Tiba di Yogyakarta menjelang malam hari, Winena langsung mandi karena badannya sudah sangat lengket oleh keringat yang bercampur debu. Setelah mengabari Tante Elis, Winena mengecek pesan-pesan lain yang belum sempat ia balas. Lagi-lagi, pesan dari Sena yang pertama Winena buka. Tadi siang, mengabaikan ajakan Sena untuk 'nongkrong', Winena langsung mengabari kalau ia sedang dalam perjalanan pulang menuju Yogyakarta. Sena sempat menawarkan diri untuk menjemput Winena tetapi ditolak wanita itu dengan sopan. Pertemanan mereka masih sangat baru dan Winena tidak ingin merepotkan Sena. Terlebih lagi, Sena juga bekerja. Winena jelas tak mungkin membiarkan Sena pulang dari kantornya langsung menjemputnya ke bandara. Toh, lebih praktis menggunakan taksi online yang tak sulit didapatkan. . . Banyusena Kalau kamu udah nggak capek, gimana kalau kapan-kapan lanjut bahas kasus tadi tapi ketemuan langsung? . . Winena sontak menertawakan kegigihan Sena mengajaknya keluar. . . Winena Kamu d
Sena benar-benar menyempatkan waktu untuk membuat list tempat-tempat makan yang akan ia rekomendasikan kepada Winena dan untuk persiapan kulineran sabtu nanti. Sena masih mengetahui banyak tempat makan enak meski sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki di Yogyakarta. Setelah pulang kampung pun, Sena lebih suka makan di rumah karena ibunya cerewet sekali meminta Sena agar tidak terlalu sering makan di luar. Maka dari itu, supaya lebih afdol dan tidak zonk, Sena tetap membuka-buka media sosial untuk melihat review dari orang-orang. "Sena, jangan lupa nanti pisang gorengnya kamu habiskan, ya!" Teriakan Ibu dari luar kamar itu menjeda kesibukan Sena yang masih belum selesai berselancar di media sosial. "Aku kenyang, Bu!" Sena segera menimpali dengan tetap menjaga suaranya agar tidak terlalu keras. Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar dan Ibu muncul membawa sepiring pisnag goreng yang sudah tidak terlalu menggiurkan seperti saat masih hangat tadi. "Harus dihabiskan, Sena. Biar
Saat sedang menggosok gigi, Sena tiba-tiba tertawa sendiri mengingat tingkah konyolnya semalam yang mengulur-ulur waktu hingga pagi hanya untuk membalas pesan suara dari Winena yang membuat jantungnya berdebar. Nyaris saja Sena memukul kepalanya sendiri karena begitu mudahnya berdebar atas sesuatu yang Rasa-rasanya saat masih berpacaran dengan Nindi, jantungnya hanya berdebar saat berdekatan dengan wanita itu. Tapi mengapa dengan Winena, yang hanya berstatus sebagai teman—teman yang masih sangat baru pula— bisa semudah itu Sena berdebar? Bukankah itu artinya Sena sudah melanggar batas pertemanan? Jika sudah begitu, tentu saja Winena tidak boleh tahu, sebab itu akan menghancurkan pertemanan yang masih seumur jagung itu. Selesai bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, Sena baru mengecek ponsel yang semalam ia isi dayanya sebelum benar-benar terlelap. Ada beberapa pesan baru yang tidak cukup penting yang Sena abaikan dan lagi-lagi ada pesan dengan nomor baru yang tak lain adalah Nindi
Banyusena Maaf, Win, saya semalam sudah tidur waktu kamu kirim vn yang kedua Kebetulan tempat makan yang di list nomor dua itu deket sama yang pertama, kalau masih kuat makan bisa deh sekalian ke sana. Gimana? . . Winena ingin tertawa melihat balasan Sena. Semalam, setelah grup kantor sudah sepi, tanpa sadar Winena menunggu balasan dari Sena yang telah ia kirimi pesan suara karena malas mengetik panjang-panjang. Winena sempat merutuki dirinya sendiri yang gemas saat melihat status 'online' di laman chat-nya dengan Sena tetapi laki-laki itu tak kunjung mengetikkan balasan. Dalam kurun waktu satu jam, berkali-kali Winena mengecek ponselnya dan Sena masih tampak online tetapi balasan untuknya tak juga didapat. Winena sempat berpikir jika Sena sedang membalas pesan dari orang lain lalu kelupaan membalas pesan darinya. Namun, balasan Sena pagi ini memperjelas rasa penasarannya. Sena pasti ketiduran dan lupa menutup aplikasi chat-nya sehingga masih terus terlihat online. Benar-benar
"Kepikiran apa, Mbak?" Asih membuka suara saat mereka berdua meninggalkan kantor untuk makan di warung soto yang berada di belakang kantor. "Bukan apa-apa kok, Sih." "Pasti kepikiran keluarga di Jakarta ya, Mbak. Padahal Mbak Wina boleh-boleh aja lho cuti agak lama buat jagain keluarga dulu." Winena tersenyum tipis. Jujur saja, Winena malah sejenak lupa soal Om Tirta karena kepalanya penuh dengan Sena yang membuat Winena mendadak meragukan laki-laki itu. Tidak banyak yang Winena ketahui tentang Sena kecuali keakraban mereka yang ternyata cukup melenakan. Winena sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang Sena. Entah siapa nama panjangnya. Berapa umurnya. Di mana ia bekerja. Winena tidak mengetahui itu semua. Winena juga yakin bahwa dirinya belum pernah benar-benar membuka diri kepada laki-laki itu. Ia dan Sena hanya mengobrol tentang hal-hal umum yang sama sekali jauh dari hal-hal pribadi. Lalu tiba-tiba Sena menanyakan alamat kos Winena, yang bahkan Asih—yang sudah cukup dekat
Rasanya seperti sudah lama sekali sejak Winena merasa benar-benar 'hidup'. Hari ini, bersama dengan Sena berkeliling kota Yogyakarta untuk menikmati cita rasa kuliner khas daerah istimewa itu serta mencicip makanan-makanan yang sedang populer di sana, berjalan-jalan santai di sekitar Malioboro hingga ke titik nol kilometer sembari mengobrol ringan di bawah matahari yang sudah tak begitu terik di penghujung sore, lalu ditutup dengan melihat pertunjukan musik jalanan sembari menyeruput es "Kamu serius dulu pernah menjadi atlet renang?" Ini sudah yang ke sekian kalinya Sena bertanya karena tidak percaya pada sosok wanita di sampingnya, yang tengah duduk bersila di antara penonton lain yang menikmati musik, pernah menjadi atlet renang hingga pernah sampai mengikuti kejuaraan nasional dan mendapatkan medali perak. "Hanya sampai level junior. Setelah lulus SMA saya berhenti." "Kenapa?" "Cedera punggung yang membuat saya harus istirahat dari banyak turnamen. Sampai akhirnya saya memilih
"Kamu sendiri... apa ada sesuatu hal yang membuat kamu trauma?" Sena menurunkan pandangan dan menatap kedua tangannya yang saling menggenggam lalu tiba-tiba tertawa. "Kamu nggak kesurupan, kan? Kenapa tiba-tiba ketawa?" Dan bukannya berhenti, tawa Sena justru semakin keras. Membuat orang-orang di sekelilingnya memberikan tatapan tak senang karena mengganggu pertunjukan musik yang sedang berlangsung. "Saya benar-benar kebalikan kamu. Saya nggak tahu ini bisa disebut trauma atau bukan, tapi saya nggak pernah lagi dekat-dekat dengan kolam renang, laut, pokoknya tempat-tempat yang banyak air karena saya pernah tenggelam." Winena tidak menyela karena Sena terlihat belum selesai bercerita. "Sejak kecil, karena tinggal di sini, saya dan teman-teman saya sering ke pantai. Saya cukup yakin kalau saya dan teman-teman saya sudah mengunjungi semua pantai di Gunung Kidul." "Bercanda kamu." "Coba saja sebutkan pantai-pantai yang kamu tahu atau pernah kamu kunjungi, saya pasti pernah ke sana
Winena baru ingat jika minggu depan adalah jadwalnya untuk pulang ke Jakarta seperti yang ia sepakati dengan Tante Elis kalau dirinya akan pulang setiap dua minggu sekali, setidaknya sampai Om Tirta benar-benar pulih, jika itu memungkinkan. Meski sesungguhnya Winena sendiri yang membuat janji itu dan jelas tidak akan mengingkarinya dengan mudah hanya untuk bisa hang out sekali lagi dengan Sena. "Sorry, Sena. Saya benar-benar lupa kalau minggu depan saya harus balik ke Jakarta buat nengokin Om dan Tante saya." Winena tampak sangat tak enak hati karena membatalkan rencana begitu saja saat mobil Sena yang mengantarkan dirinya pulang sudah hampir tiba di dekat warung mi ayam, di mana Sena menjemput Winena tadi pagi sesuai kesepakatan mereka beberapa waktu lalu. "Kenapa minta maaf, Win? Saya justru lega karena itu artinya waktu untuk bersiap-siap lebih banyak," Sena membalas dengan nada canda dalam suaranya. Winena pun mendesah lega. Untung saja Sena tidak mempermasalahkannya. "Minggu
Anakku tersayang, WinenaSaat kamu menerima surat ini, mungkin Ayah sudah tidak ada di dunia lagi. Melalui surat ini, Ayah ingin mengatakan betapa besar rasa syukur dan rasa bangga Ayah bisa memiliki kamu sebagai anak. Kamu sudah berkali-kali mendengar dari Ibu kalau dulu kami sangat menanti-nantikan kehadiran anak dalam pernikahan kami yang sudah bertahun-tahun. Saat kami sudah nyaris menyerah, kamu hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Win.Bahkan, saat hubungan Ayah dan Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, kami selalu mencintai kamu sama besarnya seperti saat kamu masih berada di rahim ibumu.Tentang keadaan Ayah dan Ibu yang telah berubah dan akhirnya berimbas ke kamu, menyakiti kamu, Ayah minta maaf, Nak. Maaf, karena Ayah sudah merusak keluarga impian yang selalu kamu inginkan.Winena, Ayah sangat menyesal karena menciptakan dunia yang mengerikan untuk kamu tinggali. Tetapi Ayah yakin kalau kamu akan bisa menemukan dunia yang lebih indah daripada
"Kamu ingat nggak sih, Win, kalau kamu masih punya utang ke aku yang belum kamu bayar?" Sena memainkan rambut panjang Winena. Ujung-ujung jarinya perlahan turun, menyentuh tulang selangka Winena yang tidak tertutup apa-apa. Setelah pergumulan Sena dan Winena di atas tempat tidur beberapa saat yang lalu, mereka masih bergelung di balik selimut tanpa mengenakan pakaian kembali. Bukan karena malas bergerak, tetapi Winena tidak cukup puas jika hanya satu ronde. Mereka hanya istirahat sejenak sebelum melanjutkan kesenangan bersama. "Utang apa? Es krim?" Winena mengernyit. Sena berdecak, tetapi tak urung terkekeh. Soal cemilan, mereka punya selera yang berbeda sehingga mereka tak pernah mengusik cemilan milik masing-masing. Tetapi semuanya berubah begitu saja saat Winena hamil. Segala jenis cemilan yang dulu tidak disukainya, kini semuanya masuk ke perut. Terutama cemilan-cemilan milik Sena yang dulunya selalu dihindari Winena. "Bukan, Sayang. Tapi soal renang. Udah berapa kama sejak kam
Dua tahun kemudian.....Rasanya, seperti mimpi.Tujuh tahun yang lalu, saat Winena menikah dengan Faris rasanya tidak seperti ini. Saat itu, Winena hanya melewatinya dengan hati yang berbunga-bunga dan perasaan yang menggebu-gebu ingin segera menyambut kehidupan rumah tangganya bersama Faris.Bersama Sena, Winena terus-menerus menemukan perjalanan yang benar-benar baru yang menantang dan penuh kejutan. Segalanya terasa berbeda. Dan Winena tidka punya waktu untuk membandingkan dengan pernikahan pertamanya dahulu. Sebab, Winena terlalu bahagia karena akhirnya bisa mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan bersama Seba setelah lika-liku hubungan mereka selama dua tahun terakhir.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena mendengar namanya disebutkan dengan merdu dalam ijab qabul. Winena menangis terisak saat haru menyelebungi seluruh sel dalam tubuhnya yang meneriakkan kebahagiaan.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena merasakan jantungnya berdebar keras saat akan menyambut malam
Nindi sontak kembali berbalik untuk menatap Sena dan langsung memberikan tatapan tajam dan sengit yang bisa diartikan sebagai, "Kenapa wanita itu ada di sini?" "Lho, Mas nggak bilang kalau lagi ada yang jenguk." Ibu masuk diikuti Winena yang sama sekali tidak menatap Sena. "Kalau tahu begitu tadi porsinya bisa Ibu lebihin biar kita bisa sekalian makan siang bersama." "Nindi udah mau balik kok, Bu," balas Sena dengan tatapan yang tidak lepas dari Winena yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik yang tadi wanita itu bawa. "Cantik namanya. Persis seperti orangnya," puji Ibu. "Teman Sena di kejaksaan juga, Mbak Nindi?" Sena dapat melihat gerakan tangan Winena yang terhenti selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita itu masih pura-pura tidak memedulikan Sena maupun Nindi. "Bukan, Tante." Nindi yang lebih dulu mendekat untuk menyalami tangan Ibu. Hanya jabat tangan singkat, tanpa mencium punggung tangan. "Saya public figure. Bekerja di dunia hibura
Sena termenung lama menatap ke luar jendela rumah sakit setelah rekan-rekan kerjanya yang menjenguknya satu per satu pamit undur diri. Sudah beberapa hari lalu Sena mendengar cerita singkat dari Tante Elis bahwa Winena sekarang ada di Jakarta. Bahwa Winena sudah keluar dari tempat kerjanya di Yogyakarta karena keadaan Om Tirta memburuk. Winena ada di dekatnya. Setelah tiga bulan lamanya Sena berjauhan dengan Winena, kini Sena bisa kembali berdekatan dengan wanita yang ia cintai dan rindukan dengan sangat. Sena sempat berharap setelah mengetahui bahwa wanita itu juga sempat menunggui dirinya selama operasi yang kedua. Namun, hingga satu minggu kemudian, saat Sena sudah diizinkan pulang, Winena tidak datang lagi. Sena sadar bahwa dirinya sekarang tampak sangat menyedihkan karena masih mengharapkan sosok yang telah mencampakkannya tanpa mau diajak kompromi sama sekali. Namun, harap itu benar-benar tak bisa dipupus, terutama setelah kunjungan Tante Elis yang tidak lagi menunjukkan kebe
"Ibu mau minta maaf, Win," ucap Ibu setelah sepuluh menit menit awal hanya berbasa-basi.Pagi tadi, saat Winena sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu mengirim pesan. Mengingatkan Winena tentang rencana pertemuan mereka. Dan Winena pun langsung setuju untuk bicara di kantin rumah sakit saja sekalian makan siang."Minta maaf untuk apa, Bu?""Karena pernah melukai hati kamu dengan kata-kata menyakitkan dan membuat hubungan kamu dengan Sena rusak. Ibu sangat menyesal karena menempatkan kalian pada situasi sulit. Maafkan Ibu ya, Nak."Winena dihantam rasa sakit di dada karena ucapan Ibu yang terdengar begitu sedih. Membuat Winena ingin menangis. "Bukan salah, Ibu. Perpisahan saya dan Sena terjadi karena pilihan saya sendiri."Ibu tersenyum sedih. "Pilihan kamu itu ada karena penolakan demi penolakan keras Ibu terhadap kamu, kan? Ibu yang minta kalian berpisah. Ibu yang menginginkan kalian hanya berteman."Winena diam saja. Sebab, apa yang dikatakan Ibu benar adanya. Namun, Winena
Tidak pernah terbayang sama sekali di benak Winena akan kembali bertemu dengan Bapak dan Ibu dalam kondisi seperti ini. Kesedihan pekat membayang di wajah kedua orang tua Sena itu yang sejak tadi tidak bisa berhenti mondar-mandir di depan ruang operasi. Ini adalah operasi yang kedua, karena Sena mengalami komplikasi pasca operasi darurat tiga hari yang lalu saat laki-laki itu dilarikan ke rumah sakit.Winena tidak banyak bicara dengan Bapak dan Ibu karena memang saat ini bukan waktu yang tepat. Winena pun berpikir bahwa memang sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi karena hubungannya dengan Sena sudah selesai. Winena berada di sana karena perlu memastikan laki-laki itu selamat dan baik-baik, lalu pergi setelahnya.Selain kedua orang tua Sena, di sana ada Reiga dan juga Pak Rudi, yang diketahui Winena sebagai kepala jaksa di tempat Sena bekerja. Mereka baru saja datang setelah kembali dari kantor polisi untuk dimintai keterangan.Reiga sempat agak kaget melihat ada Winena, mungkin
Jantung Winena masih berdenyut sakit setiap kali kakinya menginjak tanah Jakarta. Tetapi, kali ini sakitnya berdenyut lebih kuat. Berkali-kali lipat lebih sakit jika dibandingkan dengan sebelum ia mengenal Sena. Mengetahui bahwa dirinya berada di satu kota yang sama dengan mantan kekasihnya itu—hingga hari ini Sena masih sibuk mengurus kasus korupsi skala besar yang dilakukan oleh belasan oknum pejabat tinggi negara—membuat Winena khawatir akan sering bersinggungan dengan laki-laki itu saat ia keluar rumah.Kekhawatiran Winena sebenarnya terlalu berlebihan. DKI Jakarta dihuni oleh kurang lebih sebelas juta jiwa penduduk. Seharusnya memang tidak banyak probabilitas untuk bertemu Sena dengan tidak sengaja.Lucunya, yang sama sekali tidak Winena perkirakan adalah... ia bertemu dengan Nindi Fahrani saat turun dari pesawat kelas bisnis. Winena terheran-heran karena ia kira artis sekelas Nindi Fahrani selalu menjadi penumpang first class yang bisa mendapatkan pelayanan khusus dan didampingi
Berpisah dengan Sena adalah patah hati terbesar Winena setelah usaha kerasnya dalam setahun terakhir untuk pulih dari luka karena kehilangan orang tua dan juga akibat perceraiannya dengan Faris.Dan hari ini, terhitung sudah tiga bulan sejak Winena memutuskan Sena secara sepihak di depan rumah orang tua laki-laki itu. Sejak hari itu, Winena tidak pernah lagi bertemu dengan Sena. Laki-laki itu sempat beberapa kali menghubungi Winena dan mengajaknya bertemu, tetapi Winena menolak. Winena tidak siap terluka lagi dan melihat luka yang sama besarnya di mata Sena. Sena menyerah pada percobaan yang entah ke berapa. Yang Winena ingat, ini sudah lebih dari satu bulan sejak ia dan Sena benar-benar telah berhenti berkomunikasi dengan satu sama lain.Segala angan dan harap yang pernah Winena khayalkan bersama Sena telah terbakar menjadi abu. Sudah tak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Winena kira, seiring berjalannya waktu, Winena akan bisa mengikhlaskan dan melanjutkan hidup. Seperti saat Winena