"Ketakutan terbesarku adalah... Tidak bisa menjaga dia."
•••
Suara petir menggelegar sangat kencang di luar sana, di sertai angin dan hujan yang turun dengan lebat.
"Reyyan, apa itu sebutan darimu untuk bocah laki-laki berbakat ini?"
Lelaki itu tersenyum miring.
"Hei, Kenapa kamu begitu takut melihatku?"
Laki-laki itu menggores kuku telunjuknya pada rahang bocah laki-laki ini.
Dia menengok ke arah kiri tapi sedetik kemudian kembali menengok ke arah bocah itu dengan smirk yang ada di wajahnya.
Dengan suara rendah dia berucap "kamu tau apa yang aku benci?"
Bocah itu hanya diam ketakutan.
"Aku benci seseorang yang sok ikut campur dengan urusanku."
"dengan kata lain aku benci di protes.""tapi kau lihat disana?"
Lelaki itu mengarahkan rahang bocah itu ke kiri, disana terlihat ibunya yang dirantai lemah tak berdaya."Seorang yang menganggap dirinya hebat, tapi dia malah terkurung seperti tikus percobaan." Lelaki itu tertawa kencang.
"Dan lihat dibelakangnya!" bocah lelaki itu melihat ke arah belakang, tempat kurungan yang lebih besar.
"Aku masih berbaik dan berbelas kasih pada keluargamu, untuk tidak mengurungmu juga." ucapnya dan balik ke tempat duduk persinggahan nya.
"Tapi aku ingin tau, hal apa yang bisa kau lakukan untuk mereka?"
Bocah laki-laki itu hanya diam membisu.
"Oh, sepertinya tidak ada hal yang bisa kau lakukan. SIKSA MEREKA!!" teriak laki-laki itu dengan lantang.
"AH!! kumohon! Jangan bawa Reyyan kesini!! Pergi nak! Pergi yang jauh! Kau tak harus melihat ini!!"
"HAH!" lelaki itu terbangun sampai terduduk dengan nafas tersengal-sengal.
Dia memijit pangkal hidungnya, merasakan pusing akibat bangun tidur secara tiba-tiba.
"Mimpi itu lagi." Pikirnya kesal.
Ruangan kamar yang gelap dan hampa, serta jendela kamar yang terbuka setengah membuat angin masuk dengan kencang, dilihat-lihat seperti suasana kamar yang horror.
Ya, itulah kamar dari seorang Reyyan.
Seorang laki-laki yang hidup di Apartemen sederhana.
Walaupun begitu dia bisa dibilang pria yang bersih, bisa diliat dari kamar tidurnya. Walaupun dia tidak rajin membersihkan sarang laba-laba dan juga debu di lemarinya.
Dan juga meja belajarnya.
Okay, Cukup Rapih.
Dia menghela nafas sambil berbaring kembali di atas kasurnya, selimutnya dia naikkan sampai dada.
Dia memejamkan matanya, berusaha menghapus mimpi buruk itu dan mencoba tidur kembali.
•••
"Laura!! Sini deh."
Merasa terpanggil, gadis itu segera menemui si pemilik suara.
Laura belum sempat menyapa balik dan sekumpulan gadis itu langsung menyodorkan beberapa pertanyaan kepada Laura.
"Yah gimana nih? Lo lupa downloadin film yang gue minta ya?" gadis bernama Resya berucap dengan nada memelas.
"Lo bakalan traktir kita terus kan ra?!" Ucap wanita satunya bernama Shasha dengan histeris.
"Iyalah Sha! Kan Laura selalu gitu sama kita!" lanjut wanita satunya Riri dengan senyum sumringahnya.
"Gimana ra! Filmnya ada ga?" Tagih Resya lagi.
"Ada kok, nih." Laura langsung memberikan Flashdisknya pada Resya.
"Filmnya ada disitu semua." Laura tersenyum paksa.
"Wah! Laura baik banget!!" Resya mejerit bersemangat, matanya sampai berbinar-binar.
"EH EH ADA APAAN NIH?!" Eren langsung muncul sambil merangkul leher Laura.
"Eh aduh kecekik." Laura memegang tangan Eren yang merangkulnya terlalu kuat.
"Eh maaf." Eren langsung melepaskan rangkulannya dan menatap sekumpulan gadis-gadis itu dengan mata tajamnya.
"Gue bilangin dari kemarin ya! lo ga ada henti-hentinya ngusik dia! Ada masalah hidup ape si lo pada?!" Betawinya Eren keluar.
"kita kan cuman minta film sama dia" nyinyir Caca.
"Gue bilangin ke lo lagi ya! Awas aja gue liatin lo pada masih ngusik dia!"
"Ye! Orang Lauranya aja gpp, kenapa lo yang sewot?!" Resya mulai terpancing.
"Ren udah." Bisik Laura.
"Besok kalo gue liat masih ada yang ngusik dia! Liat aja." Eren mengancam sambil tersenyum smirk.
"Udahlah yok cabut." Eren merangkul Laura membawanya pergi dari kerumunan para gadis itu.
"Lo kenapa sih? Di tindas, dipalakin begitu diem aja?" Tanya Eren kesal setelah beberapa meter jauh dari kerumunan gadis itu.
"Uhmm... Kenapa ya? Alasannya sama mungkin." Laura menjawab enteng.
"Lo ga sanggup nolak mereka?"
"Iyalah, lo liat aja gue dipojokin sama 10 orang dan ditagihin film, gimana ga stress gue."
Eren terkekeh kecil.
"Kan ada gue." Jawabnya santai.
"Gue ga mau ya ngelibatin orang lain di masalah gue."
Alis Eren berkerut tidak suka.
"Ngelibatin apaansi, lo temen gue Laura ya masalah lo masalah gue juga, masalah Rika dan Oca juga! Kita ini kan sahabat."
Laura tersenyum sambil menggeleng-geleng
"Tetep aja gue ga suka."
"Udeh-udeh, gue bilangin ya kita ga merasa terbebani, sesulit apa masalah lo itu, lo bisa Free cerita ke kita oke? Pliss jangan ada yang lo pendem sendiri lagi kayak hari ini." Eren berucap sambil merangkul pundak Laura.
Laura tersenyum tipis.
"Makasih, Eren."
•••
Bell istirahat pun berbunyi.
4 sejoli itu langsung berlari ke arah kantin yang sudah penuh dengan manusia-manusia kelaparan.
Mereka berempat langsung mengambil nampan dan mengantri untuk dibagikan makanan.
Setelah mengantri panjang, mereka mendapatkan makanan mereka. Laura yang selalu tak lupa akan susu kotak stroberi yang dia suka, dia segera mengambil susu kotak stroberi di lemari pendingin minuman samping antrian makan.
Setelah berhasil mengambil susu kotaknya, Laura berjinjit berusaha mencari tempat duduk. Teman-temannya juga mengikuti apa yang Laura lakukan.
"Eh itu dia ada yang kosong! Cepet kesono sebelum diserobot orang!" Laura paling histeris sendiri, dia langsung mendahului temannya menuju tempat yang dia tunjuk.
Setelah duduk dibangku kosong itu, Laura bernafas lega. Tanpa sadar dia menaruh Nampannya dengan kasar sehingga susu yang berada di atas nampan nya jatuh ke lantai.
Tapi tiba-tiba ada tangan yang sangat cepat mengambil susu itu yang hampir jatuh ke lantai.
Laura terkesiap kaget.
"Hati-Hati."
Ucap pria itu sambil menaruh kembali susu milik Laura di atas meja.
Laura hanya diam memandang wajah lelaki itu yang langsung berlalu setelah mengatakan dua patah kata.
Laura terasa sangat familiar.
Seketika Laura sadar, pria itu. Pria yang melindunginya dari jatuhnya tumpukan buku di perpustakaan.
"Dia lagi?" Ucapnya dalam hati bingung.
•••
"Eh, yang tadi dikantin tuh sapa?" Eren mulai kepo.
Dia menyenggol bahu Laura tak henti-hentinya.
Laura berdecak malas.
"Ga tau, orang sokenal." jawab Laura malas.
Sekarang mereka sedang duduk dibangku yang berada di dekat lapangan bola basket.
"Heh, ga boleh ngomong gitu. Dia ganteng loh." Rika ikut nimbrung sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangannya dan tersenyum manis.
Laura hanya melirik dan memutar kedua bola matanya.
"Yaudah buat elo aja." Laura semakin bete.
"Lah, ngapa ni anak. Lagi badmood bu?" Rika terus menggoda Laura.
"Diem ah, Rik. Gue lagi sebel." bibirnya memberengut kesal.
"Sebel kenapa?"
"Sebel karena penasaran." Cetus Laura dengan sangat jujur.
"Ohhhhhhhhhhhhhhh...."
Rika mulai menggoda Laura lagi.
Laura panik "Eh-eh, bukan gitu! Bukan gitu maksud gue!!"
Eren merangkul leher Laura "Udah, gue tau lu tertarik kan sama dia."
"Matamu, tertarik."
"Lah, tadi penasaran kenapa dong?" Eren melirik Laura.
"Makannya, lu orang dua dengerin gua dulu!" Laura menarik nafas dan mulai menjelaskan.
Eren dan Rika saling berpandangan Aneh mendengar penjelasan dari Laura.
"Jadi, maksud lu dia kayak superman?"
Rika tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Eren.
Laura berdecak sebal "Bukan! Ish, lu mah ga akan ngerti deh."
Eren terkekeh ringan, "Iya si gue ga paham sama cara bicara lu. Mana ada manusia di zaman modern begini yang bisa begitu."
Laura hanya tersenyum tipis mendengar pendapat yang temannya berikan. Dia tau kalau dia cerita pasti akan berakhir seperti itu jadi dia diam saja.
"Tapi gua ngerasa Aneh gitu, yang nyelametin gue. Dia mulu, Dan abis nyelametin pergi gitu aja, ga ngomong atau basa basi. Dari mana? Dari planet mana? Apa motivasi dia nyelametin gue mulu."
"Setiap abis nyelametin gue, dia malah ngatain gue atau nasihatin gue" Laura masih ingat perkataan laki-laki itu di perpustakaan dan dikantin.
"Terus dia pergi, mukanya kek batu. Ga ada ekspresi."
Laura berdecak sebal "Padahal gue benci orang yang ga ada basa basinya ke gue. Kek stranger tapi malaikat, cuman bedanya muka batu dan bisu."
Eren berdehem "Awas, jangan-jangan bukan manusia lagi." bisiknya ditelinga Laura.
Laura langsung melotot ke arah Eren.
"Heh! Enak aja!""Iya, kalo dia ternyata bukan manusia gimana dong ra?" Rika mulai ikut-ikutan.
Laura gantian menatap Rika tajam. "Bukan manusia, gimana maksud lo?"
"Ya, kalo dia Vampir? Kan bisa aja."
Laura terdiam.
Dia langsung membayangkan hal-hal aneh.
Vampir
Vampir
Vampir
Dia membayangkan dirinya yang akan jadi buah santapan lelaki itu sebagai hadiah terimakasih, karena telah melindunginya terus menerus.
Atau
Lelaki itu melindungi Laura, karena lelaki itu tertarik dengan darah Laura.
"Iya ya, kalo dia Vampir gimana?" Ucap Laura ragu-ragu.
"Hayolo." Hati Laura mulai tidak tenang.
"Eh! Itu kan Oca!" Eren menunjuk gadis yang sedang berjalan di pinggiran lapangan basket sendirian.
"Eh, iya! Panggil tuh suruh kesini!" Ucap Rika bersemangat.
Laura menatap Oca dan merasakan sesuatu yang aneh akan hadir di dekat Oca.
Dan ternyata benar, bola basket melambung dengan tinggi ke arah Oca.
Hanya Laura lah yang menyadari itu.
"OCA AWAS!!" Laura berteriak kencang lalu berlari ke arah Oca.
BRAK!!
"Maaf telah melibatkanmu." ••• Brak!! Satu tangan kokoh berhasil menangkap bola basket yang melambung ke arah Oca dan Laura. "AH!" Satu lapangan teriak dan terkejut, karena dengan hitungan 1 detik bola itu bisa Langsung mengarah ke kepala mungil Laura. Kedua sahabatnya Eren dan Rika ikut terkejut, Eren menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan Rika membiarkan mulutnya menganga lebar melihat kejadian tadi. Mereka tidak menyangka, yang menyelamatkan Laura dan Oca adalah seorang Laki-laki yang diceritakan Laura tadi. Bisikan-bisikan mulai berd
"Beberapa orang ingin tau takdir yang mereka miliki, setelah tau. Beberapa takdir mereka ada yang tidak berjalan mulus dan mereka berusaha menghindarinya, mengubahnya, walaupun mereka tau. Mereka tidak bisa merubah apapun." ••• "Lo kemana lagi, gue cariin ngilang ga dicariin muncul terus." Reyyan tersenyum miring dalam tidurnya saat mendengar suara halus itu membicarakan dirinya. "Apa gue mesti bunuh diri dulu, baru lu dateng nyelametin gue?" Tapi kata-kata itu berubah menjadi kata-kata paling idiot yang pernah dia dengar. "Iya! Gue bunuh diri aja! Cape gue hidup begin
"ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya." 🍁🍁🍁 "Uhm..." Laura membuka kedua kelopak matanya, mengedip pelan berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk pada matanya. Hal pertama yang dia sadari sekarang adalah, dia berada di kamarnya. "Eh?!" Gumamnya kaget pada dirinya sendiri. Melihat tangannya yang di infus dan baju piyama yang sekarang sedang dia pakai. Dia tiba-tiba lupa dengan kejadian yang membuatnya menangis. "Eh, anak mama udh siuman." Catherine ibunda Laura mengecup kening Laura membawa rasa nyaman disitu.
Laura membuka kedua matanya, badannya masih terasa sangat sakit. Dia melirik ke kanan dan melihat infusan yang terpasang di pergelangan tangannya. Tiba-tiba ibunya masuk membawa secangkir teh dan juga bubur. "Sayang, udah siuman. Mama yang bawa kamu ke kamar susah payah, Mama juga bawa kamu diem-diem biar ga ketahuan Papa. Sekarang dimakan dulu ya, buburnya masih anget ini." Laura hanya diam, matanya melihat kedepan tapi pandangannya kosong. Ya, Trauma itu datang lagi. Ibunya menggigit bibir bawahnya khawatir melihat Laura sekarang. Tubuhnya kurus dan pucat, hampir seperti mayat hidup sekarang. "Laura ini dimakan dulu yuk, abis itu kita ke dokter, atau besok kita ke dokter." Ibunya terus menyodorkan sendok ke mulut Laura, tapi Laura tak kunjung membuka mulut. Ibunya mendesah merasa makin khawatir. "Ibu kan udah bi
Laura membuka mata perlahan, setelah kedua matanya terbuka lebar dia menengok ke arah kanan. Kedua pupil matanya melebar, kaget melihat ada seseorang didekatnya. "Elo! Kenapa lo disini?!" Teriak Laura sambil menunjuk orang disebelahnya. Seseorang itu hanya nyengir seperti tak ada beban disana. Siapa lagi jika bukan Reyyan. "Gangguin lo." Jawabnya enteng. Laura memutar kedua bola matanya malas. "Gue ga nerima orang yang dateng cuman buat gangguin gue." Laura menyibakkan selimut hendak berdiri. "Awas!" Teriaknya kesal yang tidak bisa pergi karena kaki panjang Reyyan yang menghalangi.
Laura duduk dimejanya sambil menggigit bolpoint, mimik wajahnya terlihat berpikir keras. "Reyyan penyihir, Ayah penyihir tapi dari mana rasa sakit dari dada Reyyan?" "Apa penyihir itu seperti di film Harry Potter? Tapi kulihat Reyyan tidak pernah membawa tongkat penyihir." "Ah Pusing!" Teriaknya sambil menaruh kepalanya di atas meja Laura tidak sadar teriakannya dilihat satu kelas. Saat dia menengok ke teman-temannya wajahnya berubah pucat pasi. "Laura lo gapapa kan?" "Lo mikirin apaan, sampe pusing?" "Agaknya Laura tertekan." "Eng-enggak! Gapapa hehe. Pelajaran hari ini pusing banget." Alibinya dan kembali menaruh kepalanya di atas meja. "Aduh Laura lo bego banget!" rutuknya dalam hati. Tiba-tiba datang bu Heny, guru kimia masuk ke kelas mereka.
"Tuan Putri hanya boleh mencintai anak Raja yang pertama." ••• "Untuk apa kau susah payah mencari tau kalau pada dasarnya dia tidak akan menjadi milikmu?" Reyyan terhentak kaget mendengar suara itu, Reyyan sangat mengenali suara itu. Dia langsung menoleh ke belakang terlihat seseorang dibelakangnya tersenyum miring tanpa ada rasa bersalah. "Devon." Reyyan menyebut nama pemuda itu dengan suara rendah seperti ancaman kalau dia tidak ingin diganggu. Devon lelaki itu yang terbang sambil tersenyum miring tadi merasa tidak terganggu dengan ucapan Reyyan, dia malah mendekati Reyyan.
"Ketika Alam sudah marah dia akan mengambil kembali apa yang telah kau rebut darinya." ••• Petir menggelegar dengan sangat kencang, awan diatas kepalanya berkumpul dan berkeliling membentuk spiral. Hujan terus mengguyur tambah deras tiada henti. Di tengah tempat itu ada lelaki yang tidur telungkup seperti kalah dalam perkelahian. "Uhuk... Uhuk..." batuknya dan berusaha bangkit untuk kembali melawan lawannya. Tapi lelaki itu malah jatuh, tidak ada tenaga lagi untuknya berdiri. Lelaki tinggi memakai baju kerajaan hitam mendekati dirinya. Lelaki yang telungkup tadi m
"Ayah saja tidak percaya padaku."•••Laura duduk ditempat tidurnya sambil menunduk lemas.Leny baru saja kembali dan bilang dia tidak bisa memenuhi permintaannya karena di cegat oleh ayahnya sendiri."Cih." Laura berdecih pelan.Ayah mana yang tidak membiarkan pelayannya mencari dokter pribadi miliknya?Laura sudah yakin, bahwa Rezor bukanlah ayahnya yang sesungguhnya.Saat ini Laura hanya bisa duduk sambil menatap kedua kaki putihnya.Dia mendongak dan tidak sengaja matanya menatap cermin didepannya, kemudian dia memiringkan kepalanya bingung.Sejak kapan rambutnya berubah jadi putih kepirang-pirang an? Dan juga tubuhnya semakin memucat.Laura cepat cepat mengambil kaca kecil disamping tempat tidurnya, dia menyentuh rambutnya perlahan lalu dia berdiri ke arah laci tempat jepit-jepit rambutnya berada.Dia dari samping menjepit rambutnya jadi satu ikatan samping dikepalanya lalu menatap ke kaca.Cantik, tapi juga keliatan aneh.Tidak sengaja Laura menjatuhkan cermin yang dia pegang,
"I don't hurt anybody and I don't believe you all.•••Laura menggerang kesakitan, kedua matanya perlahan lahan terbuka, sinar matahari yang masuk kematanya membuatnya mengernyit. Pening dikepalanya semakin bertambah ketika dirinya mencoba untuk bangun dari tidur"Eh, jangan bangun dulu badan kamu masih ga enak."Dengan gerakan cepat kedua manik mata Laura bertemu dengan kedua manik mata itu. Kedua manik mata yang semalam berhasil menipunya.Dahi Laura semakin mengernyit ketika melihat wajah itu di hadapan Laura sekarang."Siapa kamu? Ngapain kamu disini?"Pertanyaan blak-blak an itu cukup menyakiti hati Edgard, Edgard sadar Laura sudah terlebih dahulu sakit hati semalam ketika sadar dirinya berpura-pura menjadi James."Ra, dengerin dulu."Laura memalingkan tatapannya ke arah lain, tubuhnya bergeser berangsur menjauh, mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang tak ingin disentuh.Tiba-tiba pelayan datang membawa nampan berisi bubur ayam dan juga air putih serta obat-obat an."Tuan, sepe
"I will destroy everything from you, Laura."•••Laura langsung tersentak kaget dan berbalik badan."Ka--kamu siapa?! Gimana kamu bisa masuk kedalam sini?! Kamu---""Bagaimana bisa?" Alice tersenyum miring. "Tentu saja bisa." Alice mengayunkan tangannya membentuk cahaya sihir.Kedua bola mata Laura membulat sempurna. "Kau--jangan bilang kau mengelabui mereka?!"Alice tertawa licik. "Untuk apa aku mengelabui mereka? Melewati mereka saja semudah melangkahi semut."Dahi Laura mengernyit bingung, tangannya mengepal tidak terima."Apa katamu?!! Seenaknya bicara seperti itu ditempat kediaman putri kerajaan terhormat!"Kali ini wajah Alice yang menyentak terkejut. "Putri kerajaan?"Alice melangkah berkeliling-keliling kamar Laura yang sangat luas. "Wah, putri kerjaaan dari negara mana eh?"Alice meledek Laura sambil mengangkat salah satu alisnya.Laura mengepal tidak terima. "Kamu!! Bisa-bisanya kamu ga tau putri mahkota kerajaan ini?!"Alice mengubah mimik wajahnya seperti berpikir. "Tidak,
"Lady? She's your lady or me?•••"Bisakah kita percaya padanya?"Devon dan Oca saling bertatapan, melihat Edgard dan Laura saling tersenyum pada mereka sambil melambaikan tangan.Devon dan Oca berniat pergi dari dunia manusia untuk waktu 2 hari saja, yah... Devon ingin cepat-cepat memberi tahu pangeran sesuatu yang akan terjadi pada tuan putri dengan begitu masa hukuman mungkin akan sedikit diringankan saat pangeran meminta belas kasih pada ketua hukum pengadilan penyihir.Devon tidak yakin ini akan sukses maksimal tapi inilah satu-satunya cara agar bisa mengembalikan ingatan Laura.Terakhir kali Devon mengecek tubuh Laura terutama pikirannya, memori otaknya makin lama makin memudar itu artinya jika waktunya lama ingatan itu akan hila
"It's not different... Because you're not change.•••"Apa?!"Hey! Bajingan!"Alice berteriak kesal sambil berjalan mengikuti Edgard yang sudah berjalan semakin jauh darinya.Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna seluruh kata kata intens yang Edgard keluarkan tadi. Karena pasalnya Edgard tidak pernah berperilaku seperti itu.Mengatakan kata-kata intens sambil menatapnya seperti musuh.Tidak.Edgard tidak sejahat itu.
"He only beside me, when you gone.••Edgard kecil yang sedang berdiri di atap menara kerajaan sambil melihat pemandangan tidak sengaja mendengar suara tangisan kecilKarena dia penyihir, kupingnya cukup tajam untuk mendengar tangisan kecil ituKepalanya melongok kebawah, matanya mengedar sekeliling mencari siapa yang menangis itu. Tapi, matanya berhenti ke satu arahDia melihat seorang gadis perempuan berambut hitam legam sedang menangis ditaman kerajaan. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil terus menangis terisak isakEdgard mengernyit kasian melihatnya
Laura terus berlari kemudian berbelok, di trotoar jalanan itu banyak sekali orang berlalu lalang. Tubuh Laura berjinjit berusaha mencari figur itu tapi tidak ketemu, bagai bayangan yang langsung hilang.Alis Laura mengerut bingung tapi setelah itu dia menghela nafas pasrah.Dia berjalan pelan kesamping bangku taman, duduk disana dengan dress kuno nya. Matanya menatap mawar merah yang sangat segar itu kemudian hidungnya mencium bau mawar yang sangat harum. Senyum kecil terukir di bibirnya.Setelah itu matanya menerawang sisi bunga yang dimana disitu ada sebuah surat kecil, Laura baru menyadarinya.Aku lewat toko bunga dan melihat bunga mawar ini lalu tidak sengaja melihatmu dengan dress merah kuno mu, aku berpikir kamu seperti mawar ini. Harum dan cantik.-your prince. Edd.Kedua mata Laura berbinar-binar ketika membaca bagian bawah. "your prince."
"Where are u?"•••"Kenapa mukamu melamun sambil gelisah seperti itu huh? Kamu bete tidak bisa bertemu tuan putrimu?" Edgard tersenyum miring meledek Reyan sang kaka yang duduk di ruangannya."Sayang sekali, masa hukumanmu sangat panjang. Tapi itu bagus, karena aku bisa sesuka hati mengunjungi calon pacarku."Reyan menatap Edgard tidak suka. "Shut up edgard. Tarik kata-katamu atau...""Atau apa?" Wajah Edgard menantang.Reyan tersenyum miring. "Atau sesuatu yang tidak akan kau inginkan akan terjadi.""Misalnya?"Kali ini Reyan tersenyum licik.
"Tenang, aku selalu ada didekatmu."••"Ah!! Laura ini kami! Ini kami temanmu!"Aku tidak punya teman!"Eren dan Rika tersentak kaget, keduanya menatap Laura bingung."Tidak punya teman? Apa maksudmu?"Oca yang mendengar pertengkaran dari bawah segera berlari ke atas bersama Devon."Laura! Demi tuhan, kami berdua bela belain kesini buat kamu dan kamu bilang kamu ga punya teman?" Kali ini Eren yang bicara, dia bisa merasakan dadanya berdenyut sakit."Keluar!! Atau kalian akan mati."Keduanya menatap Laura tidak percaya. "Laura kau---"