Talak bab 69"Aku tak menyangka ayahmu bisa menyusun rencana sebagus ini. Gak heran kualitas otaknya menurun padamu, kini kau bisa mengunakan harta yang dia tinggalkan untukmu."Rani terdiam menatap tas berisi berkas-berkas kekayaan orangtuanya. Tadi dia bertemu pengacara dan notaris sang ayah, mereka muncul setelah Rani menghubungi. Membawa surat yang ayahnya buat sebelum meninggal. "Pewaris tunggal, ternyata ayah dan ibumu yatim-piatu. Sedangkan pria yang mengaku pamanmu, hanya anak angkat kakekmu, plot twist banget gak sih?"Marco tertawa dia ingat bagaimana perjuangan Rani kala itu. Hamil tapi masih melanjutkan sekolahnya, sambil kerja karena sang paman mengambil semua miliknya. Untung sekolah memberi toleransi, itu pun atas permintaan orang tua Marco sebagai donatur. Dengan syarat dia mau membantu Marco yang kala itu lumpuh karena kecelakaan. "Ayahmu pasti berpikir. Kau sendirian, jika langsung menyerahkan warisan tentu akan di kuasai paman dan juga suamimu. Sebab itu dia membe
Talak bab 70.Teriakan itu membuat Rani dan Marco terkejut. Begitu sadar Marco sudah terduduk di tanah, setelah menerima pukulan Sean. "Apa yang kau lakukan? Berhenti!"Rani mendorong tubuh Sean dan memberinya tamparan. Hanya itu satu-satunya cara, jika tidak dia bisa membunuh Marco. "Sayang, kau menamparku?" Sean menatap tak percaya pada istrinya. Rani terdiam begitu melihat, air mata menetes di pipi Sean. "Itu karena kau sudah lepas kendali!"Astaga, Rani segera membantu Marco berdiri. Kemudian dia beralih menatap Sean, kepalanya berdenyut, saat melihat tatapan suaminya yang seolah terluka. "Marco pergilah, biarkan aku bicara dengan suamiku. Satu lagi, lain kali jangan bicara sembarangan." Marco terkekeh sembari melirik Sean, lalu dia pergi meninggalkan pasangan suami-istri itu. Begitu jauh dari Rani senyumnya memudar. 'Aku tak bercanda, apa yang aku ucapkan sungguhan, Ran. Aku rela menunggu jandamu.' ujarnya dalam hati."Sudah, mau bicara atau mau ngamuk lagi? Buruan aku tunggu sam
Talak bab 71"Sayang, bisa tidak berhenti tertawa. Lihat, Miko sampai nangis begitu." Sean menunjuk ke arah Miko yang terduduk di lantai, tertawa sembari memegangi perutnya. Itu karena dia tau cerita Rani tadi pagi, bisa-bisanya istri Sean itu membujuk suaminya seperti anak kecil. "Nasi menangis karena tidak dihabiskan, parahnya lagi, Sean menurutimu, Ran."Kembali Miko tertawa dia membayangkan wajah Sean. Pria yang bertahun-tahun memasang wajah dingin itu, bisa tunduk pada sang istri. "Bisa diam tidak? Kalau tidak, keluar!" teriakan Sean membuat Rani dan Miko terkejut, tapi hanya sebentar. Setelah itu Miko kembali tertawa, sembari berlari keluar sebelum Sean kehilangan kesabarannya. "Sudah cukup, Sayang. Ayo berhenti kalau tidak ...." Rani menutup mulutnya, lalu melangkah menghindari suaminya. Dia tau apa arti kata-kata barusan, ancaman itu tak main-main."Ok, aku berhenti." Rani mengangkat kedua tangannya. Sebagai tanda menyerah. Sean tertawa lalu kembali ke kursinya. "Bagus, istri
Talak Di Hari Kematian Putriku bab 71"Sean." Suara Rani tercekat di tenggorokan. Setelah melihat bagaimana rupa suaminya, yang duduk di depan ruang IGD. Menunggui mamanya yang jatuh tadi.Pria itu terlihat resah, di sampingnya Bianca menggenggam erat telapak tangannya. Perlahan dia melangkah mendekat, namun tak berani bersuara. "Kak Rani!"Suara Wendi membuat semua orang berpaling, termasuk Sean. Rani tersenyum sembari mendekati suaminya, Bianca melepaskan tangan Sean dan membiarkan wanita itu memeluk sang suami. "Tetaplah di sini bersamaku."Rani menganggukkan kepala, lalu mengaitkan jari mereka berdua. menggenggamnya erat, mengantikan mantan kekasih suaminya. Wendi juga duduk di samping Sean, sehingga membuat Bianca tak punya tempat di sisi suami Rani. "Aku bawakan air, minumlah sedikit."Rani mengulurkan air mineral. Agar Sean mau minum, setelah itu dia diam tak bersuara lagi. "Sean!"Kembali mereka menoleh, begitu mendengar suara Stella. Dokter sekaligus sahabat mama Sean, wanita
Talak bab 72"Mas sudah pulang, mau makan atau mandi dulu?" Rani bertanya saat melihat Sean. Melangkah masuk membawa makanan, dari restoran cepat saji. Pertanyaan yang menurut "bodoh". Sedangkan dia tau, kalau Sean baru saja pulang makan malam bersama mamanya. Sudah dua hari mertuanya keluar dari rumah sakit, sejak itu pula dia meminta Sean, untuk menemaninya makan di luar. Alasannya karena tak selera makan di rumah. Dia juga tak mau Rani ikut, setiap dia makan dengan anaknya, walau keberatan Sean tak bisa berbuat apa-apa. Rani juga bilang tak keberatan, makanya Sean menurutinya. Tentu dengan syarat, begitu benar-benar sembuh, Sean tak bisa setiap hari menemani mamanya lagi. "Aku mandi dulu, tunggu sebentar karena aku juga lapar."Rani terkejut mendengar ucapan suaminya. Bukankah dia pergi makan bersama mamanya, kenapa masih bilang "lapar"?" Rani tak mau ambil pusing lagi. Dia segera menyiapkan makanan di meja, agar suaminya bisa segera makan. "Wah, banyak sekali makanan hari ini?"
Talak bab 73"Sudah jam berapa ini?" Rani bertanya karena melihat Sean, sudah keluar dari kamar mandi. "Sudah pagi, cepat bangun." Rani memijit keningnya. Kepalanya pusing, karena semalaman tak bisa tidur lagi, tentu setelah melihat suaminya tidur di ruang kerjanya. "Sebentar, kepalaku masih pusing." Rani merentangkan tangannya. Dia terdiam sembari melirik Sean. Biasanya pria ini akan menaikinya, dan memegang kedua tangannya di atas kepala. Tapi sekarang dia hanya melirik sebentar, lalu menuju lemari mengambil pakaian. "Perubahan yang menyakitkan," gumamnya lirih. Entah Sean dengar atau tidak."Aku siapkan sarapan atau mau makan di luar?" Bukan tanpa alasan Rani bertanya, karena saat ini Sean terlihat sudah berpakaian rapi. "Tentu saja, sarapan di rumah." Sean menjawab pelan, tatapan matanya seolah heran dengan pertanyaan istrinya."Aku akan membuat nasi goreng, tapi kalau kau terburu-buru. Kita bisa sarapan pakai roti." Rani berjalan meninggalkan suaminya. Lalu mendongakkan kepala,
Talak bab 74"Sudah tiga jam tapi belum bisa menemukan istriku. Apa kalian sudah tak berguna lagi? Cari sekarang!" Sean berteriak, setelah tiga jam kehilangan Rani. Begitu pak Warno supir sang istri menghubunginya, Sean langsung mencari, tapi sejak itu pula jejak Rani menghilang. Miko dan anak buahnya, terus melacak keberadaan wanita itu. Sayangnya alat pelacak yang Sean pasang di ponsel istrinya juga tak aktif. "Rumah sakit, cari di seluruh rumah sakit di kota ini. Sekarang!"Sean teringat kalau tadi pagi Rani seperti orang yang sedang sakit. Setelah berteriak, dia segera ikut mencari ke rumah sakit, tapi tak ada nama pasien atau wanita dengan ciri-ciri seperti istrinya. "Bodoh, seharusnya aku peka kalau dia sedang sakit." Sean merutuki dirinya, "Bagaimana?" tanyanya pada Miko yang baru datang. Dia menghela napas panjang, begitu melihat asistennya itu mengelengkan kepala."Ini sudah tiga, jam tapi kita tak bisa menemukan. Kalian juga tak bisa melacak keberadaan Wendi dan Marco, aku
Talak bab 75"Sayang, sudah dong hukumannya. Capek banget nih tangan, bibirku juga makin sakit dibuat curut ini," rengekan Sean pada istrinya. Sedangkan Wendi tampak acuh tak acuh, saat duduk di depan pria itu. "Tak bisa, lanjutkan. Suruh siapa kalian main tonjokan di depanku."Rani tadi sempat shock berat. Saat melihat Sean tiba-tiba menghajar Wendi, sebagai pria jantan, tentu saja Wendi tak terima. Akhirnya mereka berantem tonjok-tonjokan. Rani yang marah menghukum mereka berdua. Saling mengompres memar di wajah lawannya, wanita itu duduk diam sembari mengawasi. "Aku tuh marah padanya. Gara-gara dia kau pergi dari rumah, udah gitu tak mau bilang, kemana dia membawamu pergi. Sekarang dengan beraninya dia muncul di rumahku, dengan tampang tak berdosanya itu." Sean menekan kapas di tangannya ke wajah Wendi."Kau jangan main tuduh saja. Kalau mau marah tuh sama istrimu, dia yang memaksaku membawanya pergi, karena suaminya yang bodoh dan tak tau diri," ujar Wendi dengan kejamnya."Wendi