Pov Aurel Kulangkahkan kaki dengan pasti memasuki sebuah rumah yang familiar sering kudatangi. Bell pintu kutekan dua kali saat berada di depannya berharap penghuni rumah tersebut segera membukakan pintu. Aku tak sabar ingin menemuinya. Sengaja datang hanya untuk memberikan sesuatu yang bakal mengejutkannya. Klek! Bibirku tersenyum seraya memperbaiki letak kacamata hitam yang sedang kukenakan saat terdengar suara anak kunci diputar dari dalam rumah. Pintu terbuka. "Aurel?" Suara terkejutnya sangat merdu di telingaku. Aku suka. Senyumku merekah melihat wanita yang kubenci saat ini membukakan pintu tersebut. Wajahnya tentu ikut menunjukkan keterkejutan juga saat melihatku berdiri di depan pintu rumahnya. Medina. Aku sengaja menginjakkan kaki di rumahnya, rumah Surya dulu yang sekarang ditempati oleh wanita tersebut bersama anaknya setelah mereka resmi bercerai. Sebenarnya aku tidak setuju kalau rumah ini diberikan cuma-cuma pada Medina. Meski dilabeli milik Malik, tapi teta
Lucu!" "Apanya?" Gegas aku bertanya. Pembicaraan ini sudah tidak bisa dilakukan dengan kepala dingin. Lagipula aku ingin menunjukkan ke Medina kalau aku tidak lemah sepertinya. Aku tidak akan tinggal diam melihat calon suami dekat dengan wanita lain. apalagi mantan. "Kamu. Akhirnya rasaku dulu kamu rasakan juga. Allah itu maha adil ya. Cepat sekali Dia memberikan tuai atas apa yang pernah kurasakan dulu." "Kamu mau bilang itu karma, begitu? Salah! Aku dan kamu berbeda. Apa yang terjadi yang pada kita itu tidak sama. Sikapku ini hanya sebagai antisipasi, bukan hasil dari apa yang sedang terjadi dan tidak ada hal yang buruk juga yang sedang menimpaku saat ini. Makanya jadi wanita itu pinteran dikit, biar nggak bodoh-bodoh amat. Cerai kan jadinya. Nggak pintar ngurus suami." Kuejek Medina dengan begitu kasarnya melampiaskan rasa kesal yang sudah terkumpul di hati. "Belum saja. Bisa jadi kamu belum sadar. Nanti juga kejadian," lanjutnya tak terduga membuatku semakin kesal. "Hei! Ku
Pov Surya"Nah yang ini lebih bagus, jangan yang itu. Jelek, Yang." Aurel menolak pilihanku. Kami berada di butik pakaian pengantin untuk fitting baju pengantin dan jas yang akan kugunakan nantinya. Semua pakaian yang kucoba diatur Aurel. Bahkan aku tidak bisa memilih. Baginya semua pilihanku jelek. "Bagus kan Yang? Iya kan Mbak, yang ini lebih bagus." Aurel memutuskan sendiri meski meminta saran dariku atau bertanya pada Mbak pegawai butik ini, tetap saja pilihannya lah yang diambil. Pasrah menerima saja karena tidak ingin ribut. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku juga tidak suka terlalu lama berada di tempat seperti ini. Lebih ketidak sukanya itu diatur-atur dan berganti pakaian tiap menit. Tidak menyangka bakal seribet ini saat datang bersama Aurel. Tidak seperti dulu saat bersama Medina. Tinggal pilih dan suka, semua beres. Wanita itu lebih menurut dan tidak banyak tingkah. Meski Mama yang memilihkan baju pengantin kami, tapi Mama tetap menanyakan apakah aku suka atau tidak
Masih kerja aja? Libur Bro. Tinggal seminggu lagi hari pernikahanmu." Deri datang menepuk pundakku dari belakang. Lalu duduk di sampingku. "Tanggung. Mau selesaikan pekerjaan dulu. Biar nanti nggak kepikiran," ujarku menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Fokusku ke laptop depan mata. "Iya juga. Biar tenang ya Bro. Nggak enak juga lagi asyik indehoi eh ditelpon Bos minta laporan kerja." Deri tertawa tergelak sendiri. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Memang lucu kalau dibayangkan. Namun aku yakin itu tidak mungkin terjadi. apa iya ada bos yang sampai begitu dengan bawahannya? sekiller-nya Bos Satria, dia masih punya toleran tinggi untuk privasi karyawannya. "Hm, dengar gosip tentangmu, Bro?" Aku tertawa renyah. Deri tampak sungkan bertanya. "Apa?" tanyaku menanggapinya sedatar mungkin. "Sudah dengar apa belum? Aku jadi nggak enak ngasih tahu kamu duluan. Harusnya jadi gosip aja, nggak perlu tahu. Iya kan?" Deri tampak menyesal. "Sorry, Bro." Lagi, pundakku ditepuknya pela
Aku dan Malik memasuki sebuah pesta resepsi yang cukup mewah. Dekorasi cantik menghiasi setiap sudut ruangan yang kami masuki. Ditambah rangkaian bunga mawar putih juga menambah keindahan tempat pesta ini. Aku takjub melihatnya. Kugenggam erat tangan Malik seraya menuntunnya ke tempat janjianku dengan Mas Surya. "Medina!" Aku menoleh ke asal suara. Seorang wanita paruh baya mengenakan kebaya emas menghampiri kami dengan senyum terkembang. "Mama," balasku berseru memanggilnya pelan. Mama Lila yang menghampiri kami. Aku masih terbiasa memanggilnya mama meskipun pernikahanku dengan anaknya telah berakhir. Kucium takzim tangannya saat beliau berada di depan mata. Begitupun Malik kutuntun untuk mencium tangan neneknya tersebut. Hubungan kami baik meski dulu sempat renggang. "Syukurlah kamu mau datang. Ayo ikut Mama. Kita ke ruangan Surya. Dia lagi siap-siap." Tanganku diraihnya. Kaki ikutan melangkah mengikuti irama kakinya karena terpaksa. Tidak ketinggalan Malik di sisiku.
Aku berbalik untuk memastikan apa yang kuduga itu benar. "Maaf permisi apa kalian sedang membahas benda ini?" Sembari bertanya, kuambil benda yang baru saja tersimpan di dalam tasku. "Iya, ini gantungan kitty starla, Ayah." Anak kecil dengan rambut kepang dua itu sangat girang saat kutunjukkan gantungan kunci di hadapannya. Sudut bibirku ikut tertarik ke atas melihatnya. Ikutan senang. "Benar ini punyamu, Starla?" Laki-laki yang merupakan ayah anak tersebut bertanya untuk memastikan setelah mengambil benda itu dari tanganku. Aku menatapnya lekat, mengamati sosok laki-laki yang berdiri di hadapanku saat ini karena aku merasa seperti mengenalnya. Dia ….Mencoba mengingat. Ada momen yang tiba-tiba terlintas di benakmu. "Mas yang itu …?" Ya, aku ingat. Dia laki-laki yang menolongku waktu itu. Bahkan sudah dua kali aku ditolongnya. Anehnya aku belum tahu siapa namanya. Kami tidak berkenalan seperti lazim orang pada umumnya. "Kamu." Dia hanya menanggapi datar. Seolah bukan sesuat
"Ma, mam.""Hah?!" Aku terkaget. Kenapa Malik minta makan? Apa di acara tadi dia tidak diberi makan? "Malik mau makan? Memang di sana tadi nggak dikasih makan ya sama Ayah dan Nenek?" Aku memastikan sebelum berpikiran buruk pada Mas Surya dan Mama Lila. Pagi tadi sebenarnya Malik audah kuberi makan, tapi dia tidak makan sebanyak biasanya. Katanya kenyang. Kupikir mungkin nanti di acara ayahnya dia akan makan karena di sana pasti banyak makanan. Malik itu tidak begitu rewel soal makanan. Dia anaknya diberi makan saja, mau. Tidak pemilih. Malik menggeleng. "Masa'? Malik ditanya tidak kayak gini. 'Lik mau makan?' nah, Nenek atau Ayah ada tanya begitu?" Tampak Malik diam dengan menerawang ke atas. Ia sedang berpikir. "Ada," katanya. Lega, kukira dua ibu anak itu akan lupa sama Malik karena keasyikan dengan acara sendiri. "Terus Malik jawab apa?" "Lik maunya makan sama Ibu." Oh, begitu rupanya. Selama acara, aku pergi dan lupa kalau Malik bakal kelaparan di sana. Aku sendiri ti
Pov Surya "Rel, jangan ngambek gitu, aku sudah bilang dari awal nggak bisa ambil cuti lagi. Kita honeymoon-nya nanti saja nunggu libur panjang."Aurel merajuk karena aku menolak keinginannya untuk honeymoon setelah menikah. Ia masih di atas ranjang menutup dirinya dalam selimut. "Rel," panggilku karena istri baruku itu tidak merespon sama sekali. Dia bahkan berbaring memunggungiku. "Aku kesel! Lagian aneh juga kantormu itu ketat banget aturannya. Masa orang habis nikah nggak boleh honeymoon? Apalagi si bosmu itu, Pak Satria itu nyebelin banget," sungutnya kesal akhirnya mau merespon. Aku hanya terkekeh kecil menanggapi ambekannya barusan. Ia malah menyalahkan atasanku itu. Padahal semua memang sudah aturan dari kantor sendiri. Bukan dari Pak Satria. "Kenapa nggak bikin perusahaan sendiri saja, Ya? Kamu mampu kok, atau nanti aku bantuin nambah kekurangannya. Jadi kita buka perusahaan dan kamu yang bosnya. Jadi sekarang nggak harus ikuti aturan kantor. Nggak kerja ikut orang, ngga
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t