Nah loh, Ra ... Hayo,,, author wakilin...
"Me-menikah?" Aku kembali mengulang ucapan Aditya barusan. Laki-laki itu kemudian mengangguk."Berapa usia kamu sekarang Kinara?" tanya Arjuna kemudian."Mau dua puluh empat, Om," jawabku dengan polosnya tanpa sedikitpun rasa takut."Perbedaan usia sepuluh tahun bagi saya bukanlah suatu masalah yang besar, Ra. Sepuluh tahun bukanlah angka yang terlalu jauh untuk kita menjalin sebuah ikatan. Bahkan di luaran sana, ada juga pasangan yang berbeda agama belasan atau bahkan puluhan tahun, Ra. Dan meskipun kamu masih cukup muda, tapi saya yakin sekali jika kamu bisa menjadi seorang istri dan juga seorang ibu yang baik untuk anak-anak kita nantinya," papar Om Juna tanpa kulihat sedikitpun keraguan di matanya.Ceguk!Pahit sekali rasanya leher ini saat kugunakan untuk menelan ludah."Masa iya aku yang kemarin mengatakannya dengan tidak bersungguh-sungguh, karena saat itu aku hanya merasa benar-benar kepepet. Tapi kenapa malah sekarang diajak nikah beneran," batinku dalam hati. Aku benar-benar
"Kamu sama Om Juna memangnya ngomongin apa semalam, Ra. Buset aku tungguin lama banget nggak keluar-keluar. Aku udah takut banget kalau ibumu bakal marah loh tadinya loh, Ra. Ah, untungnya saja tidak," ujar Reni yang ingin tahu tentang apa yang yang kubicarakan dengan Arjuna semalam pada keesokan harinya."Semalam aku emang sengaja turun duluan loh, biar kalian bisa ngobrol. Eh nggak taunya ngobrolnya kebablasan, ck ck ck," sambung Reni kemudian sembari menggelengkan kepalanya.Sambil memotong-motong kacang panjang yang akan ku masak untuk menu sarapan siang ini. Aku melirik tajam ke arah sahabatku yang tingkat ingin tahunya sudah go internasional ini."Kamu itu loh,Ren. Pinter sekali kalau buat alasan. Mau ngasih ruang buat ngobrol apa mau habisin sisa bakso kamu? Pasti aku ditinggal makan bakso yang belum habis itu, kan?" cetusku padanya."Ah, tahu aja sih kamu, Ra," jawabnya dengan raut wajah yang tersipu malu-malu."Tapi beneran kok, Ra. Aku itu nungguin kamu wong aku makan baksony
"Halo," suara wanita di seberang telepon kembali terdengar.Suara tersebut sungguh membuat seluruh tubuhku membeku. Aku hanya menatap Reni dengan sangat cemas, dan bahkan tak mampu untuk menjawab."Halo, dengan siapa ya ini?" Tanyanya lagi.Dengan segenap kekuatan yang tersisa aku mencoba untuk menjawabnya."I-iya, Ha-halo, Om Juna ada?" Suaraku sedikit gemetar. Aku takut jika ia adalah istri atau kekasih dari Om Juna."Oh, cari Mas Juna, ya? Sebentar ya, Mas Juna sedang di kamar mandi, Mbak," ucapnya."Ini, dengan Mbak Kinara, ya?" Lanjutnya kemudian.DEG!!"Bagaimana dia bisa tahu namaku?" batinku dalam hati."Ini saya, Mbok Iyem. Ditunggu sebentar ya, Mbak," paparnya."Huuufth" akhirnya detak jantungku kembali lagi ke tempatnya setelah beberapa saat sempat menghilang. Lega sekali hatiku saat mendengarnya. Saking leganya aku merasakan kedua tungkai ku menjadi lemas seketika."Iya Mbok. Berati Om Juna baik-baik saja, kan? Dia masih hidup kan, Mbok?" Tanyaku mencoba untuk memastikan.
"Assalamualaikum Ustadz Abdurrahman," sapa pak Rudi pada pak ustadz yang tampak sibuk membantu persiapan sholat Jumat pada hari itu."Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ... Waaaahhh, mimpi apa ini saya sampai masjid di datangi oleh Bapak dan juga Ibu Lurah?" Tanya pak ustadz.Ustadz Abdurrahman begitu terkejut saat Pak Lurah dan juga Bu Lurah menyambangi masjid. Pasalnya kedua orang tamunya yang datang saat ini jarang sekali terlihat datang ke masjid yang dikelolanya tersebut. Namun tak berselang lama, pertanyaan beliau terjawab oleh seorang pria yang datang dan menyerahkan sekantung kardus berisi nasi kotak. Itu baru satu, karena di dalam mobil masih ada beberapa lagi."Begini loh pak ustadz, kedatangan kami ke sini itu adalah untuk berbagi sedikit rejeki. Kami bawakan sedikit makanan dan juga minuman untu para jamaah serta para pengurus masjid. Sengaja makanan ini kami pesan dari restoran terkenal yang ada di batas kota," Bu Ratna menjawab pertanyaan pak ustadz Abdurrahman."
"Lagi ngobrolin apa sih nih, kayaknya kok seru banget," terlihat ibu baru saja keluar dari dalam."Ini nak Juna nasinya, maaf ya kalau ibu lama di dalam. Soalnya tadi ibu langsung ke kamar mandi dulu, mules," terang Bu Wati."Alhamdulillah ibu ..." Batinku kala itu. Aku merasa sangat terselamatkan dengan kemunculan ibu. Terlihat di tangannya sedang menenteng dua nasi kotak yang langsung diberikan kepada laki-laki yang sedang duduk berhadapan denganku ini."Terimakasih ya, Bu," ucap Arjuna."Sama-sama, Nak. Maaf hanya sekedar nasi kotak," jawab ibu sambil tersenyum."Bu, kenapa kenapa kemarin tidak mengatakan kalau mau ada acara seperti ini? Kalau saya tahu kan saya juga bisa ikut bantu, Bu. Atau mungkin, saya tidak di ijinkan untuk membantu?" tanya Om Juna."Ah bukan begitu, nak Juna tentu pekerjaannya sudah sangat banyak. Tak mungkin saya meminta nak Juna turun tangan hanya untuk hal-hal seperti ini," jawab ibu."Lain kali, kalau ada apa-apa bilang saja ya, Bu. Jangan sungkan," balas
Meskipun saat ini masih tengah hari, dan matahari sedang berada di puncak tertingginya, tak membuat tubuh ini menjadi panas. Rimbunnya pepohonan yang berdiri memenuhi di sekitar air pegunungan ini memberikan hawa sejuk yang dapat mengalahkan teriknya sang mentari."Kricik kricik kricik," suara gemericik air sudah mulai terdengar di telinga ini. Jembatan kayu yang menjadi penghubung jalan di atas aliran sungai terbentang panjang.Dengan berhati-hati,aku menapakkan kaki di atas bebatuan berlumut yang tercetak berjejer di sekitar sungai yang airnya begitu bening, dan mengalir begitu tenang di bawah sana.Aku mendaratkan bokongku di atas sebuah batu besar secara perlahan. Batu besar dengan permukaan yang datar dan bisa diduduki oleh beberapa orang sekaligus. Aku menghirup udara segar dari aroma dedaunan sambil menikmati indahnya pemandangan alam.Saat aku begitu menikmati suasana, Arjuna justru melakukan hal yang berbeda. Dengan lincahnya dia melompat lompat di atas batu-batu kecil yang me
"Waaaah waaah... Senyum-senyum terus tuh,""Gimana rasanya bisa jalan-jalan dengan calon istri, Om?" sambut Reni yang kebetulan sedang duduk-duduk di depan teras rumahnya. Di saat ia melihat mobil Aditya mulai memasuki pelataran, Reni pun datang mendekat ke arah kami."Asik kan pastinya ... Om Juna harusnya berterima kasih juga loh sama aku. Karena tadi sibuk rewang di rumah Simbah kan jadi nggak bisa ikut Nara pergi. Tapi jadi bisa berduaan kan sama Kinara. Tapi, Kinara nya nggak di apa-apain kan, Om?" Reni kembali melontarkan kata-kata konyol nya."Hush, ngawur. Nggak aneh-aneh lah, Ren," jawabku."Itu pintu kok masih terkunci, Ren. Apa ibu belum pulang?" Tanyaku pada Reni saat melihat pintu rumahku masih tertutup dan masih terkunci."Belum sih kayaknya, Ra. Tadi pas aku pulang juga pintunya masih tutupan kayak gitu. Lha memangnya pergi kemana to Budhe Wati?" tanya Reni kemudian."Kalau tadi sih pamitnya mau pergi ke rumah Bulik Endang, Ren," jawabku."Oh ya mungkin saja Budhe Wati m
"Tidak, tidak! Bagaimana ini?" Vanya menyugar rambut panjangnya dengan kasar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.Vanya menatap sekelilingnya dengan tatapan nanar. Ia menutup kedua telinganya saat mendengar suara adzan Maghrib yang sayup terdengar berkumandang dari kejauhan . Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, sama sekali tidak ada seorangpun yang lewat.Ditatapnya sekali lagi sosok yang masih tergeletak dan berdarah-darah di dekat pohon kopi yang berada di sampingnya. Vanya mulai menitikkan air matanya saat melihat wajah yang sama sekali asing karena memang Vanya belum pernah melihatnya sebelum ini.Kedua lulut Vanya serasa luruh dan tak bertulang lagi. Seluruh tubuhnya melemas bercampur gemetar yang tak terhenti. Vanya langsung berlari masuk kembali ke dalam mobilnya yang masih menyala. Dia harus segera pergi dari tempat itu sebelum ada orang yang memergoki perbuatan tidak sengajanya tersebut. Dia tak ingin jika nanti ada yang melihat tindakannya yang sudah mencelakai o