aaahhh .... si Vanya 🫣🫣
"Tidak, tidak! Bagaimana ini?" Vanya menyugar rambut panjangnya dengan kasar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.Vanya menatap sekelilingnya dengan tatapan nanar. Ia menutup kedua telinganya saat mendengar suara adzan Maghrib yang sayup terdengar berkumandang dari kejauhan . Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, sama sekali tidak ada seorangpun yang lewat.Ditatapnya sekali lagi sosok yang masih tergeletak dan berdarah-darah di dekat pohon kopi yang berada di sampingnya. Vanya mulai menitikkan air matanya saat melihat wajah yang sama sekali asing karena memang Vanya belum pernah melihatnya sebelum ini.Kedua lulut Vanya serasa luruh dan tak bertulang lagi. Seluruh tubuhnya melemas bercampur gemetar yang tak terhenti. Vanya langsung berlari masuk kembali ke dalam mobilnya yang masih menyala. Dia harus segera pergi dari tempat itu sebelum ada orang yang memergoki perbuatan tidak sengajanya tersebut. Dia tak ingin jika nanti ada yang melihat tindakannya yang sudah mencelakai o
Part mengandung banyak irisan bawang dan cabe. Harap siapkan tisu sebelum baju menjadi korban dari keganasan air yang akan keluar dari mata dan juga hidung!____"Ehhhggh, emmm,"Aroma minyak kayu putih memenuhi seluruh ruang nafasku. Terasa menyengat hingga membuatku sedikit membuka mata. Dengan perlahan aku mencoba melihat kembali dunia nyata yang saat ini sangat ingin aku hindari.Aku melihat wajah Om Juna saat pertama kali aku membuka kedua kelopak mata yang sempat hilang kekuatan. Lelaki itu berdiri di samping brankar tempatku terbaring. Mata coklat nya yang indah menyiratkan kekhawatiran sekaligus kelegaan saat melihatku akhirnya siuman."Ka-kamu ..." Lirihku."Iya, aku. Tadi Reni yang menghubungiku menggunakan ponselmu. Ia memberitahukan semuanya padaku, semua yang telah terjadi. Tanpa pikir panjang lagi aku segera menyusul ke sini, Ra. Kebetulan rumah yang aku tempati juga tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit ini," ujar Om Juna."Kamu tahu betapa aku sangat mengkhawatirkan mu,
"Degh!"Degup jantung terasa berpacu dan juga berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan dada yang berdebar hebat, Vanya menatap kaget pada bagian ujung bumper mobilnya."Gawat, kenapa sampai teledor sih aku. Kenapa sampai bisa luput dari pandanganku?" batin Vanya.Gadis yang berambut lurus di bawah bahu itu buru-buru mendekati Bu Ratna dengan wajah yang terlihat sedikit kikuk."Mana sih, Tante? Oh, ini ... Uhm, Vanya nggak tahu, Tante. Semalam mobil Vanya ini dipinjam sama sepupu Vanya, Tante. Bagaimana juga ini bisa lecet. Ih!" cebik Vanya yang terlihat merajuk saat ini."Aduh, mana susah sekali hilangnya. Nanti biar Vanya cuci mobilnya, Tan," ucap Vanya yang sekarang ini terlihat berjongkok melihat bemper mobilnya sambil membersihkan noda darah yang masih menempel itu dengan tisu yang selalu ia bawa di dalam tas nya."Lain kali kalau ada orang yang pinjam mobil kamu itu disuruh hati-hati dong, Vanya. Kalau mobil itu rusak bagaimana?" ujar Bu Ratna."Iya, Tante. Nanti akan Vanya tany
Sudah hampir satu jam setelah peziarah terakhir pergi meninggalkan area pemakaman. Namun disana, Arumi masih berdiam diri. Ia enggan pergi meninggalkan gundukan tanah yang masih basah dengan dihiasi taburan bunga di atasnya."Kenapa ibu pergi secepat ini, Bu? Kenapa ibu tega meninggalkan Nara sendirian? Bagaimana sekarang Nara mau menjalani hidup, Bu? Biarkan Nara ikut berkumpul dengan Bapak dan juga Ibu, ya. Kita akan bahagia bersama di sana ..." Kinara bermonolog. Ia merasa tak ingin hidup lagi di dunia ini."Ra, sudah yok. Jangan siksa ibumu seperti ini. Beliau sudah tenang di sana, Ra," Reni yang ikut menemani Kinara di sampingnya berusaha untuk membujuk sahabatnya itu. Sedangkan Arjuna hanya bisa menyaksikan kedua gadis itu dengan wajah yang muram."Kamu pulang duluan aja, Ren. Aku masih mau menemani ibu di sini," jawab Kinara dengan suara yang sengau karena terlalu banyak menangis."Nggak mungkin lah aku ninggalin kamu, Ra. Ya udah, pakailah waktu sesukamu. Aku dan Om Juna akan t
Sudah sepekan sejak kematian Ibu, aku tetap masih menguatkan diri untuk bisa legowo dan menerima kenyataan pahit ini. Memang terasa begitu berat, namun saat ini aku sudah bisa mulai menguasai diri dengan keadaan.Betapa beruntungnya aku masih ditemani oleh orang-orang baik seperti Bu Imah dan juga Reni di setiap harinya. Seperti halnya yang terjadi pagi ini."Ra, kita main ke air terjun aja yok nanti, mau nggak? Kita jalan-jalan biar nggak sumpek dirumah, mau nggak?" tanya Reni pada pagi hari itu setelah mengantarkan makanan.Mataku memicing, melirik tajam ke arah sahabatku ini."Kapan-kapan aja ya Ren, lagi males keluar nih," tolakku seperti biasa. Kemudian aku mulai melempar pandangan pada hamparan bukit yang berada jauh di belakang rumah. Semilir angin lirih terasa menelisik wajahku yang sedang kehilangan aura nya kini."Iya wis iya, nggak apa-apa. Tapi janji ya lain waktu kita akan pergi jalan-jalan kesana," ucap Reni sambil meraih sendok dan menyuap satu sendok penuh nasi dengan s
Sementara itu di tempat yang berbeda, banyaknya pekerjaan yang tiada henti membuat Arjuna terlalu sibuk. Perhatian Arjuna yang harus terbagi antara pekerjaan dan juga kesibukan di rumah Kinara membuatnya begitu lelah.Hingga pada akhirnya ia membuka ponsel yang sedari pagi tidak di pegangnya. Arjuna yang baru saja menyadari jika ada pesan masuk dari Reni, langsung saja bergegas membukanya. Pria itu hanya mengulum senyum saat menatap foto yang baru saja Reni kirimkan.Manik mata coklat dari sesosok pria tampan itu menatap lama pada foto Kinara yang sedang tersenyum. Meskipun wajahnya masih tampak dinaungi oleh pekatnya mendung dari sebuah hujan duka, tapi hal itu tidak pernah dapat mengurangi sedikitpun kecantikan yang sudah ia bawa secara alamiah.Di dalam hati Arjuna saat ini, tiba-tiba saja dipenuhi dengan rasa rindu. Laki-laki itu ingin segera bertemu dengan gadis yang telah mampu memporak-porandakan hatinya tersebut. Ia ingin segera melihat senyum gadis itu secara langsung dengan m
"Ada apa ini?"Suara berat yang menggelar itu kembali terdengar. Kami yang sedang bersitegang di dalam pun langsung terdiam karenanya. Mataku melotot sempurna saat mendapati sosok Arjuna tahu tahu sudah berdiri di ambang pintu.Karena terlalu sibuk berdebat sedari tadi, aku sampai tidak menyadari sejak kapan laki-laki bertubuh sempurna itu telah berdiri di sana. Entah kapan ia tiba, aku sama sekali tidak mendengar suara mobilnya yang datang atau kendaraan apapun sebelumnya.Tanpa permisi Arjuna langsung melangkahkan kaki jenjangnya untuk masuk ke dalam rumah saat melihat posisiku terdesak oleh Paklik Samsul. Seolah menyadari jika pada saat ini posisiku sedang tidak aman, nalurinya sebagai seorang laki-laki langsung membawanya kepadaku. Tanpa basa basi, Om Juna langsung saja menarik kaos biru yang dipakai oleh Paklik Samsul dengan sangat kuat. Terlihat dari badan lelaki kurus itu seolah akan ikut terangkat."Hei! Hei! Lepaskan suami saya! Lepaskan sekarang juga!" Bulik Endang berdiri da
BRAK!!!"Yo ndak bisa begitu dong Pak RT. Kalau begitu, artinya Arumi yang mengambil untung paling besar dari rumah ini," sahut Bulik Endang saat mendengar usulan yang di lontarkan oleh Pak RT."Maaf sebelumnya, kan tadi saya hanya mengusulkan, dipakai ya syukur ... Kalau ndak ya saya nggak masalah. Jangan marah dong, Bu." Ucap Pak RT."Tapi jika Anda semua tetap ngotot dan menginginkan hak atas rumah ini, maka jalan satu-satunya adalah rumah ini harus dijual. Siapa yang ingin menempati rumah ini, maka dialah yang harus membayarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya sebagai bentuk ganti rugi. Kalau sudah berbentuk uang, maka hasilnya bisa kalian bagi rata. Bagaimana?" Tanya Pak RT kemudian."Ppzzhhh peeppzzz zzeet"Aku memejamkan mata ku saat mendengar kasak kusuk dan juga suara saling berbisik yang terdengar saling bersahutan dari dalam ruangan yang tidak seberapa luas ini."Ya Alloh, kenapa mereka tega sekali kepada ku. Seorang gadis yang benar-benar yang sudah ditinggal oleh ayah da
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya
Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d
"Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng
Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj