"Karena itulah aku meminta Surya untuk melepaskanmu, Na. Selama ini dia tersiksa mencoba mencintaimu–""Rel, sudah hentikan!" Mas Surya menyela. "Kenapa harus dihentikan? Lanjutkan Rel, aku mau tahu semuanya. Tersiksa kenapa? Apa pikirmu Mas, aku tak tersiksa mencintai orang yang tidak pernah mencintaiku?""Medina, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku sudah berusaha mencintaimu tapi–" "Tapi tidak bisa. Iya kan? Kenapa? Karena kamu mencintai Aurel, begitu?" jawabku mulai gemas mendengar jawabannya yang begitu lamban. "Aku pernah dengar kalimat yang bilang cinta itu akan hadir karena terbiasa bersama. Apa selama bersamaku kamu tidak pernah mempunyai rasa itu, Mas?" lanjutku lagi. Kali ini nada bicaraku tak bisa dikontrol. Suara getarannya keluar karena aku mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang ingin merembes keluar dari kedua sudut mataku. "Itu karena sebenarnya Surya itu sangat mencintaiku, Na. Mengertilah karena Surya itu sudah mencintaiku sejak dulu. Kamu pas
"Bu, maaf kalau Bibi lancang. Meskipun Bibi tidak dengar, tapi Bibi tahu kalau rumah tangga Bu Medina sama Pak Surya sedang bermasalah." Bi Jum datang memberikan secangkir teh ke atas meja, ke hadapanku. Setelah berhasil menidur siangkan Malik, aku pergi ke dapur. Berniat ingin makan siang meski sebenarnya tidak bernafsu makan. Aku makan hanya untuk mengisi tenaga. Hati boleh sakit, tapi badan jangan. Kalau aku sakit, bagaimana dengan Malik? "Kalau Bibi boleh ngasih saran, jangan berpisah Bu. Bu Medina harus pertahankan rumah tangga Ibu. Yang harusnya tahu diri itu si itu, anu … Aurel, iya Aurel. Tega sekali perempuan itu masuk ke rumah tangga Ibu dan merebut Pak Surya. Emang dasar kegatelan tuh perempuan. Dari awal ketemu, Bibi sudah bisa tebak perempuan seperti apa dia itu. Katanya teman tapi kok nusuk dadi belakang? Cantikkan juga Bu Medina, dia menang karena makeup saja, Bu. Coba nggak dandan, biasa saja, nggak jauh beda sama Bibi." Mendengar ucapan Bibi barusan cukup membuatk
"Medina." "Medina, kamu? Pembicaraan kita belum selesai." "Apa maksud kamu sudah dapat jawaban?" Pertanyaan Mas Surya kuabaikan. Langkahku pasti ke kamar tidur. Tampak Mas Surya mengekorku dari belakang. "Tunggu! Jelaskan padaku apa maksud ucapanmu barusan, Na?" Niatku ingin membuka pintu dihentikan Mas Surya. Ia maju menutupi pintu kamar menghalangiku masuk. "Pernikahan ini selesai. Jatuhkan talak untukku Mas." Entah dapat kekuatan darimana, dengan percaya diri aku meminta ditalak darinya. Mas Surya tampak tak percaya. Ia menggelengkan kepala. Tak peduli lagi jika itu respon penolakan atau bukan. Hatiku sudah mantap saat ia mengakui secara tak langsung telah mencintai wanita itu. "Kamu apa-apaan, Na. Bukan ini maksudku. Sudah kubilang dari awal kita perbaiki hubungan kita." Tanganku lagi-lagi digenggamnya, dan selalu kutepis karena aku tak suka lagi disentuh olehnya. "Perbaiki seperti apa? Bukankah Mas mencintai wanita itu? Cinta pertama Mas, kan, iya kan? Apalagi yang ha
"Medina!" Terdengar langkah kaki berlari. Aku berbalik menghadapinya. "Tunggu! Tetaplah tinggal di sini, biar aku yang pergi. Aku nggak mau kamu bawa pergi jauh Malik. Aku tidak tahu rumah seperti apa yang akan kamu tempati. Nyaman kah atau tidak untuk anak kita. Dia baru saja sembuh dari sakit, Na. Jangan egois."Perkataan panjang Mas Surya ada benarnya. Aku memang belum tahu seperti apa rumah yang dikontrakkan itu karena belum melihatnya secara langsung. Aku tahu juga baru dari Meira karena dia yang mencarikan rumah tersebut secara mendadak, bukan aku. Kata sahabatku itu rumahnya cukup nyaman meski harganya murah. Kuiyakan saja karena sangat butuh. Namun rencananya aku akan menginap dulu di hotel dulu sehari, dua hari sampai rumah tersebut siap ditempati. "Kalau Mas pergi, Mas nginap di mana? Di tempat Aurel seperti yang kemarin malam Mas lakukan?" tudingku sewot membela diri. "A–apa? Kata siapa? Tidak, aku tidak kesana. Aku ke rumah Mama. Kamu masih saja menyindirku tentang ya
