Bel tanda masuk berbunyi.Arnold masuk ke dalam kelas dan mulai berbicara, "Hari ini kita akan membahas evolusi molekuler dan filogeni sistematik ...."Saat istirahat sepuluh menit, Mikha tergeletak di meja dengan lesu. Darius yang sudah menahan diri sejak tadi akhirnya tidak tahan lagi. "Kamu ini benar-benar nggak beres beberapa hari ini!"Mikha kebingungan. Ngomong ke aku?"Iya, kamu!"Alih-alih tersinggung, Mikha malah mengangguk setuju. "Aku juga merasa begitu!"Darius terdiam sejenak."Lihat, aku sampai kurusan gara-gara lapar! Seumur hidup, aku nggak pernah sesengsara ini .... Diet itu sulit banget. Jadi, aku memutuskan ....""Nggak mau diet lagi! Mati sekalipun nggak mau diet lagi!"Darius terdiam. Padahal tadi dia bukan bilang begitu."Nanti setelah kelas selesai, aku traktir kalian makan, gimana?" Belum sempat Darius maupun Nadine merespons, Mikha sudah mengambil keputusan sendiri. "Oke, kita sepakat!"Darius dan Nadine terkejut."Jadi kita makan steik atau hotpot? Gimana kala
Nadine mencengkeram erat leher Arnold, sementara kedua kakinya terangkat dan membelit tubuh pria itu. Saat ini, Nadine benar-benar seperti seekor koala yang menempel di batang pohon.Dan Arnold adalah pohon itu."Maaf, maaf! Aku nggak sengaja! Tadi anjing itu tiba-tiba muncul, aku kaget banget ...." Nadine buru-buru meminta maaf sambil mencoba bergerak turun.Namun ....Tangan besar Arnold masih melingkar di pinggangnya dan mencengkeramnya erat. Meski ada lapisan jaket tebal di antara mereka, Nadine tetap bisa merasakan panas yang menjalar dari genggaman itu.Wajahnya langsung memerah, rona itu menyebar cepat ke seluruh pipinya, lalu ke telinganya."Pa ... Pak Arnold ...."Nadine mencoba mendorong dirinya turun sedikit, tetapi pria itu tetap tidak bergerak. Tangan Arnold seperti kunci baja yang mengamankan posisinya, tidak memberi celah sedikit pun.Lalu, terdengar suaranya yang rendah dan serak, "Kamu takut?"Tidak jelas apakah dia bertanya tentang anjing itu atau tentang dirinya send
Suhu air dari gelas meresap ke telapak tangannya, tapi Nadine merasa tidak sehangat genggaman di pinggangnya tadi.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu."Siapa?" Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya.Arnold berdiri di luar. "Sepatumu."Nadine tertegun. Dia tidak menyangka pria itu benar-benar mencari dan mengambil kembali sepatunya yang tadi dibawa kabur oleh anjing."Terima kasih, Pak Arnold.""Sama-sama."....Sore harinya, Nadine tidur sebentar. Setelah bangun pukul dua, dia lalu pergi ke laboratorium. Saat dia tiba, Darius sudah ada di sana, tapi tidak melihat Mikha.Darius menjelaskan, "Oh, dia pergi beli minuman."Belum selesai bicara, Mikha sudah kembali dengan kantong berisi bubble tea. Tentu saja, ada juga untuk Nadine.Di laboratorium ini, mereka memang sudah membuat sudut kecil di pojok ruangan yang jauh dari meja eksperimen. Tempat itu khusus untuk menyimpan makanan, minuman, dan camilan mereka.Yang membuat Nadine terkejut adalah ketika Darius menerima bubble tea yan
Mereka bertemu di restoran kecil di depan gerbang Universitas Brata. Saat Nadine dan Arnold tiba, Stendy sudah lebih dulu di sana."Nadine datang ...," katanya sambil tersenyum. Tatapannya tertuju penuh pada Nadine, seolah Arnold hanyalah udara."Maaf membuatmu menunggu, Pak Stendy," jawab Nadine sopan.Mendengar panggilan itu, senyum Arnold sedikit terangkat. Setelah itulah, Stendy baru tampak menyadari keberadaannya."Pak Arnold, kita ketemu lagi."Arnold tetap tersenyum ramah. "Iya, sepertinya kita memang sering ketemu, Pak Stendy.""Silakan duduk."Stendy lalu menarik kursi di sampingnya untuk Arnold, sementara kursi di sisi lainnya dia buka untuk Nadine. Kalau mereka duduk sesuai susunan ini, maka posisinya akan menjadi: Arnold - Stendy - NadineNamun ...."Tempat itu menghadap langsung ke pintu masuk. Orang-orang terus berlalu lalang dan buka-tutup pintu, anginnya kencang. Nadine, sebaiknya kamu duduk di sini saja."Arnold menarik kursi di sebelahnya. Nadine berpikir sejenak, men
Stendy mulai membahas topik utama. "Minggu ini, kami fokus di pembangunan struktur utama dan saat ini prosesnya sudah mencapai tahap ...."Begitu membahas pembicaraan serius, Nadine langsung mendengarkan dengan saksama, bahkan mengunyah makanannya lebih lambat.Saat itu, piring ayam goreng berputar ke arah Arnold. Dia mengambil sendok dan hendak meletakkan beberapa potong ayam ke piring Nadine.Namun, di saat yang sama, Stendy juga menyodorkan sepotong ikan ke arahnya. Gerakan keduanya berhenti bersamaan. Mereka saling menatap.Udara di sekitar mereka terasa membeku.Stendy tersenyum tipis. "Pak Arnold memang sangat perhatian."Arnold tetap tenang. "Nggak sebanding sama pengamatan Pak Stendy yang tajam."Nadine menatap makanan di depannya. "Terima kasih, berikan saja padaku semua."Setelah itu, Arnold dan Stendy baru menarik kembali pandangan mereka satu sama lain. Stendy berdeham, "Ikan ini tinggi protein, makan lebih banyak."Arnold menambahkan, "Ayam ini nggak pedas, kamu pasti suka
Sebelum Reagan sempat berbicara, Jinny sudah tersenyum dan menjawab lebih dulu."Aku yang pilih tempat ini. Lokasinya dekat sama kampus, jadi cukup berjalan kaki tanpa perlu repot naik mobil atau reservasi segala macam. Simpel dan praktis, terus makanannya juga lumayan enak."Stendy mengangguk santai, tidak jelas apakah dia benar-benar percaya atau hanya sekadar menanggapi. "Wah, Pak Reagan beruntung sekali." Selalu dikelilingi orang yang begitu "perhatian".Jinny tetap tersenyum, tatapannya menyapu meja mereka sebelum berkata, "Oh, Pak Arnold juga di sini? Wah, semuanya kenalan ya. Gimana kalau makan sama-sama?"Setelah mengajukan idenya dengan antusias, dia menoleh ke Reagan. "Gimana menurutmu?"Reagan tetap tenang. "Aku sih terserah. Kalau kamu oke, aku juga nggak masalah.""Eh ...." Aditya tiba-tiba berkata, "Maaf ya, tapi kita sudah selesai makan."Jinny terdiam sejenak. "Hah?""Kalian mau duduk sini ya? Kebetulan sekali, nih duduk." Tanpa ragu, dia langsung berdiri, mengambil jak
Mikha memasang ekspresi "sudah kuduga ini akan terjadi" sambil melirik ke segala arah.Ketika menoleh, dia mendapati Darius sedang menatapnya. Mikha menelan ludah. "Kenapa ... kenapa kamu lihat aku begitu?"Dengan suara rendah, Darius berkata, "Yang diminta akun Instagram-nya itu Nadine, bukan kamu. Jadi, kenapa kamu yang tegang?""Aku cuma kasihan sama Nadine. Sudah berkali-kali diganggu begini, pasti capek .... Ngomong-ngomong, Darius, kamu benaran nggak tertarik sama Nadine? Dia cantik, pintar, dan punya akademik luar biasa. Masa nggak ada sedikit pun perasaan tertarik?"Tatapan Darius langsung berubah jadi malas menanggapi. "Ngaco saja.""Jadi benaran nggak tertarik?""Nggak.""Hmm, itu berarti ada yang salah sama matamu."Darius menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba tertawa kecil. "Aku juga merasa mataku bermasalah."Mikha kebingungan.Di sisi lain, Nadine menatap mahasiswa yang berdiri di depannya dan berkata santai, "Maaf, aku bukan mahasiswa di kampus ini.""Nggak masalah,
Dosen pembimbing menghela napas, lalu bertanya, "Jadi, kamu kasih kontakmu ke mereka?"Nadine menggeleng. "Nggak.""Ke salah satu dari mereka?""Nggak juga."Baiklah!Sekarang semuanya jelas .... Gadisnya bahkan tidak tertarik, tapi dua pria itu justru berkelahi sendiri.Dosen itu menggeleng pelan. Ini bukan salah Nadine. Yang salah ya ... mahasiswa kampusnya sendiri yang bertindak bodoh."Baiklah, kalau begitu kamu boleh pergi," katanya dengan tenang.Sejak kejadian itu, Nadine memutuskan untuk tidak makan siang di kantin lagi. Dia memilih pesan makanan lewat aplikasi atau meminta Mikha membungkuskan makanannya.Akhirnya, kehidupannya kembali damai.Namun, bagi mahasiswa Universitas Bisnis dan Teknologi, insiden itu masih menjadi topik gosip yang terus diperbincangkan.Akan tetapi, bagi Nadine, semua itu tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia hanya fokus di laboratorium, melakukan eksperimen, mengolah data, dan menulis makalah. Selain itu, baik itu gossip yang baik ataupun buruk di
