Hari ini aku bersiap ke kantor pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. semua dokumen sudah siap tinggal ajukan saja ke sana. Kulakukan sendiri agar belajar mandiri karena mulai hari ini semua harus dilakukan sendiri tanpa bantuan Mas Surya ataupun keluarganya. Kuharap Mas Surya tidak mempersulit keinginanku tersebut. Kalau dia berniat menghalangi, maka baru aku menggunakan jasa pengacara untuk membantu proses perceraian kami agar berjalan lancar dan lebih cepat selesai. Lagipula aku sudah mempunyai persiapan yang matang untuk hal ini. Bukan hanya asal jalan tanpa tahu medan yang akan dihadapi kedepannya. Terutama menghadapi Mama Lila. Aku merasa ia masih berat untuk melepaskanku. Ponselku berdering dan aku tahu itu dari Mas Surya. Sudah puluhan kali dia menghubungi dari semalam. Sudah kuterima juga dan tidak diabaikan lagi setelah mendapatkan nasihat dari Bunda. Namun herannya ada saja hal yang dikatakannya yang menurutku itu bukan sesuatu yang penting. Yang membuatku mala
Aku tersenyum kecut mendengar permintaannya tersebut. Entah, apakah kalimat itu berupa permintaan atau peringatan? Aku tak peduli. Aku tidak ingin repot memikirkan apa nama yang pas untuk kalimatnya tersebut. Lucu. Sekarang dia yang merasakan apa yang dulu kurasakan. "Bagaimana rasanya? Tidak enak kan hidup dalam kecurigaan." Aku memajukan badan mengatakannya sambil berbisik, agar terdengar syahdu di telinganya. "Oh, jadi kamu sengaja membuat Surya seperti itu? Mau balas dendam padaku, begitu?"Nadanya terdengar ketus. Terdengar ada kemarahan di sana. "Sengaja?" Aku tertawa kecil. "Jangan samakan aku denganmu, Rel. Kita berbeda. Aku bukan sepertimu yang memang punya niat sengaja mencuri suami orang." Aurel tercengut. Aku tahu dia tidak suka dengan apa yang barusan kukatakan. Namun memang itu kan kenyataannya? "Aku tak pernah meminta Mas Surya menghubungiku terus. Apalagi mengajak bertemu, tidak! Justru dia sendiri yang menghubungi lebih dulu dengan alasan kangen." Sengaja aku
Pov Surya "Kamu kenapa Rel?" Aku bingung melihat Aurel berlinang air mata membukakan pintu untukku. Dia bilang sakit kepala dan minta dibelikan obat pereda nyeri, makanya dengan cepat segera ke rumahnya setelah pulang kerja, tapi kenapa disambut dengan air mata? Apa sakit kepalanya separah ini? Setahuku dia memang suka vertigo. "Istrimu itu jahat, Ya." Sesegukan Aurel menjawab. "Istriku? Medina?" Memastikan, karena sampai sekarang secara hukum aku dan Medina masih sah sebagai suami-istri. Aku pun juga belum mengucap kata talak untuknya. Aurel mengangguk lemah. "Dia … dia mengancamku."Aku terkejut mendengarnya. Keningku seketika mengkerut. "Mengancam?" ulangku bertanya. Aurel mengangguk meyakinkan. "Dia juga menghinaku sebagai wanita murahan karena telah merebutmu darinya. A–aku tidak begitu Ya, aku tidak serendah itu. Aku tidak sengaja merebutmu dan aku tak bisa mencegah rasaku padamu. Ini soal hati, siapa yang bisa mencegahnya? Kenapa bisanya hanya menyalahkanku? Padahal dia s
Pov Surya Tak mengerti dengan insting seorang wanita. Kenapa selalu tepat? Kenapa feelingnya selalu benar? Seperti yang barusan ditanyakan Aurel. Kenapa dia bisa tepat menduga kalau aku belum rela berpisah dari Medina? Mungkin sekarang harus hati-hati dalam berucap. Salah sedikit saja bisa jadi bumerang buat diriku sendiri. Aurel lagi peka. Dia sering marah-marah tak jelas apalagi kalau membahas Medina. "Kenapa jadi merembet ke sana, Rel? Bukan itu maksud dari ucapanku barusan. Percayalah." Aku mencoba berkelit. Mencoba meyakinkannya. "Entahlah Ya, aku mulai ragu denganmu. Sikapmu pada Medina beda. Aku merasa kamu mencintainya juga." Aurel menundukkan kepalanya ke bawah. Nada bicaranya terdengar sendu. Aku tidak suka mendengarnya. Aku tidak suka melihatnya bersedih karenaku. "Maaf. Aku hanya belum terbiasa saja berpisah dengannya. Dulu setiap pulang kerja selalu melihatnya di rumah bersama Malik. Sekarang karena kami memutuskan berpisah, ada yang beda saja. Seperti ada yang hila
pov Surya Aku mendongak menatap ke arah Mama saat ia membuka obrolan di meja makan. Kami berdua makan malam bersama. "Medina sehat. Malik juga. Anak itu semakin membuat Mama gemas, Ya. Lucu dan pintar," sambungnya lagi setelah tak ada sahutan dariku. Namun ia tahu aku menyimaknya bicara. Telingaku mendengar meski tangan ini aktif memasukkan makanan ke dalam mulut. Terdengar helaan napas panjang Mama. Ia juga menghentikan aktivitas sendok dan garpu yang beradu di piringnya. "Apa perceraian kalian tidak bisa dihentikan? Mama masih berat menerima kalian berpisah." Aku ikutan menghentikan aktivitas makan. "Sudah dari awal Surya bilang yang menginginkan perpisahan ini Medina, Bu. Surya juga sudah membujuknya untuk rujuk tapi ditolak. Medina keukeh tetap ingin bercerai." "Mama sudah peringatkan dari awal jauhi Aurel. Jauhi Aurel nanti rumah tanggamu bakal hancur. Iihat! Benar kan?"Lagu lama diulang kembali. Ini sudah yang kesekian kali dikatakannya padaku. Seolah tidak bosan men
Pov Surya Dulu aku menantikan hari ini. Namun sekarang tidak. Justru aku berharap hari ini tidak pernah hadir dalam hidupku. Tidak ada perpisahan yang menyenangkan. Aku salah telah mengharapkan sesuatu yang akhirnya akan kusesali Seumur hidup. Medina mengulurkan tangannya padaku. Mengajak bersalaman. Sejak ketuk palu itu dibunyikan tiga kali, sejak itu pula kami resmi berpisah. Perceraian ini akhirnya terjadi. "Tetap hubungi Mas apapun yang terjadi. Jangan menanggungnya sendiri. Terutama untuk biaya hidup kalian. Tiap bulan pasti akan kukurimkan uang bulananmu." Bukannya menerima uluran tangan Medina, tapi aku malah mendekapnya. Membawanya dalam pelukanku. Aku takut tak bisa memeluknya lagi. Aku takut pelukan ini yang terakhir kalinya. Aku tidak tahu kapan bisa memeluknya seperti ini lagi karena akan semakin besar tembok yang akan menghalangiku kedepannya. "Iya, terima kasih. Jangan lupa weekend-mu bersama Malik. Soal nafkah, terima kasih kalau masih ingat dan mau bertanggung j
"Pak Surya!" Panggilan dari belakang memaksaku menghentikan langkah. Aku menengok ke asal suara. Pak Satria. Dia yang memanggilku. Aku memaksakan senyum ke arahnya. Menyapa hormat dengan sedikit menunduk pada atasan tempatku bekerja. "Benar. Aku tak salah orang," ujarnya tersenyum renyah menatapku sebentar, lalu segera masuk ke dalam lift yang akan membawa kami ke lantai bawah. "Bagaimana sidangnya, lancar?"Kupicingkan mata mendengar pertanyaannya. Tumben atasan yang terkenal killer di kantor bertanya sok dekat seperti ini. Tidak biasanya. Kami mengenalnya sebagai sosok yang dingin dan irit bicara. Sekalipun bersuara, yang keluar adalah omelan atau kemarahan karena apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan keinginannya. Sedinginnya diriku di mata orang lain, maka Pak Satria adalah suhunya. Level tertinggi orang yang sulit diajak bicara santai, apalagi diajak bercanda. Ia sangat serius dan lebih suka menyendiri. Itulah mungkin penyebab istrinya meninggalkannya. Terlalu datar hidupny
Pov Aurel Kulangkahkan kaki dengan pasti memasuki sebuah rumah yang familiar sering kudatangi. Bell pintu kutekan dua kali saat berada di depannya berharap penghuni rumah tersebut segera membukakan pintu. Aku tak sabar ingin menemuinya. Sengaja datang hanya untuk memberikan sesuatu yang bakal mengejutkannya. Klek! Bibirku tersenyum seraya memperbaiki letak kacamata hitam yang sedang kukenakan saat terdengar suara anak kunci diputar dari dalam rumah. Pintu terbuka. "Aurel?" Suara terkejutnya sangat merdu di telingaku. Aku suka. Senyumku merekah melihat wanita yang kubenci saat ini membukakan pintu tersebut. Wajahnya tentu ikut menunjukkan keterkejutan juga saat melihatku berdiri di depan pintu rumahnya. Medina. Aku sengaja menginjakkan kaki di rumahnya, rumah Surya dulu yang sekarang ditempati oleh wanita tersebut bersama anaknya setelah mereka resmi bercerai. Sebenarnya aku tidak setuju kalau rumah ini diberikan cuma-cuma pada Medina. Meski dilabeli milik Malik, tapi teta
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t