"Beberapa orang ingin tau takdir yang mereka miliki, setelah tau. Beberapa takdir mereka ada yang tidak berjalan mulus dan mereka berusaha menghindarinya, mengubahnya, walaupun mereka tau. Mereka tidak bisa merubah apapun."
•••
"Lo kemana lagi, gue cariin ngilang ga dicariin muncul terus."
Reyyan tersenyum miring dalam tidurnya saat mendengar suara halus itu membicarakan dirinya.
"Apa gue mesti bunuh diri dulu, baru lu dateng nyelametin gue?"
Tapi kata-kata itu berubah menjadi kata-kata paling idiot yang pernah dia dengar.
"Iya! Gue bunuh diri aja! Cape gue hidup begini, berasa bukan anak, punya orang tua berasa punya orang tua tiri."
Mata Reyyan yang awalnya terpejam tenang sekarang membelalak kaget.
Dia bangun dari tidurnya dan mengusap wajahnya kasar.
Ternyata yang dia dengar bukan mimpi, tapi pikirannya Laura. Dia bisa mendengar apa yang Laura pikirkan.
"Mau ngapain lagi tu anak." Gumamnya kesal.
Dan...
Berakhir disinilah dia, di atas atap sekolah. Menunggu Laura.
Tujuannya, agar Laura tidak jadi bunuh diri.
Demi apapun sebenarnya dia sangat malas sekali berhubungan dengan Laura.
Selagi Laura tidak apa-apa itu tidak masalah untuknya, tapi kemarin dia telah mendengar pikiran Laura yang ingin bunuh diri.
"Sungguh, pikiran yang benar-benar idiot." Batin Reyyan kesal.
Sembari menunggu, dia berdiri diujung Atap sambil menaruh kedua tangan disakunya dan merasakan Angin kencang menerpa wajah gantengnya.
"Drap... Drap... Drap..."
"Kriet..."
Reyyan mendengar suara itu, dia langsung berbalik setengah badan dan memandang ke arah Laura.
"Mau ngapain?" Tanya nya Langsung yang membuat gadis itu terdiam membeku.
•••
"Eh, haloo..." dengan rasa tak bersalah Laura malah menyapa Reyyan.
Tangan cantiknya melambai ke arah Reyyan.
Reyyan tak menggubris sapaan Laura, dia hanya melengos melihat ke arah lain.
Laura menekuk bibirnya sebal "Ih sombong banget." Ucapnya dalam hati.
Dan untungnya Reyyan hanya bisa mendengar apa yang Laura pikirkan bukan yang Laura ucapkan dalam hati.
Walupun begitu Laura tetap berjalan menuju ke arah Reyyan.
"Hei, kamu yang nolongin aku 3 kali waktu itu kan?" Laura langsung bertanya saat dirinya sudah didekat Reyyan.
"Ya." Jawabnya singkat, padat dan jelas.
Seperti Bodyguard pada umumnya, memang Reyyan sudah cocok dengan profesinya.
Laura mengangkat kedua alisnya merasa tertarik dengan lelaki yang ada di sebelah, dia menoleh ke arah Reyyan dan langsung bertanya "Nama lo siapa?"
Reyyan hanya melirik Laura sekilas, dia melihat ada rasa penasaran di dalam mata Laura dan juga ekspresinya, namun sedetik kemudian tatapannya kembali melihat ke arah depan.
"Reyyan." Reyyan berucap singkat lalu berbalik dan turun dari tempatnya dia berdiri.
Laura alisnya berkerut bingung "Reyyan? Reyyan siapa? Kenalan sama nama panjangnya atuh."
"Reyyan Levin Van Crowley." Ucapnya sambil menyandar di tembok.
"Oh, Gue Anastasha Laura Laveau!" Jawabnya semangat sambil mengulurkan tangannya.
Reyyan melirik uluran tangan itu, merasa takut Laura sakit hati tak dijabat akhirnya dia menjabat tangan Laura.
"Tadi lu ngapain dipinggiran situ?" Laura membuka topik pembicaraan.
"Anginnya enak aja." Demi Apapun, ini pertama kalinya Reyyan kembali merasakan berinteraksi dengan orang lain.
Karena sepanjang hidupnya dia hanya menjauhi kerumunan, dan berucap sedikit pada orang lain.
"Ga takut jatoh?" Laura melirik Reyyan dan berkali kali memandang wajahnya
Reyyan memalingkan wajahnya, risih terus-terus an dilihat seperti itu.
"Ga." Jawabnya singkat lagi.
Laura mengangguk paham.
"Lo ga punya temen ya?" Tebak Laura tiba-tiba.
"Sok tau." Cetusnya langsung, walaupun memang tidak sebetulnya benar. Reyyan hanya menjauhi orang-orang bukannya dia tidak punya teman.
"Ya, keliatan aja." Laura nyeletuk asal dan mengedarkan pandangannya ke arah lain.
Reyyan langsung menengok ke arah Laura, merasa di tatap Laura menengok ke arah Reyyan, Lalu Mereka berdua beradu tatap.
"Bzztt..."
Tiba-tiba Setruman dirasakan oleh mereka berdua, mereka berdua langsung memalingkan wajahnya satu sama lain.
Lalu keduanya langsung memegang dada mereka, jantung diantara keduanya berdegup tak karuan.
"Kok gue langsung deg-deg an gini sih?" Laura heran berucap dalam hati.
"Buset, ini jantung gue kenapa?" Pikir Reyyan bingung.
Mereka masing-masing melirik terkejut, lalu tak berapa lama mereka sama-sama diam, Tidak ada yang membuka percakapan.
Setelah keheningan yang cukup lama, Reyyan mencoba membuka percakapan lagi. "Kelihatan banget ya?" Kepalanya menoleh ke arah Laura.
Laura yang tak fokus langsung menoleh bingung.
"Apa?"
"Kelihatan banget ya, kalo gue kesepian?" Jelasnya sambil memandang kedua mata Laura, tapi tak ada setruman disana hanya ada rasa nyaman yang membuat Reyyan tak ingin melepaskan pandangannya.
Laura bengong terpana ditatap kedua matanya seperti itu, lalu tiba-tiba dia tersadar kembali.
Pipinya memerah menahan malu mengingat kelakuannya yang malah bengong terpana dihadapan Reyyan "E-e itu... Anu, eng--gak gitu si, ya gimana ya kelihatannya aja kok." Laura gugup, berusaha memikirkan kata-kata yang bagus untuk diucap.
Reyyan hanya tersenyum kecut mendengarnya.
Melihatnya tersenyum kecut Laura berbisik pelan. "Maaf." Laura merasa bersalah.
"Untuk apa?" balas Reyyan melirik Laura.
"Tadi."
"Lo ga salah kok." Reyyan berputar kesamping badannya menghadap Laura.
"Lo bener gue sesepi itu." Lanjutnya.
"Yaudah sama gue aja." Ceplos Laura tiba-tiba membuat Reyyan terdiam menunggu kelanjutan perkataannya.
Dia tak mau salah paham.
"Maksudnya, sama gue aja disini tiap hari kita ketemu gimana?" Reyyan memandang ke arah lain dengan malas tak yakin bisa mengiyakan ucapan gadis itu.
Karena tak ada jawaban dari Reyyan, Laura kembali mengubah topik.
"Oyya, ternyata lo suka disini sendirian ya."
"Emang kenapa?" Reyyan langsung bertanya.
"Jadi gue ga perlu susah-susah cari lo lagi. Kemarin gue cari ke seluruh sekolah, lo ga ada. eh ternyata destinasi favorit lu ada disini. Gue tau sekarang." Laura berucap senang dia memamerkan senyum manisnya.
Reyyan terpana melihat senyuman itu.
Makhluk macam apa Laura itu? Punya senyum semanis ini. Pikirnya dalam hati.
Dia juga tak menyangka Laura dari kemarin terus mencarinya.
"Destinasi?" Gumamnya pelan sambil tersenyum kecil.
Laura yang mendengar dan melihatnya, bertanya penasaran.
"Kenapa? Apa itu lucu?""Ah, tidak." Reyyan terkejut dan tidak sengaja berbicara formal.
Lalu dia berdehem perlahan.
"Ngapain nyariin gue?" liriknya pada Laura.
"Karena gue penasaran." Laura langsung menjawab jujur.
"Apa motivasi lo nyelametin gue?" lanjutnya.
"Bukan apa-apa" Reyyan kembali menjawab dengan singkat.
Wajahnya berubah datar, pandangannya dia alihkan ke tempat lain tanda ia tidak suka dengan topik pembicaraannya.
Laura menggosokkan jari telunjuknya di dagunya dan matanya menyipit mengintimidasi.
