"Ayahku punya properti, rumahnya tak terhitung jumlahnya! Dia yang selalu mengusir orang lain, nggak ada yang bisa mengusirnya!""Jadi, semuanya harus milik kita sendiri agar kita punya posisi kuat! Akademi meminjamkan kita ruangan bobrok, nggak ada CPRT, alat pemadam kebakaran pun nggak lengkap. Kita mati-matian menghasilkan penelitian, tapi akhirnya semua kredit jatuh ke akademi?""Memangnya di dunia ini ada hal sebaik itu? Aku sudah muak!"Mikha tidak pernah mengalami ketidakadilan seperti ini."Apa hebatnya sih? Cuma sebuah ruangan usang, alat-alatnya pun kita beli sendiri!"Amarah Mikha meledak-ledak. Dia benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Ketika dia melampiaskan kekesalan, air liurnya bahkan hampir menciprat ke mana-mana, membuat Darius dan Nadine melongo."Eh ... apa aku menakuti kalian?" Wajah Mikha yang bulat tampak malu untuk sesaat. Dia buru-buru menjelaskan, "Biasanya aku nggak seperti ini. Tapi kalau sudah marah, aku susah berhenti .... Ehem, ehem!"Dari
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Darius. Darius menggaruk kepalanya. "Kenapa kalian melihatku seperti ini ...." Rasanya agak canggung."Darius, sebenarnya keluargamu itu bergerak di bidang apa sih?" Mikha menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.Nadine ikut bertanya, "Aku ingat, terakhir kali kamu bilang orang tuamu ... adalah pegawai negeri?"Kelihatannya, pegawai negeri yang dimaksud bukan pegawai biasa. Nadine hanya menyebutkan secara singkat dan tidak bertanya lebih jauh.Mikha mungkin blak-blakan, tetapi dia juga tahu kapan harus berhenti. Ada yang bilang anak-anak dari keluarga pejabat tinggi biasanya sangat low profile. Jadi, masuk akal kalau Darius tidak pernah menyebutkannya sebelumnya.Darius akhirnya menghela napas lega. "Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusnya.""Oke!" Mikha mengangkat tangan, "Demi laboratorium ...."Darius menyambung, "Demi nggak diusir lagi ...."Keduanya menoleh menatap Nadine.Nadine sempat terdiam, lalu spontan berseru, "M
Di ujung telepon, Mino terdiam lama. "Kalian benaran mau membangun laboratorium sendiri?""Tentu saja!""Ini bukan sekadar ide spontan karena emosi sesaat?"Mikha menjawab dengan tegas, "Tentu bukan! Kami sangat serius!""Oke, 20 miliar, 'kan? Nanti aku transfer ke rekeningmu.""Waaah! Terima kasih, Ayah! Love you, mwah, mwah ....""Hehehe ...." Mino tertawa bodoh.Malam itu, Mikha langsung memamerkan tangkapan layar bukti transfer di grup chat mereka bertiga.Luar biasa, sepuluh angkal nol yang benar-benar mencolok mata.[ Mikha: Sudah beres! ]....Darius melihat pesan itu dan tak bisa menahan senyum. Dia bisa membayangkan betapa bangganya Mikha saat mengirim pesan itu. Sepertinya, dia juga harus berusaha lebih keras.Darius menyimpan ponselnya dan berjalan ke arah sofa. "Kakek, sudah lama kita nggak main catur. Ayo main satu ronde.""Boleh! Kamu jarang pulang, sudah lama nggak ada yang serius menemaniku bermain." Sang kakek beranjak dari sofa dengan tongkatnya dan duduk di depan pap
"Perlu tanda tangan pihak yang melakukan pengalihan? Kenapa?" Nadine menatap petugas di depannya dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya.Petugas itu menjelaskan, "Karena objek yang dialihkan terlalu besar, meskipun sudah memiliki kontrak pengalihan resmi, menurut aturan, masih diperlukan surat persetujuan tambahan dengan tanda tangan asli dari pihak pengalih."Genggaman Nadine pada dokumen sedikit mengencang. Artinya, dia masih perlu mendapatkan tanda tangan Reagan....."Selamat pagi, Pak." Begitu Reagan keluar dari lift, asisten yang sudah menunggu di depan segera menyapanya dengan senyuman ramah."Jam 9 pagi, ada rapat kolektif dengan para investor untuk membahas pendanaan dan investasi jangka panjang. Jam 10 pagi, ada pertemuan untuk membahas proposal kerja sama dengan Pak James.""Jam 11 siang, rapat untuk laporan dan ringkasan dari masing-masing departemen. Sesuai rencana sebelumnya, sore ini ada janji bermain golf dengan presdir dari luar negeri. Itu kira-kira jadwal hari in
Asisten itu buru-buru menjawab, "Baik! Saya akan segera ....""Sudahlah, biar aku sendiri saja yang pergi."....Nadine berdiri di samping meja kerja asisten. Tidak jauh dari sana, terdapat jendela kaca yang besar dengan pemandangan di luarnya. Dia berjalan ke depan jendela dan berhenti sejenak, lalu menatap ke bawah untuk melihat hiruk-pikuk jalanan yang dipenuhi kendaraan.Di depannya, terbentang jalanan komersial yang ramai. Di sisi kiri dan kanannya, berdiri gedung-gedung perkantoran mewah, dan lebih jauh ke depan lagi, tampak pemandangan sungai yang indah.Lokasi ini benar-benar sangat strategis.Saat awal mendirikan perusahaan, mereka tidak punya modal dan koneksi. Kantor mereka berada di atas ruang bawah tanah rumah kontrakan mereka. Tempat itu adalah sebuah apartemen dengan dua kamar dan satu ruang tamu.Meskipun sederhana, setidaknya memiliki jendela besar dan dapur kecil. Perusahaan rintisan itu sangat kecil. Selain Reagan, hanya ada lima karyawan yang semuanya bertugas dalam
Nadine tersentak sadar dan segera berbalik untuk menatap orang yang baru datang.Reagan berdiri di sana dengan setelan jas rapi. Tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya, pipinya sedikit lebih cekung. Saat Nadine menatapnya, Reagan juga memandangnya dengan penuh kerinduan.Nadine mengenakan sweter rajut berwarna krem, celana pensil hitam, dan mantel trench coat berwarna khaki. Rambutnya tergerai melewati bahu, tanpa diwarnai ataupun dikeriting. Di kakinya, dia mengenakan sepasang sneakers putih yang bersih dan polos."Halo." Nadine akhirnya membuka suara lebih dulu saat melihat Reagan hanya diam.Dulu mereka adalah pasangan yang sangat dekat. Kini, setelah sekian lama tidak bertemu, sapaan pertama yang keluar justru hanya sekadar sapaan formal.Saat itu juga, Reagan merasa terpukul. "Nad ... apa kita harus bersikap sekaku ini?"Nadine tersenyum kecil, tapi tidak menjawab. Hatinya perih, tapi dia tetap mempertahankan ekspresi tenang.Reagan merasa hatinya seperti disayat pisau. Namun
"Aku ingat kamu suka makan steik, tapi kamu malas motong, jadi lebih memilih nggak makan. Sejak saat itu, setiap kali kita makan di restoran, akulah yang selalu memotongkannya untukmu."Nadine menatap steik yang telah dipotong kecil-kecil di depannya. Ekspresinya tetap datar. Dia datang ke sini bukan untuk makan. Bisa duduk bersamanya di sini saja sudah merupakan batas toleransinya.Kali ini, dia tidak memberi Reagan kesempatan untuk kembali memotong pembicaraan. Dengan nada langsung dan tegas, dia menyampaikan tujuannya."Sekarang ini, semua proses administratif sudah hampir selesai. Yang kurang cuma surat persetujuan ini. Aku sudah membawanya hari ini. Bisa nggak kamu tandatangani?"Senyum di sudut bibir Reagan perlahan memudar. Tatapannya yang tadinya penuh kebahagiaan, kini berubah datar, lalu akhirnya dipenuhi dengan kekecewaan yang mendalam."Sesulit itukah temani aku makan?"Nadine mengerutkan kening. "Kenapa harus bahas ini sekarang?"Nadine merasa tidak habis pikir. "Kamu yang
Saat pandangan mereka bertemu, Reagan menatap dalam ke matanya. "Kamu tahu sendiri apa yang aku inginkan."Nadine mengernyit."Mudah saja, kembalilah padaku. Jangankan surat persetujuan, aku bisa ngasih apa pun yang kamu inginkan.""Nggak mungkin!" Jawabannya begitu tegas, tanpa keraguan sedikit pun."Nad ...." Reagan tertawa getir. "Aku tahu, di dalam hatimu, kamu pasti menganggapku rendah dan nggak tahu malu. Tapi aku benar-benar nggak bisa tanpamu ....""Bisa nggak kamu kembali padaku? Aku janji, mulai sekarang, hanya akan ada kamu. Semua yang nggak kamu suka, akan aku ubah. Kumohon kasih aku satu kesempatan lagi, ya?"Usai bicara, dia buru-buru ingin menggenggam tangan Nadine. Namun, Nadine menghindarinya dengan dingin."Aku nggak percaya ucapanmu sama sekali dan aku nggak akan pernah menyetujui permintaanmu." Dia merapikan dokumen dan pena yang tadi dia keluarkan. "Sepertinya aku salah datang hari ini. Kalau kamu nggak mau tanda tangan, ya sudah."Tanpa menunggu reaksi Reagan, dia
Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa hening. Setelah tiba di depan pintu rumah Nadine, Arnold yang mengantarnya sampai depan pintu akhirnya buka suara. Mengingat suasana aneh tadi, dia merasa perlu menjelaskan."Bibi Moni itu sebenarnya nggak punya maksud buruk, cuma mulutnya agak cerewet, suka bergosip."Nadine terdiam. Penjelasan itu rasanya malah membuat tambah canggung. Untungnya, kejadian kecil tadi tidak terlalu dia pikirkan.Malam itu, dia mengikuti semua instruksi dari Levi. Dia menempelkan plester herbal tanpa terkena air sedikit pun dan sebelum tidur, dia memijat beberapa titik penting di paha menggunakan teknik yang diajarkan oleh Levi.Setelah tidur nyenyak semalaman, keesokan paginya saat bangun, Nadine membuka plester itu dan mencoba menekan bagian yang kemarin sakit. Anehnya, rasa sakitnya benar-benar hilang!Dia langsung berlari keluar dan mengetuk pintu sebelah. Begitu Arnold membukakan pintu, Nadine berkata dengan antusias, "Plester dari Kakek Levi ampuh sekali
Nadine tertegun. Karena tidak bisa bergerak, dia bahkan tak sempat mengucapkan penolakan. Arnold sudah lebih dulu membantu melepaskan sepatunya. Lalu, kaus kakinya pun ikut dilepas ....Nadine menundukkan kepala menatap Arnold. Ekspresi serius pria itu seolah sedang melakukan sebuah eksperimen penting. Napas Nadine tertahan sejenak, detak jantungnya tanpa sadar menjadi lebih cepat.Sepertinya dia tidak pernah benar-benar memikirkan, kenapa Arnold bisa begitu baik padanya. Mungkin karena memang dia adalah pria yang baik. Bukan hanya kepadanya, tapi juga selalu tulus kepada semua orang.Namun dalam suasana seperti ini, Nadine harus mengakui, perhatian dari Arnold kepadanya terasa ... berbeda. Sekalipun Arnold adalah orang yang sangat baik dan tulus, tak mungkin dia sampai melakukan hal seperti ini kepada orang asing.Setelah melepas sepatu dan kaus kaki, Arnold mengikuti instruksi Levi dan memegang pergelangan kaki Nadine dengan hati-hati.Telapak tangannya agak dingin. Saat ujung jariny
Saat tiba waktunya untuk akupunktur, terlihat Levi mengibaskan tangannya, lalu membuka gulungan kain dan deretan jarum perak dengan berbagai ukuran tersusun rapi di atasnya.Nadine melihatnya sampai merinding, "A ... apa sudah mulai?""Hmm.""Ditusuk di mana?"Levi menunjuk ke arah kepalanya. "Di sini."Nadine bingung, "Lukanya di pergelangan kaki, kenapa ditusuk di kepala?" Dia bukan mempertanyakan, hanya penasaran."Alasan kenapa bagian yang terluka terasa sakit saat disentuh adalah karena adanya penyumbatan yang nggak bisa hilang. Di kepala manusia terdapat beberapa titik akupunktur utama yang bisa membantu melancarkan aliran dan merelaksasi otot. Kamu bisa memahaminya seperti ini, untuk menyelesaikan masalah dari akarnya, kita harus mulai dari sistem kontrol pusat."Otak adalah sistem kontrol pusat itu."Sudah siap? Kalau begitu, kita mulai ...." Levi menggulung lengan bajunya, lalu mengambil jarum.Nadine sangat takut, secara refleks dia ingin menggenggam sesuatu. Kebetulan saat i
"Orang dulu bilang, cedera otot dan tulang butuh 100 hari untuk sembuh. Meskipun tulangmu baik-baik saja, ototmu tetap terkilir. Sekarang memang sudah nggak bengkak, tapi otot dan fasia di dalamnya masih butuh waktu untuk pulih sepenuhnya. Yang bisa menyembuhkannya cuma waktu."Arnold berpikir sejenak. "Bisa nggak kalau pakai pengobatan tradisional untuk mempercepat pemulihan?""Kalau ada kesempatan, tentu bisa. Tapi tetap saja, itu cuma sebagai pendukung. Yang paling penting adalah istirahat."Setelah keluar dari rumah sakit, Arnold tiba-tiba berkata, "Ikut aku ke suatu tempat.""Hah?" Nadine bingung.Dua puluh menit kemudian, mobil mereka berhenti di pinggir jalan.Arnold mengajaknya menyeberang, masuk ke sebuah gang kecil. Setelah melewati beberapa belokan, mereka berhenti di depan sebuah klinik pengobatan tradisional yang tampak kuno."Klinik Sejahtera?" Nadine menengadah, melihat papan nama kayu tua yang menggantung di atas pintu. Papan itu hitam dan mengkilap.Arnold masuk dengan
Namun, Arnold sama sekali tidak merasa ada yang salah karena dia juga bersiap untuk menutup pintu."Eh ... kamu ngapain?" Yenny buru-buru memegang gagang pintu.Arnold menatapnya dengan bingung. "Bukannya Ibu mau pulang?""Aku ... aku belum pergi, tapi kamu sudah mau tutup pintu?" Suaranya terdengar sangat keras, entah sedang mempertanyakan Arnold atau sedang mengungkapkan kekesalannya pada seseorang.Arnold masih bingung. "Bukannya Ibu memang mau pergi? Kalau nggak ditutup, udara hangat di rumah bisa keluar semua."Yenny tidak bisa berkata-kata."Hati-hati di jalan, suruh sopir pelan-pelan. Belakangan ini turun salju, jalanan jadi licin." Setelah berkata demikian, Arnold menyerahkan tas ibunya, lalu menutup pintu.Yenny hampir menghantamkan hak sepatunya ke lantai karena kesal. Dua-duanya sama saja! Anak kandung macam apa ini? Mending dulu tidak dilahirkan!....Kaki Nadine sebenarnya sudah sembuh total. Namun, demi memastikan, dia tetap berencana pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaa
Yenny tahu bahwa Nadine juga tinggal di apartemen ini, tetapi dia sama sekali tidak menyangka Nadine dan Arnold adalah tetangga yang tinggal berseberangan!Pantas saja rumah putranya tidak ada jejak wanita. Dengan jarak sedekat ini, mereka bisa tinggal bersama kapan saja sesuka hati. Bahkan, cukup membuka pintu dan berjalan beberapa langkah, Arnold sudah bisa tiba di rumah wanita ini untuk berkencan.Bagaimana mungkin dia bisa menemukan bukti kalau mereka memang bersama? Saat memikirkan hal itu, Yenny mulai mengamati Nadine dari ujung kepala hingga ujung kaki.Yenny masih punya sedikit persiapan mental, sedangkan Nadine benar-benar terkejut. Bukankah wanita yang baru saja keluar dari apartemen Arnold ini adalah nyonya kaya yang pernah mengikuti kelas tehnya dan juga pernah dia temui di lorong apartemen?Dia dan Arnold .... Apa hubungan mereka?Tepat saat itu, Arnold keluar dari rumahnya dengan sebuah tas di tangan. "Ibu, tasmu ketinggalan."Eh? Ibu? Nadine tertegun.Ketiga orang itu pu
Tiba-tiba, Inez teringat sesuatu. Dia mengambil ponselnya dan membuka foto yang diambil tadi.Wanita yang bersama Arnold barusan ... bukankah mirip dengan gadis yang beberapa waktu lalu belanja sepatu bersama putranya di mal?Inez menggeleng, merasa pikirannya terlalu berlebihan. Dia tahu betul bagaimana sifat putranya.Selama ini, hanya ada perempuan yang jatuh dalam pesona Stendy, bukan sebaliknya. Bagaimana mungkin Stendy dipermainkan oleh wanita?Tidak mungkin ... benar-benar tidak mungkin .... Pasti hanya kebetulan.....Setelah mengambil mobilnya, Nadine dan Arnold pulang. Karena area apartemen mereka tidak memiliki lahan parkir khusus, mobil harus diparkir di tempat parkir umum di seberang jalan.Karena Nadine kini sudah memiliki mobil sendiri dan membutuhkan tempat parkir tetap, Arnold menyarankan agar dia menyewa satu slot parkir secara permanen.Setelah menghubungi pihak pengelola, bernegosiasi harga, dan menandatangani kontrak, mereka baru selesai satu jam kemudian.Arnold m
Saat Nadine memilih mobil, Arnold memang tidak banyak bicara, tetapi selalu berada di sisinya. Jika ada detail yang terlewat, dia akan mengingatkan pada saat yang tepat.Mana mungkin teman biasa melakukan hal seperti ini? Apalagi, sejak mereka masuk ke showroom ini, si pria selalu memperhatikan si wanita. Tatapan penuh fokus dan kepedulian itu jelas bukan sesuatu yang bisa dipalsukan.Bukankah ini persis dengan pasangan pengantin baru yang sering dia temui? Kalaupun bukan pengantin baru, mereka pasti pasangan! Makanya, sales wanita itu bertanya demikian.Nadine sudah beberapa kali menghadapi kesalahpahaman seperti ini. Dia tidak berani melihat ekspresi Arnold dan hanya melambaikan tangan. "Bukan, kamu salah paham."Gadis itu buru-buru meminta maaf.Arnold tidak berkata apa-apa, hanya saja tatapannya pada Nadine tetap lembut.Sales itu semakin bingung. Kalau bukan pasangan, lalu mereka apa?....Di seberang jalan, Inez yang sedang jalan-jalan tiba-tiba teringat bahwa mobilnya sudah haru
"Nggak merepotkan. Sudah ada model yang kamu suka?"Nadine tidak punya permintaan khusus, yang penting mobilnya nyaman dikendarai."Kalau begitu, aku sarankan sedan. Kenyamanan duduk dan handling-nya lebih baik dibanding SUV. Hanya saja, ruang kabinnya lebih kecil. Kalau nggak mempertimbangkan perjalanan keluarga dan hanya untuk mobilitas harian, sedan adalah pilihan yang bagus.""Oke." Nadine mengangguk. Dia tipe yang mendengarkan saran."Gimana dengan merek?" Pria itu bertanya lagi, "Ada preferensi tertentu?""Nggak ada." Nadine menggeleng. "Tapi, aku suka mobil luar negeri."Arnold menaikkan alis. Kebetulan sekali. Dia juga."Kalau anggaran?""Bebas."Mereka pertama-tama pergi ke showroom Volkswagen terdekat. Begitu masuk, seorang sales segera menyambut mereka dengan senyuman. "Selamat datang! Mau lihat mobil seperti apa? Aku bisa membantu.""Sedan. Irit bahan bakar, mudah dikendarai. Ada rekomendasi?" tanya Arnold."Silakan lihat model ini." Sales itu membawa mereka ke sebuah mobil