"Biar saya bisa pulang dengan tenang, gimana kalau saya temani kamu jalan lewat telepon?" ucap Sena sebelum benar-benar mengizinkan Winena turun dari mobilnya.Winena mengerjap bingung. "Gimana?"Sena langsung membuka ponsel dan beberapa detik kemudian ponsel Winena menyala. Sena yang menghubunginya.Winena mengernyit menatap Sena. "Ini mau apa, sih?""Karena kamu berkeras nggak mau saya antar sampai depan kos kamu, satu-satunya pilihan biar saya tahu kalau kamu benar-benar selamat tanpa kurang suatu apa pun"Kamu berlebihan, Sena. Saya tuh udah sering jajan mi ayam situ kalau lapar malam-malam. Jalan kaki juga biasanya. Dan buktinya saya selalu aman, kok."Sena menggeleng tegas. "Angkat aja, Win. Semakin lama kamu bantah saya, semakin lama kamu tertahan di sini. Dan semakin nggak aman buat kamu kalau kamu balik ke kos terlalu malam."Desiran di dada Winena kian menggila dan Winena pun segera mengangkat telepon dari Sena."Udah, kan? Saya udah boleh turun sekarang?"Tanpa banyak berar
Sepuluh hari berlalu. Namun, Winena seolah masih bisa merasakan kesenangan saat berjalan-jalan seraya kulineran bersama Sena. Sebab, seperti yang dijanjikan Sena, Winena bisa menikmati waktu yang dihabiskannya bersama laki-laki itu. Sena benar-benar totalitas saat berkata akan menjadi tour guide.Sejak hari itu Winena dan Sena belum bertemu lagi karena kesibukan masing-masing—bahkan untuk sekadar ngopi setalh jam pulang kantor pun tak sempat sebab Sena harus menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk—tetapi mereka menjadi cukup intens bertukar pesan dan beberapa kali berteleponan jika ada hal yang perlu didiskusikan. Mereka mengobrolkan banyak hal. Terutama tentang agenda berenang bersama yang sudah Sena setujui."Masih ada beberapa hari lagi. Apa saya perlu beli baju renang? Saya nggak punya soalnya," tanya Sena setelah mereka menentukan tempat berenang yang sekiranya nyaman—menurut review di Google dan atas rekomendasi teman Sena.Winena lega karena Sena selalu terdengar antusias mengena
Di atas ranjang berukuran single di kamar kosnya yang tak begitu lebar, Winena tampak begitu kerdil ketika terbangun dari tidurnya dalam keadaan wajah bercucuran air mata, kepala pening, dan dadanya yang terasa sangat sesak. Meski sudah terbebas dari jerat mimpi buruk yang membuat Winena kembali diserang rasa sakit di hati dan di sekujur tubuhnya, wanita itu seakan masih bisa dengan jelas mengingat 'rasa' saat ia bertemu kembali dengan Ibu. Di dalam mimpinya, Ibu tampak sangat membenci Winena. Tak hanya dari tatapan mata yang menusuk tajam, pun juga dari cara Ibu bicara dengan begitu dingin. Tidak seperti Ibu saat masih hidup. Winena sama sekali belum pernah melihat Ibu dalam keadaan penuh benci seperti dalam mimpinya. Bahkan, dulu, saat mendapati sang suami mendua pun Ibu tidak menunjukkan amarah itu di depan Winena. Ibu begitu menjaga perasaan Winena agar anaknya itu tidak terluka. "Ibu...," lirih Winena seraya mencengkeram dadanya yang masih sangat sesak lalu memukul-mukulnya de
Selama makan siang bersama Sena, Winena tidak banyak bicara seperti biasanya. Tidak seperti Winena yang Sena kenal selama beberapa minggu terakhir. Dan sebagai lelaki yang cukup peka, Sena siang itu tidak banyak bercanda. Tanpa perlu diberitahu, Sena mengerti bahwa ada sesuatu yang sedang atau telah terjadi pada Winena. Meski sudah berusaha disamarkan dengan sapuan make up di wajah, Sena masih bisa melihat bengkak pada kantung mata Winena. Wajah Winena pun tam sesegar biasanya. Laki-laki itu tidak bertanya karena menghargai Winena yang memang tak bercerita apa-apa dan memilih untuk menjaga momen agar makan siang mereka tidak berantakan. "Maaf ya, Sena. Kamu lasti kesal karena mood saya yang nggak terlalu bagus hari ini," Winena berucap dengan penuh sesal. Sena tersenyum tipis setelah meneguk habis es teh dari gelas besar yang es balok di dalamnya sudah nyaris mencair seluruhnya. "Santai aja, Win. Kamu nggak nolak saya ajak makan siang, itu artinya kamu butuh teman, kan?" Setelah l
Memori adalah kutukan. Sejauh mana pun Winena melangkah, memori seolah memberati kedua kaki. Winena tidak bisa begitu saja lepas dari bayang-bayang masa lalu. Memori tentang Ayah. Memori tentang Ibu. Memori tentang Faris. Memori tentang calon anaknya yang belum sempat lahir menyapa dunia. Memori tentang masa-masa menyenangkan dengan teman-temannya dulu. Memori itu melekat seperti kutukan jahat meski semua orang-orang dalam memori itu telah meninggalkan Winena. Kehilangan yang paling menyakitkan adalah saat Winena harus melepaskan Ibu. Saat Ibu pergi, jiwa Winena seolah terperangkap pada hari itu. Mimpi yang sama berulang-ulang datang dan Winena dipaksa untuk kuat meski setiap saat ia ingin runtuh. Winena dipaksa untuk menggerakkan kaki, sebab hidup terus berjalan. Meski harus berdarah-darah, Winena tidak bisa berhenti di tempat. Sebab, berhenti artinya menyerah. Dan Winena tidak ingin menyerah. Tidak sekarang. Meski selama beberapa minggu terakhir ini Winena merasa baik-baik saja,
Winena tahu bahwa dirinya tidak boleh begini. Terus-menerus memikirkan penyesalan-penyesalan besar maupun kecil dan remeh temeh dalam hidup yang menghantui.Winena menyesal karena tidak bersikap lebih baik kepada ibunya yang sakit-sakitan karena kelakuan ayahnya. Winena menyesal karena pernikahannya dengan Faris tidak bisa dipertahankan. Entah Winena yang kurang bisa menjadi istri yang layak atau karena Faris tidak menginginkan dirinya menjadi istri yang layak.Winena menyesal karena tidak bisa mempertahankan pertemanan dengan teman-temannya yang kini entah bagaimana kabarnya mereka semua. Winena menyesal karena pada satu titik ia pernah bersyukur telah ditinggalkan mereka sehingga tidak perlu bersusah payah melakukan sosialisasi yang menguras energi. Winena menyesal karena rasa syukurnya itu hanya mengarahkan Winena pada kesepian.Winena juga menyesal karena membenci ayahnya, yang meninggalkan surat bunuh diri—surat yang ditujukan untuk Winena—yang saat ini tersimpan di sebuah kotak
Ada yang salah dengan Winena. Sudah sejak beberapa hari yang lalu saat mereka makan siang bersama, Winena menunjukkan itu di depan Sena. Bahwa Winena sedang tidak baik-baik saja. Sama seperti kala subuh kemarin itu, ketika Sena mendengar suara Winena yang berbeda melalui pesan suara, hari ini Winena juga sama. Suaranya terdengar serak. Sena bisa membedakan mana yang serak karena bangun tidur dan karena tangis. Beberapa jam berlalu setelah Sena berteleponan dengan Winena pagi tadi. Nyaris setiap beberapa menit sekali Sena kepikiran soal Winena. Hari pun sudah semakin siang dan belum ada kabar terbaru dari wanita itu. Sebab, sesungguhnya memang Winena tidak punya kewajiban memberitahu Sena. Kepikiran untuk mengabarkan keadaan terbarunya kepada Sena pun mungkin juga tidak. Memangnya Sena siapa? Ia bukan siapa-siapa untuk Winena, kecuali label 'teman' yang tidak dekat-dekat amat. Satu jam selanjutnya Sena habiskan dengan lebih sering memikirkan Winena. Kekhawatirannya pun semakin meningk
"Kamu ngapain di sini, Sena?" "Antar makanan buat kamu." Sena langsung mengangkat tas yang di dalamnya ada rantang berisi makanan yang ia masak di rumah tadi ketika Winena muncul di dekat pos satpam kosnya dengan pakaian tidur. Senyum terpatri di wajah Sena meski Winena menyambutnya dengan agak ketus. Winena menekan pelipisnya seraya mendesah. Tampak kekesalan pekat di wajahnya yang pucat. "Saya kasih alamat kos saya bukan untuk ini, Sena," Winena berujar dengan lebih dingin dari sebelumnya, membuat Sena agak terkejut, tetapi berhasil menyamarkan ekspresi di wajahnya. "Kamu pasti juga udah menyadari kan, kalau saya nggak terlalu suka membagikan sesuatu yang terlalu privat ke orang lain? Bahkan sama Asih, yang udah saya kenal cukup lama dan cukup akrab pun saya nggak kasih alamat kos saya. Tapi kamu... kenapa kamu di sini? Sengaja mau bikin saya tambah sakit?" Ah, dada Sena sedikit tersengat karena lagi-lagi Winena menyebut Sena sebagai 'orang lain'. Padahal, mereka berteman, bukan
Anakku tersayang, WinenaSaat kamu menerima surat ini, mungkin Ayah sudah tidak ada di dunia lagi. Melalui surat ini, Ayah ingin mengatakan betapa besar rasa syukur dan rasa bangga Ayah bisa memiliki kamu sebagai anak. Kamu sudah berkali-kali mendengar dari Ibu kalau dulu kami sangat menanti-nantikan kehadiran anak dalam pernikahan kami yang sudah bertahun-tahun. Saat kami sudah nyaris menyerah, kamu hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Win.Bahkan, saat hubungan Ayah dan Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, kami selalu mencintai kamu sama besarnya seperti saat kamu masih berada di rahim ibumu.Tentang keadaan Ayah dan Ibu yang telah berubah dan akhirnya berimbas ke kamu, menyakiti kamu, Ayah minta maaf, Nak. Maaf, karena Ayah sudah merusak keluarga impian yang selalu kamu inginkan.Winena, Ayah sangat menyesal karena menciptakan dunia yang mengerikan untuk kamu tinggali. Tetapi Ayah yakin kalau kamu akan bisa menemukan dunia yang lebih indah daripada
"Kamu ingat nggak sih, Win, kalau kamu masih punya utang ke aku yang belum kamu bayar?" Sena memainkan rambut panjang Winena. Ujung-ujung jarinya perlahan turun, menyentuh tulang selangka Winena yang tidak tertutup apa-apa. Setelah pergumulan Sena dan Winena di atas tempat tidur beberapa saat yang lalu, mereka masih bergelung di balik selimut tanpa mengenakan pakaian kembali. Bukan karena malas bergerak, tetapi Winena tidak cukup puas jika hanya satu ronde. Mereka hanya istirahat sejenak sebelum melanjutkan kesenangan bersama. "Utang apa? Es krim?" Winena mengernyit. Sena berdecak, tetapi tak urung terkekeh. Soal cemilan, mereka punya selera yang berbeda sehingga mereka tak pernah mengusik cemilan milik masing-masing. Tetapi semuanya berubah begitu saja saat Winena hamil. Segala jenis cemilan yang dulu tidak disukainya, kini semuanya masuk ke perut. Terutama cemilan-cemilan milik Sena yang dulunya selalu dihindari Winena. "Bukan, Sayang. Tapi soal renang. Udah berapa kama sejak kam
Dua tahun kemudian.....Rasanya, seperti mimpi.Tujuh tahun yang lalu, saat Winena menikah dengan Faris rasanya tidak seperti ini. Saat itu, Winena hanya melewatinya dengan hati yang berbunga-bunga dan perasaan yang menggebu-gebu ingin segera menyambut kehidupan rumah tangganya bersama Faris.Bersama Sena, Winena terus-menerus menemukan perjalanan yang benar-benar baru yang menantang dan penuh kejutan. Segalanya terasa berbeda. Dan Winena tidka punya waktu untuk membandingkan dengan pernikahan pertamanya dahulu. Sebab, Winena terlalu bahagia karena akhirnya bisa mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan bersama Seba setelah lika-liku hubungan mereka selama dua tahun terakhir.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena mendengar namanya disebutkan dengan merdu dalam ijab qabul. Winena menangis terisak saat haru menyelebungi seluruh sel dalam tubuhnya yang meneriakkan kebahagiaan.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena merasakan jantungnya berdebar keras saat akan menyambut malam
Nindi sontak kembali berbalik untuk menatap Sena dan langsung memberikan tatapan tajam dan sengit yang bisa diartikan sebagai, "Kenapa wanita itu ada di sini?" "Lho, Mas nggak bilang kalau lagi ada yang jenguk." Ibu masuk diikuti Winena yang sama sekali tidak menatap Sena. "Kalau tahu begitu tadi porsinya bisa Ibu lebihin biar kita bisa sekalian makan siang bersama." "Nindi udah mau balik kok, Bu," balas Sena dengan tatapan yang tidak lepas dari Winena yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik yang tadi wanita itu bawa. "Cantik namanya. Persis seperti orangnya," puji Ibu. "Teman Sena di kejaksaan juga, Mbak Nindi?" Sena dapat melihat gerakan tangan Winena yang terhenti selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita itu masih pura-pura tidak memedulikan Sena maupun Nindi. "Bukan, Tante." Nindi yang lebih dulu mendekat untuk menyalami tangan Ibu. Hanya jabat tangan singkat, tanpa mencium punggung tangan. "Saya public figure. Bekerja di dunia hibura
Sena termenung lama menatap ke luar jendela rumah sakit setelah rekan-rekan kerjanya yang menjenguknya satu per satu pamit undur diri. Sudah beberapa hari lalu Sena mendengar cerita singkat dari Tante Elis bahwa Winena sekarang ada di Jakarta. Bahwa Winena sudah keluar dari tempat kerjanya di Yogyakarta karena keadaan Om Tirta memburuk. Winena ada di dekatnya. Setelah tiga bulan lamanya Sena berjauhan dengan Winena, kini Sena bisa kembali berdekatan dengan wanita yang ia cintai dan rindukan dengan sangat. Sena sempat berharap setelah mengetahui bahwa wanita itu juga sempat menunggui dirinya selama operasi yang kedua. Namun, hingga satu minggu kemudian, saat Sena sudah diizinkan pulang, Winena tidak datang lagi. Sena sadar bahwa dirinya sekarang tampak sangat menyedihkan karena masih mengharapkan sosok yang telah mencampakkannya tanpa mau diajak kompromi sama sekali. Namun, harap itu benar-benar tak bisa dipupus, terutama setelah kunjungan Tante Elis yang tidak lagi menunjukkan kebe
"Ibu mau minta maaf, Win," ucap Ibu setelah sepuluh menit menit awal hanya berbasa-basi.Pagi tadi, saat Winena sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu mengirim pesan. Mengingatkan Winena tentang rencana pertemuan mereka. Dan Winena pun langsung setuju untuk bicara di kantin rumah sakit saja sekalian makan siang."Minta maaf untuk apa, Bu?""Karena pernah melukai hati kamu dengan kata-kata menyakitkan dan membuat hubungan kamu dengan Sena rusak. Ibu sangat menyesal karena menempatkan kalian pada situasi sulit. Maafkan Ibu ya, Nak."Winena dihantam rasa sakit di dada karena ucapan Ibu yang terdengar begitu sedih. Membuat Winena ingin menangis. "Bukan salah, Ibu. Perpisahan saya dan Sena terjadi karena pilihan saya sendiri."Ibu tersenyum sedih. "Pilihan kamu itu ada karena penolakan demi penolakan keras Ibu terhadap kamu, kan? Ibu yang minta kalian berpisah. Ibu yang menginginkan kalian hanya berteman."Winena diam saja. Sebab, apa yang dikatakan Ibu benar adanya. Namun, Winena
Tidak pernah terbayang sama sekali di benak Winena akan kembali bertemu dengan Bapak dan Ibu dalam kondisi seperti ini. Kesedihan pekat membayang di wajah kedua orang tua Sena itu yang sejak tadi tidak bisa berhenti mondar-mandir di depan ruang operasi. Ini adalah operasi yang kedua, karena Sena mengalami komplikasi pasca operasi darurat tiga hari yang lalu saat laki-laki itu dilarikan ke rumah sakit.Winena tidak banyak bicara dengan Bapak dan Ibu karena memang saat ini bukan waktu yang tepat. Winena pun berpikir bahwa memang sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi karena hubungannya dengan Sena sudah selesai. Winena berada di sana karena perlu memastikan laki-laki itu selamat dan baik-baik, lalu pergi setelahnya.Selain kedua orang tua Sena, di sana ada Reiga dan juga Pak Rudi, yang diketahui Winena sebagai kepala jaksa di tempat Sena bekerja. Mereka baru saja datang setelah kembali dari kantor polisi untuk dimintai keterangan.Reiga sempat agak kaget melihat ada Winena, mungkin
Jantung Winena masih berdenyut sakit setiap kali kakinya menginjak tanah Jakarta. Tetapi, kali ini sakitnya berdenyut lebih kuat. Berkali-kali lipat lebih sakit jika dibandingkan dengan sebelum ia mengenal Sena. Mengetahui bahwa dirinya berada di satu kota yang sama dengan mantan kekasihnya itu—hingga hari ini Sena masih sibuk mengurus kasus korupsi skala besar yang dilakukan oleh belasan oknum pejabat tinggi negara—membuat Winena khawatir akan sering bersinggungan dengan laki-laki itu saat ia keluar rumah.Kekhawatiran Winena sebenarnya terlalu berlebihan. DKI Jakarta dihuni oleh kurang lebih sebelas juta jiwa penduduk. Seharusnya memang tidak banyak probabilitas untuk bertemu Sena dengan tidak sengaja.Lucunya, yang sama sekali tidak Winena perkirakan adalah... ia bertemu dengan Nindi Fahrani saat turun dari pesawat kelas bisnis. Winena terheran-heran karena ia kira artis sekelas Nindi Fahrani selalu menjadi penumpang first class yang bisa mendapatkan pelayanan khusus dan didampingi
Berpisah dengan Sena adalah patah hati terbesar Winena setelah usaha kerasnya dalam setahun terakhir untuk pulih dari luka karena kehilangan orang tua dan juga akibat perceraiannya dengan Faris.Dan hari ini, terhitung sudah tiga bulan sejak Winena memutuskan Sena secara sepihak di depan rumah orang tua laki-laki itu. Sejak hari itu, Winena tidak pernah lagi bertemu dengan Sena. Laki-laki itu sempat beberapa kali menghubungi Winena dan mengajaknya bertemu, tetapi Winena menolak. Winena tidak siap terluka lagi dan melihat luka yang sama besarnya di mata Sena. Sena menyerah pada percobaan yang entah ke berapa. Yang Winena ingat, ini sudah lebih dari satu bulan sejak ia dan Sena benar-benar telah berhenti berkomunikasi dengan satu sama lain.Segala angan dan harap yang pernah Winena khayalkan bersama Sena telah terbakar menjadi abu. Sudah tak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Winena kira, seiring berjalannya waktu, Winena akan bisa mengikhlaskan dan melanjutkan hidup. Seperti saat Winena