Hari berlalu begitu cepat. Kini usia kandungan Merry sudah berusia sekitar delapan bulan. Karena sebentar lagi ia akan memiliki bayi, ia memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar.
Memang, uangnya masih lumayan untuk sekedar menghidupinya dan juga anaknya. Tapi, apa jadinya jika ia hanya berdiam diri? Semakin hari, uang akan habis juga.
Hari itu Merry memilih untuk menyewa jasa asisten rumah tangga. Selain untuk membantunya pasca melahirkan, tapi nantinya juga bisa membantunya mengasuh bayi sekaligus menjadi teman hidupnya yang masih sepi.
"Non, kenapa melamun?" Suara Bi Ema, seorang perempuan paruh baya yang kini menemani Merry.
Bi Ema adalah seorang janda yang tak memiliki kerabat. Semenjak bekerja pada Merry, ia merasa hidupnya yang nyaris mati mulai berwarna. Ia bahkan menganggap Merry sebagai anak sendiri.
"Jika nanti aku sudah melahirkan, aku ingin bekerja. Bisakah Bi Ema selain bekerja juga menjaga anakku?" Merry masih duduk meringkuk di sofa dekat jendela.
"Tentu, kenapa kau ragu, Nak. Tapi, menurutku ... apa tidak sebaiknya kamu mencari Ayah anak itu?"
"Untuk apa, Bi? Agar aku kembali dihina, dilecehkan, kemudian dibuang? Aku bukan siapa-siapa baginya, tidak. Aku tidak mau dia mengambil anakku," tangkas Merry dengan raut menengang.
Bi Ema menghela napas. Kemudian ia pergi meninggalkan Merry ke dapur, tapi tak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan panas.
"Bagaimanapun, dia tetap butuh sosok Ayah, Nak. Bagaimana jika dia dicap sebagai anak haram? Apa kau terima?"
Mendengar penuturan Bi Ema, seketika wajah Merry terangkat. Bukan karena tersentak menahan emosinya. Melainkan ia seperti terkejut karena merasakan sakit yang luar biasa.
"Bi, perutku rasanya sakit sekali. Aduh ... sakit!" pekik Merry diselingi rintihan.
Seketika Bi Ema melangkah mendekat sembari menggapai secangkir teh hangat yang baru saja ia buat.
"Teguk teh hangatnya, aku akan menghubungi ambulan." Bi Ema membantu Merry untuk bergegas menelpon rumah sakit terdekat.
*****
"Selamat, bayinya laki-laki. Dia sangat tampan." Seorang dokter cantik, menyerahkan bayi mungil itu ke dalam dekapan Merry.
Mata gadis itu berkaca-kaca sambil memandang anaknya.
"Bayi laki-laki? Anakku." Tangis Merry pecah seketika.
Bi Ema seketika mendekat dan memberikan elusan di punggung Merry untuk memberikan efek tenang.
"Tenang, ada aku yang menemanimu," pungkas Bi Ema.
"Bagus, jaga dia. Sebab gadis ini melahirkan lebih cepat dari jadwalnya melahirkan. Biarkan dia beristirahat lebih banyak," ujar sang dokter yang kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Sementara itu, Merry masih menatap raut wajah putranya. Mata,bibir, bahkan nyaris seluruh bagian wajah putranya sama persis dengan pria yang merenggut kesuciannya di malam itu. Ia semakin menangis.
"Kenapa?" tanya Bi Ema dengan wajah bingung bercampur cemas.
"Dia sangat mirip dengan lelaki biadab itu, Bi. Bagaimana jika kami tiba-tiba bertemu secara tak sengaja. Dia pasti akan bisa mengenali jika anak ini adalah anaknya."
Merry mendekap putranya sambil terus menangis tersedu-sedu.
"Kalau begitu itu bagus. Anak ini membutuhkan Ayah, Merry."
******
Hari berganti cepat. Tiga bulan berlalu. Bayi laki-laki yang dilahirkan oleh Merry diberi nama Dave Jordan. Nama pemberian Ema.
Hari itu adalah hari pertama Merry harus pergi bekerja di sebuah kafe pinggir jalan.
"Merry, haruskah kau bekerja di luar? Bayimu masih kecil," ungkap Bi Ema.
"Ini harus kulakukan demi Dave, Bi. Aku pergi, tolong jaga putraku." Merry mengecup kening putranya sebelum pergi.
Tak lama kemudian, Merry akhirnya tiba juga di kafe tempatnya bekerja. Ini hari pertama, tentu sangat sulit bagi Merry menyesuaikan.
Ia mengedarkan pandangan ke sekitar kafe. Riuh. Banyak orang berlalu-lalang, beberapa di antaranya adalah pelanggan kafe.
Hari itu kafe sangat ramai. Merry sangat gugup. Bahkan, beberapa kali ia melakukan kesalahan.
'Huft, harus tenang Merry. Fokus. Ini demi Dave, ia butuh susu dan juga masa depan. Tak cukup mengandalkan sisa uang pemberian pak Samet waktu itu.' Batin Merry sambil memindahkan secangkir kopi ke nampan.
Tampaknya pelanggan kafe kali ini seorang pria matang dengan kepala botak dan perutnya sedikit buncit.
Entah apa yang ia pikirkan. Matanya terlihat nakal menjelajahi tubuh Merry.
"Hay, di mana suamimu? Kau baru melahirkan? Lihat, air susumu merembes. Kau sangat cantik. Jika bayimu tanpa ayah, menikah saja denganku." Pria itu berbicara sambil menjamah bagian bokong Merry di hadapan umum.
Tak hanya itu ia bahkan terkekeh setengah mengejek.
Tentu saja diperlakukan seperti itu perempuan itu merasa dilecehkan. Emosinya meledak. Bahkan kedua sisi giginya terdengar menggeletak.
Tiba-tiba Merry meraih secangkir kopi yang baru saja ia sajikan untuk si pria botak. Dengan gerakan cepat, ia mengguyur kepala pria itu.
"Sial!" teriak sekaligus umpat pria itu.
Mungkin saja ia sengaja memancing keributan di depan umum. Membuat seluruh tubuh Merry gemetaran.
"Kau pantas mendapatkannya," ketus Merry menjawab.
Pemilik kafe sangat marah dengan perlakuan Merry. Ia yang seharusnya membela justru ikut menyerang Merry.
"Merry, minta maaf. Tak seharusnya kau bersikap tidak sopan kepada pelanggan kita!" Pemilik kafe berteriak memberikan perintah.
"Tidak kusangka, pemiliknya juga sama-sama tidak menghargai perempuan. Padahal kalian terlahir dari perempuan," sahut Merry.
Pemilik kafe semakin geram karena Merry berani membantahnya. Barangkali ia merasa dipermalukan.
"Merry, jika kamu tidak meminta maaf sekarang, aku akan memotong setengah gajimu!"
"Terimakasih, tapi aku memilih berhenti bekerja." Merry pergi setelah menyelesaikan kalimatnya.
Sepanjang jalan, ia menangis. Bahkan ia tidak peduli dengan tatapan mata-mata di sekelilingnya.
Beberapa di antara mereka menatap sinis, ada juga yang terlihat cemas, entah. Tapi Merry terus berjalan. Menyusuri sepanjang trotoar mengabaikan tatapan mereka.
Hingga akhirnya, ia sampai di sebuah taman yang memiliki beberapa kursi memanjang tempat warga sekitar bersantai.
Merry menatap setiap mobil mewah yang melintas. Ia berpikir, bagaimana seandainya ia bertemu dengan Damian secara tiba-tiba?
Di waktu yang bersamaan, ia melihat beberapa orang preman. Wajahnya sangat familiar. Merry meyakini jika mereka adalah orang-orang Elena.
Dan benar saja. Merry yang malang kini sedang ditatap oleh mereka.
"Ketemu!" seru mereka serempak sambil menatap dan berlari ke arah Merry.
"Tidak, biarkan aku pergi!" teriak Merry sambil berlari membiak keramaian.
Ia terus berlari tanpa henti, hingga akhirnya ia tersandung trotoar yang berlubang akibat kurang memperhatikan jalan.
BUGH!
Tubuh Merry ambruk.
Ia reflek menoleh ke belakang, melihat sekumpulan preman itu semakin dekat dengannya. Membuat dada Merry semakin sesak.
Namun, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap menarik dan membantu Merry.
"Kau bisa berjalan?" tanyanya, suara itu terdengar tak asing bagi Merry.
Gadis itu terlihat berpikir keras. Seolah sedang mengingat-ingat. Sedangkan si pemuda, karena ia cemas dengan berandalan itu yang semakin mendekat, seketika langsung mengangkat tubuh Merry dan memasukkannya ke dalam mobil miliknya.
Kemudian, Merry pun dibawanya pergi.
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Merry dengan raut cemas.
Degup jantung Merry masih terasa memburu. Dengan tangan gemetar, yang terlihat jelas saat meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan, bisa diterka jika ia sedang cemas sekaligus takut berada di mobil orang asing."Siapa gerombolan perundangan tadi, Nona?"Suara bariton itu, seketika membuyarkan lamunan Merry. Membuatnya seketika menoleh ke arah sumber suara."Ummm, ceritanya panjang. Terimakasih sudah menolongku, turunkan saja di sini," sahut Merry, masih dengan raut wajahnya yang cemas.Kening si pemuda yang kini sedang duduk di balik kursi kemudi seketika berkerut.Sedang bermasalah? Mungkin."Apakah kau tidak ingat, Nona? Nyawamu sedang dalam bahaya. Lagi pula hujan baru saja turun. Sebaiknya ikut aku sebentar, nanti pasti ku antar pulang."Entah apa yang dipikirkan oleh Merry saat itu. Mendengar ajakan pria di sampingnya, bukannya tenang, kini ekspresi wajahnya mendadak berubah cemas. Ada guratan takut yang pemuda itu tangkap.Rona merah seketika menyebar di pipinya."Tidak, saya h
Merry masih tetap berdiri, di sebuah ruangan besar sambil mendekap dirinya sendiri yang menahan gigil.Tubuhnya yang basah tanpa sengaja membuat bagian tubuh seksinya terekpos sempurna."Pakai handuk ini untuk mengeringkan tubuhmu di kamar mandi sebelah sana! Ganti pakaianmu dengan ini." Eric menyodorkan pakaian ganti dan juga handuk.Tentu saja hal itu membuat Merry gugup, apalagi dia memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Gadis itu segera berlalu, tanpa berani menatap lawan bicaranya begitu saja.Beberapa menit berselang, Merry telah kembali dengan setelan kaos berwarna pink serta celana pendek selutut.Ia mendapati Eric sudah duduk di sofa, lengkap dengan dua cangkir teh panas dengan asap mengepul yang tersaji. Tak lupa ia melengkapi dengan kudapan."Duduk, kau pas memiliki banyak pertanyaan," ungkap pemuda tampan tapi ramah itu."Ya, tentang kaos pink ini dan juga celana pendek selutut yang ku kenakan. Bukankah ini milik perempuan?" tanya Merry dengan raut setengah menye
Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang."Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya."Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi."Wah, baik sekali ya, Merry,"
Pagi ini, Merry sibuk merias diri. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Bi Ema, yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu sambil menggendong bayi Dave."Kenapa ke kafe sepagi ini?" tanya Bi Ema, membuat jemari lentik yang semula menggerakkan kuasa dipaksa berhenti.Merry mengalihkan yang menatap sendu ke arah wanita paruh baya yang terlihat kebingungan atas sikapnya."Oh, maaf, Bi ... mungkin aku lupa bilang, kalau sejak kemarin, aku sudah tidak bekerja di kafe lagi. Mengenai alasannya, aku diperlakukan tidak adil di tempat itu," cetus Merry.Pengakuannya membuat wanita tua yang sudah seperti ibunya entah sejak kapan itu terbelalak."Lalu, mau ke mana kamu sepagi ini? Merry, ingat ya, Elena dan anak buahnya masih berkeliaran di luar sana. Kecuali, jika kamu mau mencari Ayah anakmu."Bi Ema berbicara sambil mengguratkan isyarat wajah cemas. Terpampang jelas dari matanya yang redup."Bukankah kemarin Bi Ema sudah bertemu Eric? Dia Managerku sejak hari ini? Aku akan menjajal dunia
Sinar mentari nyaris menghilang, pertanda hari berganti sore. Merry yang semula tak punya tujuan pun, kini hidupnya mulai berwarna sejak Eric datang membantunya."Kamu mau langsung pulang atau kita jalan dulu?"Eric datang tiba-tiba, saat Merry sedang sibuk mengamati sekitar ruangan gedung tempatnya bekerja."Mau ke mana lagi? Lagi pula, aku kasian sama Dave kalau aku tinggalin dia terlalu lama," keluh Merry."Wah, sayang sekali ya! Padahal aku mau ajak kamu jalan sebentar. Tapi gak apa-apa deh, mungkin lain kali."Wajah Eric berubah mendung saat berkata. Ia tampak kecewa dengan penolakan gadis cantik, yang baru saja ia angkat sebagai modelnya.Di saat bersamaan, sejenak Merry menatap Eric. Ia tahu sekali ekspresi wajah pemuda itu, di sisi lain ia juga tak sabar ingin bertemu sang anak."Baiklah, jika memang sebentar aku setuju. Ayo kita pergi!"Akhirnya, keduanya menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan sore di tengah kota, melewati beberapa pertokoan yang riuh, membuat Merry sejenak
Pagi ini Eric menjadwalkan waktu latihan untuk Merry.Karena penasaran, gadis itu datang lebih awal. Ia melihat beberapa model mengenakan heels. Raut wajah cantik Merry berubah muram. Bagaimana tidak? Ia memiliki kenangan buruk tentang heels.Pagi itu, Merry dilatih oleh Harry, ia terkejut. Bukankah sebelumnya Eric memperkenalkan Bu Veronica yang menjadi pelatihnya? Lalu kenapa justru ia diajari berjalan melenggang, dan melenggok dengan lelaki setengah melambai?"Merry giliranmu, bisakah kau kenakan heels pemberian Eric sekarang?" Harry menunjukkan kotak berisi sepasang sepatu indah.Namun, bukannya menjawab, gadis itu justru diam termangu menatap sepatu itu."Ha ... ha ... sepertinya, dia tidak pernah pakai sepatu mahal," ejek Rebeca.Tatapan mata Rebeca terlihat tidak senang atas bergabungnya Merry dengan agency yang menaunginya."Rebeca, urus dirimu sendiri! Kamu tidak berhak menjatuhkan orang lain. Atau sebaiknya aku akhiri kontrakmu!" desis Eric yang ternyata sejak tadi sudah ber
Merry masih terus mencecar Bu Veronica. Akan tetapi, wanita berusia paruh baya itu langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukannya."Nyonya, Nyonya Veronica! Di mana Ayah saya!" teriak Merry sambil terus berlari mengejar.DUG!Tubuh Merry nyaris terpelanting setelah bertubrukan dengan tubuh kekar seorang pria."Awwww!""Hati-hati Nona cantik, perhatikan jalan. Apa kau baru di sini?"Merry tersentak dan langsung membisu. Ia terkejut melihat kedatangan pemuda tampan di hadapannya. Entah dari mana datangnya, tapi yang jelas pemuda itu telah menghalangi jalan Merry, hingga Bu Veronica menghilang dari pandangannya."Maaf," ucap Merry kemudian beranjak pergi."Hey, cantik! Buru-buru ke mana? Kita masih belum berkenalan," sergah pria genit itu.Merry membuang muka, sementara tangan pemuda itu justru telah melingkar di pinggang Merry. Membuat gadis itu merasa tak nyaman."Lepas! Jangan ganggu saya!"Merry yang berhasil meronta seketika berbalik dan berlari menuju ruangan Manager. Beruntung,
Sepulang kerja, Merry memilih pulang sendiri. Baginya, semakin hari hidup semakin rumit. Sama seperti ketika ia pertama kali bertemu Bu Veronica.Namun, satu hal yang pasti, Merry merasa jika wanita itu pasti menyembunyikan rahasia tentang ayahnya.'Aku harus cari tahu,' batin Merry sambil menyandarkan diri di sebuah kursi panjang yang berada di taman."Lagi ngelamunin apa sih? Harus ya duduk sendirian begini?"Suara bariton Eric, benar-benar membuat Merry terkejut."Eric, kok kamu bisa tahu aku ada di sini?""Aku cari kamu di rumah gak ada. Bi Ema bilang, biasanya kamu suka ke taman, apalagi kalau banyak pikiran," kata Eric.Merry membalas tatapan mata Eric sembari sedikit tersenyum."Terus, Bi Ema bilang apa lagi ke kamu tentang aku?"Kali ini, Merry menatap serius. Seakan benar-benar penasaran dengan jawaban si lawan bicaranya.Akan tetapi Eric hanya menggeleng cepat."Mungkin, Bi Ema pengen ngobrol banyak. Aku bisa menerka kalau dia pengen banget aku tuh tahu banyak tentang kamu.
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan