"Tuan, saya sudah menunggu di bawah.""Ya, tunggulah di situ. Sebentar lagi saya turun."Leo memasukkan ponselnya ke dalam saku jas kerjanya. Dia lalu bergerak tergesa ke arah pintu. Tepat pada saat itu, Astrid juga keluar kamar dan memanggilnya. "Mas!"Leo menoleh. Dia mendapati seorang wanita cantik yang mengenakan baju kantor merah tua dan rok di atas lutut berwarna hitam. Astrid memang sangat cantik dan memikat. Itu sebabnya Leo sangat mencintai Astrid meski sikap wanita itu kerap membuatnya kesal. Wanita itu malas untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri meski hanya untuk membuatkan segelas air kopi. Ada sih pembantu yang membersihkan apartemen, tapi datang jam delapan dan pulang setelah semua pekerjaannya selesai.Sudah sebulan Leo tidak kembali ke rumahnya. Astrid selalu melarangnya untuk pulang. Pernah beberapa kali hampir nekad, tapi selalu ketahuan dan Astrid mengancam akan menggugat cerai. Leo takut itu terjadi mengingat dia masih sangat mencintai Astrid dan mengh
"Hm...bukan keberatan. Hanya saja aku memberikan uang itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selama satu bulan. Bukan untuk perawatan," jawab Leo. Dia melihat aura di mata Moza berubah. Ada ketidakterimaan yang terpancar dari sana. Tunggu! Benarkah ini Moza yang Leo kenal sebagai istrinya? "Aku butuh jawaban, mas. Bukan ocehan. Mas tidak terima jika aku memakai uang ini untuk perawatan bukan?"Leo menipiskan bibir. "Moza, kamu itu sudah cantik jadi....""Aku akan mengganti uangnya," sahut Moza cepat.Leo menyeringai. Pria itu tampak merendahkan apa yang telah diucapkan oleh Moza. "Apa? Mengganti?"Miza mengangguk cepat. "Ya, aku akan menggantinya.""Pakai apa? Uang kamu saja aku yang beri.""Aku akan bekerja," balas Moza cepat. Penuh percaya diri lagi. Mata Leo jadi melebar tak percaya. "Kamu jangan bercanda, Moza? Kenapa kamu mau bekerja?""Ya untuk memenuhi kebutuhanku. Mas tidak sanggup untuk memenuhinya bukan? Jadi ya aku cari sendiri saja!"Leo menghela nafas kesal. "Kamu i
Astrid melempar ponselnya ke sofa. Wajah cantiknya tampak sangat marah. Astrid benar-benar tidak terima Leo tidur di rumah bersama Moza."Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bergerak cepat. Secepatnya menyingkirkan Moza dari kehidupan Leo. Aku tidak mau rumah tanggaku bersama Leo diganggu oleh perempuan itu. Aku harus menjadi satu-satunya buat Leo. Harus!"Dengan rahang yang mengencang, Astrid berdiri dari duduknya. Perempuan dengan tinggi 167 cm itu lalu mengambil ponsel dan tas jinjingnya sebelum akhirnya keluar dari apartemen. Tujuannya adalah rumah Leo. Tak memerlukan waktu satu jam, Astrid sudah sampai di sana.Ting! Tong! Ting! Tong!Moza yang sedang makan malam bersama Leo langsung melihat ke arah pintu. "Siapa ya yang datang malam-malam begini?"Leo melirik Moza. "Coba saja kamu lihat. Mungkin tetangga sebelah."Moza mengangguk. "Ya, mas."Moza beranjak dari duduknya dan melangkah ke pintu. Tapi dia langsung terhenyak begitu membuka pintu tersebut, karena yang terlihat olehnya
Bayu terdiam. Pura-pura berfikir. Tentu saja dia mau melakukan itu karena ini memang yang diharapkannya. Dari semula dia merencanakan ini adalah demi memancing emosi Leo dan Astrid. Dan rencananya tersebut sepertinya mendapatkan kemudahan."Lama sekali sih berfikirnya?" gerutu Astrid tak sabar. "Kamu akan dibayar mahal untuk pekerjaan ini.""Tapi nanti saya pasti bakalan dipecat dong." Bayu masih terus memainkan permainan kata-katanya."Kamu tenang saja. Aku akan membantumu mencarikan pekerjaan yang baru kok. Kamu tenang saja. Tak perlu mengkhawatirkan itu. Kamu juga bisa lebih leluasa mendekati Moza jika wanita itu sudah diceraikan oleh Leo dan mendapat uang dariku. Ah, aku rasa kamu tidak akan menolaknya.""Oke, saya akan menerimanya," sahut Bayu cepat. Bayu tertawa dalam hati. Uang yang ditawarkan Astrid baginya sangatlah tidak berharga dibandingkan dengan uang yang dia miliki. Tapi yang namanya sedang berakting, dia harus tampak antusias dengan uang yang sebesar itu. Bayu menikmat
"Darimana saja kamu jam segini baru pulang? Jam kerjamu sama denganku bukan?" ucap Leo ketika melihat Astrid baru melangkah masuk ke dalam kamar. Harusnya Astrid pulang jam 17.00 seperti dirinya. Tapi sekarang istri keduanya itu sudah telat hingga hampir 4 jam. Matanya yang tajam lalu memperhatikan gerak tubuh Astrid yang menaruh tas di atas tempat tidur lalu duduk di sofa samping Leo. "Mas mau tau kenapa aku pulang terlambat tidak?" tanya Astrid sembari menatap wajah Leo yang kesal, lekat."Memangnya apa? Kamu jalan sama teman-teman kamu atau apa?""Aku secara tak sengaja mengikuti Bayu dan Moza, mas."Kening Leo mengerut. "Mengikuti Bayu dan Moza? Memangnya kenapa kamu harus mengikuti mereka? Kayak kurang kerjaan saja. Apa tidak lebih baik cepat pulang dan sambut suamimu ini pulang dengan segelas teh atau kopi?""Awalnya sih aku tidak niat untuk mengikuti mereka, mas. Tapi aku melihat mereka keluar dari sebuah tempat makan dengan mesra... sekali. Tentu saja aku syok melihatnya dan
GELEGAR!Moza yang baru saja keluar dari dalam rumah dengan menarik koper, tersentak kaget begitu mendengar suara petir yang baru saja menggema di langit malam. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Tapi kemana dia akan pergi dalam keadaan seperti ini?Tak perduli dengan cuaca buruk, Moza tetap melangkahkan kaki keluar pagar. Tetap di rumah ini juga tidak mungkin. Leo sudah menjatuhkan talak atas dirinya. Itu artinya, Leo bukan lagi suaminya dan dia bukan lagi istri Leo.Tes. Tes. Tes.Satu dua tetes air langit mulai berjatuhan dari atas. Moza menyusuri trotoar dengan wajah yang basah. Dia merasa sangat sedih dengan nasib buruk yang telah menimpanya. Bukan hanya karena telah dimadu tapi juga kini diceraikan. Moza terus melangkahkan kaki dengan langkah yang terburu. Dia tidak tahu akan dibawa kemana tubuhnya ini oleh kaki. Malam semakin beranjak larut. Selain itu, alam mulai diserang gerimis."Non Moza!" Sebuah teriakan mengagetkan Moza. Wanita itu langsung menoleh ke belakang. D
Moza membersihkan diri dan berganti pakaian ketika pintu kamarnya diketuk oleh Bayu. "Nona! Ini nasi goreng dan teh hangatnya!""Iya, sebentar!" Moza bergerak membuka pintu dan mendapati Bayu dengan nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat. Senyum Bayu mengembang."Apa saya boleh menaruhnya ke dalam?" tanya Bayu sopan.Moza mengangguk. "Oh, boleh mas. Silahkan." Moza menyingkir memberi Bayu jalan sebelum akhirnya pria itu masuk dan meletakkan nampan itu di atas meja rias. "Kalau nasi gorengan tidak enak, harap maklum saja ya, Non. Maklum saya tidak sepandai nona dalam masak memasak."Moza tersenyum. "Tidak apa-apa kok mas. Kalau perut lapar, rasa seperti apa pun pasti enak."Bayu tertawa kecil. "Ya, sudah kalau begitu. Selamat menikmati nasi goreng buatan saya. Kalau non nanti merasa butuh apa-apa, non bisa ketuk kamar saya yang ada sebelah."Moza kembali mengangguk. "Iya, mas.""Kalau begitu saya permisi." Dengan sopan, Bayu meninggalkan kamar yang ditempati Moza.
"Diam kamu Astrid! Jangan ikut bicara!" teriak Leo. Dia jadi sangat kesal kepada Astrid karena wanita itu main sahut saja. Kemarahannya juga diawali dengan Astrid yang menunjukkan foto Moza dan Bayu yang berpelukan. Padahal kini Leo tahu kalau mereka tidak berpelukan. Bayu menangkap Moza yang hendak terjatuh. Karena foto itu pun dia pulang ke rumah ini dengan membawa emosi dan ketika mendapati Moza berada di dalam kamar bersama Bayu, amarahnya tidak bisa dikendalikan lagi. Mendapati Leo marah, mata Astrid langsung membuka. Dia tidak menyangka kalau Leo akan menanggapi ucapannya dengan kasar. "Kamu kenapa mas? Kok jadi marahin aku? Moza 'kan memang selingkuh. Mas 'kan lihat sendiri semalam kalau Moza dan Bayu ada di dalam kamar?""Iya, aku memang mendapati mereka berdua berada di dalam kamar tapi bukan berarti selingkuh 'kan?""Tapi foto itu?""Justru itu yang ingin aku tanyakan kepadamu! Kamu melihat mereka dari awal tidak?"Astrid mengangguk. "Iya.""Tapi kenapa kamu bilang mereka b