Nadine bahkan sengaja melangkah keluar, melihat ke sekeliling dua kali, memastikan bahwa ini benar-benar rumahnya.Di lantai berwarna abu muda, terlihat jejak kaki dan sampah berserakan di mana-mana. Beberapa orang asyik mengobrol sambil makan, membuang kulit kuaci, kulit buah, dan bungkusan makanan langsung ke lantai.Sementara itu, dinding yang tadinya bersih entah bagaimana sudah terkena tendangan salah satu anak nakal, meninggalkan dua jejak kaki hitam.Ditambah dengan suara bising percakapan yang berdengung, suasana di rumah ini nyaris seperti sarang lebah.Nadine menoleh pada Irene. Irene membalas dengan senyuman lelah yang dipaksakan. 'Ya seperti yang kamu lihat.''Apa aku bisa pergi saja?' batin Nadine. Tentu saja tidak, karena salah satu kerabat sudah melihat Nadine dan langsung menyambut dengan penuh antusiasme."Wah! Ini anak perempuan Jeremy ya? Sudah besar, cantik sekali! Kudengar sekarang kamu kuliah pascasarjana di Universitas Brata? Hebat sekali!""Ini benaran Nadine! S
Layar LCD langsung pecah, bahkan tidak bisa diperbaiki lagi.Orang tua dari kedua anak itu akhirnya datang. Awalnya mereka memarahi anak-anak mereka, lalu meminta maaf kepada Jeremy. Sekilas, mereka terlihat cukup sopan. Namun, jika mendengar lebih saksama ...."Jeremy, maaf sekali ya. Sekarang kamu sudah sukses, satu TV saja nggak mahal, 'kan? Seharusnya nggak masalah ya?""Anak kecil belum paham apa-apa, sering kali hancurin barang. Kamu nggak mungkin marah sama dua anak kecil yang belum dewasa, 'kan?""Ya, betul banget!"Jeremy tentu saja hanya bisa memaafkan mereka. Dia tidak mungkin meminta mereka mengganti rugi.Namun, Jeremy merasa sangat sedih melihat TV-nya yang rusak. Padahal itu baru dibeli, harganya belasan juta."Sudah, sudah. Kalian pergi tidur saja."....Keesokan paginya, Nadine terbangun karena suara TV yang bising. Dia meraih ponselnya untuk melihat waktu. Belum pukul 6 pagi.Saat berikutnya, dia teringat sesuatu, jadi segera bangkit dan keluar kamar. Benar saja, suar
"Jangan cari alasan lagi! Aku memang bukan orang kota seperti kalian, jadi nggak terbiasa makan makanan dari luar. Aku ini lebih tua dari kalian lho. Apa salahnya minta kamu buatkan sarapan sekali saja? Kalau kamu nggak mau, aku akan pergi mencari ibu mertuamu dan mengadu!"Sambil berbicara, dia mulai mengeluh. Kadang bilang kepalanya sakit karena marah, kadang bilang dia lapar. Mendengar ini, orang-orang langsung berdiri dan mulai menyalahkan Irene.Irene melihat wajah-wajah menyebalkan mereka. Sepertinya mereka ini sudah biasa saling mendukung dan menggunakan jumlah untuk menindas orang lain."Kamu ingin makan sarapan buatan rumah, 'kan? Ya sudah, aku akan minta Jeremy buatkan. Tunggu sebentar.""Bukan itu maksudku! Kamu nggak ngerti ya? Aku minta kamu yang masak, bukan Jeremy! Laki-laki itu tugasnya cari uang, perempuan itu tugasnya di dapur, itu sudah hukum alam!""Oh, aku paham kok. Tapi ...." Irene tersenyum tipis. "Di rumah kami, aku yang penghasilannya lebih besar daripada Jere
Chyntia berkeliling terlebih dahulu, lalu tersenyum menyapa para kerabat yang hadir.Setelah itu, dengan tangan terlipat di depan dada, dia menghampiri Irene dan berkata, "Irene, bukannya aku mau komentar, tapi rumah ini berantakan sekali. Kamu nggak beberes sedikit?"Irene sudah mencoba, tetapi setiap kali rumah dibereskan, kondisinya malah lebih kacau dari sebelumnya, bahkan hanya butuh waktu kurang dari 30 menit.Chyntia melanjutkan, "Orang yang nggak tahu pasti mengira kalian pemalas banget. Lihat tuh lantainya, ada lumpur. Meja penuh barang, baunya juga nggak enak. Gimana saja sih? Waduh, handuk ini sudah hitam begini, masih disimpan buat apa? Buat lap toilet ya?"Wanita tua itu datang sambil menarik handuk itu, "Kenapa kamu pegang handuk cuci mukaku?"Chyntia langsung terdiam."Pokoknya, besok pesta ulang tahun Ibu yang ke-80. Kalau kita sendiri yang lihat rumah kotor dan berantakan, masih bisa dimaklumi. Tapi kalau orang luar yang lihat, kalian yang malu. Lebih baik diperhatikan
