“Huft, bagaimana caranya menarik perhatian Kaisar?”
Sembari menopang pipi dengan telapak tangan, Bella bergumam bingung. Otaknya bekerja lebih keras daripada saat dia ujian OSCE dulu. Menaklukkan sifat Kaisar lebih sulit dibandingkan dengan mata kuliah kedokteran.
Getaran pada ponsel Bella mengalihkan perhatian sang pemiliknya yang kini segera mengambil barang elektronik tersebut. Senyuman sendu terbit di kedua sudut bibirnya kala melihat isi pesan di sana.
[Mama]
‘Mbak, jangan lupa pulang ya. Nanti sore ada acara doa anak-anak panti untuk memperingati hari kepergian adikmu.’
Jari jempolnya bergegas mengetikkan balasan. Tetapi, ketika ingin mengirim pesan tersebut, seseorang duduk di hadapannya. Yang mana, saat ini Bella tengah berada di taman samping ruangan.
Kehadiran seseorang membuat Bella mendongak. Matanya membeliak saat wajah tampan yang kini menyiratkan ketakutan tengah mencuri pandangan ke arahnya. “Kai?!” serunya tak menyangka. Hingga, dirinya melupakan balasan kepada sang ibu mengenai peringatan hari kepergian sang adik.
“Dok,” ujar Kaisar untuk pertama kalinya sembari memalingkan wajah ke arah lain.
Bella mengulum senyuman dengan hati berbunga-bunga. “Astaga, mimpi apa aku semalam? Kaisar sudah berani mengajak bicara lebih dulu ke aku!” batinnya hanya bisa berseru.
“Iya? Kenapa, Kai?” Sebisa mungkin, Bella menahan diri agar tidak berperilaku agresif. Mengingat, Kaisar sedikit berbeda.
Namun, tidak ada jawaban. Melainkan, Kaisar memilin kedua tangannya sendiri sambil menunduk dalam-dalam. Bella yakin jika pria itu saat ini amat gugup, takut, khawatir, dan tidak percaya diri dalam satu waktu. Membuat Bella memutuskan untuk memilih mengambil langkah lebih dulu.
“Bicara saja, Kai. Di sini, hanya ada kita berdua, hm? Mau bicara apa?” tanya Bella sembari berdiri lalu duduk di sebelah Kaisar. Tangannya terangkat untuk mengusap bahu Kaisar dengan pelan, berusaha memberikan kenyamanan.
Tidak, Bella tak berperilaku seperti itu kepada seluruh pasien. Sikapnya seperti ini hanya ditujukan kepada Kaisar seorang. Walau, dirinya tahu bahwa semua ini adalah salah. Tetapi, dia tak bisa menahan diri untuk lebih perhatian kepada Kaisar.
Namun, Kaisar tetap menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang tampak malu-malu untuk menatap Bella.
“Kenapa?” tanya Bella kembali dengan begitu sabar dan lembut.
“E-em ....” Kedua tungkai kaki Kaisar bergerak gelisah tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Bella terkekeh pelan. “Ada apa? Mau coklat?” Dia melayangkan pertanyaan sembari mengambil sebuah coklat dari dalam kantung jas lalu mengarahkan kepada Kaisar tanpa harapan apapun. Sebab, pasiennya ini selalu menolak pemberian Bella.
Tak disangka-sangka kala Kaisar berdiri dan mengambil coklat itu. Kemudian, dia berlalu dari hadapan Bella dengan cepat.
“Eh? Kaisar benar-benar ambil coklat pemberianku?” Senyuman bahagia terpatri di kedua sudut bibir Bella saat memikirkan langkah baru yang Kaisar berikan menandakan jika pria itu mulai membuka diri.
“Benar kata orang, batu keras pun lama-lama akan berlubang jika selalu diteteskan air,” gumam Bella sambil menarik napas dalam-dalam. Kemudian, dia bergegas beranjak dari sana ketika memikirkan pesan dari sang ibu. Dia harus pulang!
***
“Wah, lo akhirnya ambil coklat dari Dokter Bella, Kai? Dalam rangka apa, dah? Ucapan maaf karena kemarin hampir mencelakai doi?” Tepukan keras terasa di bahu Kaisar bersamaan dengan cerocosan terkejut terdengar. Satu-satunya pasien di ruang Merpati yang seumuran dengan Kaisar dan tidak memiliki gangguan jiwa apapun. Namanya, Rafael. Sama-sama mahasiswa seperti dirinya, tetapi yang membedakan adalah, Rafael masuk ke dalam RS. Jiwa dikarenakan menghindari hukuman penjara setelah hampir ketahuan memperkosa pacarnya sendiri.
Kepala yang tengah berpikir berat itu mengangguk. Lantas, Kaisar mematahkan sebuah batang coklat tersebut menjadi dua bagian lalu memberikannya kepada Rafael.
Rafael menerimanya dengan senang hati. Dia tak melunturkan seringai misterius walau sedang melahap coklat almond tersebut. “Eh, Kai. Hari ini, tepat 3 tahun lo masuk RSJ, kan? Tidak rindu apa dengan dunia luar?” tanyanya memulai percakapan. Niat hati, Rafael bertanya karena murni penasaran. Tetapi dia sedikit heran kala melihat kerutan di dahi Kaisar setelah mendengar pertanyaannya.
Walaupun berteman dekat dan saling membantu, Kaisar tetap bersikap dingin dan irit berbicara kepada Rafael. Pada dasarnya sifat yang dia miliki adalah itu sehingga sulit dihilangkan.
“Kai, lo kenapa?” Saat tangan Rafael terangkat dengan ragu tuk menyentuh bahu rapuh Kaisar, yang dia dapatkan ialah tepisan kuat disusul tatapan setajam pedang.
Tanpa banyak suara, Kaisar pergi meninggalkan Rafael dengan langkah lebar. Tujuannya kini hanya satu, yaitu mencari tempat tenang. Pilihannya jatuh pada taman samping ruangan.
Kaisar menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam erat kala di dalam otaknya kini memutar sebuah rekaman kejadian yang menghantuinya 3 tahun belakangan ini.
‘Kamu yang membuatku seperti ini! Kamu harus bertanggung jawab!’
Sebuah suara berteriak amat kuat di kepala Kaisar, membuat coklat di genggamannya terjatuh dan lantas memegangi kepalanya sendiri yang berdenyut nyeri.
‘Kamu pembunuh! Kau iblis berwajah manusia! Kamu tidak pantas hidup!’
Bulir-bulir keringat menetes deras dari kening Kaisar hingga membasahi pakaian bagian depannya. Suara bisikan itu kian jelas, seolah-olah ada seseorang yang membisikkan tepat di kedua telinga Kaisar.
‘Mati saja kamu! Mati!’
“Tidak!” Dengan napas memburu dan terengah-engah, Kaisar membuka kedua matanya sambil berteriak kuat. Berusaha menolak ucapan seseorang tanpa wujud itu.
Namun, ketika membuka kedua mata hingga menampilkan iris hitam pekat, bola matanya menangkap seseorang tergeletak di atas meja gazebo yang berbahan dasar semen tersebut dalam keadaan bersimbah darah. Seluruh permukaan wajah dan kulit tubuhnya memiliki luka goresan parah hingga memperlihatkan lapisan kulit yang terkoyak.
Mata yang mengeluarkan darah itu membalas tatapan takut Kaisar. Tangannya terulur ke depan dan mendesis, ‘Kamu pembunuh! Kamu tak pantas hidup! Kamu harus mati!’
Otak Kaisar kosong. Dia tak mengingat apapun yang dipelajari dalam terapi saat mengatasi ketika kambuh seperti ini. Membuat kedua kakinya bagaikan batang pohon dengan akar kuat sehingga tak bisa bergerak.
Tawa membahana menguar dari mulut wanita mengerikan itu. Begitu memekakkan telinga sehingga membuat Kaisar menutup kedua telinganya erat-erat.
‘Kamu takut? Ayo, ambil daun ranting itu dan tusuk lah pergelangan tanganmu. Rasa takut akan digantikan dengan candu~’ Sebuah suara berusaha merayu Kaisar dengan nada yang lembut dan mendayu-dayu.
Bagaikan terhipnotis akan ucapan itu, Kaisar perlahan-lahan membuka matanya yang kini menyiratkan kekosongan. Tatapannya lurus kepada wanita yang kini begitu bahagia dalam keadaan normal. Darah dan luka-luka berada di tubuhnya telah hilang. Membuat wajah seperti gadis berusia 18 tahun terlihat di pandangan Kaisar.
‘Kamu tersiksa bukan? Aku dapat menjamin jika kamu menusuk lenganmu, hanya ada kenikmatan saja. Percayalah wahai Kaisar ....’
Bagaikan pecandu nikotin, Kaisar terlihat berantakan dengan wajah sayu, dia mengambil ranting pohon yang terlihat tajam. Menggenggamnya erat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
‘Ayo, Kaisar~’
Tangannya diayunkan tepat di atas lengannya yang telah siap, bersamaan dengan terbitnya seringai lebar dan begitu sinis di kedua sudut bibir Kaisar.
‘Tusuk! Tusuk!’
Sesaat ranting runcing tersebut sedikit lagi menikam permukaan lengannya, sebuah tangan berkulit putih dan bersih menjulur dari belakang hingga benda tajam tersebut menembus lapisan kulitnya cukup dalam. Membuat darah memercik begitu banyak hingga mengenai seluruh wajah dan pakaian Kaisar.
“Arghh!!”
Ringisan seorang wanita dan bau besi berkarat menguar di indera tubuh Kaisar berhasil menarik kesadaran pria itu.
Dengan wajah terperangah tubuh Kaisar tersentak menjauh. Kepalanya langsung menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya dia saat melihat darah menetes deras dari lengan seseorang yang selalu berusaha menarik perhatiannya.
Yakni adalah Bella. “Kaisar, tidak apa-apa!"
‘Hahahaha, seharusnya kamu menusuk tepat di jantung Dokter Bella! Menyenangkan bukan menghirup aroma kenikmatan dari cairan merah pekat itu? Ayo lakukan lagi!’“Pergi!!” Kaisar berteriak kuat sembari menatap ke segala arah. Saat ini, wanita itu sudah tidak ada di pandangan matanya. Tetapi suara tanpa wujud masih memenuhi pemikiran Kaisar.Teriakan membahana Kaisar mengundang beberapa orang mendekat. Adrian, Rio, dan Rafael yang kebetulan akan keluar menuju dapur. Mereka bergegas menghampiri gazebo.“Dokter Bella!” Adrian mendekati Bella, matanya membeliak melihat kondisi mengenaskan teman sekaligus rekan kerjanya ini. Dia pun segera membalut luka Bella menggunakan sapu tangan miliknya agar pendarahan tidak semakin parah.“Kai, lo kambuh?!” Dengan panik, Rafael melayangkan pertanyaan. Selama 1 tahun di sini tetapi dia belum terbiasa menyaksikan pasien tengah kambuh. Apalagi, Kaisar. Yang jarang sekali seperti ini.Dengan gerakan waspada, Rio mendekat ke arah Kaisar. Lantas, dia pun ber
“Kamu mirip zombie daripada dokter, Bella.” Kalimat tersebut dilontarkan Bella pada dirinya sendiri saat dia melihat rupa wajah pada cermin yang terletak di ruang perawat.Dengan kantung mata hitam menyerupai panda, Bella memasuki ruang kerjanya. Tubuhnya begitu lelah setelah menjaga sang ibu yang pingsan karena dehidrasi di rumah sakit sejak kemarin sore hingga pagi ini. Jika saja, hari ini dia tidak ada shift pagi, Bella ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tidak bertenaga. Belum lagi, luka di tangan Bella saat ini berdenyut nyeri secara berkala.Tok! Tok!Belum sempat Bella memberikan reaksi, pintu ruangannya telah terbuka kecil.“Dok, ayo handover,” kata Adrian sembari menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan Bella.Setelah menganggukkan kepala lalu meletakkan semua barang-barangnya ke atas meja, Bella mengikuti langkah Adrian menuju ruang perawat tanpa banyak bicara. Tenaganya sudah habis.Di sana, telah lengkap. Sebelum memulai hari, para tenaga medis di ruangan akan
“Kai ... saya tidak pernah tahu apa yang kamu alami di masa lalu, dulu. Tetapi, jangan jadikan hal itu sebagai beban di pundakmu sendiri.” Tangan Bella tak henti-hentinya mengusap pundak Kaisar yang kini menundukkan kepala dalam-dalam. ‘Kaisar lagi down, makanya dia mengarang seperti itu,’ batin Bella menyahut dengan tidak percaya atas kalimat Kaisar baru saja, yang menyatakan kata mengejutkan. Kaisar berusaha tidak menatap Bella yang terus memandang dia. Dirinya pun tak bisa berkata-kata lagi melihat reaksi biasa saja tersebut. Jika Kaisar sedang berusaha memecahkan respon Bella, maka, gadis itu berusaha keras menenangkan debaran jantung yang kian terpacu kuat. Hingga pada akhirnya, Bella berdehem keras sembari menepuk bahu Kaisar beberapa kali dengan lembut. Dia pun berkata, “Sudah, masalah yang telah terjadi tidak perlu dipikirkan kembali, hm? Ayo, teman-teman yang lain tengah kegiatan di ruang terbuka. Mari kita susul ke sana.” Ketika Bella sudah berdiri dan ingin menarik
"Selamat pagi, Semesta. Aku berharap hari ini Kaisar menjadi lebih baik daripada kemarin ...." Suara penuh harap keluar dari bibir Bella ketika matanya menatap matahari yang telah berada di singgasananya. Kakinya melangkah dengan riang dan juga cepat, tak sabar sekali rasanya ingin bertemu Kaisar. Apalagi, mengingat pria itu sudah sedikit lebih terbuka dengannya. Walau hanya sedikit. "Pagi, Dokter Bella. Senyumannya cerah sekali, matahari nanti iri, Dok." Baru saja memasuki ruangan, godaan yang menurut Bella sedikit mengejek terlontar dari Adrian. Bella hanya terkekeh sambil mendekati meja perawat yang sudah ramai. Masalahnya, saat ini sudah pukul 08.30 WIB, bahkan lagu dangdut untuk senam setiap pagi sudah hampir selesai. Kepala Bella menoleh ke kiri dengan mata berkeliaran mencari sosok Kaisar, tapi tak ditemukan. Membuatnya tersenyum kecut dan duduk di kursi kosong. "Sudah Operan?" tanyanya basa-basi. Pasalnya, dia tak melihat perawat shift malam di sana. Kini bergantian Rio
"Kai, rambutmu sudah panjang, saya potong, ya." Sontak, gerakan tangan Kaisar, si pemilik rambut tersebut berhenti saat mendengar penawaran yang ingin sekali dirinya tolak. Namun, Bella tidak memberikan sebuah penawaran, melainkan pernyataan yang harus dipenuhi detik itu juga. "Yuk!" Dalam sekali gerakan, tangan Bella menarik Kaisar untuk berdiri sehingga tomat-tomat di genggamannya berhamburan di tanah. Sebelum pergi, pandangan Bella beralih kepada beberapa teman sekamar Kaisar yang berada di sekitar mereka lalu dia berkata, "Pak, kalau mau dipotong rambutnya, ke lapangan saja ya!" Kemudian, tak menunggu lama, Bella membawa Kaisar menuju lapangan indoor. Lama kelamaan, tangannya yang menarik itu menyelip ke jari-jari tangan Kaisar hingga menggenggamnya ringan. Selang beberapa detik, Bella menunggu beberapa saat untuk menunggu reaksi penolakan. Tapi, dia tidak mendapatkan itu dari Kaisar membuatnya berasumsi jika pria ini nyaman dengan perlakuannya. Sesampainya di lapangan dan me
"Kaisar?!" Bella tak mampu menahan pekikan ketika melihat sosok yang mengeluarkan suara tinggi hingga pasien di depannya menjauh ketakutan. Kaisar yang kini menarik lengan Bella agar mundur beberapa langkah. "Kai, tidak apa-apa. Tenang, dia tidak menyakiti saya." Dengan sigap, Bella mengusap otot bisep Kaisar yang langsung bersentuhan dengan kulit tangannya dikarenakan pemuda itu memakai lengan pendek. "Tenang ya, sudah, gak papa." Sorot mata tajam Kaisar masih memandang pasien di depan Bella, sampai dia melihat sebuah telapak tangan kecil yang menutupi indera penglihatannya dan menarik Kaisar dalam kesadaran. "Kaisar, ini teman baru. Namanya Mas Sam, mau kenalan gak?" Kaisar menolehkan kepalanya, memandang Bella dan dalam beberapa detik langsung memalingkan wajah. "Mas Sam malu kalau duluan nyapa, Kaisar mau kan ngobrol duluan dan ngajak Mas Sam ke mana-mana?" Bella kembali bersuara. Matanya melirik ke arah Samuel yang beringsut menjauhi mereka karena ketakutan oleh tindakan Ka
“Dokter Bella! Pak Andri mengamuk kembali! Saya dan Rio sudah mengisolasinya di kamar B sebab beliau mencelakai salah satu teman sekamarnya!”Merasa namanya dipanggil, Arabella Jennie Manuel, atau kerap disapa Bella pun menoleh. Tahun ini, Bella baru saja selesai menjalani Pendidikan Program Dokter Spesialis di RS Jiwa Provinsi dan resmi bergabung sebagai dokter spesialis Jiwa dan Psikiater di ruang Merpati. Kamar rawat inap bagi pasien yang telah tak mengalami gejala gangguan jiwa dan bersiap akan pulang ke rumah. Atau, istilahnya yaitu pasien sudah normal.Kepala cantiknya menoleh sambil memberikan senyuman tipis, mengapresiasi kinerja rekan perawatnya yang juga merupakan kenalan Bella. Lantas, suara indahnya pun terdengar ketika menjawab, “Ada apa? Mengapa dia mengamuk? Apakah halusinasinya kembali ketika senam barusan?”Perawat ruangan Merpati sekaligus teman SMA Bella yakni Adrian pun duduk di hadapan Bella. Saat ini, mereka berada di ruang perawat yang terletak di tengah-tengah
“Halo, Dok? Mengapa bengong?” Sentuhan di bahu Bella membuatnya kembali pada kenyataan. “Dokter Bella menangis?” Sahutan kembali terdengar, tetapi bukan berasal dari suara yang sama. Kini, terselip kepanikan pada nada bicaranya. Kepala Bella dipalingkan berlawanan arah. Tangannya terangkat tuk mengusap kedua pipinya ternyata telah basah. Sebuah senyuman yang amat dipaksakan tersemat ketika dirinya memutuskan tuk menatap lawan bicara. “Sudah selesai terapinya?” Sebuah pertanyaan dilayangkan tuk mengalihkan suasana. Namun, tak dapat Bella sembunyikan sebuah pancaran hangat dan mimik wajah bahagia ketika memandang pasien di hadapannya yang tengah membawa sebuah sarung. “Hari ini terapinya gimana Kaisar? Lancar?” tanyanya pada salah satu pasien. Sayangnya, bukan hanya Bella yang memiliki perasaan berbunga itu. Hampir seluruh perawat lajang di ruangan Merpati ini bersikap sedikit lembut ketika berhadapan dengan pasien bernama Kaisar Magenta. Pasien dengan gangguan jiwa halusinasi pend
"Kaisar?!" Bella tak mampu menahan pekikan ketika melihat sosok yang mengeluarkan suara tinggi hingga pasien di depannya menjauh ketakutan. Kaisar yang kini menarik lengan Bella agar mundur beberapa langkah. "Kai, tidak apa-apa. Tenang, dia tidak menyakiti saya." Dengan sigap, Bella mengusap otot bisep Kaisar yang langsung bersentuhan dengan kulit tangannya dikarenakan pemuda itu memakai lengan pendek. "Tenang ya, sudah, gak papa." Sorot mata tajam Kaisar masih memandang pasien di depan Bella, sampai dia melihat sebuah telapak tangan kecil yang menutupi indera penglihatannya dan menarik Kaisar dalam kesadaran. "Kaisar, ini teman baru. Namanya Mas Sam, mau kenalan gak?" Kaisar menolehkan kepalanya, memandang Bella dan dalam beberapa detik langsung memalingkan wajah. "Mas Sam malu kalau duluan nyapa, Kaisar mau kan ngobrol duluan dan ngajak Mas Sam ke mana-mana?" Bella kembali bersuara. Matanya melirik ke arah Samuel yang beringsut menjauhi mereka karena ketakutan oleh tindakan Ka
"Kai, rambutmu sudah panjang, saya potong, ya." Sontak, gerakan tangan Kaisar, si pemilik rambut tersebut berhenti saat mendengar penawaran yang ingin sekali dirinya tolak. Namun, Bella tidak memberikan sebuah penawaran, melainkan pernyataan yang harus dipenuhi detik itu juga. "Yuk!" Dalam sekali gerakan, tangan Bella menarik Kaisar untuk berdiri sehingga tomat-tomat di genggamannya berhamburan di tanah. Sebelum pergi, pandangan Bella beralih kepada beberapa teman sekamar Kaisar yang berada di sekitar mereka lalu dia berkata, "Pak, kalau mau dipotong rambutnya, ke lapangan saja ya!" Kemudian, tak menunggu lama, Bella membawa Kaisar menuju lapangan indoor. Lama kelamaan, tangannya yang menarik itu menyelip ke jari-jari tangan Kaisar hingga menggenggamnya ringan. Selang beberapa detik, Bella menunggu beberapa saat untuk menunggu reaksi penolakan. Tapi, dia tidak mendapatkan itu dari Kaisar membuatnya berasumsi jika pria ini nyaman dengan perlakuannya. Sesampainya di lapangan dan me
"Selamat pagi, Semesta. Aku berharap hari ini Kaisar menjadi lebih baik daripada kemarin ...." Suara penuh harap keluar dari bibir Bella ketika matanya menatap matahari yang telah berada di singgasananya. Kakinya melangkah dengan riang dan juga cepat, tak sabar sekali rasanya ingin bertemu Kaisar. Apalagi, mengingat pria itu sudah sedikit lebih terbuka dengannya. Walau hanya sedikit. "Pagi, Dokter Bella. Senyumannya cerah sekali, matahari nanti iri, Dok." Baru saja memasuki ruangan, godaan yang menurut Bella sedikit mengejek terlontar dari Adrian. Bella hanya terkekeh sambil mendekati meja perawat yang sudah ramai. Masalahnya, saat ini sudah pukul 08.30 WIB, bahkan lagu dangdut untuk senam setiap pagi sudah hampir selesai. Kepala Bella menoleh ke kiri dengan mata berkeliaran mencari sosok Kaisar, tapi tak ditemukan. Membuatnya tersenyum kecut dan duduk di kursi kosong. "Sudah Operan?" tanyanya basa-basi. Pasalnya, dia tak melihat perawat shift malam di sana. Kini bergantian Rio
“Kai ... saya tidak pernah tahu apa yang kamu alami di masa lalu, dulu. Tetapi, jangan jadikan hal itu sebagai beban di pundakmu sendiri.” Tangan Bella tak henti-hentinya mengusap pundak Kaisar yang kini menundukkan kepala dalam-dalam. ‘Kaisar lagi down, makanya dia mengarang seperti itu,’ batin Bella menyahut dengan tidak percaya atas kalimat Kaisar baru saja, yang menyatakan kata mengejutkan. Kaisar berusaha tidak menatap Bella yang terus memandang dia. Dirinya pun tak bisa berkata-kata lagi melihat reaksi biasa saja tersebut. Jika Kaisar sedang berusaha memecahkan respon Bella, maka, gadis itu berusaha keras menenangkan debaran jantung yang kian terpacu kuat. Hingga pada akhirnya, Bella berdehem keras sembari menepuk bahu Kaisar beberapa kali dengan lembut. Dia pun berkata, “Sudah, masalah yang telah terjadi tidak perlu dipikirkan kembali, hm? Ayo, teman-teman yang lain tengah kegiatan di ruang terbuka. Mari kita susul ke sana.” Ketika Bella sudah berdiri dan ingin menarik
“Kamu mirip zombie daripada dokter, Bella.” Kalimat tersebut dilontarkan Bella pada dirinya sendiri saat dia melihat rupa wajah pada cermin yang terletak di ruang perawat.Dengan kantung mata hitam menyerupai panda, Bella memasuki ruang kerjanya. Tubuhnya begitu lelah setelah menjaga sang ibu yang pingsan karena dehidrasi di rumah sakit sejak kemarin sore hingga pagi ini. Jika saja, hari ini dia tidak ada shift pagi, Bella ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tidak bertenaga. Belum lagi, luka di tangan Bella saat ini berdenyut nyeri secara berkala.Tok! Tok!Belum sempat Bella memberikan reaksi, pintu ruangannya telah terbuka kecil.“Dok, ayo handover,” kata Adrian sembari menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan Bella.Setelah menganggukkan kepala lalu meletakkan semua barang-barangnya ke atas meja, Bella mengikuti langkah Adrian menuju ruang perawat tanpa banyak bicara. Tenaganya sudah habis.Di sana, telah lengkap. Sebelum memulai hari, para tenaga medis di ruangan akan
‘Hahahaha, seharusnya kamu menusuk tepat di jantung Dokter Bella! Menyenangkan bukan menghirup aroma kenikmatan dari cairan merah pekat itu? Ayo lakukan lagi!’“Pergi!!” Kaisar berteriak kuat sembari menatap ke segala arah. Saat ini, wanita itu sudah tidak ada di pandangan matanya. Tetapi suara tanpa wujud masih memenuhi pemikiran Kaisar.Teriakan membahana Kaisar mengundang beberapa orang mendekat. Adrian, Rio, dan Rafael yang kebetulan akan keluar menuju dapur. Mereka bergegas menghampiri gazebo.“Dokter Bella!” Adrian mendekati Bella, matanya membeliak melihat kondisi mengenaskan teman sekaligus rekan kerjanya ini. Dia pun segera membalut luka Bella menggunakan sapu tangan miliknya agar pendarahan tidak semakin parah.“Kai, lo kambuh?!” Dengan panik, Rafael melayangkan pertanyaan. Selama 1 tahun di sini tetapi dia belum terbiasa menyaksikan pasien tengah kambuh. Apalagi, Kaisar. Yang jarang sekali seperti ini.Dengan gerakan waspada, Rio mendekat ke arah Kaisar. Lantas, dia pun ber
“Huft, bagaimana caranya menarik perhatian Kaisar?”Sembari menopang pipi dengan telapak tangan, Bella bergumam bingung. Otaknya bekerja lebih keras daripada saat dia ujian OSCE dulu. Menaklukkan sifat Kaisar lebih sulit dibandingkan dengan mata kuliah kedokteran.Getaran pada ponsel Bella mengalihkan perhatian sang pemiliknya yang kini segera mengambil barang elektronik tersebut. Senyuman sendu terbit di kedua sudut bibirnya kala melihat isi pesan di sana.[Mama]‘Mbak, jangan lupa pulang ya. Nanti sore ada acara doa anak-anak panti untuk memperingati hari kepergian adikmu.’Jari jempolnya bergegas mengetikkan balasan. Tetapi, ketika ingin mengirim pesan tersebut, seseorang duduk di hadapannya. Yang mana, saat ini Bella tengah berada di taman samping ruangan.Kehadiran seseorang membuat Bella mendongak. Matanya membeliak saat wajah tampan yang kini menyiratkan ketakutan tengah mencuri pandangan ke arahnya. “Kai?!” serunya tak menyangka. Hingga, dirinya melupakan balasan kepada sang i
“Halo, Dok? Mengapa bengong?” Sentuhan di bahu Bella membuatnya kembali pada kenyataan. “Dokter Bella menangis?” Sahutan kembali terdengar, tetapi bukan berasal dari suara yang sama. Kini, terselip kepanikan pada nada bicaranya. Kepala Bella dipalingkan berlawanan arah. Tangannya terangkat tuk mengusap kedua pipinya ternyata telah basah. Sebuah senyuman yang amat dipaksakan tersemat ketika dirinya memutuskan tuk menatap lawan bicara. “Sudah selesai terapinya?” Sebuah pertanyaan dilayangkan tuk mengalihkan suasana. Namun, tak dapat Bella sembunyikan sebuah pancaran hangat dan mimik wajah bahagia ketika memandang pasien di hadapannya yang tengah membawa sebuah sarung. “Hari ini terapinya gimana Kaisar? Lancar?” tanyanya pada salah satu pasien. Sayangnya, bukan hanya Bella yang memiliki perasaan berbunga itu. Hampir seluruh perawat lajang di ruangan Merpati ini bersikap sedikit lembut ketika berhadapan dengan pasien bernama Kaisar Magenta. Pasien dengan gangguan jiwa halusinasi pend
“Dokter Bella! Pak Andri mengamuk kembali! Saya dan Rio sudah mengisolasinya di kamar B sebab beliau mencelakai salah satu teman sekamarnya!”Merasa namanya dipanggil, Arabella Jennie Manuel, atau kerap disapa Bella pun menoleh. Tahun ini, Bella baru saja selesai menjalani Pendidikan Program Dokter Spesialis di RS Jiwa Provinsi dan resmi bergabung sebagai dokter spesialis Jiwa dan Psikiater di ruang Merpati. Kamar rawat inap bagi pasien yang telah tak mengalami gejala gangguan jiwa dan bersiap akan pulang ke rumah. Atau, istilahnya yaitu pasien sudah normal.Kepala cantiknya menoleh sambil memberikan senyuman tipis, mengapresiasi kinerja rekan perawatnya yang juga merupakan kenalan Bella. Lantas, suara indahnya pun terdengar ketika menjawab, “Ada apa? Mengapa dia mengamuk? Apakah halusinasinya kembali ketika senam barusan?”Perawat ruangan Merpati sekaligus teman SMA Bella yakni Adrian pun duduk di hadapan Bella. Saat ini, mereka berada di ruang perawat yang terletak di tengah-tengah