Nadine segera memeriksa kulkasnya. Bahan masak yang dibeli kemarin masih banyak. Dia akan masak tumis daging kentang, iga asam manis, telur tomat, dan tumis sayur hijau.Nadine melakukan semua dengan cekatan, membuat Taufan yang tidak bisa masak merasa takjub. Taufan berkata, "Zaman sekarang kebanyakan orang selalu pesan makanan dari luar. Sudah nggak banyak wanita sepertimu."Nadine tersenyum tipis dan menyahut, "Kehidupan setiap orang berbeda. Aku sudah terbiasa masak sendiri."Taufan menatap sosok belakang Nadine, lalu mengamati ke sekeliling. Tempat ini tidak besar, tetapi sangat rapi dan enak dipandang.Di ruang tamu, ada rak buku yang dipenuhi buku. Dia melirik sekilas, menemukan semua itu adalah buku profesional. Di antaranya terdapat yang agak berbeda. Itu buku fisika.Taufan merasa kurang sopan jika mengamati rumah seorang wanita sampai sedetail itu. Jadi, dia berhenti memandang.Segera, Nadine menghidangkan masakannya dan nasi panas. Aroma yang wangi memenuhi seluruh ruangan.
Jelas-jelas masakan Nadine sangat lezat, tetapi Taufan malah merasa canggung. Setelah selesai makan, Taufan pun langsung pamit.Rumah seketika menjadi hening. Nadine membereskan semua peralatan makan. Tiba-tiba, ucapan Clarine terngiang di benaknya.Lambung Reagan berlubang .... Karena tidak fokus, Nadine tidak sengaja menjatuhkan piring hingga pecah.Nadine tanpa sadar memungut dengan tangan. Tangannya tergores. Dia merintih kesakitan. Air mata menetes.Enam tahun. Bukan enam hari atau enam bulan. Nadine sudah terbiasa merasa cemas mendengar Reagan masuk rumah sakit. Dia ingin menjenguk, tetapi akal sehat menghentikannya melakukan itu.Nadine yakin dirinya akan pelan-pelan terbiasa dan tidak akan menangis lagi. Dia dan Reagan saling mencintai hingga akhirnya merasa bosan dan berpisah. Entah sejak kapan, hubungan mereka mulai retak.Mungkin sejak Reagan mengingkari janjinya untuk pertama kali, mungkin sejak Reagan berbohong untuk pertama kali .... Nadine sudah mulai lupa. Hubungan enam
Awal bulan Juli suhu makin tinggi. BMKG sampai mengeluarkan peringatan. Selama seminggu ini, suhu terus mencapai 35 derajat. Pada saat yang sama, eksperimen Arnold akhirnya mencapai kemajuan.Arnold akhirnya bisa beristirahat. Dia menarik tubuhnya yang lelah ke lantai 7. Ketika hendak beristirahat dengan baik, tiba-tiba terdengar suara di seberang.Arnold tidak jadi memasuki kontrakannya. Dia berbalik menatap pintu yang tertutup rapat, lalu mengetuk pintu dan bertanya, "Nadine, kamu di rumah nggak?"Tidak ada respons apa pun. Arnold mencoba mengetuk lagi. Namun, hasilnya tetap sama. Arnold ragu-ragu sejenak. Ketika memikirkan harus melapor polisi atau tidak, tiba-tiba pintu terbuka.Nadine mengintip dari dalam dan hanya memperlihatkan sedikit celah. Dia bertanya, "Apa ada urusan?"Ekspresi Nadine terlihat datar. Nada bicaranya pun terdengar tenang seperti biasanya. Namun, entah mengapa, Arnold bisa merasakan bahwa suasana hati Nadine sedang buruk. Nadine seperti bunga mawar yang akan l
Ini adalah kesempatan emas bagi Nadine."Kalau kamu tertarik, bawa pulang saja untuk dibaca." Arnold mengambilkan flashdisk untuk Nadine dan meneruskan, "Di dalam sini ada data eksperimen yang rinci."Nadine menunduk. Matanya tampak berbinar-binar. Dia menyahut, "Terima kasih, akan kupertimbangkan dengan baik."Pukul 10 malam, Nadine pulang. Arnold mengantarnya sampai ke depan pintu rumahnya."Aku cuma tinggal di seberang. Kamu nggak perlu repot-repot mengantarku." Nadine tidak bisa menahan tawanya.Arnold tidak sengaja melirik jari tangan Nadine. Dia memperingatkan, "Plester luka nggak boleh ditempel terlalu lama. Lebih baik disinfeksi dengan yodium dan dibiarkan terbuka."Nadine tanpa sadar menekuk jari tangannya, lalu membalas, "Terima kasih, aku tahu kok."Arnold tidak berbicara lagi dan hanya mengangguk ringan. Kemudian, dia menyodorkan sebuah tanaman sukulen berwarna merah muda. "Ini untukmu."Nadine mengejapkan matanya dengan terkejut sekaligus gembira. Dia menatap tanaman sukul
Nadine selesai lari pagi. Setelah mandi, dia berdiri di balkon sambil melihat sederet tanaman hijau dengan berbagai bentuk. Kini, bertambah tanaman sukulen berwarna merah muda.Nadine menyentuh tanaman sukulen itu dengan telunjuknya. Suasana hatinya seketika membaik.Saat ini, ponsel di meja berdering. Ketika melihat nama Philip, dia menjawab panggilan dengan penasaran. "Philip, kenapa meneleponku? Apa ada urusan?""Kak Nadine, apa kabarmu belakangan ini?" tanya Philip."Lumayan. Gimana denganmu?" balas Nadine.Kesempatan akhirnya datang! Philip duduk dengan tegak dan berkata, "Aku ... kurang sehat.""Kenapa?" Nadine mengernyit."Mungkin karena bergadang dan minum alkohol. Lambungku sakit. Aku nggak selera makan dan terus terpikir akan bubur buatanmu. Aku ingin makan itu. Kamu bisa masak untukku nggak?" Philip memelas.Philip tidak akan berani mengatakan Reagan yang ingin makan bubur buatan Nadine. Dia terpaksa berkorban.Nadine mengenal Philip melalui Reagan. Selama bertahun-tahun ini
Stendy duduk di sofa. Ketika melihat Philip yang canggung, dia tersenyum tipis dan berkata, "Itu nggak usah kamu pikirkan. Philip bilang dia yang ingin makan bubur, makanya Nadine mau masak. Nadine nggak bakal datang kemari."Begitu mendengarnya, ekspresi Reagan menjadi masam. Dia melirik Philip dengan dingin dan bertanya, "Apa aku menyuruhmu mencarinya? Siapa suruh kamu membuat keputusan sendiri?"Philip pun menunduk. Dia berdeham sebelum menjelaskan, "Namanya juga aku mencemaskan kesehatanmu. Kamu makan sedikit sekali beberapa hari ini. kalau Kak Nadine nggak masak bubur, kamu pasti nggak mau makan."Ekspresi Reagan tampak dingin. Dia tidak melontarkan sepatah kata pun. Philip meneruskan, "Omong-omong, aku ke rumah Kak Nadine tadi. Sekarang tempat tinggalnya sempit dan kumuh, bahkan nggak ada lift. Dia harus naik tangga sampai ke lantai tujuh setiap hari. Kasihan sekali."Philip tidak lupa mengamati ekspresi Reagan. Reagan bergumam, "Rasain!" Namun, tebersit kecemasan pada tatapannya
Di dalam perpustakaan, Nadine mengerjakan dua lembar kertas soal berturut-turut. Dia terhenti saat mengerjakan soal terakhir.Nadine sudah menghitung cukup lama, tetapi tetap tidak menemukan solusi. Dia teringat pernah melihat bentuk soal yang mirip di sebuah buku. Dia berdiri dan menuju ke area peminjaman, lalu mulai mencari referensi dan bentuk soal yang serupa.Setelah mencari beberapa menit, Nadine hendak kembali ke tempat duduknya. Namun, buku di samping menarik perhatiannya.Judul bukunya adalah "Rekombinasi dan Penggabungan Urutan Gen". Nadine teringat dengan perkataan Arnold dan tanpa sadar mengambil buku itu.Sesudah membaca beberapa halaman, Nadine menemukan bahwa gagasan buku ini sangat mirip dengan pemikirannya. Dia membaca beberapa halaman lagi. Makin dibaca, makin menarik. Dia keasyikan membaca buku ini.Tiba-tiba, ponsel di dalam sakunya bergetar. Notifikasi WhatsApp muncul di layar. Itu adalah pesan dari Kelly.[ Tebak, aku di mana? ]Nadine mengira Kelly sedang bermain
Reagan menahan diri untuk mendengarkan beberapa saat sebelum akhirnya tak tahan lagi dan langsung menutup telepon. Kemudian, dia mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Kini, akhirnya dia bisa merasa tenang.Saat masuk ke vila, Reagan tidak lagi terlalu gelisah. Dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Ketika naik ke lantai atas, langkahnya tiba-tiba berubah. Tanpa sadar, dia malah menuju dapur.Di dapur, peralatan masak tersusun rapi dan bersih. Di benaknya, terbayang Nadine yang sibuk memasak di sana.Nadine butuh waktu lama untuk memasak bubur millet. Malam sebelumnya, dia harus menyiapkan bahan-bahannya, mencucinya, dan merendamnya. Keesokan paginya, setelah semuanya menjadi lembut, barulah dia akan merebusnya bersama millet.Reagan dulu merasa itu terlalu merepotkan dan memintanya untuk tidak melakukannya. Namun setiap kali pulang kerja, bubur yang hangat dan sehat selalu menunggunya di meja makan.Akhirnya, Reagan berhenti menegur Nadine dan mulai menikmati mak
Saat ini, Nadine tertarik pada sesuatu di rak lain, sama sekali tidak menyadari bahwa dua pria di sampingnya sedang berkonflik sengit.Setelah Arnold selesai membayar, dia menoleh dan melihat Nadine sedang menatap sebuah kue fondan di dalam etalase. Lima tingkat, setiap tingkat menampilkan figur karakter yang unik."Bagus?""Bagus." Nadine mengangguk. "Dibuat dengan sangat detail."Dia menunjuk ke tingkat kedua. "Pak, menurutmu orang yang berkacamata dan mengerutkan dahi ini mirip kamu nggak?"Arnold menatapnya sejenak, lalu menyahut dengan serius, "Nggak mirip. Aku 'kan nggak sering mengerutkan dahi."Nadine berujar, "Tapi, bisa jadi kamu sering mengerutkan dahi tanpa sadar? Misalnya, sekarang ini."Arnold langsung termangu, seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan. Dia mendadak merasa malu dan canggung."Hahaha ...." Nadine tidak bisa menahan tawa. "Kamu lucu juga."Saat mereka bertiga baru saja keluar dari toko kue, ponsel Arnold berbunyi."Halo, Ibu?""Arnold, pulang ke
Selesai makan, Inez pergi membayar tagihan.Keduanya hampir tidak menyentuh makanan mereka, masih tersisa cukup banyak di meja.Kedua ibu ini tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dengan kekhawatiran yang berbeda. Sementara itu, Stendy dan Arnold bisa dibilang sama-sama mendapatkan hasil yang memuaskan.Yang satu membeli jas, yang satu membeli sepatu kulit. Semuanya berjalan lancar.Stendy menawarkan, "Di depan ada jual teh susu, mau beli?"Arnold juga menawarkan, "Toko kue di sebelah situ cukup terkenal ...."Keduanya berbicara hampir bersamaan. Kemudian, mereka saling bertukar pandang, seakan-akan ada ketegangan yang tak terlihat.Stendy bertanya, "Nad, kita beli teh susu?"Arnold bertanya, "Mau lihat-lihat nggak?"Dua pria dewasa itu sama-sama menatapnya dengan penuh harap.Nadine sungguh kehabisan kata-kata. Lagi-lagi begini!"Gimana kalau kalian pergi beli sendiri dan aku ke toilet?"Stendy mengangguk. "Oke." Kemudian, dia menoleh ke Arnold dan bertanya dengan nada santai, "Pa
