Jangan lupa tinggalin komentar dan ulasan ya kak gaesss... ❤️
Setelah Selesai dengan urusan perutnya, Arjuna mengantarkan ku dan juga Reni untuk segera pulang. Setelah menjelaskan beberapa hal kepada ibu, Arjuna kemudian berpamitan untuk pulang.[Eh, ya enggak pulang ding, karena dia hanya akan kembali ke hotel yang ada di pusat kota ini. Perlu jarak tempuh sekitar satu jam dari resort yang sekarang sedang dikelolanya]."Lah, Nak Juna mau balik ke Jakarta ini? tanya ibu."Eh, mungkin besok, Bu. Untuk sekarang saya akan pulang ke hotel terlebih dahulu, hehe," jawabnya dengan tawa renyah di akhir kalimatnya. Setelah itu, Arjuna mengatakan kepada ibu jika ia akan segera mencari rumah di daerah sini untuk mengurus project pembangunan resort dan restorannya.Setelah mobil Arjuna terlihat berlalu dari halaman rumah, laksana Gundala si manusia petir Reni langsung melesat cepat berlari dari rumahnya. Dengan sangat cekatan ia melompati tembok pembatas rumahnya yang biasa untuk kamu duduk bersama itu hanya dengan sekali lompatan saja. Tanpa toleh kiri kana
"Bagaimana ya Bu ...""Umur Nara juga sudah tua ini, mau melanjutkan kuliah juga udah nanggung, Bu. Mendingan Nara cari kerja aja," jawabku."Lah, belum genap dua puluh tiga kok yo sudah bilang tua to, Nduk. Belum tua itu. Nggak ada istilah terlambat untuk belajar. Banyak juga yang sudah berusia tiga puluh atau empat puluh tahun yang masih berkuliah. Selalu ada kesempatan jika kamu mau mengejar cita-cita," papar ibuku yang super super sabar ini. Aku kembali bungkam dan tak berani lagi berkata-kata.Sebenarnya di dlm hatiku ini, aku juga masih ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sedari aku kecil, aku selalu berkeinginan untuk menjadi seorang dokter. Bagiku, di usia yang masih begitu kecil profesi seorang dokter adalah profesi yang keren dan ku anggap bisa menghasilkan banyak uang. Karena sekali suntik pasien saja pasti kantong langsung berbunyi klunting.Namun semua itu hanya menjadi angan semata. Karena memang keterbatasan ekonomi, aku harus memupus semua angan ku untuk bi
Pagi ini mentari mentari masih malu-malu untuk menyapa. Pagi hari masih terlihat sedikit gelap. Dengan dinginnya hembusan embun pagi Ibu mengajakku untuk berangkat lebih awal ke pasar. Itu karena nanti akan ada pemasok sayur untuk dagangan baru."Nduk, nanti kamu antar ibu saja, terus habis itu coba kamu mulai cari-cari ruko dipinggir jalan seperti yang kamu mau kemarin. Jemputnya ibu nanti agak siangan saja nggak apa-apa kalau kamu sudah selesai," ujar Ibu."Siap Bu komandan!" Ku posisikan tanganku layaknya prajurit yang sedang memberi hormat kepada seniornya. Eh, malah kena toyor ibu ini kepalaku.Pagi-pagi sekali tepat setelah sholat subuh aku langsung mengantarkan ibu pergi ke pasar, sesuai dengan apa yang Ibu minta. Pemasok sayur datang saat aku baru memulai menata beberapa sayur di lapak kecil yang telah tersedia. Aku benar-benar menunggu sampai pemasok sayur tersebut selesai dengan kegiatannya. Baru setelah semuanya beres, aku berpamitan pada ibu untuk melakukan perintahnya. Aku
"Dug dug dug," hatiku berdebar kencang, terdengar semakin kacau seperti balon hijau yang akan meletus."Hah," mataku terbelalak, rasa hatiku serasa tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Kukira Bu Ratna akan mendatangi dan melabrak kami seperti sebelum-sebelumnya. Tapi ternyata apa yang ku pikirkan itu salah, wanita itu hanya melemparkan pandangan ke arahku dan juga Reni tanpa melakukan apapun."Kamu lihat kan, Ra. Bu Ratna itu nggak akan berani bertindak yang anarkis lagi di tempat umum. Dia pasti sedang menjaga image nya di depan masyarakat sekarang ini, dia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri karena dia sedang membutuhkan suara mereka," ujar Reni yang kubenarkan.Akhirnya tanpa harus menunggu lebih lama lagi, aku segera mengajak Reni untuk segera pergi meninggalkan tempat ini.***"Kita pulang sekarang atau mau cari tempat lain dulu nih?" tanyaku pada Reni."Masih jam segini, kita lihat-lihat tempat yang lain dulu aja gimana, Ra? Tapi, beli es dulu ya," pintanya.Kami pu
Ya Tuhan ... Aku masih terus memegangi dadaku dan memastikan jantungku ini masih berada pada tempat yang seharusnya. Kesadaranku kini sudah kembali penuh.Dari tempatku duduk sekarang, aku melihat es cendol yang tadi dibungkus oleh Reni untuk Ibunya di rumah telah tumpah, pecah dan berserakan di jalan. Aku berdiri dan mendekati sepeda motorku yang sedang diangkat oleh beberapa orang. Kulihat dengan seksama, goresan-goresan dan luka lecet di seluruh body motor satu-satunya peninggalan dari mendiang Bapak.Meskipun ini hanya sebuah mesin bagi orang lain, tapi benar-benar terasa sakit hatiku melihatnya. Almarhum Bapak sangat menyayangi motor ini dan selalu merawatnya. Seumur-umur bapak memakainya, satu goresan kecil pun tidak pernah tercetak di motor ini. Lalu setelah itu ku dekati Reni.Luka yang Reni dapatkan sebagai pembonceng jauh lebih banyak dn lebih parah daripada lukaku. Tapi, bukan hanya tentang kecelakaan ini saja yang aku risaukan sekarang. Bukan hanya sekadar tentang Reni, mot
Aku masih tetap terdiam dan terus berusaha mengingat saat Arjuna menanyakan perihal itu."Tentu saja aku tak punya musuh. Tapi kalau ditanya siapa yang membenciku ... Umm ya cuma si Bu lurah," batinku dalam hati."Mm, maksud nak Juna apa kok bertanya begitu?" Aku langsung menatap ibu yang menyahut pertanyaan dari Arjuna tadi."Ya, misalnya saja Kinara punya musuh diluar sana, Bu. Atau mungkin ada yang menaruh dendam sama Nara, saya hanya bertanya saja, Bu," ku tatap Arjuna, meskipun dari kata-katanya ia terlihat sedikit agak ragu, namun pertanyaan itu keluar juga dari bibirnya. Pertanyaan yang sama dengan seperti apa yang aku pikirkan saat ini.Menunggu Ibu menjawab pertanyaannya, Arjuna meneguk teh panas yang masih mengepul dari dalam gelas. Ia kemudian melirik ke arahku, seolah menanyakan kenapa Ibu menjadi terdiam. Melihat kecanggungan di wajah Arjuna, aku lantas berpamitan kepada mereka berdua untuk sekedar mengganti baju dan juga celanaku yang kotor dan terkena noda darah."Bu, N
Pagi yang cerah untuk ku mencari kehangatan mentari. Setelah membersihkan tubuh dan membasahi rambut, aku duduk-duduk di depan rumah sambil berjemur. Ibu menghampiriku untuk membawakan segelas susu putih."Nduk, ibu bikinin kamu susu, ayo diminum dulu," ucap ibu sambil meletakkan gelas di meja yang berada di teras depan rumah.Untuk sementara waktu aku dan juga Ibu harus menutup jualan kami di pasar dulu. Aku harus banyak beristirahat pasca kejadian kecelakaan tempo hari. Sudah kukatakan agar Ibu tetap berangkat berjualan saja, karena aku masih bisa mengurus diri sendiri di rumah. Tapi Ibu tetep ngeyel, Ibu ingin menemaniku dulu hingga aku benar-benar sembuh."Lagipula itu motor juga masih belum bener kok," kata Ibu."Lah, bukannya kemarin sudah di bawa ke bengkel? Kan Ibu lihat sendiri kemarin sudah diantar pulang oleh anak buahnya Om Juna."Iya, diantarkan pulang dulu, karena kemarin bengkelnya tutup," seketika kedua mataku langsung terbelalak lebar seakan mau lepas dari tempatnya sa
"Ah, Deva. Dia pasti sudah tahu karena motorku sudah sampai di tempatnya," gumamku.Harusnya aku juga bisa menebak jika pastinya Deva akan datang ke rumah.Malas sekali rasanya untuk aku keluar dan menemuinya saat ini. Bukan karena aku membencinya, bukan. Tapi aku hanya merasa sangat malas saja menambah masalah jika ada keluarga Bu Ratna yang melihat Deva bertandang ke rumah. Namun aku pun tidak bisa untuk berpura-pura tidak ada di rumah, sebab memang pintu depan dalam keadaan yang masih terbuka.Akhirnya, mau tidak mau aku pun keluar juga dari dalam rumah untuk menemui dirinya yang pada saat ini sudah berdiri di depan rumahku. Tapi hanya cukup di teras saja, karena aku juga nggak mau berduaan di dalam rumah dengan Deva.Aku yang sudah sudah keluar dari dalam rumah sudah keluar ke teras. Aku hanya diam saja dan menatapnya tanpa bertanya."Nara, aku datang kesini karena melihat motormu ada di bengkel sedang di servis sama Komeng. Dia bilang kalau tadi pagi ada seseorang yang mengantarka