"Bukan apa-apa, kedengeran kayak, ada apa-apa." Reyyan mendengus wajahnya berubah jadi malas.
"Lo bisa ga si diem? berisik banget." Cetusnya.
"Enggak." Balas Laura langsung yang terdengar nyolot ditelinga Reyyan.
"Gue itu cuman ngelindungin lo aja." Ceplos Reyyan asal.
"Ngelindungin gue? Itu tugas lo?" Laura semakin penasaran tapi Reyyan hanya diam.
Reyyan betah menutup mulutnya untuk hal-hal yang membuat Laura sangat penasaran.
Tiba-Tiba Reyyan teringat hal yang mengganggunya tadi pagi, yang mengharuskannya ke sekolah Laura pagi-pagi buta.
"Lo bisa ga si lain kali ga usah berpikiran begitu?" Reyyan berucap kesal.
Laura menaikkan kedua alisnya terkejut.
"Berpikiran apa?" Tanya nya polos.
Reyyan hampir keceplosan dan dia hanya mendengus sebal.
"Orang mah sayang sama nyawa, kalo lo ga mau hidup tuker aja jantung lo sama pasien jantung yang lagi butuh donor jantung." Celetuk Reyyan yang didengar Laura.
Laura menautkan alisnya tak suka.
"Maksud lo apa sih ngomong gitu?!" Reyyan hanya diam sambil memandang kearah lain.
"Kalo lo pinter, lo pasti paham." Balasnya dingin.
Lalu keheningan menyelimuti mereka lagi untuk waktu yang lama.
Tanpa sadar hari sudah sore, Reyyan baru melihat jam tangannya.
Jam 4 sore, dia telah berbincang lama dengan Laura sampai melupakan tugasnya dan Laura, tentu saja dia membolos pelajarannya.
Tanpa basa basi Reyyan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Laura, tapi Laura mencekal lengannya melarangnya untuk pergi.
"Mau kemana?" Tanya nya pelan.
"Pergi, gue lupa masih ada urusan." Nadanya masih terdengar dingin.
"Reyyan disini aja ya..." Pinta Laura tiba-tiba dengan nada halus dan muka memelas.
Tubuh Reyyan langsung terdiam Tapi Reyyan hanya memandang Laura dengan tatapan datar.
"Ngapain?"
"Temenin gue, Katanya ngelindungin gue, kalo ngelindungin gue berarti lo disini aja ya..." Laura masih berusaha membujuknya sampai mengeluarkan Pupil eyesnya.
Tapi sepertinya itu semua percuma.
"Emang gue bodyguard lo." Reyyan menjawab sarkas dan melepaskan pegangan tangan Laura kasar.
Laura melekukan bibirnya kesal karena ditinggal seperti itu, serta dada nya juga tiba-tiba terasa sesak.
Laura merasa ini aneh.
Tiba-tiba rasanya ingin menangis kencang, dadanya terlalu sesak.
Bulir-bulir air mata pun keluar dari kelopak mata cantiknya, dia menangis sambil memukul-mukul dadanya kesal.
"Kenapa sesek banget?" Gumamnya, merasa bingung sendirian.
Lalu Laura duduk dan memeluk kedua lututnya sambil menangis.
Dia merasakan hujan akan segera tiba dan benar saja, tidak lama setelah itu hujan turun dengan deras.
Dia merasa kesepian.
Tapi dia juga tidak ingin kembali kerumah."ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya." 🍁🍁🍁 "Uhm..." Laura membuka kedua kelopak matanya, mengedip pelan berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk pada matanya. Hal pertama yang dia sadari sekarang adalah, dia berada di kamarnya. "Eh?!" Gumamnya kaget pada dirinya sendiri. Melihat tangannya yang di infus dan baju piyama yang sekarang sedang dia pakai. Dia tiba-tiba lupa dengan kejadian yang membuatnya menangis. "Eh, anak mama udh siuman." Catherine ibunda Laura mengecup kening Laura membawa rasa nyaman disitu.
Laura membuka kedua matanya, badannya masih terasa sangat sakit. Dia melirik ke kanan dan melihat infusan yang terpasang di pergelangan tangannya. Tiba-tiba ibunya masuk membawa secangkir teh dan juga bubur. "Sayang, udah siuman. Mama yang bawa kamu ke kamar susah payah, Mama juga bawa kamu diem-diem biar ga ketahuan Papa. Sekarang dimakan dulu ya, buburnya masih anget ini." Laura hanya diam, matanya melihat kedepan tapi pandangannya kosong. Ya, Trauma itu datang lagi. Ibunya menggigit bibir bawahnya khawatir melihat Laura sekarang. Tubuhnya kurus dan pucat, hampir seperti mayat hidup sekarang. "Laura ini dimakan dulu yuk, abis itu kita ke dokter, atau besok kita ke dokter." Ibunya terus menyodorkan sendok ke mulut Laura, tapi Laura tak kunjung membuka mulut. Ibunya mendesah merasa makin khawatir. "Ibu kan udah bi
Laura membuka mata perlahan, setelah kedua matanya terbuka lebar dia menengok ke arah kanan. Kedua pupil matanya melebar, kaget melihat ada seseorang didekatnya. "Elo! Kenapa lo disini?!" Teriak Laura sambil menunjuk orang disebelahnya. Seseorang itu hanya nyengir seperti tak ada beban disana. Siapa lagi jika bukan Reyyan. "Gangguin lo." Jawabnya enteng. Laura memutar kedua bola matanya malas. "Gue ga nerima orang yang dateng cuman buat gangguin gue." Laura menyibakkan selimut hendak berdiri. "Awas!" Teriaknya kesal yang tidak bisa pergi karena kaki panjang Reyyan yang menghalangi.
Laura duduk dimejanya sambil menggigit bolpoint, mimik wajahnya terlihat berpikir keras. "Reyyan penyihir, Ayah penyihir tapi dari mana rasa sakit dari dada Reyyan?" "Apa penyihir itu seperti di film Harry Potter? Tapi kulihat Reyyan tidak pernah membawa tongkat penyihir." "Ah Pusing!" Teriaknya sambil menaruh kepalanya di atas meja Laura tidak sadar teriakannya dilihat satu kelas. Saat dia menengok ke teman-temannya wajahnya berubah pucat pasi. "Laura lo gapapa kan?" "Lo mikirin apaan, sampe pusing?" "Agaknya Laura tertekan." "Eng-enggak! Gapapa hehe. Pelajaran hari ini pusing banget." Alibinya dan kembali menaruh kepalanya di atas meja. "Aduh Laura lo bego banget!" rutuknya dalam hati. Tiba-tiba datang bu Heny, guru kimia masuk ke kelas mereka.
"Tuan Putri hanya boleh mencintai anak Raja yang pertama." ••• "Untuk apa kau susah payah mencari tau kalau pada dasarnya dia tidak akan menjadi milikmu?" Reyyan terhentak kaget mendengar suara itu, Reyyan sangat mengenali suara itu. Dia langsung menoleh ke belakang terlihat seseorang dibelakangnya tersenyum miring tanpa ada rasa bersalah. "Devon." Reyyan menyebut nama pemuda itu dengan suara rendah seperti ancaman kalau dia tidak ingin diganggu. Devon lelaki itu yang terbang sambil tersenyum miring tadi merasa tidak terganggu dengan ucapan Reyyan, dia malah mendekati Reyyan.
"Ketika Alam sudah marah dia akan mengambil kembali apa yang telah kau rebut darinya." ••• Petir menggelegar dengan sangat kencang, awan diatas kepalanya berkumpul dan berkeliling membentuk spiral. Hujan terus mengguyur tambah deras tiada henti. Di tengah tempat itu ada lelaki yang tidur telungkup seperti kalah dalam perkelahian. "Uhuk... Uhuk..." batuknya dan berusaha bangkit untuk kembali melawan lawannya. Tapi lelaki itu malah jatuh, tidak ada tenaga lagi untuknya berdiri. Lelaki tinggi memakai baju kerajaan hitam mendekati dirinya. Lelaki yang telungkup tadi m
"Ketika aku tau, kamu adalah orang yang kucari selama ini. Bagaimana bisa aku tertipu oleh semua ini?" -Reyyan. ••• "Apa kau sudah menemukan Rambut Pak tua itu?" "Belum." Reyyan menjawab tapi pandangannya fokus ke bawah dia sedang memikirkan cara untuk mengambil rambut Ayah Laura. Keduanya sama sama terdiam. "Hei! Reyyan!" Suara melengking itu menginterupsi keduanya. Wanita imut itu berlari menuju Reyyan dan juga Devon. "Wow, siapa dia?" Bisik Devon pelan saat Laura berlari ke arah mereka berdua. Re
"Hatimu tidak bisa bohong kalau kau menyukai wanita itu. Apa aku benar?"-Devon. ••• "Hallo, James?" "Oh, Hi! Laura aku hanya ingin mengatakan sesuatu." "Apa?" "Dari Insiden itu aku benar-benar minta maaf, aku sangat menyesal sekali. Sekarang tidak bisakah kita seperti dulu?" Laura terdiam. "Maksudku dekat seperti dulu, ini sangat menggangguku beberapa bulan ini. Mengetahui kau selalu menghindariku." "Apa kau masih takut padaku?" Lanjut James yang membuat Laura semakin bingung ingin menjawab apa. "Umm... Aku mengerti, kau boleh dekat denganku. Tapi... Hanya sebatas teman." James tersenyum sedih disebrang sana, harapannya untuk mendekati Laura sud
"Ayah saja tidak percaya padaku."•••Laura duduk ditempat tidurnya sambil menunduk lemas.Leny baru saja kembali dan bilang dia tidak bisa memenuhi permintaannya karena di cegat oleh ayahnya sendiri."Cih." Laura berdecih pelan.Ayah mana yang tidak membiarkan pelayannya mencari dokter pribadi miliknya?Laura sudah yakin, bahwa Rezor bukanlah ayahnya yang sesungguhnya.Saat ini Laura hanya bisa duduk sambil menatap kedua kaki putihnya.Dia mendongak dan tidak sengaja matanya menatap cermin didepannya, kemudian dia memiringkan kepalanya bingung.Sejak kapan rambutnya berubah jadi putih kepirang-pirang an? Dan juga tubuhnya semakin memucat.Laura cepat cepat mengambil kaca kecil disamping tempat tidurnya, dia menyentuh rambutnya perlahan lalu dia berdiri ke arah laci tempat jepit-jepit rambutnya berada.Dia dari samping menjepit rambutnya jadi satu ikatan samping dikepalanya lalu menatap ke kaca.Cantik, tapi juga keliatan aneh.Tidak sengaja Laura menjatuhkan cermin yang dia pegang,
"I don't hurt anybody and I don't believe you all.•••Laura menggerang kesakitan, kedua matanya perlahan lahan terbuka, sinar matahari yang masuk kematanya membuatnya mengernyit. Pening dikepalanya semakin bertambah ketika dirinya mencoba untuk bangun dari tidur"Eh, jangan bangun dulu badan kamu masih ga enak."Dengan gerakan cepat kedua manik mata Laura bertemu dengan kedua manik mata itu. Kedua manik mata yang semalam berhasil menipunya.Dahi Laura semakin mengernyit ketika melihat wajah itu di hadapan Laura sekarang."Siapa kamu? Ngapain kamu disini?"Pertanyaan blak-blak an itu cukup menyakiti hati Edgard, Edgard sadar Laura sudah terlebih dahulu sakit hati semalam ketika sadar dirinya berpura-pura menjadi James."Ra, dengerin dulu."Laura memalingkan tatapannya ke arah lain, tubuhnya bergeser berangsur menjauh, mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang tak ingin disentuh.Tiba-tiba pelayan datang membawa nampan berisi bubur ayam dan juga air putih serta obat-obat an."Tuan, sepe
"I will destroy everything from you, Laura."•••Laura langsung tersentak kaget dan berbalik badan."Ka--kamu siapa?! Gimana kamu bisa masuk kedalam sini?! Kamu---""Bagaimana bisa?" Alice tersenyum miring. "Tentu saja bisa." Alice mengayunkan tangannya membentuk cahaya sihir.Kedua bola mata Laura membulat sempurna. "Kau--jangan bilang kau mengelabui mereka?!"Alice tertawa licik. "Untuk apa aku mengelabui mereka? Melewati mereka saja semudah melangkahi semut."Dahi Laura mengernyit bingung, tangannya mengepal tidak terima."Apa katamu?!! Seenaknya bicara seperti itu ditempat kediaman putri kerajaan terhormat!"Kali ini wajah Alice yang menyentak terkejut. "Putri kerajaan?"Alice melangkah berkeliling-keliling kamar Laura yang sangat luas. "Wah, putri kerjaaan dari negara mana eh?"Alice meledek Laura sambil mengangkat salah satu alisnya.Laura mengepal tidak terima. "Kamu!! Bisa-bisanya kamu ga tau putri mahkota kerajaan ini?!"Alice mengubah mimik wajahnya seperti berpikir. "Tidak,
"Lady? She's your lady or me?•••"Bisakah kita percaya padanya?"Devon dan Oca saling bertatapan, melihat Edgard dan Laura saling tersenyum pada mereka sambil melambaikan tangan.Devon dan Oca berniat pergi dari dunia manusia untuk waktu 2 hari saja, yah... Devon ingin cepat-cepat memberi tahu pangeran sesuatu yang akan terjadi pada tuan putri dengan begitu masa hukuman mungkin akan sedikit diringankan saat pangeran meminta belas kasih pada ketua hukum pengadilan penyihir.Devon tidak yakin ini akan sukses maksimal tapi inilah satu-satunya cara agar bisa mengembalikan ingatan Laura.Terakhir kali Devon mengecek tubuh Laura terutama pikirannya, memori otaknya makin lama makin memudar itu artinya jika waktunya lama ingatan itu akan hila
"It's not different... Because you're not change.•••"Apa?!"Hey! Bajingan!"Alice berteriak kesal sambil berjalan mengikuti Edgard yang sudah berjalan semakin jauh darinya.Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna seluruh kata kata intens yang Edgard keluarkan tadi. Karena pasalnya Edgard tidak pernah berperilaku seperti itu.Mengatakan kata-kata intens sambil menatapnya seperti musuh.Tidak.Edgard tidak sejahat itu.
"He only beside me, when you gone.••Edgard kecil yang sedang berdiri di atap menara kerajaan sambil melihat pemandangan tidak sengaja mendengar suara tangisan kecilKarena dia penyihir, kupingnya cukup tajam untuk mendengar tangisan kecil ituKepalanya melongok kebawah, matanya mengedar sekeliling mencari siapa yang menangis itu. Tapi, matanya berhenti ke satu arahDia melihat seorang gadis perempuan berambut hitam legam sedang menangis ditaman kerajaan. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil terus menangis terisak isakEdgard mengernyit kasian melihatnya
Laura terus berlari kemudian berbelok, di trotoar jalanan itu banyak sekali orang berlalu lalang. Tubuh Laura berjinjit berusaha mencari figur itu tapi tidak ketemu, bagai bayangan yang langsung hilang.Alis Laura mengerut bingung tapi setelah itu dia menghela nafas pasrah.Dia berjalan pelan kesamping bangku taman, duduk disana dengan dress kuno nya. Matanya menatap mawar merah yang sangat segar itu kemudian hidungnya mencium bau mawar yang sangat harum. Senyum kecil terukir di bibirnya.Setelah itu matanya menerawang sisi bunga yang dimana disitu ada sebuah surat kecil, Laura baru menyadarinya.Aku lewat toko bunga dan melihat bunga mawar ini lalu tidak sengaja melihatmu dengan dress merah kuno mu, aku berpikir kamu seperti mawar ini. Harum dan cantik.-your prince. Edd.Kedua mata Laura berbinar-binar ketika membaca bagian bawah. "your prince."
"Where are u?"•••"Kenapa mukamu melamun sambil gelisah seperti itu huh? Kamu bete tidak bisa bertemu tuan putrimu?" Edgard tersenyum miring meledek Reyan sang kaka yang duduk di ruangannya."Sayang sekali, masa hukumanmu sangat panjang. Tapi itu bagus, karena aku bisa sesuka hati mengunjungi calon pacarku."Reyan menatap Edgard tidak suka. "Shut up edgard. Tarik kata-katamu atau...""Atau apa?" Wajah Edgard menantang.Reyan tersenyum miring. "Atau sesuatu yang tidak akan kau inginkan akan terjadi.""Misalnya?"Kali ini Reyan tersenyum licik.
"Tenang, aku selalu ada didekatmu."••"Ah!! Laura ini kami! Ini kami temanmu!"Aku tidak punya teman!"Eren dan Rika tersentak kaget, keduanya menatap Laura bingung."Tidak punya teman? Apa maksudmu?"Oca yang mendengar pertengkaran dari bawah segera berlari ke atas bersama Devon."Laura! Demi tuhan, kami berdua bela belain kesini buat kamu dan kamu bilang kamu ga punya teman?" Kali ini Eren yang bicara, dia bisa merasakan dadanya berdenyut sakit."Keluar!! Atau kalian akan mati."Keduanya menatap Laura tidak percaya. "Laura kau---"