Nadine segera membuka laptopnya. Kamar miliknya dilengkapi dengan kamera pengawas. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan rekaman hari ini.Setelah memperbesar tampilan, dia langsung mengenali siapa pelakunya, cucu kesayangan Vera.Nadine langsung turun ke lantai bawah. Vera sedang menonton TV, sementara orang tua si anak duduk di sofa dan makan buah sambil bermain ponsel masing-masing. Anak itu tengah bersiap menghancurkan puzzle milik Jeremy yang sudah diberi bingkai.Mata Nadine menyipit. Saat anak itu hendak menarik puzzle, dia dengan sigap merebutnya. "Kamu masuk ke kamarku, 'kan? Di mana barang di mejaku? Sebelum terlambat, cepat kembalikan."Ekspresi Nadine serius, suaranya sedingin es. Usia anak itu sekitar 5 atau 6 tahun, jadi sudah cukup besar untuk membaca situasi. Melihat wajah Nadine yang tegas, dia tahu situasinya serius. Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ...."Huwee!" Dia menangis sekencang-kencangnya."Ya ampun! Kok tiba-tiba nangis? Jangan nangis. Kalau ada y
"Selain itu, kenapa kalau dia mengambilnya? Bukankah itu cuma beberapa lembar kertas tak berguna? Kamu mau memukul atau membunuh dia? Katanya kaya, kenapa begitu perhitungan dengan anak kecil?""Lihat, dia sampai ketakutan seperti ini! Kesehatan anakku kurang baik. Di masa depan, dia akan masuk universitas ternama. Gimana kalau matanya rusak karena nangis?"Nadine hanya menonton wanita itu bersandiwara, lalu tersenyum dingin. "Sepertinya aku nggak pernah bilang kalau yang dia ambil itu kertas, 'kan?"Tubuh wanita itu langsung tegang. Sementara itu, Jeremy dan Irene mulai panik."Barang-barang di kamar Nadine itu bukan sembarang kertas, semuanya adalah dokumen penting! Selain itu, Nadine nggak pernah sembarangan menuduh orang. Kalau dia bilang anakmu ambil, pasti ada buktinya. Jadi, lebih baik kalian suruh dia kembalikan biar masalah ini selesai."Wanita itu sama sekali tidak mau mendengarkan. "Kalian kira kalian raja! Hari ini, aku akan buktikan kalau bukan anakku yang ambil. Aku nggak
Sungguh nyaring."Sebelum kita pergi, apa yang Nenek katakan? Harus patuh, nggak boleh sembarangan ambil barang orang lain! Apa kamu hanya menganggapnya angin lalu? Cepat kembalikan sekarang juga! Apa kamu sudah bosan hidup dan mau masuk penjara? Anak nggak tahu aturan!"Wanita tua itu bergerak dengan cepat, langsung memarahi setelah memukul. Semua orang belum sempat bereaksi.Anak itu tertegun, begitu juga orang tuanya. Bahkan, Nadine juga terdiam di tempat."Huwe .... Nenek memukulku! Huhuhu ...." Anak itu akhirnya sadar dan langsung menangis keras di tempat. Kali ini benar-benar menangis, tanpa dibuat-buat."Aku nggak ambil! Aku juga nggak tahu barang itu di mana!""Coba ulangi lagi? Aku bisa menghajarmu sampai mati!" Wanita tua itu semakin marah dan cemas."Nggak mau bilang! Aku nggak mau bilang!""Berani-beraninya kamu melawan! Cepat kembalikan barang itu!" Wanita tua itu sangat serius kali ini. Dia memukul pantat anak itu beberapa kali.Di tengah keributan, pria dan wanita itu me
Nadine membuka pintu, lalu melangkah keluar dan memanggil dengan hati-hati, "Kak?"Pria itu menoleh. Detik berikutnya, matanya memancarkan kegembiraan, "Nadine?"Ternyata benar itu Aditya, putra tunggal Jonny dan Riana.Dia tidak membawa payung, kausnya sudah basah sebagian dan ujung rambutnya terus meneteskan air. Nadine segera mengeluarkan tisu dan menyerahkannya."Lap dulu. Sekarang memang musim panas, tapi rambut basah bisa menyebabkan masuk angin.""Terima kasih." Aditya menerima tisu itu, lalu mulai mengelap sambil berkata dengan penuh rasa syukur, "Kamu masih sama seperti dulu, perhatian dan baik hati."Toko buku ini terhubung dengan mal di sebelahnya. Karena sudah bertemu dan hujan masih turun, mereka memutuskan untuk makan siang bersama.Nadine menelepon Irene untuk mengabari bahwa dia tidak akan pulang makan siang. Irene hanya bertanya sedikit, lalu menutup telepon.Di restoran, musik merdu yang mengalun pelan membuat suasana hari hujan yang suram menjadi lebih cerah. Mereka
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala