Rintik gerimis masih terlihat deras membasahi teras sebuah rumah besar bergaya eropa kuno. Terdapat banyak penghuni di dalamnya. Tak sekedar wanita dewasa, tapi beberapa gadis juga terpaksa ikut tinggal mengikuti ibu mereka di sana.
“Merry, lekas ganti pakaianmu! Ini sudah saatnya!” perintah wanita paruh baya tapi masih terlihat cantik bernama Elena.
Elena berteriak sekaligus melempar sepasang pakaian hingga mengenai wajah seorang gadis belia yang diajaknya bicara.
“Tapi pakaian ini terlalu ketat, bahkan ukurannya terlalu minim, Bu! Aku tidak bisa,” tolak gadis belia bernama Merry yang kini rautnya berubah menjadi pucat pasi.
Takut. Tentu saja.
Geram, tentu saja Elena geram bukan kepalang. Ia tak suka perintahnya dibantah. Seketika tangannya yang semula gemetar langsung melayang menyambar rambut Merry dan menariknya kasar, hingga membuat Merry memekik kesakitan.
“Aduh, Ibu … sakit, tolong lepaskan,” rengeknya sambil terisak-isak sementara kedua tangannya berusaha menahan rambutnya yang dijambak.
Bukannya melepaskan, tapi Elena justru mendorong tubuh ramping dan mungil Merry hingga terdesak ke sisi tembok kamar. Tatapan matanya yang tajam tak berkedip sekalipun, mirip elang yang siap menerkam mangsanya. Sontak saja membuat Merry langsung menundukkan kepala ketakutan.
“Hei, gadis kecil! Kau ini ditinggal Ayahmu begitu saja padaku, tanpa uang sepeserpun. Dasar tidak tahu balas budi! Tidak mau uang kau!” teriak Elena sambil terus mendorong hingga tubuh mungil itu sedikit melesat hingga terdesak.
“Aku harus apa, Bu?” Merry menurunkan tatapannya sambil menangis.
“Ganti saja pakaianmu! Jangan menolak, lepas kaca matamu itu. Dasar kutu buku! Kau tahu, menjadi pelacur tak harus belajar, Merry!”Merry mengagguk dalam ketakutan. Pipinya basah oleh air mata yang semakin deras luruhnya, sementara matanya terlihat sembab.Terlalu menurut, memang. Mungkin semua itu ia lakukan karena takut.
Melihat gadis itu mulai setuju barulah Elena melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu si gadis yang sebenarnya menahan rasa sakitnya sembari menggigit bibirnya sendiri.
Kemudian, dengan kasar, Elena merebut paksa, dan melempar kaca mata Merry hingga terjatuh ke lantai lalu menginjaknya.
KREK!“Jangan!” teriak Merry yang tertahan serasa percuma.Kaca mata itu terlanjur remuk di lantai ubin, sementara itu Merry menangis sambil berusaha memungutnya dengan pandangan nanar.
Akan tetapi, menyadari Elena berbalik badan dan melotot ke arahnya, membuat Merry segera melangkah mendekati meja rias, meninggalkan pecahan kacamata yang berserak. Lalu Elena pun perlahan keluar dari kamar itu serta menutup pintu dengan keras, hingga menyisakan suara menggelegar dan mengagetkan siapapun yang berada di tempat itu.
******
“Di mana gadisnya?” tanya seorang pria bertubuh tegap dan berkulit gelap yang terlihat tak sabar menunggu.
Tergambar jelas dari gerak-geriknya yang mondar-mandir sejak ia datang tanpa henti. Dari tatapan matanya saja, bisa diterka jika ia bukanlah pria baik-baik. Sorot mata tajam itu terlihat menyeramkan bagi siapa saja yang ditatap.
“Sebentar lagi pasti siap,” sahut Elena mencoba menenangkan.
Benar saja, tak lama kemudian Merry melangkah pelan, mendekati mereka di ruang tengah. Gadis yang terbiasa berkaca mata itu, tampak ragu menapakkan kakinya ke lantai ubin.
Dari kakinya yang gemetar, bisa diduga ia tidak terbiasa menggunakan heels. Sang pria bertubuh kekar seketika tersenyum menyeringai menatapnya. Entah apa arti senyuman seringai menyeramkan itu. Seolah itu ejekan, atau justru ia anggap sebagai keberuntungan. Entah.
“Bawalah dia, seperti perjanjian kita, jangan lupa bayar aku dengan kontan!” perintah sekaligus seruan Elena yang mengejutkan Merry.
Seketika pipi mulusnya terasa tertampar mendengar dirinya sedang diperjual belikan. Sementara Elena, ia terlihat senang. Bibir mungilnya bahkan sempat tersenyum miring, menggambarkan betapa sinisnya wanita itu.
“Bu,” panggil Merry yang tak lagi berlanjut melihat tatapan Elena yang tajam mengiris.
“Jangan panggil aku Ibu lagi mulai sekarang! Kau ini hanya anak tiriku, tahu!” hardik Elena.Ia bahkan tak lagi peduli meski sepasang iris mata hazel itu mulai dipenuhi embun yag nyaris banjir dan luruh.
“Aku akan mengingat hari ini,” sahut Merry pelan diiringi dengan derai tangis dan tubuh gemetar.
Elena tidak menjawab, tapi ia malah merespon dengan suara tawa ejekan terbahak-bahak. Terdengar menyakitkan di telinga Merry, bahkan mata gadis itu yang semula berembun seketika bulir bening mulai luruh membasahi pipinya.
Tak lama kemudian, disusul oleh hentakan kasar dari pria tadi yang langsung mencengkeram pergelangan Merry usai melemparkan sekoper uang kepada Elena yang entah berapa jumlahnya. Ia bahkan tak peduli dengan rengekan Merry yang terus meronta, brusaha agar pria menyeramkan itu memiliki belas kasihan dan melepaskannya.
******
Setelah sekitar dua puluh menit berlalu, pria menakutkan berkulit legam itu mendorong Merry ke sebuah ranjang berukuran king size, kamar yang tampak mewah berseprei putih berumbai di sekeliling sisinya.
Merry hanya mengerang kesakitan, karena ia tak bisa mengeluhkan apapun akibat bibirnya ditutup dengan lakban hitam, sementara kedua tangannya terikat ke belakang.“Jangan berulah, dengar! Jika kamu bisa membuat Tuanku senang dan puas, aku akan membayarmu satu miliar. Lalu kau bisa bebas pergi ke manapun kamu mau. Ingat, turuti saja maunya, dan kau akan baik-baik saja!” ancam pria bertubuh kekar dan legam itu.
Merry tak menjawab akibat bibirnya masih tertutup rapat. Hanya bulir kristal yang terlihat masih mengalir membanjiri pipinya yang mulus, tapi anggukan kepalanya seolah mengisyaratkan mengerti dengan ucapan pria menakutkan di hadapannya. Bukan berarti pasrah, lebih ke rasa takut untuk melawan.
Tak lama berselang setelah pria itu pergi, sementara Merry masih terbaring dalam posisi tubuh miring dengan kedua tangan masih terikat, suara dentuman sepatu menyentuh lantai ubin terdengar mendekat. Membuat jantung Merry semakin berdebar bercampur rasa takut yang menggelayutinya sekaligus membayangkan kengerian yang akan terjadi setelahnya.
CEKLEK!
Knop pintu berhasil diputar, diikuti langkah pemilik sepatu hitam mengkilap mulai masuk perlahan. Dari setelan jas mahal yang ia kenakan, bisa diterka jika pemuda itu bukan dari kalangan biasa. Tampaknya ia adalah bos muda dari orang yang berhasil membeli Merry dari tempat lokalisasi.
'Dia terlihat berkelas, tidak memiliki satu kekurangan apapun, untuk apa ia memilih menjamah wanita sepertiku? Bukankah jika ia mau, bisa mendapatkan yang jauh lebih cantik dariku dan dari kalangan terhormat?'
Merry hanya bisa menatap dan bergumam dalam hatinya. Pria itu tampak dingin, belum sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.
Hanya pergerakan yang ia tunjukkan, setelah mengunci rapat pintu kamar, ia langsung mendekati Merry. Dengan cekatan tangannya membuka ikatan tangan gadis itu, lalu menarik kasar lakban yang semula menutupi bibir ranumnya.
“Arrrrgh ….” Merry mengerang kesakitan.
“Sssst, jangan berisik! Aku tidak suka suaramu yang serak, merusak telinga!” Pria itu mengumpat sambil menampakkan wajah kesalnya sekaligus membekap kembali bibir mungil Merry dengan telapak tangannya sejenak.
Ingin rasanya Merry berontak, tapi ingatannya kepada Elena membuatnya kehilangan akal warasnya. Dipikirnya, ia tak mungkin selamanya ikut tinggal bersama wanita kejam itu lagi. Mungkin ada benarnya juga tawaran pria yang membawanya ke sini. Hanya itu harapan satu-satunya agar Merry bisa terlepas dari cengkraman Elena selamanya.
Sejenak, kedua pasang mata itu sempat saling bertemu pandang, entah berapa lama, mungkin hanya sepersekian detik saja lamanya.
Gadis itu masih tercenung memikirkan banyak hal yang berlalu-lalang di otaknya, akan tetapi ia sudah dikagetkan dengan sentuhan buku jemari pemuda di hadapannya. Anehnya terasa lembuh bahkan menimbulkan getaran aneh.
“Kau menangis? Apakah Pak Sameer menyakitimu?” tanyanya, sembari mengusap kasar bekas air mata yang belum mengering.
Bukannya menjawab, tapi Merry justru menggeleng. Seolah menepis kenyataan pahit yang belum lama ini menimpanya.
'Jadi nama pria menakutkan itu adalah Pak Sameer? Lalu siapa nama pria di hadapanku ini?'
“Siapa namamu?” tanyanya, seolah mencecar tapi semakin membuat dada Merry berdebar akibat didesak.
“Nama perempuan sepertiku tidaklah penting, Tuan. Katakan yang kau mau dariku, lalu izinkan aku menemui Pak Sameermu itu dan pergi,” sahut Merry terdengnar ketus dan menyebalkan.
Namun, anehnya entah mengapa sikap Merry justru membuat pemuda itu penasaran.
“Sombong sok punya nyali sekali kamu! Berdiri!” perintah yang terdengar membentak membuat pemilik tubuh rambing itu segera bangkit meski kakinya tak mampu berdiriu tegap.
‘Sepertinya, dari aroma bibirnya yang menguar, Tuan Muda ini sedang mabuk parah.’ Batin Merry sembari mulai beranjak bangkit.
Namun, siapa sangka jika Merry yang tak mahir mengenakan heels justru terpelanting kesamping, beruntungnya pemuda itu langsung reflek bangkit dan berhasil menangkapnya.
Ya. Pinggang ramping itu berhasil didekapnya. Kedua pasang mata mereka saling bertemu pandang. Entah sepersekian detik lamanya, mereka tampak saling mengamati satu sama lainnya.
Seolah mengisyaratkan saling kekaguman meski tak ada yang mengnakuinya. Sementara sepasang lengan kekar itu entah sejak kapan telah melingkari pinggang seksi Merry.
“Bodoh, pakai heels saja tidak pecus apa lagi membuatku senang! Entah dari mana Pak Sameer menemukan wanita sepertimu!” teriaknya setengah mengejek.
Akibat mulai tersadar, Merry seketika berontak, hingga berakhir membuatnya justru jatuh di ranjang. Membuat pria itu menerkam dan menindih tubuhnya yang ramping dengan cepat.
Naasnya akibat ia terus bergerak meronta membuat pakaian area dada setengah terbuka, hingga mempertontonkan setengah bagian dadanya yang kenyal.
Seketika mata pemuda itu membelalak lebar, melihat kulit seputih pualam di hadapannya.
“Tuan, jangan kasar. Saya perempuan baik-baik, tolong lepaskan saya, ini kesalah pahaman,” rengek Merry.
Pemuda itu tersenyum getir.
“Perempuan baik-baik tidak akan dibawa Pak Sameer untuk menyenangkanku. Perempuan malam tetaplah perempuan malam, jalani saja takdirmu dan terima bayaranmu setelahnya!”
Seketika kepala Merry terasa berat, lalu semua menjadi gelap.
POV MerryNamaku Merry, saat ini aku adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun. Entah sengaja ditinggalkan oleh Ayahku, atau sebenarnya aku sengaja dibawa lari oleh ibu tiriku, aku tak tahu pasti. Hanya kepingan kecil yang kuingat, saat bias hujan meninggalkan jejak di kaca jendela kamar. Terdengar pertengkaran besar antara Ayahku dan Ibu tiriku—Elena. Sejak saat itu, Ayahku menghilang entah ke mana, lalu Elena membawaku pindah ke tempat yang begitu jauh dan hidupku bagaikan di neraka.Siapa sangka jika hari ini hidupku semakin tragis sejak Elena menyerahkan aku kepada Pak Sameer—Pria menyeramkan yang membawaku ke mansion mewah yang asing.“Awas saja jika kau berani melarikan diri! Lebih baik menurut, ini demi kebaikanmu, Merry!” ancam Pak Sameer kala itu.Aku hanya bisa bergeming. Lagi pula aku tak bisa bicara dengan mulut tersumpal, apalagi kedua tanganku dalam kondisi terikat. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis.Kedua kakiku masih gemetar bukan kepalang, jantungku
Rintik-rintik embun masih menghiasi kaca jendela kamar hotel. Dinginnya cuaca pagi bahkan terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Akan tetapi, Merry sudah selesai bersiap meski matanya masih terasa perih, sembab sudah pasti. Ia menangis semalaman usai tragedi mengenaskan dalam hidupnya terjadi.“Permisi, taksi yang Anda pesan sudah menunggu di depan,” panggil sekaligus sapa seseorang di depan pintu yang seolah terdengar setengah berteriak.“Baik, terimakasih.”Segera, Merry mengayunkan kaki jenjangnya dengan cepat. Mengabaikan luka hatinya, meski rasa takut terhadap Elena yang ingin segera menemukan dirinya menggelayuni dan mendominasi pikirannya.“Ah, iya Nyonya, terimakasih sudah bersedia membantu,” sahut Merry sembari menyeret koper yang di genggamnya setelah membukakan pintu.Wajah seputih pualam itu tampak pucat, dengan cekungan yang melingkar di bawah matanya.Sedangkan di depannya seorang wanita yang berseragam sebagai pelayan hotel itu hanya tersenyum sembari setengah membungku
Hari berlalu begitu cepat. Kini usia kandungan Merry sudah berusia sekitar delapan bulan. Karena sebentar lagi ia akan memiliki bayi, ia memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar.Memang, uangnya masih lumayan untuk sekedar menghidupinya dan juga anaknya. Tapi, apa jadinya jika ia hanya berdiam diri? Semakin hari, uang akan habis juga.Hari itu Merry memilih untuk menyewa jasa asisten rumah tangga. Selain untuk membantunya pasca melahirkan, tapi nantinya juga bisa membantunya mengasuh bayi sekaligus menjadi teman hidupnya yang masih sepi."Non, kenapa melamun?" Suara Bi Ema, seorang perempuan paruh baya yang kini menemani Merry.Bi Ema adalah seorang janda yang tak memiliki kerabat. Semenjak bekerja pada Merry, ia merasa hidupnya yang nyaris mati mulai berwarna. Ia bahkan menganggap Merry sebagai anak sendiri."Jika nanti aku sudah melahirkan, aku ingin bekerja. Bisakah Bi Ema selain bekerja juga menjaga anakku?" Merry masih duduk meringkuk di sofa dekat jendela."Tentu, kenap
Degup jantung Merry masih terasa memburu. Dengan tangan gemetar, yang terlihat jelas saat meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan, bisa diterka jika ia sedang cemas sekaligus takut berada di mobil orang asing."Siapa gerombolan perundangan tadi, Nona?"Suara bariton itu, seketika membuyarkan lamunan Merry. Membuatnya seketika menoleh ke arah sumber suara."Ummm, ceritanya panjang. Terimakasih sudah menolongku, turunkan saja di sini," sahut Merry, masih dengan raut wajahnya yang cemas.Kening si pemuda yang kini sedang duduk di balik kursi kemudi seketika berkerut.Sedang bermasalah? Mungkin."Apakah kau tidak ingat, Nona? Nyawamu sedang dalam bahaya. Lagi pula hujan baru saja turun. Sebaiknya ikut aku sebentar, nanti pasti ku antar pulang."Entah apa yang dipikirkan oleh Merry saat itu. Mendengar ajakan pria di sampingnya, bukannya tenang, kini ekspresi wajahnya mendadak berubah cemas. Ada guratan takut yang pemuda itu tangkap.Rona merah seketika menyebar di pipinya."Tidak, saya h
Merry masih tetap berdiri, di sebuah ruangan besar sambil mendekap dirinya sendiri yang menahan gigil.Tubuhnya yang basah tanpa sengaja membuat bagian tubuh seksinya terekpos sempurna."Pakai handuk ini untuk mengeringkan tubuhmu di kamar mandi sebelah sana! Ganti pakaianmu dengan ini." Eric menyodorkan pakaian ganti dan juga handuk.Tentu saja hal itu membuat Merry gugup, apalagi dia memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Gadis itu segera berlalu, tanpa berani menatap lawan bicaranya begitu saja.Beberapa menit berselang, Merry telah kembali dengan setelan kaos berwarna pink serta celana pendek selutut.Ia mendapati Eric sudah duduk di sofa, lengkap dengan dua cangkir teh panas dengan asap mengepul yang tersaji. Tak lupa ia melengkapi dengan kudapan."Duduk, kau pas memiliki banyak pertanyaan," ungkap pemuda tampan tapi ramah itu."Ya, tentang kaos pink ini dan juga celana pendek selutut yang ku kenakan. Bukankah ini milik perempuan?" tanya Merry dengan raut setengah menye
Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang."Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya."Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi."Wah, baik sekali ya, Merry,"
Pagi ini, Merry sibuk merias diri. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Bi Ema, yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu sambil menggendong bayi Dave."Kenapa ke kafe sepagi ini?" tanya Bi Ema, membuat jemari lentik yang semula menggerakkan kuasa dipaksa berhenti.Merry mengalihkan yang menatap sendu ke arah wanita paruh baya yang terlihat kebingungan atas sikapnya."Oh, maaf, Bi ... mungkin aku lupa bilang, kalau sejak kemarin, aku sudah tidak bekerja di kafe lagi. Mengenai alasannya, aku diperlakukan tidak adil di tempat itu," cetus Merry.Pengakuannya membuat wanita tua yang sudah seperti ibunya entah sejak kapan itu terbelalak."Lalu, mau ke mana kamu sepagi ini? Merry, ingat ya, Elena dan anak buahnya masih berkeliaran di luar sana. Kecuali, jika kamu mau mencari Ayah anakmu."Bi Ema berbicara sambil mengguratkan isyarat wajah cemas. Terpampang jelas dari matanya yang redup."Bukankah kemarin Bi Ema sudah bertemu Eric? Dia Managerku sejak hari ini? Aku akan menjajal dunia
Sinar mentari nyaris menghilang, pertanda hari berganti sore. Merry yang semula tak punya tujuan pun, kini hidupnya mulai berwarna sejak Eric datang membantunya."Kamu mau langsung pulang atau kita jalan dulu?"Eric datang tiba-tiba, saat Merry sedang sibuk mengamati sekitar ruangan gedung tempatnya bekerja."Mau ke mana lagi? Lagi pula, aku kasian sama Dave kalau aku tinggalin dia terlalu lama," keluh Merry."Wah, sayang sekali ya! Padahal aku mau ajak kamu jalan sebentar. Tapi gak apa-apa deh, mungkin lain kali."Wajah Eric berubah mendung saat berkata. Ia tampak kecewa dengan penolakan gadis cantik, yang baru saja ia angkat sebagai modelnya.Di saat bersamaan, sejenak Merry menatap Eric. Ia tahu sekali ekspresi wajah pemuda itu, di sisi lain ia juga tak sabar ingin bertemu sang anak."Baiklah, jika memang sebentar aku setuju. Ayo kita pergi!"Akhirnya, keduanya menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan sore di tengah kota, melewati beberapa pertokoan yang riuh, membuat Merry sejenak
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan