Pov Surya"Kamu apa-apa Rel? Ngapain bilang sesuatu yang bakal menghancurkan rumah tanggaku?"Aku marah besar setelah berada dalam satu mobil bersama Aurel. Aku memaksanya pergi setelah tahu ia mengunjungi rumahku hanya untuk bicara dengan Medina. Cuma berdua dan sembunyi-sembunyi. Tidak pernah menyangka kalau Aurel akan melancarkan aksi nekatnya itu dan jujur mengakui hubungan terlarang kami ke Medina–istri polosku dari hasil perjodohan. "Kok kamu marah? Bukankah seharusnya begitu? Aku kasihan dengannya yang sangat berharap padamu, nyatanya kamu nggak cinta, iya kan? Atau … kamu sudah cinta makanya bilang aku merusak rumah tanggamu?" Aurel menatapku menyelidik. Aku jadi gelagapan. "T–tidak. Bukan begitu." Nada suara kuturunkan. Aku tidak ingin Aurel jadi salah paham. "Maksudku itu kenapa harus sekarang? Aku bilang kan tunggu. Biar aku saja yang bilang. Bukan kamu. Kalau begini semua jadi runyam, Rel." Fokusku tetap ke depan karena aku sedang menyetir dan butuh konsentrasi tinggi.
Pov Surya Aku balik ke kantor sebentar. Namun pikiranku tidak fokus. Aku teringat Medina. Ada kecemasan tersendiri untuk wanita tersebut. Selama ini istriku itu sangat penurut. Tidak banyak tanya. Tidak pernah membantah dan selalu oke saja dengan apa yang kukatakan. Bahkan Mama bilang itu adalah salah satu alasannya menjodohkannya denganku. Ia ingin memiliki menantu yang patuh akan perintahnya. Bisa mengurus rumah dan keluarganya dengan baik. Dan aku memang bisa melihat itu semua di diri Medina. *** "Ya, lihat karyawan Mama yang bernama Medina itu. Bagaimana menurutmu?" Wajah Mama berbinar saat menyebut nama wanita itu. Aku mengernyitkan kening dengan tatapan heran tak paham dengan arah pembicaraannya. "Bagaimana apanya Ma?" Fokusku tiba-tiba ke arah wanita cantik, sederhana, dan gesit dalam bekerja, yang sedang melayani pembeli di toko kue Mama. Wajah ramah dan murah senyumnya membuat siapapun akan senang berteman dan menatapnya berlama-lama, tidak terkecuali aku. Namun hanya
Pov Surya"Pak, maaf. Ini ada telpon dari Ibu Lila." Bi Jum tiba-tiba sudah di depan mata, mengulurkan sebuah ponsel ke arahku. "Mama?" ujarku bertanya dengan bingung. "Iya, Pak. Dari Bu Lila," jawabnya menunduk. Aku mengambil dengan ragu. Mengamati ponsel tersebut dengan kening mengkerut. Sepertinya ini ponsel Bi Jum. Kenapa Mama menghubungi Bi Jum? Kenapa tidak langsung ke ponselku saja? Padahal ponselku dalam keadaan aktif. Aku sempat menoleh sebentar ke arah benda persegi panjang itu yang tergeletak di sampingku, lalu kembali ke ponsel Bi Jum. "Halo?" Baru saja menyapa, Mama sudah melancarkan kemarahannya padaku. Omelan beruntun tak berhenti dari mulutnya. Tentang kepergian Medina dari rumah ini ternyata sudah sampai ke telinganya. Aku memandang Bi Jum dengan sengit karena tahu pasti dia yang sudah memberitahukan semua ini pada Mama. Aku tak banyak bicara karena Mama yang mendominasi pembicaraan ini. Yang sering kuulang adalah kata iya, tidak, dan maaf. "Bi Jum pergilah
Aku memandangi jalanan pagi yang sudah mulai ramai dengan kendaraan roda empat dan dua. Di sisiku duduk ada Malik yang asyik dengan mainan mobil-mobilannya. Kami berada di dalam taksi online yang sedang melaju membawa kami ke tempat tujuan yang telah kutentukan, tempat yang akan kami singgahi nantinya. Aku tersenyum menatap Malik yang bermain dengan riang tanpa terusik masalah orang tuanya. Ia belum memahami dunia orang dewasa, dan kuharap biarlah seperti itu. Ia harus bahagia. Namun seketika senyumku memudar kala mengingat ayah dan neneknya. Semalam Mama Lila tidak berhenti menghubungiku. Begitupun Mas Surya. Aku yang sengaja tidak mengangkat teleponnya dan pasti hal itu sudah membuatnya jengkel. Itulah yang membuatku enggan untuk menerima teleponnya dulu karena bakal kena omelan panjangnya. Aku bukan menutup akses mereka ke Malik. Tidak seperti itu. Mereka masih orang terpenting di hidup Malik. Namun bisakah mereka membiarkanku tenang sesaat sembari memikirkan dengan matang keput
Aku melempar senyum tipis ke arah wanita yang berada di hadapanku saat ini. "Bunda tenang saja. Masalah itu sudah Medina pikirkan baik-baik. Seperti yang Bunda bilang, Medina selalu berpikir panjang dulu sebelum memutuskan sesuatu, dan itu sudah Medina lakukan." Kuletakkan cangkir teh yang airnya baru saja kuminum ke atas meja. "Baguslah Nak, Bunda tidak mau nantinya kamu menyesali keputusanmu saat ini. Makanya Bunda sarankan pikirkan baik-baik dengan kepala dingin biar tidak ada penyesalan di kemudian hari," lanjutnya menegaskan.Aku mengangguk pelan, mengiakan. "Tapi kamu baik-baik saja kan, Nak?" Hah? Aku reflek mendongak mengangkat kepala yang tertunduk di hadapannya. Lalu bertanya lewat kernyitan dahi. "Mentalmu kuat kan? Meski kalian menikah karena perjodohan, tapi Bunda tahu kalau kamu itu sangat mencintai Surya. Entah kalau dia. Bunda tidak ingin membahas lelaki itu. Yang Bunda tahu, Bunda bisa melihat ada cinta di matamu untuknya. Semua orang juga bisa melihat bagaimana
"Mana Malik? Kamu tinggal dimana? Panti?" Baru saja duduk di kursi cafe yang baru kumasuki, sudah diberondong pertanyaan oleh ibu mertua. Pasti karena melihatku yang datang sendirian menemuinya. Mama Lila memintaku bertemu di sini. Hanya berdua dan dia memang datang sendiri, tidak dengan siapapun apalagi dengan Mas Surya. Entah seperti apa kabarnya sekarang? Bisa jadi dia sedang berbahagia karena telah terbebas dariku. Dari wanita yang ingin sekali diceraikannya tapi terhalang keadaan dan ibunya. Sebenarnya aku yang lebih dulu menghubunginya untuk memberitahukan kalau keadaan kami baik-baik saja dan memintanya untuk tidak mencemaskan kami. Itu juga atas desakan Bunda Aya. Kuceritakan padanya kalau telpon dari Mama Lila maupun Mas Surya sengaja kuabaikan, dan beliau kecewa. Tindakanku itu dianggapnya sama saja telah memutuskan hubungan dan akses ke Malik, padahal bukan seperti itu maksudku. Sudah kukirim pesan pada mereka kalau kami baik-baik saja dan aku butuh waktu sendiri. Sudah
"Kerjaan seperti itu mana ada masa depannya. Tiap bulannya tidak tentu dapat berapa. Iya untung, kalau rugi gimana? sama saja bangkrut. Sudah, Mama bilang balikan saja sama Surya. Mama pastikan anak mama itu tetap di sampingmu, nggak bakalan lagi sama si itu. Tetap kamu yang istrinya. Mama yang pastikan. Kamu mau apa akan Mama usahakan. Yang jelas juga kehidupan Malik bakal terjamin. Tak perlu susah kerja apalagi hanya dari online shop. Surya tidak kerja pun, Mama masih sanggup menafkahi kalian. Bagaimana?" "Kalau kamu tetap keukeh pisah, kamu akan menyesal. Bukan hanya kehilangan suami, anak pun akan lepas dari genggamanmu. Paham kan maksud Mama?" Masih teringat jelas perkataan Mama Lila tersebut di benakku setelah kujelaskan pekerjaan apa yang sedang kugeluti. Namun sayangnya bukan diapresiasi, malah sebuah ancaman yang timbul untuk mencegahku berpisah dari anaknya. "Medina boleh tanya?" Aku bukan menjawab pertanyaannya malah bertanya balik. Alisnya naik sinyal menunggu tanyaku
Hari ini aku bersiap ke kantor pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. semua dokumen sudah siap tinggal ajukan saja ke sana. Kulakukan sendiri agar belajar mandiri karena mulai hari ini semua harus dilakukan sendiri tanpa bantuan Mas Surya ataupun keluarganya. Kuharap Mas Surya tidak mempersulit keinginanku tersebut. Kalau dia berniat menghalangi, maka baru aku menggunakan jasa pengacara untuk membantu proses perceraian kami agar berjalan lancar dan lebih cepat selesai. Lagipula aku sudah mempunyai persiapan yang matang untuk hal ini. Bukan hanya asal jalan tanpa tahu medan yang akan dihadapi kedepannya. Terutama menghadapi Mama Lila. Aku merasa ia masih berat untuk melepaskanku. Ponselku berdering dan aku tahu itu dari Mas Surya. Sudah puluhan kali dia menghubungi dari semalam. Sudah kuterima juga dan tidak diabaikan lagi setelah mendapatkan nasihat dari Bunda. Namun herannya ada saja hal yang dikatakannya yang menurutku itu bukan sesuatu yang penting. Yang membuatku mala
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t