Dengan cepat aku menghampiri Malik. "Bu," panggil Malik saat kudekap tubuhnya erat. Lega rasanya ketika hal yang buruk yang terbayangkan tak terjadi. Kalau Malik sampai hilang, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku mungkin akan semakin hancur tanpanya dan Mas Surya pasti akan menudingku bukan Ibu yang baik karena telah ceroboh menjaga Malik. "Ekhem." Suara dehaman membuatku tersadar telah melupakan seseorang yang telah bersama Malik. Aku yang dalam kondisi setengah jongkok menengadah menatap lelaki yang ada di hadapan. Lalu bangkit berdiri. "Maaf, apa Anda yang telah menemukan Malik, anak saya? Kalau iya, Saya sangat berterima kasih banyak. Terima kasih sebanyak-banyaknya." Dengan sedikit menundukkan kepala aku berterima kasih pada lelaki asing tersebut. Lelaki dengan pakaian kerja tersebut menatapku dengan pandangan yang aneh. Lalu …."Oh, anak ini namanya Malik, anakmu?" Aku mengangguk pasti. "Aku tidak menemukannya. Kebetulan kami tidak sengaja bertabrakan, entah a
Pov Surya"Kamu apa-apa Rel? Ngapain bilang sesuatu yang bakal menghancurkan rumah tanggaku?"Aku marah besar setelah berada dalam satu mobil bersama Aurel. Aku memaksanya pergi setelah tahu ia mengunjungi rumahku hanya untuk bicara dengan Medina. Cuma berdua dan sembunyi-sembunyi. Tidak pernah menyangka kalau Aurel akan melancarkan aksi nekatnya itu dan jujur mengakui hubungan terlarang kami ke Medina–istri polosku dari hasil perjodohan. "Kok kamu marah? Bukankah seharusnya begitu? Aku kasihan dengannya yang sangat berharap padamu, nyatanya kamu nggak cinta, iya kan? Atau … kamu sudah cinta makanya bilang aku merusak rumah tanggamu?" Aurel menatapku menyelidik. Aku jadi gelagapan. "T–tidak. Bukan begitu." Nada suara kuturunkan. Aku tidak ingin Aurel jadi salah paham. "Maksudku itu kenapa harus sekarang? Aku bilang kan tunggu. Biar aku saja yang bilang. Bukan kamu. Kalau begini semua jadi runyam, Rel." Fokusku tetap ke depan karena aku sedang menyetir dan butuh konsentrasi tinggi.
Pov Surya Aku balik ke kantor sebentar. Namun pikiranku tidak fokus. Aku teringat Medina. Ada kecemasan tersendiri untuk wanita tersebut. Selama ini istriku itu sangat penurut. Tidak banyak tanya. Tidak pernah membantah dan selalu oke saja dengan apa yang kukatakan. Bahkan Mama bilang itu adalah salah satu alasannya menjodohkannya denganku. Ia ingin memiliki menantu yang patuh akan perintahnya. Bisa mengurus rumah dan keluarganya dengan baik. Dan aku memang bisa melihat itu semua di diri Medina. *** "Ya, lihat karyawan Mama yang bernama Medina itu. Bagaimana menurutmu?" Wajah Mama berbinar saat menyebut nama wanita itu. Aku mengernyitkan kening dengan tatapan heran tak paham dengan arah pembicaraannya. "Bagaimana apanya Ma?" Fokusku tiba-tiba ke arah wanita cantik, sederhana, dan gesit dalam bekerja, yang sedang melayani pembeli di toko kue Mama. Wajah ramah dan murah senyumnya membuat siapapun akan senang berteman dan menatapnya berlama-lama, tidak terkecuali aku. Namun hanya
Pov Surya"Pak, maaf. Ini ada telpon dari Ibu Lila." Bi Jum tiba-tiba sudah di depan mata, mengulurkan sebuah ponsel ke arahku. "Mama?" ujarku bertanya dengan bingung. "Iya, Pak. Dari Bu Lila," jawabnya menunduk. Aku mengambil dengan ragu. Mengamati ponsel tersebut dengan kening mengkerut. Sepertinya ini ponsel Bi Jum. Kenapa Mama menghubungi Bi Jum? Kenapa tidak langsung ke ponselku saja? Padahal ponselku dalam keadaan aktif. Aku sempat menoleh sebentar ke arah benda persegi panjang itu yang tergeletak di sampingku, lalu kembali ke ponsel Bi Jum. "Halo?" Baru saja menyapa, Mama sudah melancarkan kemarahannya padaku. Omelan beruntun tak berhenti dari mulutnya. Tentang kepergian Medina dari rumah ini ternyata sudah sampai ke telinganya. Aku memandang Bi Jum dengan sengit karena tahu pasti dia yang sudah memberitahukan semua ini pada Mama. Aku tak banyak bicara karena Mama yang mendominasi pembicaraan ini. Yang sering kuulang adalah kata iya, tidak, dan maaf. "Bi Jum pergilah
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t