Plak!Sorot mata Nadine sangat dingin. Tamparan ini membuat suasana hening seketika.Bahkan Clarine sendiri juga tercengang. "Kamu ... kamu mukul aku? Berani-beraninya kamu nampar aku?!"Nadine menghardik, "Kenapa nggak berani? Kamu yang duluan ngomong nggak sopan, aku cuma menjaga harga diriku. Kita ini di kampus, bukan rumahmu. Kalau kamu mau berlagak jadi nona, boleh saja. Tapi, aku nggak wajib menuruti kemauanmu."Ternyata, kebaikan Nadine padanya dulu, dianggap Clarine sebagai penjilat? Sungguh ironis ....Mata Nella menjadi muram, sebelum tiba-tiba berkata, "Meskipun kata-kata Clarine memang agak pedas, kamu tetap saja nggak boleh main tangan. Peraturan kampus jelas-jelas menyebutkan bahwa perkelahian atau membuat keributan bisa berujung pada pemecatan."Kaeso langsung menyambung dengan semangat, "Ayo, kita laporkan dia ke bagian akademik! Kita semua jadi saksi!"Mendengar hal itu, Marvin buru-buru melangkah ke depan dan mencoba menengahi, "Kita ini teman sekampus, nggak perlu sa
Nadine menjawab, "Perkelahian dan provokasi itu dua hal yang berbeda. Iya, kami memang menampar kalian. Tapi, siapa yang mulai duluan? Fakultas mungkin akan berpihak sama Bu Diana, tapi universitas? Belum tentu.""Sesuai prosedur investigasi normal, setiap kejadian akan ditelusuri dari awal sampai akhir. Kalau kamu pergi ke akademik dan mengadu bahwa kamu ditampar, pertanyaan pertama mereka adalah, 'Kenapa kamu ditampar?'""Apa jawabanmu?""Karena kalian nggak mengikuti aturan, menekan orang lain, mulut kalian kotor, dan kalian menghina harga diri orang lain?""Atau mungkin karena kalian sengaja mempermalukan orang, menunggu di sini hanya untuk mentertawakan kami, karena terlalu bajingan, jadi kena tampar?""Kalau kita melihat dari sisi regulasi, itu cukup untuk mengklasifikasikan tindakan kalian sebagai provokasi dan perbuatan yang mengganggu ketertiban! Kalau sudah begitu, kalau ada yang harus dikeluarkan, ya sekalian saja kita semua keluar! Beres, 'kan?"Nadine menjelaskan semuanya
Nadine benar-benar yakin Arnold akan membelanya. "Kunci laboratorium kalian sudah diserahkan. Tapi yang satu ini, nggak mungkin aku kasih.""Kenapa?""Mikha, kamu pikir kalau kita kasih kunci ini, terus nanti gimana pas mau pindahin CPRT? Mau dobrak pintu masuk?"Mikha langsung membelalak. "Tunggu, CPRT ini bisa kita pindahin?!""Tentu saja. Itu alat yang kita beli pakai uang sendiri. Kenapa nggak bisa?""Benar! Ini barang kita, ya suka-suka kita mau angkut atau nggak.""Jadi, kita harus pegang kuncinya sendiri. Kalau nggak, nanti malah ribet pas eksekusi."Darius tersenyum kecil. "Bu Diana jelas mau ngusir kita demi alat itu. Sayang sekali, rencananya gagal total."Setelah menyelesaikan proses pemindahan barang, mereka pun menutup pintu dan pergi. Sebenarnya, barang bawaan mereka juga tidak banyak. Hanya masing-masing satu kotak.Kotak Mikha yang paling besar. Isinya penuh dengan makanan ringan. Ada keripik, kacang, stik pedas, biskuit, susu, soda ....Saat mereka melewati lapangan ka
Bukan hanya sudah menemukan solusi, mereka bahkan sudah mulai mengeksekusinya. Tentu saja, Nadine tidak akan mengatakannya langsung. Dia hanya berkata, "Kalau ada masalah, selalu ada jalan keluarnya.""Kalau begitu ... semoga sukses." Usai bicara, Eden berbalik untuk pergi.Namun, tiba-tiba, Nadine memanggilnya. "Eden!""Kadang, seseorang harus agak egois. Harus lebih banyak memikirkan dirinya sendiri. Bagaimanapun, kamu nggak bisa terus berada di bawah bayang-bayang orang lain selamanya dan nggak bisa bangkit. Benar, nggak?"Eden tersenyum tipis. "Terima kasih sudah mengingatkan. Aku punya rencana sendiri."...."Apa? Nggak dapat kuncinya?" Diana mengernyit tajam, menatap Clarine dengan ekspresi kesal. "Kamu ini gimana kerjanya?""Nadine bilang kuncinya sudah diserahkan. Dia bahkan pakai alasan peraturan kampus. Aku bisa apa? Mau aku rebut paksa?" Nada bicaranya sudah penuh kejengkelan.Sikap Diana yang menyalahkannya, benar-benar membuatnya muak. Memangnya ini salahnya? Dari awal, me
"Apa-apaan?!"....Begitu Clarine pulang ke rumah dan baru saja masuk pintu .... "Bibi Julia! Cepat ambilkan aku kantong es!"Rebecca menceletuk, "Kenapa tiba-tiba butuh kantong es? Cuaca saja sudah cukup dingin ....""Ibu, kamu tahu nggak? Aku dipukul orang!""Apa?!" Rebecca langsung terperanjat mendengarnya. "Siapa? Siapa yang berani mukul kamu?!"Clarine mencibir. "Nadine.""Besar sekali nyalinya? Berani-beraninya dia mukul kamu?!""Aku cuma negur dia sedikit, tapi dia langsung menamparku ... huhu ... di depan banyak orang lagi. Lihat, pipiku sampai bengkak!"Rebecca segera menyentuh pipinya."Shh! Aduh ....""Apa-apaan si Nadine itu?! Ponsel, mana ponselku?!" Rebecca berbalik mencari ponselnya sambil menggerutu, "Tunggu saja ... pasti akan kumaki dia habis-habisan ...."Pada saat ini, seorang pembantu maju ke arahnya. "Nyonya, ini ponsel Anda."Rebecca menyambar ponsel itu dan menelepon Nadine."Jalang sialan! Berani-beraninya kamu ...."Ugh!"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang s
Menunggunya? Untuk apa?"Ada masalah penting?" tanya Nadine dengan ekspresi yang berubah."Ada. Mungkin bagimu ... termasuk kabar baik?""Masalah apa sebenarnya?" Kedua mata Nadine berbinar. Semakin Arnold bersikap misterius, Nadine semakin penasaran."Begini ...."Kemarin, Arnold pergi ke Universitas Bisnis di sebelah untuk bertemu teman lamanya. Sekaligus, dia juga menyampaikan sebuah "permintaan kecil"."Pak Moesda sudah setuju untuk mengosongkan satu laboratorium biologi untuk kalian. Aku sudah lihat tempatnya, semua peralatan yang kalian butuhkan ada di sana, termasuk CPRT.""Serius?! Luar biasa!" Nadine hampir melompat kegirangan. Ini benar-benar sebuah kebetulan yang luar biasa.Baru saja dia kebingungan mencari tempat untuk laboratorium baru, ternyata Arnold sudah menyiapkannya lebih dulu!Ini rasanya seperti .... Seorang anak malang yang baru saja diusir dari rumah, tiba-tiba menemukan tempat berlindung. Bukan hanya itu, tempatnya juga sudah siap untuk ditinggali!Tanpa sadar,
Saat Nadine masih ragu bagaimana cara memasangkan celemek, Arnold tiba-tiba menundukkan kepala. "Begini cukup?""Mungkin agak lebih rendah sedikit lagi."Arnold membungkuk sedikit lebih jauh. "Sekarang?""Ya, sudah pas."Nadine segera mengaitkan tali celemek di lehernya.Arnold kembali tegak, menunggu beberapa detik, lalu tersenyum kecil dan berkata, "Mungkin bagian pinggangnya juga perlu diikat?""Oh! Benar!" Nadine baru sadar, buru-buru mengambil dua tali celemek dan mengikatkannya di punggung Arnold."Uhuk uhuk ...." Arnold tiba-tiba batuk pelan."Ada apa?""Sedikit terlalu kencang ....""Astaga! Maaf! Aku longgarkan lagi .... Sekarang sudah pas?""Sudah."Setelah selesai merapikan dapur, mereka berdua pindah ke ruang tamu. Nadine memotong beberapa buah dan meletakkannya di meja. "Pak Arnold, makan buah dulu.""Terima kasih."Sambil mengambil sepotong apel, Nadine duduk di ujung lain sofa. "Aku dengar CBS bakal menyiarkan konferensi akademik antara Universitas Brata dan Caltech?"Ar
"Nggak usah!" Nadine langsung duduk di atas karpet dan menyilangkan kakinya. "Begini saja udah cukup."Saat tubuhnya menyentuh permukaan karpet, dia langsung tahu ini bukan barang murah. Nadine bahkan merasa tidak pantas duduk di atasnya. Di belakangnya bahkan bisa langsung bersandar di ranjang.Seandainya saja ....Kalau saja ada camilan dan minuman, pasti lebih sempurna.Saat sedang memikirkan hal itu, Arnold muncul kembali dengan membawa setumpuk kacang, keripik, dan dua botol jus lemon dari luar.Nadine hampir terperanjat. Arnold benar-benar mengerti dirinya!Arnold meletakkan camilan di antara mereka, lalu ikut duduk di atas karpet. Dia menambahkan bantal di belakang punggung mereka berdua, supaya lebih nyaman.Begitulah, mereka menonton sambil makan, mengobrol santai, dan sesekali berkomentar tentang acara.Sampai akhirnya ....Siaran langsung berakhir.Begitu melihat jam, ternyata sudah hampir pukul sebelas malam. Nadine terkejut. Dia buru-buru bangkit dan pamit pulang.Arnold m
Senyuman Inez terlihat agak canggung. "Benarkah? Adik Ipar benar-benar pria yang sayang keluarga ...."Saat semua orang sedang menikmati makan siang, bel pintu rumah tiba-tiba berbunyi."Biar aku saja yang buka," kata Stendy sambil meletakkan peralatan makannya, lalu berjalan menuju pintu depan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara Stendy dengan nada terkejut. "Ayah, kenapa kamu bisa datang ke sini?"Mendengar perkataan itu, tangan Irene yang sedang mengambil lauk langsung berhenti.Jeremy juga terlihat bingung dan pikirannya masih sedang menyusun ulang hubungan di keluarga itu. Ayahnya Stendy berarti suaminya Inez dan kakak iparnya Irene.Corwin dan Safir saling memandang dengan tatapan yang khawatir dan bingung. Padahal mereka belum memberi tahu Paulus sudah menemukan Irene, mengapa Paulus bisa tiba-tiba datang ke sini? Apakah Irene yang memberi tahu Paulus? Mungkin juga.Hanya Inez saja yang tubuhnya langsung kaku saat mendengar suara Paulus, lalu tersenyum sinis. Dia berpikir P
Irene menyuruh Nadine untuk menghubungi Stendy karena kakak beradik ini sudah saling mengenal sejak lama. Saat dompet Jeremy dicopet di stasiun kereta cepat dan bertemu dengan Stendy, dia menyebut Presdir Stendy sebagai temannya.Setelah itu, Irene melihat Stendy juga mengantar Nadine dan Jeremy sampai ke bawah apartemen dengan ramah. Oleh karena itu, kesannya terhadap Stendy cukup bagus. Setelah semalam mengetahui identitas Stendy yang sebenarnya, dia diam-diam bersyukur dan merasa semua ini benar-benar takdir.Nadine menganggukkan kepala. "Baik."....Stendy baru bangun tidur sekitar pukul sembilan pagi, tetapi dia masih merasa tidak begitu enak badan karena mabuk dari malam sebelumnya. Dia sudah memutuskan untuk mengurangi merokok dan minum alkohol selama setengah bulan lebih, tetapi bukan berarti tidak menyentuhnya sama sekali. Namun, dia juga tidak pernah sampai mabuk parah seperti kemarin.Setelah bangkit, Stendy mandi dan menelepon resepsionis untuk minta dikirimkan sarapan. Set
Lumayan juga ....Setidaknya, saat ini Safir masih cukup puas terhadap menantunya, Jeremy. Menantunya ini lembut, perhatian, teliti, penuh pertimbangan, tinggi, dan penampilannya juga tidak buruk. Dia juga lulusan dari Universitas Quar dan sekarang menjadi guru fisika di SMA unggulan. Dia memang bukan orang kaya, tetapi cukup terhormat dan mapan juga."Pangsit isi kucai, telur dan jamur ini sangat segar," kata Safir sambil terus menganggukkan kepala setelah mencicipi beberapa gigitan.Corwin sudah melahap satu mangkuk dan sedang mengambil porsi yang kedua. "Kamu coba yang isi daging sapi dan daun ketumbar ini, rasanya sangat wangi ...."Jeremy dipuji sampai merasa agak malu pun tersenyum canggung dan menggaruk kepalanya. "Asalkan kalian suka makan saja. Aku sudah membuat banyak pangsit. Kalau kurang, nanti aku kukus lagi.""Jangan terus berdiri di sana, duduklah dan makan bareng. Kamu sudah sibuk dari pagi, kamu pasti capek ...," kata Irene.Jeremy langsung mengiakan. Dia mengambil per
"Berkumpulnya satu keluarga itu hal yang baik," kata Corwin dengan nada haru.Jeremy segera mengangguk setuju.Irene baru teringat bahwa dia belum memperkenalkan Jeremy kepada Inez."Ini suamiku.""Halo." Inez tersenyum tipis. "Adik Ipar terlihat sopan dan berwibawa."Kali ini, tidak ada lagi tatapan menilai atau mencela dari matanya.Jeremy membalas dengan anggukan kecil. "Halo."Sopan, tetapi dengan sedikit jarak yang nyaris tak terasa.Orang lain mungkin tidak menyadari, tetapi Irene yang telah hidup bersama dengannya selama bertahun-tahun langsung menangkap gelagat aneh itu.Dia menatap Jeremy dengan heran. Namun, Jeremy hanya menggeleng dan memberikan isyarat lewat mata. Nanti baru dibicarakan.Entah kenapa, kakak ipar yang satu ini memberinya perasaan yang sangat aneh dan tidak nyaman. Karena itulah, dia bersikap hati-hati."Ayah, pangsitnya masih ...." Mau dimasak?Eh? Nadine keluar dari dapur dan langsung tertegun melihat banyak orang di ruang tamu. Detik berikutnya, pandangann
Inez mengikuti alamat yang tertera dalam dokumen dan menemukan tempat tinggal Irene saat ini. Dia berdiri di luar gerbang besi, mendongak menatap vila di hadapannya.Tak disangka, bagian luar kompleks ini terlihat biasa saja. Akan tetapi, setelah masuk, ternyata cukup mengejutkan. Jelas-jelas terdampar sampai ke kota kecil seperti ini, tetapi masih bisa tinggal di vila.Heh .... Sudut bibir Inez terangkat. Adiknya ini memang selalu beruntung sejak kecil. Bahkan saat ke kuil, biksu tua akan keluar menyambutnya, merapatkan tangan, dan berkata bahwa dia ditakdirkan menjadi orang kaya.Sedangkan dirinya, berdiri di samping seperti tak kasatmata. Selama ada Irene di suatu tempat, maka tak akan ada yang memperhatikan dirinya.Setelah melewati taman, Inez sampai di depan pintu utama, tersenyum tipis, dan menekan bel pintu.Yang membukakan pintu adalah Jeremy. Dia sempat menanyakan makanan favorit orang tua Irene. Setelah tahu mereka lebih suka sarapan dengan makanan berbasis tepung, dia pun b
Stendy memilih sebuah bar. Begitu duduk, dia langsung memesan beberapa botol minuman keras, menuangkannya gelas demi gelas tanpa henti. Selama itu, beberapa wanita mencoba mendekatinya, tetapi semuanya diusir tanpa pengecualian.Wajah Stendy memerah karena alkohol. Setelah pandangannya mulai kabur, dia memutuskan untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan, kepalanya pusing dan berat. Saat memejamkan mata, yang muncul hanyalah wajah Nadine.Dia tidak mengerti kenapa dia selalu terlambat satu langkah? Dulu, dia kalah dari Reagan. Sekarang, kalah lagi karena status sialan sebagai sepupu.Haha .... Tuhan tidak pernah berpihak padanya!Begitu keluar dari taksi, Stendy masuk ke lobi hotel dengan sempoyongan. Saat pintu lift terbuka, aroma harum langsung menyeruak, lalu tubuh seorang wanita bersandar padanya. Wanita itu sengaja menggesekkan dadanya ke lengan Stendy, menggoda tanpa malu.Suaranya manis hingga terasa menjijikkan. "Ganteng, sendirian saja? Kamu kelihatannya mabuk. Gimana kalau
"Stendy!" Nadine menyela perkataannya, menatap langsung ke matanya. "Pikirkan baik-baik apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, apa yang seharusnya kamu katakan, baru buka mulut.""Kamu tahu, 'kan?" Pria itu menyudutkannya di antara dinding dan dadanya, kedua tangannya pun menahan di sisi tubuh Nadine."Memangnya kenapa kalau aku tahu? Hubungan kita sekarang nggak pantas untuk ....""Apa hubungan kita?" Stendy menyeringai, sudut bibirnya terangkat dengan getir. "Katakan, aku ini siapamu?""Kakak sepupu.""Mungkin kamu belum tahu, ibuku sebenarnya bukan anak kandung kakek dan nenekku. Itu artinya, kita nggak punya hubungan darah!"Nadine termangu sejenak. "Mau ada hubungan darah atau nggak, aku dan kamu tetap nggak punya peluang untuk bersama.""Kenapa?""Karena aku nggak suka sama kamu."Lagi-lagi kalimat itu! Selalu saja kalimat itu!Stendy mencengkeram bahu Nadine dengan agak kuat. "Kenapa kamu nggak bisa suka sama aku? Kamu dulu pernah suka sama cowok berengsek seperti Reagan, kenap
Kini, Safir merasa sangat bersyukur karena mendengarkan saran dari Stendy yang menyuruhnya melanjutkan pengobatan matanya serta menjaga kesehatannya.Penglihatannya perlahan mulai pulih. Karena itulah, dia akhirnya bisa melihat dengan jelas betapa miripnya wajah cucunya dengan putrinya.Irene kaget mengetahui putrinya dan orang tuanya sudah saling mengenal sejak lama. Nadine pun bercerita tentang pertemuan pertama mereka.Corwin tak kuasa untuk berkomentar, "Aku dan ibumu sudah mencarimu selama bertahun-tahun ke mana-mana, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tak kusangka, ternyata kita sedekat ini, bahkan sempat terlewat dua kali. Untung saja kali ini nggak terlewat lagi."Mendengar itu, Safir teringat bahwa Nadine dan Stendy sudah saling mengenal sejak lama. Ternyata, takdir memang punya jalannya sendiri."Nadine, omong-omong, Stendy itu sebenarnya sepupumu lho. Selama ini, dia sama sekali nggak sadar ...."Sejak tadi, Stendy tidak melontarkan sepatah kata pun. Wajahnya tegang dan k
Nadine buru-buru mencoba menenangkan ayahnya, "Ibu menemukan orang tua kandungnya itu kabar baik."Selama ini, Irene adalah seseorang tanpa masa lalu yang jelas. Dulu, dia pernah punya keinginan untuk mencari asal-usulnya. Namun, setelah sekian lama tanpa hasil, dia sudah berhenti berharap.Kadang-kadang, Irene bahkan membayangkan dirinya seperti tokoh dalam novel. Masa kecil tragis, orang tua dibunuh musuh ....Lambat laun, Irene berhenti memikirkan hal itu dan tak lagi berandai-andai.Namun, Nadine tetap bisa merasakan kerinduan ibunya terhadap keluarga. Jadi, saat Jeremy menyebut kakek dan nenek dari pihak ibunya datang, reaksi pertama Nadine adalah gembira, gembira untuk Irene.Namun, Jeremy jelas belum bisa mencerna semuanya secepat itu."Ayah sudah hidup bersama Ibu sekian lama, masa masih nggak tahu gimana sifatnya? Luarannya kelihatan lembut dan tenang, tapi Ibu itu orang yang punya pendirian kuat. Begitu memutuskan, nggak ada yang bisa menggoyahkannya.""Ayah dan Ibu sudah ber