Baru makan dua suapan, Nadine tanpa sengaja mengangkat kepala dan langsung melihat seorang pria berdiri di depan gedung apartemennya.Arnold memang punya kebiasaan joging malam. Bahkan di cuaca sedingin ini, Nadine masih sering melihatnya keluar berolahraga. Namun malam ini ... dia tidak memakai pakaian olahraga?Arnold mengenakan mantel panjang yang rapi. Wajahnya tampak agak serius. Nadine merasa ... Arnold sepertinya sengaja menunggunya di sini?"Pak Arnold," sapa Nadine sambil tersenyum dan melangkah mendekat.Arnold membalas dengan senyum tipis. Namun, ketika melihat buket mawar biru yang digendong Nadine, sorot matanya seketika berubah. Dia terdiam sejenak."Baru pulang dari jalan-jalan?""Kalau dibilang jalan-jalan, nggak juga. Tadi aku ambil mobil di showroom, terus nonton konser piano."Arnold melirik lagi ke arah bunga di pelukannya. "Bunganya ... cukup unik."Mata Nadine langsung berbinar. "Pak Arnold, coba lihaat. Apa kamu melihat ada yang Istimewa?"Sambil berbicara, Nadin
Kota Linong?Stendy sempat tertegun, tapi tidak terlalu memikirkannya.Dari sudut matanya, dia melirik Nadine sekilas, lalu buru-buru berkata ke seberang telepon, "Kakek, sekarang aku lagi ada urusan yang sangat penting. Begitu selesai, aku akan langsung pulang. Kalian jaga emosi kalian dulu. Dokter sudah bilang, jangan sampai terlalu sedih atau terlalu senang.""Kalau begitu lanjutkan dulu urusanmu, nggak usah buru-buru. Lagi pula, orangnya sudah ditemukan dan kamu juga kenal dengannya."Stendy mengerutkan kening. "Aku kenal?""Iya. Adik ibumu sekarang namanya Irene. Dia itu penulis buku 'Seven Days'! Waktu di Toko Buku Gramilia itu lho, dia lagi ada acara tanda tangan buku di lantai atas, sedangkan kami ada di lantai bawah.""Salahku juga, waktu itu nenekmu ingin naik ke atas melihat-lihat, tapi aku nggak setuju. Jadi kami cuma berpapasan begitu saja ....""Soal Nadine ... pantas saja nenekmu langsung merasa akrab saat pertama kali melihat gadis itu. Ternyata memang ada hubungan dara
Nadine menoleh dan langsung bertemu dengan tatapan Stendy yang dalam dan penuh perasaan. Jantung Nadine seketika berdegup lebih kencang dan tanpa sadar, dia ingin menghindar.Malam ketika sesuatu terjadi pada Nadine, Stendy mengantarnya pulang dan melihat dirinya berjalan berdampingan dengan Arnold menaiki tangga. Saat itulah, Stendy merasa tidak bisa lagi menahan diri.Stendy tahu dirinya bukan orang yang sabar.Namun demi Nadine, dia sudah menunggu selama enam tahun. Enam tahun untuk melihatnya berpisah dari Reagan, lalu satu tahun tambahan hanya untuk membuat hubungan mereka bertahan di titik "teman biasa".Akan tetapi dia tahu, hubungan itu tidak bisa selamanya berhenti di situ.Malam itu, Stendy menyadari bahwa jika terus menunggu, semuanya hanya akan berakhir seperti dulu. Jadi, kenapa tidak ... pertaruhkan semuanya kali ini?Demi hari ini, demi pengakuan yang ingin dia sampaikan, Stendy telah mempersiapkan diri sejak lama. Dia tidak mau lagi menjadi sosok yang hanya menunggu dal
"Benar. Memang nggak ada mawar biru alami di alam liar, jadi bunga ini baru melambangkan harapan yang nggak bisa terwujud atau misi yang nggak terselesaikan. Tapi, coba kamu lihat bunga di tanganmu itu dengan teliti," kata Stendy sambil menatap Nadine."Hah? Ini alami? Bukan pakai pewarna?" tanya Nadine yang terkejut, lalu menatap Stendy untuk mencari jawaban dari ekspresi Stendy. Saat melihat Stendy tersenyum, dia langsung tahu dugaannya memang benar.Nadine kembali bertanya dengan kaget, "Bagaimana kamu bisa mendapatkannya?""Belakangan ini ada artikel di jurnal biologi sintetis tentang kloning dan Ekspresi Nonribosomal Peptida Sintetis untuk memproduksi mawar biru. Penulis utamanya adalah seorang doktoral internasional dari Fakultas Farmasi Universitas Tobas, Ankanahari Nangawa. Langkah awalnya buat plasmid ganda yang berisi dua gen bakteri untuk sintetis indigo dan masukkan plasmidnya ke dalam agrobakterium, lalu ...."Stendy tertegun sejenak setelah mengatakan itu, seolah-olah sed
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga