Nadine selesai lari pagi. Setelah mandi, dia berdiri di balkon sambil melihat sederet tanaman hijau dengan berbagai bentuk. Kini, bertambah tanaman sukulen berwarna merah muda.Nadine menyentuh tanaman sukulen itu dengan telunjuknya. Suasana hatinya seketika membaik.Saat ini, ponsel di meja berdering. Ketika melihat nama Philip, dia menjawab panggilan dengan penasaran. "Philip, kenapa meneleponku? Apa ada urusan?""Kak Nadine, apa kabarmu belakangan ini?" tanya Philip."Lumayan. Gimana denganmu?" balas Nadine.Kesempatan akhirnya datang! Philip duduk dengan tegak dan berkata, "Aku ... kurang sehat.""Kenapa?" Nadine mengernyit."Mungkin karena bergadang dan minum alkohol. Lambungku sakit. Aku nggak selera makan dan terus terpikir akan bubur buatanmu. Aku ingin makan itu. Kamu bisa masak untukku nggak?" Philip memelas.Philip tidak akan berani mengatakan Reagan yang ingin makan bubur buatan Nadine. Dia terpaksa berkorban.Nadine mengenal Philip melalui Reagan. Selama bertahun-tahun ini
Stendy duduk di sofa. Ketika melihat Philip yang canggung, dia tersenyum tipis dan berkata, "Itu nggak usah kamu pikirkan. Philip bilang dia yang ingin makan bubur, makanya Nadine mau masak. Nadine nggak bakal datang kemari."Begitu mendengarnya, ekspresi Reagan menjadi masam. Dia melirik Philip dengan dingin dan bertanya, "Apa aku menyuruhmu mencarinya? Siapa suruh kamu membuat keputusan sendiri?"Philip pun menunduk. Dia berdeham sebelum menjelaskan, "Namanya juga aku mencemaskan kesehatanmu. Kamu makan sedikit sekali beberapa hari ini. kalau Kak Nadine nggak masak bubur, kamu pasti nggak mau makan."Ekspresi Reagan tampak dingin. Dia tidak melontarkan sepatah kata pun. Philip meneruskan, "Omong-omong, aku ke rumah Kak Nadine tadi. Sekarang tempat tinggalnya sempit dan kumuh, bahkan nggak ada lift. Dia harus naik tangga sampai ke lantai tujuh setiap hari. Kasihan sekali."Philip tidak lupa mengamati ekspresi Reagan. Reagan bergumam, "Rasain!" Namun, tebersit kecemasan pada tatapannya
Di dalam perpustakaan, Nadine mengerjakan dua lembar kertas soal berturut-turut. Dia terhenti saat mengerjakan soal terakhir.Nadine sudah menghitung cukup lama, tetapi tetap tidak menemukan solusi. Dia teringat pernah melihat bentuk soal yang mirip di sebuah buku. Dia berdiri dan menuju ke area peminjaman, lalu mulai mencari referensi dan bentuk soal yang serupa.Setelah mencari beberapa menit, Nadine hendak kembali ke tempat duduknya. Namun, buku di samping menarik perhatiannya.Judul bukunya adalah "Rekombinasi dan Penggabungan Urutan Gen". Nadine teringat dengan perkataan Arnold dan tanpa sadar mengambil buku itu.Sesudah membaca beberapa halaman, Nadine menemukan bahwa gagasan buku ini sangat mirip dengan pemikirannya. Dia membaca beberapa halaman lagi. Makin dibaca, makin menarik. Dia keasyikan membaca buku ini.Tiba-tiba, ponsel di dalam sakunya bergetar. Notifikasi WhatsApp muncul di layar. Itu adalah pesan dari Kelly.[ Tebak, aku di mana? ]Nadine mengira Kelly sedang bermain
Reagan menahan diri untuk mendengarkan beberapa saat sebelum akhirnya tak tahan lagi dan langsung menutup telepon. Kemudian, dia mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Kini, akhirnya dia bisa merasa tenang.Saat masuk ke vila, Reagan tidak lagi terlalu gelisah. Dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Ketika naik ke lantai atas, langkahnya tiba-tiba berubah. Tanpa sadar, dia malah menuju dapur.Di dapur, peralatan masak tersusun rapi dan bersih. Di benaknya, terbayang Nadine yang sibuk memasak di sana.Nadine butuh waktu lama untuk memasak bubur millet. Malam sebelumnya, dia harus menyiapkan bahan-bahannya, mencucinya, dan merendamnya. Keesokan paginya, setelah semuanya menjadi lembut, barulah dia akan merebusnya bersama millet.Reagan dulu merasa itu terlalu merepotkan dan memintanya untuk tidak melakukannya. Namun setiap kali pulang kerja, bubur yang hangat dan sehat selalu menunggunya di meja makan.Akhirnya, Reagan berhenti menegur Nadine dan mulai menikmati mak
Di malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara pelan dari ujung telepon. "Nad, aku sakit." Suara pria itu terdengar sedikit gemetar. Dalam sekejap, Nadine merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya. Reagan adalah orang yang selalu keras kepala dan suka memaksakan diri. Pria itu sering minum alkohol sampai mengalami pendarahan lambung, bahkan bekerja lembur hingga lupa makan.Saat itu, Nadine sering mencari cara untuk membantunya menjaga kesehatan. Dia selalu memperhatikan makanan sehari-hari dan bahkan belajar pijat dari seorang ahli pengobatan tradisional.Setelah upaya yang panjang dan melelahkan, Nadine akhirnya berhasil memulihkan kondisi lambung Reagan. Namun, balasannya hanyalah keluhan seperti "merepotkan". Kadang-kadang saat Reagan kesal, dia akan berucap sambil mengernyit, "Kenapa kamu seperti ibuku?"Kenangan-kenangan yang hampir terlupakan itu muncul kembali, tetapi perasaan sakit hati yang Nadine rasakan segera mereda.Nadine membalas dengan dingin, "Aku bukan dokter. Kalau s
Dengan sedikit tidak nyaman di hatinya, Eva menggoyangkan lengan Reagan sambil bertanya, "Sayang, ada apa?"Reagan kembali sadar. Dia melambaikan tangan seraya membalas, "Bukan apa-apa. Aku sudah baikan. Kamu fokus saja dengan kuliahmu, nggak usah bolak-balik ke sini lagi.""Beberapa hari ke depan, aku akan sangat sibuk dengan urusan perusahaan. Jadi, mungkin nggak punya waktu untuk menemanimu," lanjut Reagan.Eva terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berucap sambil tersenyum, "Oke, aku mengerti."Setelah keluar dari vila, senyum di wajah Eva perlahan memudar. Hatinya terasa berat dan tatapannya terlihat sedikit muram. Tadi, jelas sekali Reagan teringat dengan sesuatu. Padahal sebelumnya tidak begitu.Setelah ragu beberapa saat, Eva akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menelepon Teddy. Dari semua teman dekat Reagan, dia hanya punya kontak Teddy.Begitu telepon tersambung, Eva berbicara dengan ceria, "Malam, Kak Teddy. Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah sakit akhir-akhir ini? Aku baru
Taufan memang pantas menjadi murid kesayangan dosen. Meskipun dia dan Nadine tidak mengambil jurusan yang sama, mereka sering menemukan banyak kesamaan saat berbicara. Saat obrolan mulai mendalam, Nadine merasa cukup senang.Nadine sedang mempersiapkan ujian masuk pascasarjana. Sebagian besar materi sudah dikuasainya, tetapi dia belum terlalu memahami arah penelitian utama di bidangnya. Dia harus banyak membaca makalah. Ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.Dalam hal ini, sebagai mahasiswa pascasarjana yang masih berkuliah, Taufan lebih unggul dibandingkan Nadine yang sudah meninggalkan kampus beberapa tahun.Di belakang mereka, Reagan melihat keduanya berbicara dengan gembira. Dia pun mengepalkan tangannya erat-erat.Reagan merasa sakit hati karena Nadine begitu keras hati padanya. Tak peduli bagaimana dia memohon, Nadine tetap tidak mau menemuinya. Namun kepada pria lain, dia bisa tersenyum begitu bahagia.Nadine memasak banyak hidangan dengan berbagai rasa. Taufan sudah tahu
"Nadine, sekarang kamu makin hebat ya. Kamu terus gonta-ganti pasangan, liar sekali," sindir pria itu. Dia bertanya dengan ketus, "Siapa pria itu? Apa yang kalian lakukan di lantai atas?"Ekspresi Nadine menjadi muram. Dia kesakitan karena tangannya dicengkeram pria itu. Nadine berusaha melepaskan diri, tetapi tenaga pria itu sangat kuat.Cengkeraman pria itu makin kuat saat Nadine memberontak. Nadine membentak, "Reagan, lepaskan aku!""Jawab aku dulu!" tegas Reagan.Nadine mengernyit. Dia berusaha menahan rasa sakit dan membalas, "Apa urusannya denganmu?"Reagan menimpali, "Sebagai mantan pacar, nggak ada salahnya kalau aku memperhatikan hubungan asmaramu, 'kan?"Nadine tersenyum, lalu menatap Reagan dan menanggapi, "Ternyata kamu tahu kamu itu mantan pacarku. Jadi, untuk apa kamu datang?"Reagan terdiam sejenak sebelum menimpali, "Aku hanya lewat."Kemudian, seorang pria tua berjalan masuk ke gang sambil marah-marah, "Siapa yang menghentikan mobil di depan gang? Jalannya begitu sempi
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala
Nadine menoleh. Stendy menatapnya dengan bingung."Pak Stendy, sepertinya aku merepotkanmu lagi."Stendy sempat tertegun, lalu tersenyum tipis, "Aku suka direpotkan olehmu."Nadine menunduk, "Tapi rasa sukamu itu ... sepertinya aku nggak punya apa pun untuk membalasnya selain dengan ucapan terima kasih. Apakah itu sepadan?"Sebuah kalimat dengan makna ganda.Stendy tidak menyangka Nadine akan berterus terang seperti ini. Dia diam sejenak, lalu tetap tersenyum, "Sejak awal, sikapmu sudah sangat jelas. Tapi, sikapku juga sama jelasnya. Menolak adalah hakmu, tapi bertahan adalah pilihanku. Aku selalu percaya ...."Nadine mengangkat wajah.Stendy menatap matanya, lalu berkata dengan pelan, "Ketulusan akan menembus hati sekeras apa pun. Kalau sekarang belum tembus, berarti waktunya belum tiba.""Kalau waktunya memang nggak pernah datang?" tanyanya."Aku akan terus menunggu.""Itu akan membuatmu kecewa," ujarnya."Aku siap kalah, jadi aku nggak takut," jawabnya.Nadine membungkuk masuk ke da
Pria gemuk itu juga akhirnya berhenti berpura-pura, "Kami ini sudah sangat sopan sama kamu! Kalau di kampung kami, wanita keras kepala seperti kamu sudah dihajar sampai babak belur! Kalau kamu nurut dan kasih satu miliar, kami langsung pergi!"Si kakek menghela napas, lalu mulai berperan pura-pura bijak, "Nona, kenapa harus begini? Kalau kamu tadi nurut dari awal, dua anakku juga nggak bakal marah. Cuma karena uang segitu, kamu rela mempertaruhkan keselamatanmu?""Kami cuma cari uang. Kamu saja nyetir Mercy. Uang satu miliar cuma recehan bagi kamu. Tenang saja, kami orangnya bisa dipercaya. Selama kamu mau bayar, kami langsung pergi dan nggak akan ganggu kamu lagi!"Nadine tak menyangka mereka seberani ini. Sudah tidak memakai kedok sama sekali. Apa bedanya dengan perampokan?Meski belum pernah mengalami situasi seperti ini, dia tetap tahu prinsip mengorbankan harta demi keselamatan. Akan tetapi ... satu miliar? Mustahil.Dengan wajah dingin, dia menjawab, "Aku cuma punya 60 juta. Mau