Pagi yang cerah untuk ku mencari kehangatan mentari. Setelah membersihkan tubuh dan membasahi rambut, aku duduk-duduk di depan rumah sambil berjemur. Ibu menghampiriku untuk membawakan segelas susu putih."Nduk, ibu bikinin kamu susu, ayo diminum dulu," ucap ibu sambil meletakkan gelas di meja yang berada di teras depan rumah.Untuk sementara waktu aku dan juga Ibu harus menutup jualan kami di pasar dulu. Aku harus banyak beristirahat pasca kejadian kecelakaan tempo hari. Sudah kukatakan agar Ibu tetap berangkat berjualan saja, karena aku masih bisa mengurus diri sendiri di rumah. Tapi Ibu tetep ngeyel, Ibu ingin menemaniku dulu hingga aku benar-benar sembuh."Lagipula itu motor juga masih belum bener kok," kata Ibu."Lah, bukannya kemarin sudah di bawa ke bengkel? Kan Ibu lihat sendiri kemarin sudah diantar pulang oleh anak buahnya Om Juna."Iya, diantarkan pulang dulu, karena kemarin bengkelnya tutup," seketika kedua mataku langsung terbelalak lebar seakan mau lepas dari tempatnya sa
"Ah, Deva. Dia pasti sudah tahu karena motorku sudah sampai di tempatnya," gumamku.Harusnya aku juga bisa menebak jika pastinya Deva akan datang ke rumah.Malas sekali rasanya untuk aku keluar dan menemuinya saat ini. Bukan karena aku membencinya, bukan. Tapi aku hanya merasa sangat malas saja menambah masalah jika ada keluarga Bu Ratna yang melihat Deva bertandang ke rumah. Namun aku pun tidak bisa untuk berpura-pura tidak ada di rumah, sebab memang pintu depan dalam keadaan yang masih terbuka.Akhirnya, mau tidak mau aku pun keluar juga dari dalam rumah untuk menemui dirinya yang pada saat ini sudah berdiri di depan rumahku. Tapi hanya cukup di teras saja, karena aku juga nggak mau berduaan di dalam rumah dengan Deva.Aku yang sudah sudah keluar dari dalam rumah sudah keluar ke teras. Aku hanya diam saja dan menatapnya tanpa bertanya."Nara, aku datang kesini karena melihat motormu ada di bengkel sedang di servis sama Komeng. Dia bilang kalau tadi pagi ada seseorang yang mengantarka
Malam ini, sebelum kami beranjak untuk tidur, Ibu mengajakku berbicara sebentar sambil duduk di depan televisi. Setelah berjibaku dengan pekerjaan yang sangat menguras tenaga seharian ini, kami sempatkan diri untuk melepas sedikit kepenatan di atas sofa yang berada di ruang tamu.Aku dan Ibu beristirahat dengan mengisi obrolan-obrolan ringan."Nduk, lusa besok ibu mau bagi-bagi sedekah. Kebetulan lusa jatuh pada hari Jumat, dan Ibu pengen banget bikin Jumat berkah," ucap Ibu pada malam itu."Kamu bisa bantuin kan, Nduk? Ya hitung-hitung sekalian syukuran karena kamu masih diberikan keselamatan dari kecelakaan kemarin itu. Dan juga sebagai ungkapan rasa syukur ibu karena Allah sudah memberikan rejeki yang tidak terduga melalui nak Arjuna.""Insha Allah rejeki kita akan menjadi lebih berkah Nduk jika dibersihkan. Bagaimana cara membersihkannya? Ya dengan cara bersedekah tadi," lanjut ibu mengemukakan gagasan-nya."Nara setuju dengan pendapat Ibu, itu ide yang sangat bagus, Bu," ucapku ya
Aku hanya bisa terus tertunduk dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan Reni, sahabatku yang sangat absurd ini. Penjual baru saja meletakkan mangkok berisi mie ayam dan bakso di atas meja."Nanggung ini, Ren. Nggak segerobaknya aja itu sekalian dimakan semua?" Sindirku pada Reni.""Yang sabar ya Boss, he he he. Dimana-mana itu yang namanya bodyguard pasti makannya harus banyak kan, Ra. Biar kuat jiwa dan raga menjaga tuannya!" Jawab Reni dengan menunjukkan otot bisepnya yang ... nggak ada."Bodyguard?" Aku kembali mengulang apa yang tadi Reni ucapkan."Ya iya, bodyguard. Apalagi yang bisa ku lakukan selain jadi pengawal saat kalian berdua belum saling menghalalkan diri. Ya nggak, Om?" Tanya Reni berganti pada Arjuna.Laki-laki yang sekarang duduk di sampingku dengan mengenakan kaus tosca berjaket denim itu hanya mengulum senyumnya sambil menganggukkan kepala."Tuh kan, Om Juna nya aja udah mengangguk tanda setuju dengan apa yang aku bilang, Ra," celetuknya.Aku yang sudah merasa geram
"Me-menikah?" Aku kembali mengulang ucapan Aditya barusan. Laki-laki itu kemudian mengangguk."Berapa usia kamu sekarang Kinara?" tanya Arjuna kemudian."Mau dua puluh empat, Om," jawabku dengan polosnya tanpa sedikitpun rasa takut."Perbedaan usia sepuluh tahun bagi saya bukanlah suatu masalah yang besar, Ra. Sepuluh tahun bukanlah angka yang terlalu jauh untuk kita menjalin sebuah ikatan. Bahkan di luaran sana, ada juga pasangan yang berbeda agama belasan atau bahkan puluhan tahun, Ra. Dan meskipun kamu masih cukup muda, tapi saya yakin sekali jika kamu bisa menjadi seorang istri dan juga seorang ibu yang baik untuk anak-anak kita nantinya," papar Om Juna tanpa kulihat sedikitpun keraguan di matanya.Ceguk!Pahit sekali rasanya leher ini saat kugunakan untuk menelan ludah."Masa iya aku yang kemarin mengatakannya dengan tidak bersungguh-sungguh, karena saat itu aku hanya merasa benar-benar kepepet. Tapi kenapa malah sekarang diajak nikah beneran," batinku dalam hati. Aku benar-benar
"Kamu sama Om Juna memangnya ngomongin apa semalam, Ra. Buset aku tungguin lama banget nggak keluar-keluar. Aku udah takut banget kalau ibumu bakal marah loh tadinya loh, Ra. Ah, untungnya saja tidak," ujar Reni yang ingin tahu tentang apa yang yang kubicarakan dengan Arjuna semalam pada keesokan harinya."Semalam aku emang sengaja turun duluan loh, biar kalian bisa ngobrol. Eh nggak taunya ngobrolnya kebablasan, ck ck ck," sambung Reni kemudian sembari menggelengkan kepalanya.Sambil memotong-motong kacang panjang yang akan ku masak untuk menu sarapan siang ini. Aku melirik tajam ke arah sahabatku yang tingkat ingin tahunya sudah go internasional ini."Kamu itu loh,Ren. Pinter sekali kalau buat alasan. Mau ngasih ruang buat ngobrol apa mau habisin sisa bakso kamu? Pasti aku ditinggal makan bakso yang belum habis itu, kan?" cetusku padanya."Ah, tahu aja sih kamu, Ra," jawabnya dengan raut wajah yang tersipu malu-malu."Tapi beneran kok, Ra. Aku itu nungguin kamu wong aku makan baksony
"Halo," suara wanita di seberang telepon kembali terdengar.Suara tersebut sungguh membuat seluruh tubuhku membeku. Aku hanya menatap Reni dengan sangat cemas, dan bahkan tak mampu untuk menjawab."Halo, dengan siapa ya ini?" Tanyanya lagi.Dengan segenap kekuatan yang tersisa aku mencoba untuk menjawabnya."I-iya, Ha-halo, Om Juna ada?" Suaraku sedikit gemetar. Aku takut jika ia adalah istri atau kekasih dari Om Juna."Oh, cari Mas Juna, ya? Sebentar ya, Mas Juna sedang di kamar mandi, Mbak," ucapnya."Ini, dengan Mbak Kinara, ya?" Lanjutnya kemudian.DEG!!"Bagaimana dia bisa tahu namaku?" batinku dalam hati."Ini saya, Mbok Iyem. Ditunggu sebentar ya, Mbak," paparnya."Huuufth" akhirnya detak jantungku kembali lagi ke tempatnya setelah beberapa saat sempat menghilang. Lega sekali hatiku saat mendengarnya. Saking leganya aku merasakan kedua tungkai ku menjadi lemas seketika."Iya Mbok. Berati Om Juna baik-baik saja, kan? Dia masih hidup kan, Mbok?" Tanyaku mencoba untuk memastikan.
"Assalamualaikum Ustadz Abdurrahman," sapa pak Rudi pada pak ustadz yang tampak sibuk membantu persiapan sholat Jumat pada hari itu."Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ... Waaaahhh, mimpi apa ini saya sampai masjid di datangi oleh Bapak dan juga Ibu Lurah?" Tanya pak ustadz.Ustadz Abdurrahman begitu terkejut saat Pak Lurah dan juga Bu Lurah menyambangi masjid. Pasalnya kedua orang tamunya yang datang saat ini jarang sekali terlihat datang ke masjid yang dikelolanya tersebut. Namun tak berselang lama, pertanyaan beliau terjawab oleh seorang pria yang datang dan menyerahkan sekantung kardus berisi nasi kotak. Itu baru satu, karena di dalam mobil masih ada beberapa lagi."Begini loh pak ustadz, kedatangan kami ke sini itu adalah untuk berbagi sedikit rejeki. Kami bawakan sedikit makanan dan juga minuman untu para jamaah serta para pengurus masjid. Sengaja makanan ini kami pesan dari restoran terkenal yang ada di batas kota," Bu Ratna menjawab pertanyaan pak ustadz Abdurrahman."