"ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya."
🍁🍁🍁
"Uhm..." Laura membuka kedua kelopak matanya, mengedip pelan berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk pada matanya.
Hal pertama yang dia sadari sekarang adalah, dia berada di kamarnya.
"Eh?!" Gumamnya kaget pada dirinya sendiri.
Melihat tangannya yang di infus dan baju piyama yang sekarang sedang dia pakai.
Dia tiba-tiba lupa dengan kejadian yang membuatnya menangis.
"Eh, anak mama udh siuman." Catherine ibunda Laura mengecup kening Laura membawa rasa nyaman disitu.
Laura diam saja, dia masih terlihat kebingungan.
"Ah, iya tadi yang nganter kamu cowok katanya kamu pingsan di atas atap sekolah. Ngapain kamu di atas atap sekolah?" Ingatan Laura langsung flashback, sekarang dia ingat alasannya menangis sampai tak disangka pingsan.
"Cowok?" Ibunya mengangguk serius.
"Iya, katanya temen kamu." Laura menggigit bibir bawahnya, tidak yakin yang mengantarnya sampai kerumah itu Rey.
"Ganteng?" Laura berusaha meyakinkan.
"Ganteng kok, Ganteng banget!" Seru Ibunya. "Ngomong-Ngomong dia siapa kamu? pacar?" Ibunya mulai tertarik dengan urusan percintaan anaknya.
Laura menghela nafas lelah, melihat ketertarikan ibunya itu pada lelaki yang menolongnya.
"Dasar ibu-ibu." Batinnya.
"Bukan, Cuman teman." Laura tersenyum paksa berusaha meyakinkan ibunya.
"Bener, cuman temen?" Laura mengangguk cepat.
"Iya-iya, cuman temen kok!" Balasnya cepat tak mau ibunya salah paham.
Ibunya menghela nafas lega.
"Tapi, kenapa kamu nangis di atap sekolah?"
Laura terdiam membeku, dia tidak bisa menjawab.
Dia menunduk, matanya bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri berusaha mencari alasan yang tepat.
"Itu, aku liat kucing lompat dari atap gedung sekolah itu makannya aku nangis sedih, Ha-ha." Laura tertawa hambar dan tersenyum penuh keraguan tidak yakin alibinya akan berhasil.
"Bener, cuman gara-gara kucing?" Laura mengangguk cepat.
Dia tidak mungkin bicara jujur, dia menangis karena Reyyan yang meninggalkan nya serta dirinya merasa sesak dan kesepian tidak ingin pulang kerumah.
"Kucingnya lucu, cantik. Dia cowo, terus tiba-tiba dia loncat dari gedung ninggalin aku sendirian. Padahal setiap istirahat dia suka nemenin aku." Jelasnya sedih.
Dia jadi teringat Rey
"Ah, yaudah kamu balik istirahat gih. Kerjaan mama masih banyak ga bisa nemenin kamu lama-lama." Laura mengangguk paham dia kembali tiduran tapi pikirannya kemana-mana. Tidak bisa tidur.
"Ck..." Decaknya sebal memikirkan lelaki yang telah meninggalkan nya itu. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya dan itu membuatnya kesal.
Laura menghela nafas panjang. "Tidur aja lah." Batinnya lelah dan matanya terpejam berusaha tak memikirkan hal itu lagi.
✨✨✨
Laura berjalan menunduk, melihat ubin sekolahnya yang dingin sambil melamun, dia masih memikirkan kejadian 2 hari yang lalu.
Kebetulan Koridor sekolah masih sepi, karena ini masih sangat pagi.
Tiba-tiba Laura dikagetkan dengan suara lantang yang menyapanya.
"Selamat pagi Laura!"
James menyapa Laura dengan semangat.
Laura heran kenapa James begitu semangat pagi ini?
"Oh... Hai." Balasnya tersenyum paksa.
Lalu dia berjalan cepat melewati James sambil menunduk.
"Gimana, udah mendingan?" Laura seketika menghentikan langkahnya.
Dia menoleh ke arah James bingung.
James yang bisa membaca mimik wajah Laura, langsung tersadar. "Ah, gini gue kemarin sore hujan-hujan mau ke atap sekolah. Eh gue liat lo lagi nangis dari jauh, ga lama lo pingsan."
"Terus gue bawa pulang deh kerumah lo, untung ada mama lo dirumah." James menggaruk tengkuknya, tersenyum canggung.
Dia takut Laura merasa tak nyaman lagi dengannya. Karena sebulan yang lalu dia terus menerus mengejar Laura, merasa risih akhirnya dia di abaikan bahkan dijauhi Laura.
Padahal dia tidak ingin hal itu terjadi lagi, untuk kesekian kalinya.
Laura mengangkat kedua alisnya terkejut. "Oh..." Dia menggantungkan kalimatnya.
"Jadi yang nolongin gue si James, Ah bego Laura kenapa lo berharap banget sih? Reyyan nolongin lo dia kan yang ninggalin lo. Ga beradap banget emang tu orang." Pikirnya kesal.
"Makasih." Senyum Laura manis, James hanya terpana diberikan senyuman seperti itu.
"Gue, duluan ya. Bye!" Laura berbalik dan berjalan cepat menuju kelasnya.
James menghela nafas sedih. Dia masih merasa Laura menjauhinya.
•••
Laura tersenyum lega, hal yang menghantuinya sudah tidak ada.
"Hey-Hey ada yang masuk sekolah ni, setelah 2 hari Absent." Goda Eren yang baru masuk ke kelas bersama dengan Oca.
"Eh, iya Laura udh masuk! Gue kangen banget sama lo padahal 2 hari doang astaga." Oca berlari lalu memeluk Laura erat-erat.
"Siapa yang nolongin lo?" Eren sudah tau kronologinya.
"James." Jawabnya singkat sambil tersenyum.
"James?! Si Psikopat gila itu?!" Rika yang baru masuk ke kelas tiba-tiba ikut nimbrung, menerobos dari tengah-tengah.
Laura mengangguk 2 kali dan senyumannya pudar.
Dia jadi teringat kejadian sebulan yang lalu, dia hampir Trauma karena hal itu.
Eren menepuk pundak Laura menenangkan. "Tenang aja, mungkin dia udah berubah."
Laura mengangguk dan tersenyum kecil, berusaha berpikiran positif.
🍁🍁🍁
"Pa-Papa? Papa kok udah pulang?" Laura berdiri terpaku melihat Ayahnya yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya.
Laura pulang malam-malam dikarenakan ada tugas kelompok tadi.
Merasa langit malam akan mendung akhirnya dia meminta Mang Parjo untuk menjemputnya pulang.
Dan dia berakhir di depan pintu, karena ayahnya ada disana.
"Kok kamu baru pulang?" Tatapan Ayahnya sangat mengintimidasi.
"Ada tugas kelompok tadi." Jawabnya pelan.
"Papa denger nilai kamu jelek, makannya Papa pulang." Suara Ayahnya makin rendah di dengar Laura.
Laura menelan ludahnya dengan susah payah, jantungnya berdegup tak karuan, keringat dingin sebentar lagi akan keluar. Dia membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi nanti, dan sekarang dirinya bingung ingin menjawab apa.
"A-Anu... Maafin Laura pa, karena kurang fokus dalam belajar. Besok Laura bakalan lebih giat belajar lagi." Cicitnya ketakutan.
Hening dalam 10 detik sebelum Ayahnya mengeluarkan suara yang tidak ingin Laura dengar.
"Sini kamu." Ayahnya mengintruksi Laura untuk mendekat padanya.
Jantung Laura makin berdegup kencang, bukannya menurut dia malah mundur perlahan-lahan.
"Ngapain kamu mundur? Sini kamu." Ayahnya malah maju untuk menggapai tangan Laura.
Laura menggeleng ketakutan dan langkah mundurnya makin besar.
