mendapat pekerjaan? Aku tertawa kecil. “Mungkin saja. Kau berniat mencobanya?” jawabku singkat sambil mulai menyuapkan potongan daging ke dalam mulut. Gila! Ini benar-benar enak. Pantas saja restoran ini sangat terkenal. “Benarkah?” Aku mengangguk. Tapi kali ini dengan mulut yang sibuk mencicipi masakan lain yang dihidangkan. Tidak ada respon dari Vik yang aku dengar. Untuk beberapa saat kami hanya sibuk mengunyah dan menelan makanan yang rasanya sangat enak. “Kalau begitu kau mau taruhan denganku?” Aku berusaha menelan makanan di mulutku dengan seteguk minuman sebelum menjawab Vik. “Taruhan? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku taruhan?” “Karena kurasa ini jalan satu-satuny
VIKTOR POV“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku menuntut penjelasan.Daniel, si brengsek penyuka warna hitam yang sedari tadi mengikutiku yang juga sekaligus teman dan sepupuku itu, hanya meringis dengan muka tidak bersalah saat melihatku memergokinya. Ia melepas kacamata hitam besarnya, memperlihatkan wajah memuakkannya yang entah bagaimana bisa membuat para wanita berbaris itu.Bagaimana muka seperti itu dianggap tampan oleh sebagian besar wanita ya? Sungguh suatu misteri.“Eh? Bagaimana kau tahu aku disini?” tanyanya.Oke, sejujurnya, selain ketampanan yang aku tidak mengerti dari sisi mananya yang dia miliki, aku tidak tahu dia akan jadi apa jika tidak mewarisi kekayaan dalam jumlah besar dari orang tuanya. Maks
VIKTOR POV“Sepertinya ada yang mengikuti kita.”“Apa?” tanyaku terkejut, tidak mengira dengan apa yang dikatakan Vanessa. Saat melihat perubahan tidak biasa pada raut wajahnya tadi, kupikir ia sedang memikirkan pekerjaannya atau teringat sesuatu yang tertinggal di apartemen.Tapi malah ada yang mengikuti kami? Bagaimana bisa…Dan ngomong-ngomong siapa laki-laki brengsek yang berani-beraninya melakukan itu saat aku sedang menghabiskan waktu dengan tetanggaku tersayang yang sangat jarang menerima ajakanku?!Dibanding rasa marah, aku merasa sangat kesal dan ingin menonjok siapapun itu yang tengah mengikuti kami.Aku hampir menoleh ke belakang saat Vaness
VANESSA POV“Jadi kau mau belanja apa saja hari ini?” tanya Vik yang mendorong trolley belanjaan di belakangku. Aku menoleh padanya, mulai memikirkan apa yang enak untuk dimasak hari ini.“Kau sendiri mau kumasakkan apa malam ini?” tanyaku balik.“How about Italian food?”“Pasta?”Ia mengangguk. Aku mendengus kecil dengan senyuman.“As always,” komentarku. “Kalau begitu harus
VANESSA POV Aku bangun sangat siang keesokan harinya. Dengan mood sangat baik tentunya setelah makan makanan enak semalam. Ditambah karena hari ini adalah weekend yang selalu ditunggu-tunggu para pekerja keras sepertiku hehe. Meskipun sebenarnya aku hanya berencana untuk malas-malasan hari ini, seperti menonton film, membaca novel yang baru kubeli atau hanya sekedar melihat-lihat barang di online shop. Tapi mood baikku yang jarang-jarang kumiliki untuk melakukan semua itu mendadak buyar saat aku mendengar seseorang mengetuk pintu apartemenku. Aku mengalihkan pandangan dari teh hangat yang baru saja kuseruput dan menatap pintu apartemen dengan pandangan tajam, bisa menduga siapa yang ada di baliknya. “Pagii…” sapa Vik dengan senyum cerah begitu aku membuka pintu untuknya dengan malas. Aku menatapnya dengan masam. Menampilkan dengan jel
Hai... Terima kasih sudah mampir dan masukin tulisanku ke pustaka. Tapi maaf banget... Ternyata aku lebih sibuk di real life daripada dugaanku gaes huhu. Dan sudah seminggu ini naskah ini bahkan belum sempet kusentuh. Maaf banget yaa huhu Aku seneng lihat banyak orang mulai tertarik sama tulisanku tapi itu juga bikin aku sedih pas aku tahu aku belum bisa update naskah ini. Maafin yaa gaes. I'll try to have time to write this beatiful story. Bakal coba kucicil disela-sela waktuku yang entah bagaimana berasa dikit banget huhu Sekali lagi terima kasih sudah tertarik dengan kisah Vanessa dan Vik.... Semoga kita bisa berjumpa sebentar lagi. See you...
VIKTOR POV “Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku setiap satu bulan terlewati.” Ekspresiku seketika menjadi masam mendengarnya. Sejak awal aku sudah menduga kalau Vanessa tidak akan semudah itu mengiyakan ajakan taruhanku. Jadi tentu saja terasa masuk akal jika dia mengajukan hal yang akan memberikannya keuntungan lebih. Tapi aku tidak pernah mengira hal ini. Tiga bulan berarti tiga permintaan. Sebenarnya tidak sulit tapi aku benar-benar penasaran, apa ya kira-kira permintaannya sampai dia menginginkan permintaan sebanyak itu? Dan lagi jika aku terlihat akan menolak syaratnya, dia mungkin tidak akan menyetujui hal ini lagi dikemudian hari. “Kalau kau tidak bisa melakukannya, lebih baik lupakan saja hal ini,” tambahnya lagi melihat keterdiamanku. “Kalau begitu, jika kau gagal sejak bulan pertama, apa itu artinya aku juga mendapat tiga permintaan darimu?” “Enak saja! Tentu saja tidak begitu. Tiga permintaan itu hanya khusus untukku.” “Kok begitu? Tidak adil dong,” protesku
VANESSA POV “Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Vik balas menatapku dan mengangkat dua bahunya, “Yaa siapa tahu itu juga termasuk kan? Kau bilang makanan seperti ini bisa mengatasi rasa kesalmu.” Kali ini giliranku yang mendengus. Astaga… Apa dia baru saja membalasku karena menyindirnya soal ia yang belum mendapat pekerjaan? Aku tertawa kecil. “Mungkin saja. Kau berniat mencobanya?” jawabku singkat sambil mulai menyuapkan potongan daging ke dalam mulut. Gila! Ini benar-benar enak. Pantas saja restoran ini sangat terkenal. “Benarkah?” Aku mengangguk. Tapi kali ini dengan mulut yang sibuk mencicipi masakan lain yang dihidangkan. Tidak ada respon dari Vik yang aku dengar. Untuk beberapa saat kami hanya sibuk mengunyah dan menelan makanan yang rasanya sangat enak. “Kalau begitu kau mau taruhan denganku?” Aku berusaha menelan makanan di mulutku dengan seteguk minuman sebelum menjawab Vik. “Taruhan? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku taruhan?” “Karena kurasa ini jalan satu-satuny
VANESSA POV “Kau? Mau mentraktirku?” tanyaku tidak percaya. “Kau?” Vik tertawa kecil. “Kenapa kau kelihatan tidak percaya begitu? Aku juga punya uang kau tahu.” “Aku tahu,” mataku menyipit curiga menatapnya. “Tapi sangat aneh melihat orang yang biasa memintaku masak untuk makan malam agar bisa menghemat uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mentraktir makan diluar. Aku curiga kau punya niat buruk dibelakangnya.” Tawa Vik menyembur keluar mendengar kata-kataku. “Aku akan sangat berterima kasih jika seandainya kau juga seperti ini pada laki-laki lain dan bukannya padaku,” jawab Vik. Tawanya sedikit mereda. “Tapi jika kau khawatir tentang hal itu, jawabannya adalah tidak. Aku tidak punya maksud buruk dengan mentraktirmu makan. Lagipula memangnya kau sudah mengenalku berapa lama sampai mencurigaiku begitu? Aku hanya ingin memastikanmu makan hari ini. Kau bilang kau capek.” “Dan aku juga bilang kalau aku mengantuk, kalau kau ingat,” kataku mengingatkannya. “Kenapa kau malah mengajak
VANESSA POV Aku menghela nafas panjang sekali lagi, berusaha menahan rasa jengkelku saat melihat Vik muncul menungguku di depan kantor. Ia menunjukkan senyum lebar menawannya dengan wajah polos sembari melambaikan tangan menghampiriku. “Sepertinya orang itu melambai padamu,” kata Stefan yang berdiri di sampingku. “Benarkah?” responku pura-pura tidak tahu. “Ya. Dia bahkan menuju kearah kita sekarang.” Stefan menoleh kearahku saat Vik meneriakkan namaku dengan lantang. Geez, bocah itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan disini? “Sepertinya dia benar-benar kenalanmu. Tapi kau bilang tidak ada yang menjemputmu,” tambahnya kemudian. “Kupikir juga begitu.” Kulihat Vik masih tersenyum lebar saat ia berhenti tepat di depanku. Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak mengenalnya sejak ia meneriakkan namaku dengan lantang sampai beberapa orang yang lewat menoleh menatapnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku padanya. “Menjemputmu.” Aku melirik mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami