Laura membuka kedua matanya, badannya masih terasa sangat sakit.
Dia melirik ke kanan dan melihat infusan yang terpasang di pergelangan tangannya.
Tiba-tiba ibunya masuk membawa secangkir teh dan juga bubur.
"Sayang, udah siuman. Mama yang bawa kamu ke kamar susah payah, Mama juga bawa kamu diem-diem biar ga ketahuan Papa. Sekarang dimakan dulu ya, buburnya masih anget ini."
Laura hanya diam, matanya melihat kedepan tapi pandangannya kosong.
Ya, Trauma itu datang lagi.
Ibunya menggigit bibir bawahnya khawatir melihat Laura sekarang. Tubuhnya kurus dan pucat, hampir seperti mayat hidup sekarang.
"Laura ini dimakan dulu yuk, abis itu kita ke dokter, atau besok kita ke dokter." Ibunya terus menyodorkan sendok ke mulut Laura, tapi Laura tak kunjung membuka mulut.
Ibunya mendesah merasa makin khawatir.
"Ibu kan udah bilang, kamu turutin Papa kamu aja kalo kamu ga mau hal ini terjadi lagi. Udah ya, ini buburnya dimakan. Nanti kita berangkat ke dokter psikiater kamu."
Ibunya tersenyum kecil tapi juga canggung karena sedari tadi, Laura hanya diam. Dia akhirnya meninggalkan Laura dengan secangkir teh dan bubur. Dia rasa, laura butuh waktu sendirian.
Suara pintu tertutup dengan rapat, Laura yang pandangannya kosong sedari tadi, mulai mengeluarkan sebutir air mata lagi.
Seperti tak ada lelahnya menangis, itu yang dia lakukan.
Lingkaran hitam mengelilingi matanya, karena semalaman dia menangis.
Hal yang membuatnya Trauma kembali lagi.
Kamar mandi, kunci, kegelapan, penyiksaan, tamparan, tonjokan.
"Akankah terus seperti ini?" Pikirnya.
Sebersit pikiran negatif datang dari kepalanya, Laura langsung meringkuk takut.
Semua hal itu sudah pernah dilakukan ayahnya.
Tapi... Ayahnya belum pernah melakukan kekerasan yang mencapai di luar batas.
Seperti memaksa hubungan intim dengan anaknya.
Memikirkan itu membuat Laura makin ketakutan dan rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka lagi.
"Laura apa kau sudah sia--Oh, yatuhan. Kau belum memakan buburmu dan meminum teh mu. Ayo makan dulu sedikit dan minum tehmu, ini bajumu kita berangkat sekarang.
Ibunya masuk dan langsung memaksa satu suapan masuk ke mulut Laura dan juga teh manis yang hampir mendingin karena tidak disentuh.
Laura langsung berganti pakaian baju hitam yang ibunya berikan.
"Wajahmu tampak pucat, sini ibu dandani sedikit. Agar tidak terlihat pucat." Laura hanya diam pasrah di dandani ibunya yang memang hasilnya tidak begitu Natural malah seperti dandanan ingin pergi jauh.
Lalu dengan berhati-hati Ibunya Laura memapah tubuh Laura yang masih lemas itu menuju mobil.
Setelah berada di dalam mobil, Ibunya Laura memberikan handphone Laura yang dia pegang. "Ini handphone mu, sedari tadi berbunyi. Kupikir ada hal yang penting disana."
Laura menerima benda pipih itu dengan lemas, dia membuka handphone nya terdapat banyak notif panggilan dan pesan masuk.
Salah satunya dari teman-temannya dan juga sahabatnya.
Laura berhenti mengscroll pesan-pesan yang menanyainya. Saat dia melihat nama James di pesan masuk w******p nya juga, menanyai keadaannya.
Akhirnya Laura membuka status dan berfoto sambil memaksakan senyum.
"Aku gapapa teman-teman. Maaf ga bisa balesin satu-satu." Tulisnya disana dan fotonya dia Upload.
Setelah mengupload fotonya itu, banyak sekali teman-temannya yang langsung me reply statusnya. (Note: Anak populer memang beda👍)
Tapi satu pesan pun tak dijawab, Laura malah menaruh handphone nya di dashboard mobil. Dia lebih memilih melihat pemandangan di luar mobil sambil melamun diam.
•••
Laura yang hendak keluar dari mobil di cekal tangannya oleh ibunya.
"Nanti kalo dokter Rae tanya kamu kenapa bisa pucet begitu, bilang aja ada masalah disekolah ya." Bisik ibunya.
Laura yang mengerti dengan keadaannya hanya mengangguk lemah.
"Lagi-lagi ibu melindungi Ayah." Pikirnya.
Laura masuk kedalam rumah sakit dan menemui dokter Psikiater pribadinya.
Bukan pribadi tapi Keluarga Laura memang sudah dekat dengan dokter Rae sedari dulu, saat Laura pertama kali terkena Trauma jiwanya.
"Hallo Laura, lama tidak jumpa." Sapa Dokter Rae dengan senyum ramahnya.
Laura hanya membalas senyum tipis masuk bersama ibunya.
(Perkenalkan dokter Pribadi Laura. Lee Yeong Rae, Laura biasa memanggil Pak Lee atau Rae. Sejujurnya dia yang paling tau Laura dan dia juga memihak pada Laura).
"Ah dokter, hari ini Laura tampaknya ada masalah lagi dengan teman sekelasnya. Ayo Laura ceritakan apa yang terjadi." Ibunya mendorong bahu Laura menyuruh Laura segera cerita atau membuat karangan nya sendiri.
"Selalu saja begitu." Pikir Laura.
Laura menatap dokter Rae tapi Rae tau andangan yang Laura lakukan sekarang adalah pandangan seseorang yang sedang gelisah, seperti bingung atau mencari cara untuk mengarang cerita.
Karena sedari tadi bola mata Laura tidak berhenti bergerak ke kanan dan ke kiri.
"A-ah... Jadi begini, sepulang sekolah aku bertemu dengan teman lelaki ku. Dia... Orang yang sangat membenciku, dia memanggilku. Ku tanya kenapa? Dan dia malah membentakku karena tidak becus mengerjakan Tugas Kelompok. Kebetulan aku sekelompok dengannya dan aku mengerjakan tugas Fisika, dia bilang aku banyak melakukan kesalahan. Dia semakin membentakku dan menarik tanganku menuju Toilet lalu... Lalu---" Laura berhenti dia menunduk dan menggigit bibirnya berusaha menahan air mata dan rasa sesak yang kembali datang.
"Laura kamu gapapa?" Ibunya berucap Cemas.
Tapi Laura masih menundukkan kepalanya tak bicara satu kata pun, hanya ada isakan tangis disana.
Dokter Rae memahami situasi ini, dia menghela nafas bersiap-siap memberikan cara jitunya.
Yaitu menyuruh Ibu Laura keluar ruangan untuk sementara.
"Maaf nyonya, mungkin anda bisa keluar dari ruangan sebentar. Laura sepertinya meminta Ruang untuk berbicara hanya dengan saya."
"Ta-tapi dok! Itu ga mungkin! Biar saya temani juga Laura! Dia butuh teman untuk ditemani karena dia merasa tertekan sekarang!" Protesnya tidak terima.
"Iyakan ra?! Laura minta mama disini aja kan?!" Ibunya malah menggoyangkan tubuh Laura kencang.
"Nyonya jangan seperti itu, itu bisa membuat Laura tambah tertekan." Tangan Rae terulur untuk menghentikan tangan Ibunya Laura.
"Hanya sebentar, tinggalkan kami." Mohon dokter Rae dengan mimik wajah berusaha meyakinkan.
"Ga! Saya Ga akan Pergi!" Teriak Ibunya Laura tetap ngeyel, tidak ingin keluar.
Dokter Rae menarik nafas lalu menghembuskannya dengan sabar.
Lalu dia bersuara dengan halus.
"Ya terus pengobatannya ga kelar-kelar dong bu, Coba ibu keluar sebentar jangan mempersulit Terapi Laura biar cepet selesainya."Akhirnya dengan begitu Ibu Laura menghela nafas dan memandang ke arah dokter Rae kesal. Lalu dia keluar sebelum keluar dia membisikkan sesuatu di telinga Laura kemudian dia keluar.
•••
"Awas aja kamu berani ngomong macem macem sama dokter Rae!" Ancam ibu dengan penuh penekanan sebelum keluar dari ruangan dengan cara membanting pintu kasar.
Dokter Rae menghela nafas lalu pandangannya fokus ke arahku.
"Jadi, Laura disini hanya ada saya dan kamu. Sudah tidak ada ibumu, ruangan ini juga kedap suara kamu bisa ceritain hal sesukamu."
Aku menengadahkan kepalaku dan menghapus air mataku.
Aku menarik nafasku lalu menghembuskannya, aku menunduk dan tanganku. Aku bisa merasakan bibir dan tanganku masih gemetar ketakutan.
Tiba-tiba ada langkah mendekat ke arahku, dengan cepat kursi yang ku duduki tertarik ke samping dan aku bisa merasakan tubuh hangat yang memeluk ku.
Aku hanya diam, sekujur tubuhku kaku bingung bagaimana ingin mereaksi tapi pelukan itu semakin erat dan terasa semakin menenangkan.
Akhirnya air mataku jatuh lagi dikedua pelupuk mataku, aku membalas pelukannya erat sambil menangis dengan kencang.
Dia membelai rambutku dengan lembut.
"Tak apa, jika dirasa berat dan tidak bisa ditahan menangislah. Tapi ingat besok kau harus tersenyum oke?" bisiknya pelan menenangkan.
Dan aku semakin menangis kencang sambil memeluknya erat.
•••
"Hmm... Jadi, begitu."
Aku mengangguk pelan.
"Hmm... Bagaimana ya, aku ingin membantumu tapi..." Dokter Rae menggantungkan kata-katanya.
"Terlalu sulit." lanjutnya.
"Karena ini masalah keluarga, jika aku ikut campur dan melaporkan Ayahmu. Aku juga yang akan kena."
Aku menatap Dokter Rae datar.
"Jadi kau takut dengan ayahku?"
Dokter Rae nyengir sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak, bukan begitu..." Dokter Rae menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Tapi aku hanya dokter Psikiater Rumah sakit biasa, gajiku tidak sampai untuk meruntuhkan ayahmu yang seorang Pengusaha serta pejabat tinggi."
"Apa gaji ayahku padamu kurang?"
"Tidak, tidak seperti itu Laura." Dokter Rae menyentuh pundaku dan menatapku lembut.
"Ini bukan hanya soal hukum, yah walaupun ilmu hukum ku kurang-kurang jadi aku juga takut tidak bisa menang di pengadilan." Cengirnya merasa tak bersalah.
Laura memutar bola matanya malas.
"Pak tua ini tidak bisa di andalkan." Pikirnya kesal.
"Tapi betulan! Ini bukan hanya soal hukum." Lanjutnya meyakinkan Laura lagi.
Laura memiringkan kepalanya merasa bingung.
"Ini juga soal--"
"Laura! Apa Terapinya sudah selesai?! Ibu sudah menunggu lebih dari 2 jam disini! Kau tega membiarkan ibumu menunggu?!" Teriak ibunya dari luar.
Dokter Rae menghela nafas.
"Mungkin ini bukan keberuntunganmu atau bukan saatnya kau tau. Ini obatnya kau bisa tebus di bawah" Dokter Rae berucap cepat sambil memberikan sobekan kertas berisi Resep untuk obatku.
Aku menerima dengan lemah dan mengangguk lalu keluar.
Di luar ruangan sampai dibawah saat aku sedang menebus obat, aku sama sekali tak mendengarkan ocehan ibu.
Aku hanya diam, memikirkan ucapan Dokter Rae yang sangat menggangguku.
"Ini juga Soal---"
Laura mengerutkan dahinya bingung.
"Soal apa?"
Laura membuka mata perlahan, setelah kedua matanya terbuka lebar dia menengok ke arah kanan. Kedua pupil matanya melebar, kaget melihat ada seseorang didekatnya. "Elo! Kenapa lo disini?!" Teriak Laura sambil menunjuk orang disebelahnya. Seseorang itu hanya nyengir seperti tak ada beban disana. Siapa lagi jika bukan Reyyan. "Gangguin lo." Jawabnya enteng. Laura memutar kedua bola matanya malas. "Gue ga nerima orang yang dateng cuman buat gangguin gue." Laura menyibakkan selimut hendak berdiri. "Awas!" Teriaknya kesal yang tidak bisa pergi karena kaki panjang Reyyan yang menghalangi.