"Sini Kamu!" Ayahnya menaikkan volume suaranya emosi.
Laura tetap saja tidak menurut, dia malah makin mundur dan berbalik badan hendak kabur.
"LAURA! SINI KAMU!!" Ayahnya sudah benar-benar emosi.
Dan sayangnya tangan Laura berhasil dicekal oleh Ayahnya.
•••
Di sisi lain Reyyan menghela nafas rendah, memikirkan perkataan Laura yang tiba-tiba melintas di telinganya tadi pagi.
"Tidak beradap." Gumamnya rendah, sedikit kesal memikirkannya.
Malam hari Dia sedang berada di taman, sambil duduk di pancuran melingkar besar yang berada di tengah-tengah taman.
"Hei, anak muda." Sapa seseorang yang melewati pancuran itu, suaranya terdengar rapuh.
Seperti kakek-kakek yang memanggil.
Reyyan menoleh dan melihat wajah kakek-kakek itu, lalu pupil matanya membesar.
"Kau?" mimik wajahnya kaget.
Kakek itu tersenyum tulus. "Anak muda, sudah lama ya. Setelah sekian tahun aku baru bertemu kau lagi." Kakek itu mendekat berniat mengajak Reyyan ngobrol.
Reyyan bergeser memberi ruang untuk kakek itu duduk.
"Apa kabar? Bagaimana dengan tugasmu?"
Reyyan menunduk, menghela nafas lelah.
"Entahlah, terasa aneh."
"Aneh?" ada Nada penasaran disana.
"Ya."
"Kenapa?"
Reyyan menoleh dan tersenyum simpul. "Aku terbuka dengannya, baru kali ini aku terbuka dengan orang lain selain kau."
Kakek itu tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Rey.
"Berarti itu ada kemajuan, kau bisa beradaptasi dengannya."
"Tapi..." kakek itu menggantungkan nada bicaranya.
"Ada hal yang boleh dan tidak boleh kau lakukan dalam tugasmu."
Reyyan mengangguk lemah.
"Hal pertama kau pasti sudah tau, dan hal yang kedua. Mungkin mereka tidak bicara denganmu soal ini, tapi aku harus bicara karena ini peraturan dari tugasmu juga."
Reyyan menoleh wajahya terkejut.
Lalu dia diam, bibirnya terkatup rapat. "Katakan lah." nada bicaranya berubah menjadi dingin, dia ingin tau peraturan itu seperti apa.
"Kau tidak boleh mencampuri urusan yang bukan urusanmu, kau boleh melindunginya tapi harus tau batas. Kau tidak boleh melindungi dia ketika dia berurusan dengan seseorang yang dekat dengannya."
Reyyan tertegun.
•••
"Anak Durhaka! Ga nurut lagi kamu sama Papa!" Tangan Laura ditarik kasar masuk ke dalam rumah.
"Lepasin Pa! Maafin Laura! Laura ga akan ngelakuin hal yang sama lagi." Air mata mulai turun dari pelupuk matanya, Laura benar-benar ketakutan sekarang.
"Ada ribut apa ini? Ya, ampun! Papa ngapain? Lepasin tangan Laura kesakitan itu dia!" Ibunya berusaha menolong Laura tapi yang ada Ibunya malah di dorong dengan keras oleh Ayahnya.
Laura bisa merasakan pergelangan tangannya membiru.
"Pa, lepasin pa." Mohon Laura sambil terisak, masih berusaha melepaskan.
Tiba-tiba petir menggelegar sangat kencang, Laura menutup matanya ketakutan dan Ayahnya berhenti menarik Laura, pandangannya dia alihkan ke luar jendela yang ditutupi korden putih tipis.
Sedetik kemudian tangan Laura kembali ditarik membuat Laura kembali ikutan meronta-ronta.
Tak disangka Dirinya di seret menuju kamar mandi.
•••
"Contohnya, keluarganya." lanjut kakek itu.
Bagai tersambar geledek, badan Reyyan terdiam kaku.
Tiba-tiba suara petir menggelegar dengan sangat kencang.
Reyyan menengadahkan kepalanya ke atas, melihat langit yang awannya sangat gelap dan pekat.
Bahkan bulan tidak terlihat.
•••
"Pa! lepasin Laura Pa! Jangan di kamar mandi, Pa! Laura takut gelap! Jangan di kamar mandi Papa! Laura Mohon!" Laura makin berteriak histeris dan menarik tangannya sekuat tenaga.
"Diam kamu." Titah Ayahnya dengan suara rendah.
•••
"Kau tau? Dia sudah sangat lama punya masalah dengan keluarg--"
"Aku tau." Potong Rey. Alisnya tertaut tidak suka,kepalanya menunduk matanya menatap ke arah lain berusaha agar kegelisahan di dalam dirinya tidak terlihat.
Jujur dia tidak suka peraturan yang ini, peraturan kali ini sangat mengganggunya.
Membuatnya risih.
•••
Ayahnya menendang pintu kamar mandi dengan kuat. Menimbulkan Suara gebrakan pintu yang sangat kencang.
"Masuk kamu!" Titah Ayahnya kejam mendorong Laura masuk ke kamar mandi.
"Pa! Engga lagi pa! Jangan!" Laura menggeleng kencang suaranya makin histeris.
Ayahnya menyalakan keran Wastafle di kamar mandi dan menutup Saluran pembuangan Wastafle dengan cepat.
"Pa! Jang---"
•••
"Kau tidak boleh berhubungan dengan keluarganya. Tidak boleh mencampuri urusan masalah dirinya dengan keluarganya. Jika kau berusaha mencampuri urusannya dengan keluarganya, bisa dipastikan kau langsung mendapat hukumanmu."
"Kecuali kau bisa membuktikan kepada mereka, kalau mereka bukan keluarganya. bukan keluarga kandung, bukan dari keluarga sebenarnya. Kau boleh ikut campur dengan urusannya." Lanjutnya.
Lalu hening beberapa saat, Reyyan hanya terdiam. Tangannya mengepal kesal, wajahnya menunduk matanya bergerak ke kanan, ke kiri seperti sedang memikirkan suatu cara.
•••
Tanpa diduga-duga kepala Laura langsung dicelupkan ke dalam Wastafle yang keran airnya masih mengucur dengan deras.
Blubub...Blubub...Blubub.
Laura tidak bisa bernafas.
Lalu kepalanya di tarik kembali ke atas.
Laura menarik nafas sebanyak-banyaknya.
"Papa udah pa! Lau--"
Kepalanya kembali dicelupkan kedalam Wastafle.
Lalu kembali di tarik ke atas lagi.
"Hiks, Pa Laura mohon Udahan." Mohonnya sambil terisak.
Tapi dengan kejam Ayahnya malah kembali mencelupkan kepala Laura kedalam Wastafle, mendorongnya kali ini lebih lama.
"Ini hukuman untukmu karena ga nurut sama Papa. " Ucap Papanya penuh Emosi.
Kedua tangan Laura memegang Wastafle berusaha bangkit untuk bernafas tapi dia kalah tenaga dengan Ayahnya.
Laura benar-benar sudah kehabisan nafas dan tenaga, tangannya yang sedari tadi berusaha kini kian melemah.
Tapi tiba-tiba kepalanya kembali diangkat ke atas.
Laura terbatuk-batuk dan mengambil nafas sebanyak-banyaknya.
Laura melirik takut-takut ke arah ayahnya, ayahnya belum juga melepaskan tangannya dari kepalanya. Laura tidak bisa pergi kemana mana, karena yang Ayahnya pegang adalah Rambutnya.
Air mata masih mengucur dengan deras.
"Plak!"
Tiba-tiba wajahnya ditampar dengan kencang sampai Laura terjatuh ke lantai kamar mandi.
•••
Kakek bernama Rolvin itu tersenyum lembut ke arah Rey. Dia menepuk pundak Rey pelan beberapa kali lalu mengelus punggungnya menenangkannya sedikit.
"Aku sudah mengenalmu lebih dari 500 abad Rey, dari kau kecil hingga sekarang. Aku tau sifatmu, ini sudah jadi peraturanmu. Jadi apa kau sudah memikirkan keputusan-nya?"
Reyyan melirik ke arah Kakek Rolvin, Tangannya mengepal dan mulutnya terkatup rapat.
Dia kesal dengan si pembuat peraturan ini tapi tentu saja dia tidak akan menyerah.
"Aku sudah tau." Suaranya terdengar dingin, dan hujan deras pun turun tiba-tiba.
"Tunggu aku. Siapapun kau, darimana kau berasal. Aku tidak peduli. Walaupun ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya."
•••
Laura membuka sebelah matanya, badannya terjatuh di atas kloset duduk yang tertutup. Dia melihat pintu kamar mandi yang terbuka sedikit, membuat cahaya masuk kedalam kamar mandi yang gelap. Gelap karena lampunya dimatikan.
Dia mendengar suara gemericik air di luar, sangat deras. Tanda langit menangis sepertinya.
Badannya yang lemah,membuat dirinya tidak mampu berdiri untuk keluar dari kamar mandi.
Dia menaruh wajahnya di atas kloset duduk yang tertutup, menumpu dengan kedua tangannya disana badannya bergetar. Dia mulai menangis lagi.
Menangis antara sedih dan ketakutan.
"Sebenarnya kau itu apa? Kalau kau benar penyelamatku, kenapa kau tidak datang untuk menyelamatkanku sekarang?"
Laura membuka kedua matanya, badannya masih terasa sangat sakit. Dia melirik ke kanan dan melihat infusan yang terpasang di pergelangan tangannya. Tiba-tiba ibunya masuk membawa secangkir teh dan juga bubur. "Sayang, udah siuman. Mama yang bawa kamu ke kamar susah payah, Mama juga bawa kamu diem-diem biar ga ketahuan Papa. Sekarang dimakan dulu ya, buburnya masih anget ini." Laura hanya diam, matanya melihat kedepan tapi pandangannya kosong. Ya, Trauma itu datang lagi. Ibunya menggigit bibir bawahnya khawatir melihat Laura sekarang. Tubuhnya kurus dan pucat, hampir seperti mayat hidup sekarang. "Laura ini dimakan dulu yuk, abis itu kita ke dokter, atau besok kita ke dokter." Ibunya terus menyodorkan sendok ke mulut Laura, tapi Laura tak kunjung membuka mulut. Ibunya mendesah merasa makin khawatir. "Ibu kan udah bi
Laura membuka mata perlahan, setelah kedua matanya terbuka lebar dia menengok ke arah kanan. Kedua pupil matanya melebar, kaget melihat ada seseorang didekatnya. "Elo! Kenapa lo disini?!" Teriak Laura sambil menunjuk orang disebelahnya. Seseorang itu hanya nyengir seperti tak ada beban disana. Siapa lagi jika bukan Reyyan. "Gangguin lo." Jawabnya enteng. Laura memutar kedua bola matanya malas. "Gue ga nerima orang yang dateng cuman buat gangguin gue." Laura menyibakkan selimut hendak berdiri. "Awas!" Teriaknya kesal yang tidak bisa pergi karena kaki panjang Reyyan yang menghalangi.
Laura duduk dimejanya sambil menggigit bolpoint, mimik wajahnya terlihat berpikir keras. "Reyyan penyihir, Ayah penyihir tapi dari mana rasa sakit dari dada Reyyan?" "Apa penyihir itu seperti di film Harry Potter? Tapi kulihat Reyyan tidak pernah membawa tongkat penyihir." "Ah Pusing!" Teriaknya sambil menaruh kepalanya di atas meja Laura tidak sadar teriakannya dilihat satu kelas. Saat dia menengok ke teman-temannya wajahnya berubah pucat pasi. "Laura lo gapapa kan?" "Lo mikirin apaan, sampe pusing?" "Agaknya Laura tertekan." "Eng-enggak! Gapapa hehe. Pelajaran hari ini pusing banget." Alibinya dan kembali menaruh kepalanya di atas meja. "Aduh Laura lo bego banget!" rutuknya dalam hati. Tiba-tiba datang bu Heny, guru kimia masuk ke kelas mereka.
"Tuan Putri hanya boleh mencintai anak Raja yang pertama." ••• "Untuk apa kau susah payah mencari tau kalau pada dasarnya dia tidak akan menjadi milikmu?" Reyyan terhentak kaget mendengar suara itu, Reyyan sangat mengenali suara itu. Dia langsung menoleh ke belakang terlihat seseorang dibelakangnya tersenyum miring tanpa ada rasa bersalah. "Devon." Reyyan menyebut nama pemuda itu dengan suara rendah seperti ancaman kalau dia tidak ingin diganggu. Devon lelaki itu yang terbang sambil tersenyum miring tadi merasa tidak terganggu dengan ucapan Reyyan, dia malah mendekati Reyyan.
"Ketika Alam sudah marah dia akan mengambil kembali apa yang telah kau rebut darinya." ••• Petir menggelegar dengan sangat kencang, awan diatas kepalanya berkumpul dan berkeliling membentuk spiral. Hujan terus mengguyur tambah deras tiada henti. Di tengah tempat itu ada lelaki yang tidur telungkup seperti kalah dalam perkelahian. "Uhuk... Uhuk..." batuknya dan berusaha bangkit untuk kembali melawan lawannya. Tapi lelaki itu malah jatuh, tidak ada tenaga lagi untuknya berdiri. Lelaki tinggi memakai baju kerajaan hitam mendekati dirinya. Lelaki yang telungkup tadi m
"Ketika aku tau, kamu adalah orang yang kucari selama ini. Bagaimana bisa aku tertipu oleh semua ini?" -Reyyan. ••• "Apa kau sudah menemukan Rambut Pak tua itu?" "Belum." Reyyan menjawab tapi pandangannya fokus ke bawah dia sedang memikirkan cara untuk mengambil rambut Ayah Laura. Keduanya sama sama terdiam. "Hei! Reyyan!" Suara melengking itu menginterupsi keduanya. Wanita imut itu berlari menuju Reyyan dan juga Devon. "Wow, siapa dia?" Bisik Devon pelan saat Laura berlari ke arah mereka berdua. Re
"Hatimu tidak bisa bohong kalau kau menyukai wanita itu. Apa aku benar?"-Devon. ••• "Hallo, James?" "Oh, Hi! Laura aku hanya ingin mengatakan sesuatu." "Apa?" "Dari Insiden itu aku benar-benar minta maaf, aku sangat menyesal sekali. Sekarang tidak bisakah kita seperti dulu?" Laura terdiam. "Maksudku dekat seperti dulu, ini sangat menggangguku beberapa bulan ini. Mengetahui kau selalu menghindariku." "Apa kau masih takut padaku?" Lanjut James yang membuat Laura semakin bingung ingin menjawab apa. "Umm... Aku mengerti, kau boleh dekat denganku. Tapi... Hanya sebatas teman." James tersenyum sedih disebrang sana, harapannya untuk mendekati Laura sud
Hari ke 3 sebelum jadi murid baru. Reyyan:"lu udah berhasil dapetinnya?" Laura:"Ya." Reyyan:"Bawa dan temui gue di atap sekolah." Laura:"Ayey, Captain!" Reyyan sedikit tersenyum melihat balasan pesan yang Laura berikan. "Dia sangat lucu", Itu pikirannya. ••• Reyyan tersenyum melihat gadis manis itu berjalan ke arahnya. Tapi saat sudah mendekat mimik wajah Laura berganti bingung. "Lu bawa dia terus?" Tunjuk Laura ke arah Devon dengan wajah bingung. Seolah-olah Devon adalah Peliharaan milik Reyyan yang selalu Reyyan bawa kem
"Ayah saja tidak percaya padaku."•••Laura duduk ditempat tidurnya sambil menunduk lemas.Leny baru saja kembali dan bilang dia tidak bisa memenuhi permintaannya karena di cegat oleh ayahnya sendiri."Cih." Laura berdecih pelan.Ayah mana yang tidak membiarkan pelayannya mencari dokter pribadi miliknya?Laura sudah yakin, bahwa Rezor bukanlah ayahnya yang sesungguhnya.Saat ini Laura hanya bisa duduk sambil menatap kedua kaki putihnya.Dia mendongak dan tidak sengaja matanya menatap cermin didepannya, kemudian dia memiringkan kepalanya bingung.Sejak kapan rambutnya berubah jadi putih kepirang-pirang an? Dan juga tubuhnya semakin memucat.Laura cepat cepat mengambil kaca kecil disamping tempat tidurnya, dia menyentuh rambutnya perlahan lalu dia berdiri ke arah laci tempat jepit-jepit rambutnya berada.Dia dari samping menjepit rambutnya jadi satu ikatan samping dikepalanya lalu menatap ke kaca.Cantik, tapi juga keliatan aneh.Tidak sengaja Laura menjatuhkan cermin yang dia pegang,
"I don't hurt anybody and I don't believe you all.•••Laura menggerang kesakitan, kedua matanya perlahan lahan terbuka, sinar matahari yang masuk kematanya membuatnya mengernyit. Pening dikepalanya semakin bertambah ketika dirinya mencoba untuk bangun dari tidur"Eh, jangan bangun dulu badan kamu masih ga enak."Dengan gerakan cepat kedua manik mata Laura bertemu dengan kedua manik mata itu. Kedua manik mata yang semalam berhasil menipunya.Dahi Laura semakin mengernyit ketika melihat wajah itu di hadapan Laura sekarang."Siapa kamu? Ngapain kamu disini?"Pertanyaan blak-blak an itu cukup menyakiti hati Edgard, Edgard sadar Laura sudah terlebih dahulu sakit hati semalam ketika sadar dirinya berpura-pura menjadi James."Ra, dengerin dulu."Laura memalingkan tatapannya ke arah lain, tubuhnya bergeser berangsur menjauh, mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang tak ingin disentuh.Tiba-tiba pelayan datang membawa nampan berisi bubur ayam dan juga air putih serta obat-obat an."Tuan, sepe
"I will destroy everything from you, Laura."•••Laura langsung tersentak kaget dan berbalik badan."Ka--kamu siapa?! Gimana kamu bisa masuk kedalam sini?! Kamu---""Bagaimana bisa?" Alice tersenyum miring. "Tentu saja bisa." Alice mengayunkan tangannya membentuk cahaya sihir.Kedua bola mata Laura membulat sempurna. "Kau--jangan bilang kau mengelabui mereka?!"Alice tertawa licik. "Untuk apa aku mengelabui mereka? Melewati mereka saja semudah melangkahi semut."Dahi Laura mengernyit bingung, tangannya mengepal tidak terima."Apa katamu?!! Seenaknya bicara seperti itu ditempat kediaman putri kerajaan terhormat!"Kali ini wajah Alice yang menyentak terkejut. "Putri kerajaan?"Alice melangkah berkeliling-keliling kamar Laura yang sangat luas. "Wah, putri kerjaaan dari negara mana eh?"Alice meledek Laura sambil mengangkat salah satu alisnya.Laura mengepal tidak terima. "Kamu!! Bisa-bisanya kamu ga tau putri mahkota kerajaan ini?!"Alice mengubah mimik wajahnya seperti berpikir. "Tidak,
"Lady? She's your lady or me?•••"Bisakah kita percaya padanya?"Devon dan Oca saling bertatapan, melihat Edgard dan Laura saling tersenyum pada mereka sambil melambaikan tangan.Devon dan Oca berniat pergi dari dunia manusia untuk waktu 2 hari saja, yah... Devon ingin cepat-cepat memberi tahu pangeran sesuatu yang akan terjadi pada tuan putri dengan begitu masa hukuman mungkin akan sedikit diringankan saat pangeran meminta belas kasih pada ketua hukum pengadilan penyihir.Devon tidak yakin ini akan sukses maksimal tapi inilah satu-satunya cara agar bisa mengembalikan ingatan Laura.Terakhir kali Devon mengecek tubuh Laura terutama pikirannya, memori otaknya makin lama makin memudar itu artinya jika waktunya lama ingatan itu akan hila
"It's not different... Because you're not change.•••"Apa?!"Hey! Bajingan!"Alice berteriak kesal sambil berjalan mengikuti Edgard yang sudah berjalan semakin jauh darinya.Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna seluruh kata kata intens yang Edgard keluarkan tadi. Karena pasalnya Edgard tidak pernah berperilaku seperti itu.Mengatakan kata-kata intens sambil menatapnya seperti musuh.Tidak.Edgard tidak sejahat itu.
"He only beside me, when you gone.••Edgard kecil yang sedang berdiri di atap menara kerajaan sambil melihat pemandangan tidak sengaja mendengar suara tangisan kecilKarena dia penyihir, kupingnya cukup tajam untuk mendengar tangisan kecil ituKepalanya melongok kebawah, matanya mengedar sekeliling mencari siapa yang menangis itu. Tapi, matanya berhenti ke satu arahDia melihat seorang gadis perempuan berambut hitam legam sedang menangis ditaman kerajaan. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil terus menangis terisak isakEdgard mengernyit kasian melihatnya
Laura terus berlari kemudian berbelok, di trotoar jalanan itu banyak sekali orang berlalu lalang. Tubuh Laura berjinjit berusaha mencari figur itu tapi tidak ketemu, bagai bayangan yang langsung hilang.Alis Laura mengerut bingung tapi setelah itu dia menghela nafas pasrah.Dia berjalan pelan kesamping bangku taman, duduk disana dengan dress kuno nya. Matanya menatap mawar merah yang sangat segar itu kemudian hidungnya mencium bau mawar yang sangat harum. Senyum kecil terukir di bibirnya.Setelah itu matanya menerawang sisi bunga yang dimana disitu ada sebuah surat kecil, Laura baru menyadarinya.Aku lewat toko bunga dan melihat bunga mawar ini lalu tidak sengaja melihatmu dengan dress merah kuno mu, aku berpikir kamu seperti mawar ini. Harum dan cantik.-your prince. Edd.Kedua mata Laura berbinar-binar ketika membaca bagian bawah. "your prince."
"Where are u?"•••"Kenapa mukamu melamun sambil gelisah seperti itu huh? Kamu bete tidak bisa bertemu tuan putrimu?" Edgard tersenyum miring meledek Reyan sang kaka yang duduk di ruangannya."Sayang sekali, masa hukumanmu sangat panjang. Tapi itu bagus, karena aku bisa sesuka hati mengunjungi calon pacarku."Reyan menatap Edgard tidak suka. "Shut up edgard. Tarik kata-katamu atau...""Atau apa?" Wajah Edgard menantang.Reyan tersenyum miring. "Atau sesuatu yang tidak akan kau inginkan akan terjadi.""Misalnya?"Kali ini Reyan tersenyum licik.
"Tenang, aku selalu ada didekatmu."••"Ah!! Laura ini kami! Ini kami temanmu!"Aku tidak punya teman!"Eren dan Rika tersentak kaget, keduanya menatap Laura bingung."Tidak punya teman? Apa maksudmu?"Oca yang mendengar pertengkaran dari bawah segera berlari ke atas bersama Devon."Laura! Demi tuhan, kami berdua bela belain kesini buat kamu dan kamu bilang kamu ga punya teman?" Kali ini Eren yang bicara, dia bisa merasakan dadanya berdenyut sakit."Keluar!! Atau kalian akan mati."Keduanya menatap Laura tidak percaya. "Laura kau---"