Begitu mendongak dan melihat Nadine, wajah yang awalnya tanpa ekspresi langsung tersenyum tipis.Nadine berpikir, karena ini untuk orang tua, memilih sepatu tidak bisa hanya mempertimbangkan modelnya, tetapi juga kenyamanannya. Namun, tidak bisa juga hanya mengutamakan kenyamanan dan mengabaikan modelnya.Dia teringat pertemuan di toko buku. Pria tua itu bertongkat, mengenakan rompi, rambut tersisir rapi, memancarkan aura seorang gentleman dari ujung kepala hingga kaki. Dalam hal berpakaian, beliau pasti juga sangat memperhatikan detail.Karena itu, Nadine menghabiskan lebih banyak waktu untuk memilih.Umumnya, bahan kulit untuk sepatu hanya ada beberapa jenis. Dia menunjuk 2 sepatu yang paling nyaman, lalu meminta pramuniaga untuk mengeluarkan semua model yang tersedia dengan bahan tersebut.Sementara itu, Arnold pergi ke toilet.Tak lama kemudian, Nadine sudah memilih 2 pasang."Menurutku dua-duanya bagus. Pak Stendy, kamu pilih salah satu?"Stendy langsung mengeluarkan kartu. "Pilih
Arnold berpikir sejenak. "Abu muda saja."Mata Nadine langsung berbinar-binar. Itu juga warna yang dia sukai!Arnold memberi isyarat pada pramuniaga. "Ambil yang ini, tolong gesek kartunya."Setelah Arnold berganti kembali ke pakaiannya sendiri, Nadine menunjuk ke kerah bajunya. "Ini belum rapi."Arnold mencoba merapikannya, tetapi tetap belum benar. Akhirnya, Nadine mengambil inisiatif untuk membantunya.Arnold cukup tinggi, jadi Nadine harus sedikit berjinjit. Keduanya berdiri sangat dekat, begitu dekat hingga bisa merasakan napas satu sama lain.Aroma khas dari tubuh Nadine meresap ke dalam indra penciuman Arnold. Jantungnya berdetak kencang, bahkan dia refleks menelan ludah.Arnold bisa merasakan dengan jelas jari-jari ramping Nadine yang merapikan kerah bajunya. Ujung jari hangatnya tanpa sengaja menyentuh kulit lehernya, mengirimkan sensasi seolah-olah ada aliran listrik yang menyentuh jiwanya.....Hari ini, Yenny ada janji makan malam dengan seseorang. Karena masih ada waktu, d
Henry langsung bersemangat. Bukan hanya memasukkan patung tanah liat ke dalam kotak, tetapi juga memberikan tas kertas sebagai tambahan."Hati-hati di jalan! Kapan-kapan mampir lagi ...."Henry melambaikan tangan ke arah punggung Arnold, lalu mendekat ke layar ponsel dengan bangga dan berkata, "Lihat, 'kan? Aku sudah bilang kalau aku jago membuat patung. Kakak tadi jelas sangat menyukainya!"[ Ehem! Sadar sedikit! Yang dia suka itu wanita tadi, bukan patung tanah liatmu! ][ Jadi, cowok tadi diam-diam kembali sendiri untuk membeli patungnya? ][ Aku tebak mereka berdua pasti masih belum mengungkapkan perasaan untuk satu sama lain. ][ Detektif di atas, aku salut padamu! ]....Nadine melihat Arnold kembali dengan sebotol air, tetapi di tangannya ada satu tas tambahan. Dia tidak bisa menahan rasa penasaran. "Itu apa?"Arnold menjawab dengan santai, "Cuma beli sedikit barang sekalian."Nadine tidak berpikir terlalu jauh. Mereka menyeberang dan berjalan menyusuri pusat perbelanjaan di dep
"Maaf!""Maaf ya ...."Keduanya berbicara dan mundur pada saat yang sama. Tatapan mereka bertemu. Selain rasa canggung, ada juga sedikit kehangatan yang mulai muncul."Kamu ....""Aku ....""Pak, gimana kalau kamu bicara dulu?"Arnold menunduk sedikit, seperti sedang berpikir atau mungkin ragu. Saat dia mendongak, sepertinya dia sudah mengambil keputusan besar. "Nad, sebenarnya aku ....""Lihat, sudah jadi ...." Suara santai dari pemilik lapak terdengar.Nadine yang wajahnya sudah merah karena malu, merasa seperti diselamatkan. Dia buru-buru menoleh ke arah pemilik lapak. "Secepat ini?""Gimana lagi? Aku memang seberbakat itu." Sambil menanggapi, dia menyodorkan patung tanah liat ke arah Nadine.Nadine hanya melirik sekilas, lalu sudut bibirnya langsung berkedut. Benar saja, tidak boleh berharap terlalu banyak.Patung-patung sebelumnya memang tidak begitu jelas, tetapi setidaknya masih memiliki fitur wajah. Namun, yang ini ....Tidak ada wajah, hanya dua bentuk manusia yang samar, deng
Arnold mengamati figur tanah liat itu dengan saksama. Sekilas memang terlihat seperti sosok manusia, tapi bentuknya hanya berupa garis besar yang samar. Bahkan, jika dibilang berbentuk manusia pun rasanya agak dipaksakan.Apalagi tentang detail ekspresi dan gerakannya, tidak ada satu pun yang terlihat! Akhirnya, Arnold mengutarakan pendapatnya dengan jujur. "Hmm ... sepertinya dibuat agak asal-asalan. Aku nggak bisa tebak."Dia melirik ke arah kerajinan lain yang dipajang di lapak itu. Ternyata, semua figur tanah liat di sini memiliki gaya yang sama. Singkatnya, mereka semua jelek. Namun, yang lebih aneh lagi, tidak ada penjual di lapak ini.Di sana hanya ada sebuah tripod dengan sebuah ponsel terpasang di atasnya. Yang lebih mencurigakan lagi, kamera ponsel itu menghadap ke arah mereka.Nadine berpikir sejenak, lalu berkata, "Memang terlihat asal-asalan, tapi kalau dilihat dari sudut ini ... sepertinya agak mirip Cupid, bukan?"Begitu dia selesai berbicara, seseorang tiba-tiba muncul
"Sudah makan siang?" tanya Arnold."Belum. Kamu?""Kebetulan, aku juga belum."Tatapan mereka bertemu. Sesuatu yang disebut "kekompakan" perlahan menyelimuti mereka.Dua puluh menit kemudian ....Nadine dan Arnold duduk di sebuah restoran barbeku. Di atas panggangan, lemak dari potongan daging sapi mulai meleleh dan mengeluarkan suara desisan menggoda.Daging yang sedang dipanggang itu berwarna keemasan dengan sedikit bagian yang renyah, menciptakan perpaduan sempurna antara lemak dan daging. Dengan gerakan terampil, Arnold membalikkan daging beberapa kali, memastikan bagian luarnya matang sempurna.Kemudian, dia mengambil selembar selada segar, meletakkan daging di atasnya, membungkusnya dengan rapi, lalu menyodorkannya ke arah Nadine.Nadine yang sedang sibuk membalas pesan di ponselnya, tidak langsung menyadari. Ketika mendongak, dia terkejut sesaat. "Pak Arnold, aku bisa ambil sendiri ...."Namun, Arnold tidak menarik kembali tangannya. "Buka mulut."Nadine terdiam.Arnold terkekeh
Nadine bercanda, "Kak, kamu mau berinvestasi di semua proyek laboratorium kami hanya dengan 200 juta? Murah sekali!"Aditya tertawa. "Mana berani aku punya mimpi sebesar itu? Satu proyek saja sudah cukup!"Karena dia sudah berbicara sejauh ini, Nadine akhirnya menerima uang itu.Aditya sendiri tidak pernah menyangka bahwa 200 juta yang dia berikan begitu saja dengan alasan sederhana ini, suatu hari nanti akan membawa keuntungan yang luar biasa besar baginya.....Setelah laboratorium baru mulai beroperasi, laboratorium sementara di Universitas Teknologi dan Bisnis tidak lagi digunakan. Dulu, Moesda berbaik hati meminjamkan tempat itu kepada mereka. Meskipun itu lebih karena koneksi dengan Arnold, Nadine tetap sangat berterima kasih.Oleh karena itu, dia membeli bunga dan buah-buahan pada hari Sabtu, lalu datang langsung untuk mengembalikan kunci laboratorium serta mengungkapkan rasa terima kasihnya.Kantor Moesda berada di lantai tiga gedung administrasi Universitas Teknologi dan Bisni