Laura duduk dimejanya sambil menggigit bolpoint, mimik wajahnya terlihat berpikir keras. "Reyyan penyihir, Ayah penyihir tapi dari mana rasa sakit dari dada Reyyan?" "Apa penyihir itu seperti di film Harry Potter? Tapi kulihat Reyyan tidak pernah membawa tongkat penyihir." "Ah Pusing!" Teriaknya sambil menaruh kepalanya di atas meja Laura tidak sadar teriakannya dilihat satu kelas. Saat dia menengok ke teman-temannya wajahnya berubah pucat pasi. "Laura lo gapapa kan?" "Lo mikirin apaan, sampe pusing?" "Agaknya Laura tertekan." "Eng-enggak! Gapapa hehe. Pelajaran hari ini pusing banget." Alibinya dan kembali menaruh kepalanya di atas meja. "Aduh Laura lo bego banget!" rutuknya dalam hati. Tiba-tiba datang bu Heny, guru kimia masuk ke kelas mereka.
"Tuan Putri hanya boleh mencintai anak Raja yang pertama." ••• "Untuk apa kau susah payah mencari tau kalau pada dasarnya dia tidak akan menjadi milikmu?" Reyyan terhentak kaget mendengar suara itu, Reyyan sangat mengenali suara itu. Dia langsung menoleh ke belakang terlihat seseorang dibelakangnya tersenyum miring tanpa ada rasa bersalah. "Devon." Reyyan menyebut nama pemuda itu dengan suara rendah seperti ancaman kalau dia tidak ingin diganggu. Devon lelaki itu yang terbang sambil tersenyum miring tadi merasa tidak terganggu dengan ucapan Reyyan, dia malah mendekati Reyyan.
"Ketika Alam sudah marah dia akan mengambil kembali apa yang telah kau rebut darinya." ••• Petir menggelegar dengan sangat kencang, awan diatas kepalanya berkumpul dan berkeliling membentuk spiral. Hujan terus mengguyur tambah deras tiada henti. Di tengah tempat itu ada lelaki yang tidur telungkup seperti kalah dalam perkelahian. "Uhuk... Uhuk..." batuknya dan berusaha bangkit untuk kembali melawan lawannya. Tapi lelaki itu malah jatuh, tidak ada tenaga lagi untuknya berdiri. Lelaki tinggi memakai baju kerajaan hitam mendekati dirinya. Lelaki yang telungkup tadi m
"Ketika aku tau, kamu adalah orang yang kucari selama ini. Bagaimana bisa aku tertipu oleh semua ini?" -Reyyan. ••• "Apa kau sudah menemukan Rambut Pak tua itu?" "Belum." Reyyan menjawab tapi pandangannya fokus ke bawah dia sedang memikirkan cara untuk mengambil rambut Ayah Laura. Keduanya sama sama terdiam. "Hei! Reyyan!" Suara melengking itu menginterupsi keduanya. Wanita imut itu berlari menuju Reyyan dan juga Devon. "Wow, siapa dia?" Bisik Devon pelan saat Laura berlari ke arah mereka berdua. Re
"Hatimu tidak bisa bohong kalau kau menyukai wanita itu. Apa aku benar?"-Devon. ••• "Hallo, James?" "Oh, Hi! Laura aku hanya ingin mengatakan sesuatu." "Apa?" "Dari Insiden itu aku benar-benar minta maaf, aku sangat menyesal sekali. Sekarang tidak bisakah kita seperti dulu?" Laura terdiam. "Maksudku dekat seperti dulu, ini sangat menggangguku beberapa bulan ini. Mengetahui kau selalu menghindariku." "Apa kau masih takut padaku?" Lanjut James yang membuat Laura semakin bingung ingin menjawab apa. "Umm... Aku mengerti, kau boleh dekat denganku. Tapi... Hanya sebatas teman." James tersenyum sedih disebrang sana, harapannya untuk mendekati Laura sud
Hari ke 3 sebelum jadi murid baru. Reyyan:"lu udah berhasil dapetinnya?" Laura:"Ya." Reyyan:"Bawa dan temui gue di atap sekolah." Laura:"Ayey, Captain!" Reyyan sedikit tersenyum melihat balasan pesan yang Laura berikan. "Dia sangat lucu", Itu pikirannya. ••• Reyyan tersenyum melihat gadis manis itu berjalan ke arahnya. Tapi saat sudah mendekat mimik wajah Laura berganti bingung. "Lu bawa dia terus?" Tunjuk Laura ke arah Devon dengan wajah bingung. Seolah-olah Devon adalah Peliharaan milik Reyyan yang selalu Reyyan bawa kem
"Sebagian orang hidup bersama kesedihannya, sebagian orang lagi hidup bersama amarahnya. Itu semua hanya untuk menyenangkan dirinya, membuat dirinya merasa bahwa segalanya akan baik-baik saja."•••"Bagaimana keadaannya?""Nenek penyihir ini berkata semuanya akan baik-baik saja."Lelaki yang duduk disinggasana nya itu tersenyum miring."Aku tidak sabar ingin menemuinya."•••"Ini tuan, Identitas yang anda inginkan."James membuka dokument yang diberikan mata-mata kepercayaannya.Dia mengernyitkan alisnya saat memb
"Ayah saja tidak percaya padaku."•••Laura duduk ditempat tidurnya sambil menunduk lemas.Leny baru saja kembali dan bilang dia tidak bisa memenuhi permintaannya karena di cegat oleh ayahnya sendiri."Cih." Laura berdecih pelan.Ayah mana yang tidak membiarkan pelayannya mencari dokter pribadi miliknya?Laura sudah yakin, bahwa Rezor bukanlah ayahnya yang sesungguhnya.Saat ini Laura hanya bisa duduk sambil menatap kedua kaki putihnya.Dia mendongak dan tidak sengaja matanya menatap cermin didepannya, kemudian dia memiringkan kepalanya bingung.Sejak kapan rambutnya berubah jadi putih kepirang-pirang an? Dan juga tubuhnya semakin memucat.Laura cepat cepat mengambil kaca kecil disamping tempat tidurnya, dia menyentuh rambutnya perlahan lalu dia berdiri ke arah laci tempat jepit-jepit rambutnya berada.Dia dari samping menjepit rambutnya jadi satu ikatan samping dikepalanya lalu menatap ke kaca.Cantik, tapi juga keliatan aneh.Tidak sengaja Laura menjatuhkan cermin yang dia pegang,
"I don't hurt anybody and I don't believe you all.•••Laura menggerang kesakitan, kedua matanya perlahan lahan terbuka, sinar matahari yang masuk kematanya membuatnya mengernyit. Pening dikepalanya semakin bertambah ketika dirinya mencoba untuk bangun dari tidur"Eh, jangan bangun dulu badan kamu masih ga enak."Dengan gerakan cepat kedua manik mata Laura bertemu dengan kedua manik mata itu. Kedua manik mata yang semalam berhasil menipunya.Dahi Laura semakin mengernyit ketika melihat wajah itu di hadapan Laura sekarang."Siapa kamu? Ngapain kamu disini?"Pertanyaan blak-blak an itu cukup menyakiti hati Edgard, Edgard sadar Laura sudah terlebih dahulu sakit hati semalam ketika sadar dirinya berpura-pura menjadi James."Ra, dengerin dulu."Laura memalingkan tatapannya ke arah lain, tubuhnya bergeser berangsur menjauh, mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang tak ingin disentuh.Tiba-tiba pelayan datang membawa nampan berisi bubur ayam dan juga air putih serta obat-obat an."Tuan, sepe
"I will destroy everything from you, Laura."•••Laura langsung tersentak kaget dan berbalik badan."Ka--kamu siapa?! Gimana kamu bisa masuk kedalam sini?! Kamu---""Bagaimana bisa?" Alice tersenyum miring. "Tentu saja bisa." Alice mengayunkan tangannya membentuk cahaya sihir.Kedua bola mata Laura membulat sempurna. "Kau--jangan bilang kau mengelabui mereka?!"Alice tertawa licik. "Untuk apa aku mengelabui mereka? Melewati mereka saja semudah melangkahi semut."Dahi Laura mengernyit bingung, tangannya mengepal tidak terima."Apa katamu?!! Seenaknya bicara seperti itu ditempat kediaman putri kerajaan terhormat!"Kali ini wajah Alice yang menyentak terkejut. "Putri kerajaan?"Alice melangkah berkeliling-keliling kamar Laura yang sangat luas. "Wah, putri kerjaaan dari negara mana eh?"Alice meledek Laura sambil mengangkat salah satu alisnya.Laura mengepal tidak terima. "Kamu!! Bisa-bisanya kamu ga tau putri mahkota kerajaan ini?!"Alice mengubah mimik wajahnya seperti berpikir. "Tidak,
"Lady? She's your lady or me?•••"Bisakah kita percaya padanya?"Devon dan Oca saling bertatapan, melihat Edgard dan Laura saling tersenyum pada mereka sambil melambaikan tangan.Devon dan Oca berniat pergi dari dunia manusia untuk waktu 2 hari saja, yah... Devon ingin cepat-cepat memberi tahu pangeran sesuatu yang akan terjadi pada tuan putri dengan begitu masa hukuman mungkin akan sedikit diringankan saat pangeran meminta belas kasih pada ketua hukum pengadilan penyihir.Devon tidak yakin ini akan sukses maksimal tapi inilah satu-satunya cara agar bisa mengembalikan ingatan Laura.Terakhir kali Devon mengecek tubuh Laura terutama pikirannya, memori otaknya makin lama makin memudar itu artinya jika waktunya lama ingatan itu akan hila
"It's not different... Because you're not change.•••"Apa?!"Hey! Bajingan!"Alice berteriak kesal sambil berjalan mengikuti Edgard yang sudah berjalan semakin jauh darinya.Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna seluruh kata kata intens yang Edgard keluarkan tadi. Karena pasalnya Edgard tidak pernah berperilaku seperti itu.Mengatakan kata-kata intens sambil menatapnya seperti musuh.Tidak.Edgard tidak sejahat itu.
"He only beside me, when you gone.••Edgard kecil yang sedang berdiri di atap menara kerajaan sambil melihat pemandangan tidak sengaja mendengar suara tangisan kecilKarena dia penyihir, kupingnya cukup tajam untuk mendengar tangisan kecil ituKepalanya melongok kebawah, matanya mengedar sekeliling mencari siapa yang menangis itu. Tapi, matanya berhenti ke satu arahDia melihat seorang gadis perempuan berambut hitam legam sedang menangis ditaman kerajaan. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil terus menangis terisak isakEdgard mengernyit kasian melihatnya
Laura terus berlari kemudian berbelok, di trotoar jalanan itu banyak sekali orang berlalu lalang. Tubuh Laura berjinjit berusaha mencari figur itu tapi tidak ketemu, bagai bayangan yang langsung hilang.Alis Laura mengerut bingung tapi setelah itu dia menghela nafas pasrah.Dia berjalan pelan kesamping bangku taman, duduk disana dengan dress kuno nya. Matanya menatap mawar merah yang sangat segar itu kemudian hidungnya mencium bau mawar yang sangat harum. Senyum kecil terukir di bibirnya.Setelah itu matanya menerawang sisi bunga yang dimana disitu ada sebuah surat kecil, Laura baru menyadarinya.Aku lewat toko bunga dan melihat bunga mawar ini lalu tidak sengaja melihatmu dengan dress merah kuno mu, aku berpikir kamu seperti mawar ini. Harum dan cantik.-your prince. Edd.Kedua mata Laura berbinar-binar ketika membaca bagian bawah. "your prince."
"Where are u?"•••"Kenapa mukamu melamun sambil gelisah seperti itu huh? Kamu bete tidak bisa bertemu tuan putrimu?" Edgard tersenyum miring meledek Reyan sang kaka yang duduk di ruangannya."Sayang sekali, masa hukumanmu sangat panjang. Tapi itu bagus, karena aku bisa sesuka hati mengunjungi calon pacarku."Reyan menatap Edgard tidak suka. "Shut up edgard. Tarik kata-katamu atau...""Atau apa?" Wajah Edgard menantang.Reyan tersenyum miring. "Atau sesuatu yang tidak akan kau inginkan akan terjadi.""Misalnya?"Kali ini Reyan tersenyum licik.
"Tenang, aku selalu ada didekatmu."••"Ah!! Laura ini kami! Ini kami temanmu!"Aku tidak punya teman!"Eren dan Rika tersentak kaget, keduanya menatap Laura bingung."Tidak punya teman? Apa maksudmu?"Oca yang mendengar pertengkaran dari bawah segera berlari ke atas bersama Devon."Laura! Demi tuhan, kami berdua bela belain kesini buat kamu dan kamu bilang kamu ga punya teman?" Kali ini Eren yang bicara, dia bisa merasakan dadanya berdenyut sakit."Keluar!! Atau kalian akan mati."Keduanya menatap Laura tidak percaya. "Laura kau---"