Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.
Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang.
"Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.
Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.
Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya.
"Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.
Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi.
"Wah, baik sekali ya, Merry," sahut Eric dengan sedikit senyuman.
"Ya, padahal dia sendiri hidupnya menyedihkan, Nak," jelas Bi Ema.
"Kenapa masih berdiri? Duduk."
Suara parau Merry membuat keduanya yang asyik mengobrol tersentak menyadari Merry sudah berdiri sambil membawa nampan berisi minuman.
"Bi, bisa tolong jaga Dave?"
"Tentu, selalu kulakukan tanpa kamu minta, Merry," sahut perempuan paruh baya itu.
Sebelum melenggang ia menyempatkan setengah membungkuk mencondongkan tubuhnya, mendekati telinga Merry.
"Dia pria baik dan tampan, cocok untuk dijadikan Ayah Dave," bisik Bi Ema.
Seketika mata Merry melotot ke arahnya.
"Bi Ema ...."
Perempuan paruh baya itu malah membalasnya dengan terkekeh.
"Dave itu siapa, Bi?" tanya Eric terdengar menginterogasi.
Ya. Sebenarnya ia sudah tahu, jika Dave yang dimaksud adalah anak kecil, dari cara Merry mengatakan agar perempuan itu menjaganya tentu Eric bisa menerka.
Mungkin saja Eric ingin mendengar penjelasan tentang Dave langsung dari Merry.
"Dia anakku, bayi tanpa Ayah," sahut Merry kemudian menangis.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya penasaran," ungkap Eric yang kini merasa bersalah.
Kini ia menjadi salah tingkah. Lebih tepatnya bingung harus berbuat apa untuk menenangkan gadis cantik yang menangis di hadapannya.
'Seandainya bisa, aku ingin sekali memelukmu. Ah, tapi pasti nanti aku dianggap lancang,' batin Eric mengurungkan niatnya.
Bahkan ia menarik kembali buku jemarinya yang sempat terulur dan nyaris menyentuh punggung Merry.
Bukannya enggan, akan tetapi Eric memanglah pribadi yang sopan.
Namun, reaksi mengejutkan justru ditunjukkan oleh Merry. Gadis itu langsung membalikkan badan dan menangis di pelukan Eric, hingga membuat pemuda itu kebingungan harus bersikap seperti apa.
"Merry, bisakah kamu berhenti menangis? Kudengar Dave juga menangis," ungkap pemuda yang kini justru terlihat kaku itu.
Merry memilih tak menjawab, ia tak bermaksud nakal, hanya ingin mencari tahu. Lelaki seperti apa yang akan menjadi Managernya nanti.
Mengetahui respon Eric, gadis itu lega. Ia langsung menuju kamar, tak lama kemudian kembali muncul sambil menggendong bayi laki-laki tampan yang masih mungil.
Matanya begitu jernih kebiruan, berkulit putih, dan berambut pirang. Sungguh mata yang kontras dengan iris mata hazel milik Merry.
"Dave, kau tampan sekali ya. Nama yang keren."
Entah sejak kapan, Dave sudah berpindah dalam pelukan Eric.
"Ya, aku tidak ingin Ayah kandungnya tahu jika dia kulahirkan," ungkap Merry tiba-tiba.
Sontak saja pengakuan gadis itu membuat Eric terkejut, bahkan kini rautnya berubah tegang. Tak ada senyum yang terpampang di wajahnya.
Bisa dibilang jika sedang serius Eric terlihat menyeramkan.
"Kamu yakin? Kenapa kamu tidak ingin menuntutnya? Anakmu butuh Ayah kandungnya. Dia butuh banyak hal, Merry! Apa kamu bercanda? Apa yang kamu pikirkan hingga membuatmu tega berbuat tidak adil pada bayi setampan Dave?"
Entah apa yang Eric pikirkan, tiba-tiba saja ia mengubah nada suaranya terdengar tinggi. Terlihat marah, dan entah.
"Dia pria kaya, baginya aku hanya barang yang bisa dibeli," sahut Merry dengan suara melemah.
"Bodoh! Kamu cantik, tunjukkan balas dendam kamu dengan prestasi! Kamu bisa mencari uang dan juga ketenaran!" hardik Eric merasa kesal.
Entah mengapa tiba-tiba saja ia meradang. Mungkinkah Dave yang mungil dan lucu itu membuatnya jatuh hati?
"Aku bahkan berhenti sekolah, Eric! Bicara memang mudah!"
Merry berbicara tak kalah bernada tinggi. Seolah sengaja memperlihatkan bahwa ia sedang kesal pada pria di hadapannya.
"Tapi ada aku, Merry. Bukankah aku berjanji akan membantu?" Eric menatap sendu ke arah Merry yang justru menghindari tatapannya.
"Ah terserah!"
Sesaat suasana kembali hening.
"Wajahnya, mirip salah satu kolega Ayahku."
Mata Merry menyipit mendengar pengakuan Eric.
"Apa?" tanya Merry penasaran dengan kalimat terakhir Eric.
"Tidak, mungkin aku salah. Kapan kamu bisa latihan? Setelah kamu mahir, baru kupertemukan dengan klien."
"Besok," sahut Merry sembari meraih Dave yang sudah terlelap dalam dekapan Eric.
Eric memang kini terdiam. Matanya hanya tertuju pada Merry, sesaat kemudian berpindah menatap Dave yang telah terlelap.
'Aku seperti melihat Damian dalam wajah bayi kecil itu. Mungkinkah pria brengsek itu Damian?' batin Eric bertanya-tanya.
"Aku pamit pulang, jika butuh apapun jangan sungkan menghubungiku," ujar Eric, mengakhiri perjumpaannya dengan Merry di hari itu.
Merry mengangguk cepat. Ia memang tak mengantarkan Eric hingga ke teras, tapi ia sempat menatapnya dari balik tirai jendela kamar.
Pagi ini, Merry sibuk merias diri. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Bi Ema, yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu sambil menggendong bayi Dave."Kenapa ke kafe sepagi ini?" tanya Bi Ema, membuat jemari lentik yang semula menggerakkan kuasa dipaksa berhenti.Merry mengalihkan yang menatap sendu ke arah wanita paruh baya yang terlihat kebingungan atas sikapnya."Oh, maaf, Bi ... mungkin aku lupa bilang, kalau sejak kemarin, aku sudah tidak bekerja di kafe lagi. Mengenai alasannya, aku diperlakukan tidak adil di tempat itu," cetus Merry.Pengakuannya membuat wanita tua yang sudah seperti ibunya entah sejak kapan itu terbelalak."Lalu, mau ke mana kamu sepagi ini? Merry, ingat ya, Elena dan anak buahnya masih berkeliaran di luar sana. Kecuali, jika kamu mau mencari Ayah anakmu."Bi Ema berbicara sambil mengguratkan isyarat wajah cemas. Terpampang jelas dari matanya yang redup."Bukankah kemarin Bi Ema sudah bertemu Eric? Dia Managerku sejak hari ini? Aku akan menjajal dunia
Sinar mentari nyaris menghilang, pertanda hari berganti sore. Merry yang semula tak punya tujuan pun, kini hidupnya mulai berwarna sejak Eric datang membantunya."Kamu mau langsung pulang atau kita jalan dulu?"Eric datang tiba-tiba, saat Merry sedang sibuk mengamati sekitar ruangan gedung tempatnya bekerja."Mau ke mana lagi? Lagi pula, aku kasian sama Dave kalau aku tinggalin dia terlalu lama," keluh Merry."Wah, sayang sekali ya! Padahal aku mau ajak kamu jalan sebentar. Tapi gak apa-apa deh, mungkin lain kali."Wajah Eric berubah mendung saat berkata. Ia tampak kecewa dengan penolakan gadis cantik, yang baru saja ia angkat sebagai modelnya.Di saat bersamaan, sejenak Merry menatap Eric. Ia tahu sekali ekspresi wajah pemuda itu, di sisi lain ia juga tak sabar ingin bertemu sang anak."Baiklah, jika memang sebentar aku setuju. Ayo kita pergi!"Akhirnya, keduanya menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan sore di tengah kota, melewati beberapa pertokoan yang riuh, membuat Merry sejenak
Pagi ini Eric menjadwalkan waktu latihan untuk Merry.Karena penasaran, gadis itu datang lebih awal. Ia melihat beberapa model mengenakan heels. Raut wajah cantik Merry berubah muram. Bagaimana tidak? Ia memiliki kenangan buruk tentang heels.Pagi itu, Merry dilatih oleh Harry, ia terkejut. Bukankah sebelumnya Eric memperkenalkan Bu Veronica yang menjadi pelatihnya? Lalu kenapa justru ia diajari berjalan melenggang, dan melenggok dengan lelaki setengah melambai?"Merry giliranmu, bisakah kau kenakan heels pemberian Eric sekarang?" Harry menunjukkan kotak berisi sepasang sepatu indah.Namun, bukannya menjawab, gadis itu justru diam termangu menatap sepatu itu."Ha ... ha ... sepertinya, dia tidak pernah pakai sepatu mahal," ejek Rebeca.Tatapan mata Rebeca terlihat tidak senang atas bergabungnya Merry dengan agency yang menaunginya."Rebeca, urus dirimu sendiri! Kamu tidak berhak menjatuhkan orang lain. Atau sebaiknya aku akhiri kontrakmu!" desis Eric yang ternyata sejak tadi sudah ber
Merry masih terus mencecar Bu Veronica. Akan tetapi, wanita berusia paruh baya itu langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukannya."Nyonya, Nyonya Veronica! Di mana Ayah saya!" teriak Merry sambil terus berlari mengejar.DUG!Tubuh Merry nyaris terpelanting setelah bertubrukan dengan tubuh kekar seorang pria."Awwww!""Hati-hati Nona cantik, perhatikan jalan. Apa kau baru di sini?"Merry tersentak dan langsung membisu. Ia terkejut melihat kedatangan pemuda tampan di hadapannya. Entah dari mana datangnya, tapi yang jelas pemuda itu telah menghalangi jalan Merry, hingga Bu Veronica menghilang dari pandangannya."Maaf," ucap Merry kemudian beranjak pergi."Hey, cantik! Buru-buru ke mana? Kita masih belum berkenalan," sergah pria genit itu.Merry membuang muka, sementara tangan pemuda itu justru telah melingkar di pinggang Merry. Membuat gadis itu merasa tak nyaman."Lepas! Jangan ganggu saya!"Merry yang berhasil meronta seketika berbalik dan berlari menuju ruangan Manager. Beruntung,
Sepulang kerja, Merry memilih pulang sendiri. Baginya, semakin hari hidup semakin rumit. Sama seperti ketika ia pertama kali bertemu Bu Veronica.Namun, satu hal yang pasti, Merry merasa jika wanita itu pasti menyembunyikan rahasia tentang ayahnya.'Aku harus cari tahu,' batin Merry sambil menyandarkan diri di sebuah kursi panjang yang berada di taman."Lagi ngelamunin apa sih? Harus ya duduk sendirian begini?"Suara bariton Eric, benar-benar membuat Merry terkejut."Eric, kok kamu bisa tahu aku ada di sini?""Aku cari kamu di rumah gak ada. Bi Ema bilang, biasanya kamu suka ke taman, apalagi kalau banyak pikiran," kata Eric.Merry membalas tatapan mata Eric sembari sedikit tersenyum."Terus, Bi Ema bilang apa lagi ke kamu tentang aku?"Kali ini, Merry menatap serius. Seakan benar-benar penasaran dengan jawaban si lawan bicaranya.Akan tetapi Eric hanya menggeleng cepat."Mungkin, Bi Ema pengen ngobrol banyak. Aku bisa menerka kalau dia pengen banget aku tuh tahu banyak tentang kamu.
Situasi di tengah ruangan masih riuh. Beberapa sekuriti bahkan datang untuk melerai Oliver dan Merry yang sedang mengamuk."Aku mengundurkan diri, aku tidak sudi bekerja denganmu, Oliver sialan!" teriak Merry melampiaskan kekesalannya.Wajah Oliver kini mulai merah padam, bak kepiting rebus. Sedangkan kedua bola matanya nyaris keluar tanpa bisa mengontrol emosinya yang meledak-ledak."Hey, kau tidak bisa berhenti begitu saja. Eric, tunjukkan kontrak kerja itu pada perempuan jalang ini!""Jalang katamu, hanya karena aku menolak kamu sentuh kau bilang aku jalang?" Mata Merry tak kalah melebar, ia juga berbicara dengan nada tinggi sambil menarik kerah kemeja yang dikenakan Oliver."Sudah-sudah! Berhenti berdebat. Oliver, Merry menandatangani kontrak dengan beberapa kesepakatan. Jika kau juga tidak bisa menjaga sikap dia berhak keluar. Tapi, aku bisa membuatnya bertahan, maka jangan sekalipun mencari masalah dengannya mulai sekarang!" ancam Eric dengan raut tegas.Oliver tersenyum getir,
Merry melangkah cepat, dengan tangan gemetar ia memutar knop pintu."Kenapa lama?" Bi Ema melongok ke dalam kamar Merry.Menyadari Bi Ema yang datang ke kamarnya, Merry langsung mengelus dadanya."Ada apa, Bi?" tanya Merry penasaran dengan kedatangan Bi Ema yang tiba-tiba dengan raut cemas.Merry mengedarkan pandangannya ke koridor hotel. Raut wajahnya masih cemas."Tidak ada, aku hanya merasa ada yang mengawasi," Aku Bi Ema.Perempuan berusia paruh baya itu seolah ingin memperingati Merry jika tempat itu tak nyaman baginya. Entah kejadian apa yang telah ia lalui, hingga ia terlihat menyimpan ketakutan sebesar itu."Mandi, lalu tidurlah Bi. Nanti kita makan bersama," tutur Merry.Ia berkata sambil menatap ke sana ke mari, seolah sedang mencari seseorang.Ya. Merry memang sudah tahu apa yang sedang mengacaukan pikirannya.Namun, ia tidak menduga jika Bi Ema merasakan ketakutan yang sama dengannya.'Pasti ada yang tidak beres,' pikirnya salam hati.Namun, setelah memastikan kondisi Merr
Merry masih tetap berdiri di pijakannya. Termangu. Seolah-olah ia tak percaya akan bertemu Eric di situasi serumit ini.Entah dari mana pria itu tahu jika Merry yang berbakat, kini sedang berlibur di sebuah tempat terpencil. Gadis itu semakin penasaran.Sedangkan di luar sana, tak jauh dari Eric dan Merry berdiri, terdapat Tuan Sameer yang masih memaku mengamati."Eric, maaf. Aku tidak bermaksud menghilang. Hanya saja aku butuh waktu berlibur. Kau tahu 'kan? Kekacauan yang telah dibuat Oliver membuatku gamang bekerja di agencymu itu," tegas Merry dengan penuh penekanan.Eric menghela napas berat."Merry, apa kau lupa jika sudah terikat kontrak? Bisa saja aku melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan penipuan. Tapi aku tidak sekejam itu, aku peduli padamu dan Dave," lirih Eric, meski ia memasang raut kecewa.Tatapannya pun berubah sendu. Entah kecewa atau bahkan luka yang tergurat di wajah itu. Tapi yang jelas, Eric tak baik-baik saja ditinggal Merry pergi.Merry menatap ke arah luar ka
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan