Laboratorium di bulan Juni tetap sibuk. Nadine bekerja tanpa henti selama dua minggu ini. Akhirnya, dia bisa beristirahat satu hari.Pagi-pagi, setelah memberi makan ikan, Jeremy meneleponnya. "Nadine, kamu sudah bangun?""Hm, sudah.""Kenapa nggak tidur sebentar lagi? Setahuku kamu nggak perlu ke laboratorium hari ini. Hari ini kamu istirahat, 'kan?""Aku sudah terbiasa. Ibu di mana?""Di ruang kerja.""Lagi nulis novel?""Ya. Kamu juga tahu, pagi-pagi dia paling banyak ide."Nadine teringat pada kontrak ibunya. Tatapannya menjadi serius. "Ayah, belakangan ini editor Ibu ada datang nggak?""Nggak ada, kenapa? Biasanya mereka lebih sering komunikasi online.""Oh, nggak apa-apa. Cuma tanya kok."Setelah selesai bertelepon, Nadine pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di sisi lain, Jeremy pergi ke halaman belakang untuk merawat tanamannya.Irene masih duduk di depan komputer di ruang kerja. Dia fokus mengetik. Kata demi kata mengalir dengan lancar, sampai akhirnya membentuk satu per s
Dengan tatapan sinis, Karen mengamati Lauren dari atas ke bawah. "Heh! Dari penampilanmu ini, kamu jelas bukan wanita baik-baik. Di luar terlihat bersih, tapi siapa tahu semalam kamu melayani berapa banyak pria!"Lauren termangu untuk sesaat. Dia tidak menyangka akan dicaci sekejam ini. Semua kata-kata itu adalah penghinaan pada harga dirinya."Ka ... kamu ...." Tubuh Lauren gemetar karena marah. Namun, dia tidak bisa membalas Karen dengan kata-kata yang sama kotornya."Aku? Aku apa? Lidahmu pendek sampai nggak bisa bicara jelas ya? Pasti tarifmu murah. Seratus ribu? Atau 200 ribu? Nggak mungkin sampai 500 ribu, 'kan? Kamu nggak pantas untuk harga itu!"Wajah Lauren memerah saking marahnya. "Aku nggak mau berdebat dengan wanita gila sepertimu. Kamu ini benar-benar nggak tahu malu dan menjijikkan!""Oh, kamu mulai menggunakan kalimat berbelit-belit? Aku juga bisa! Dasar pelacur, jalang, wanita murahan!" balas Karen.Lauren terdiam untuk sesaat. "Aku nggak mau berdebat denganmu. Aku tida
Setelah sarapan, Nadine mulai membersihkan rumah. Sudah setengah bulan dia tidak beberes, jadi banyak debu yang menumpuk.Pagi berlalu begitu saja. Setelah istirahat, dia bersiap-siap keluar untuk membeli bahan makanan. Baru saja dia mengganti pakaiannya, tiba-tiba Kelly meneleponnya."Nad, kamu di rumah nggak?""Ya, ada apa?""Aku ... tiba-tiba kepikiran masakanmu."Karena sudah lama bersahabat, Nadine langsung tahu ada yang tidak beres dengan suasana hati Kelly."Ada apa? Ada masalah?""Nggak ... cuma sudah lama nggak ketemu, jadi kangen." Suara di ujung telepon terdengar agak lesuNadine terdiam sejenak dan tidak menanyakan lebih lanjut. Dia hanya berkata, "Kalau begitu, datang saja. Aku masak untukmu.""Siap! Aku akan sampai dalam 40 menit!"Nadine segera keluar untuk membeli bahan makanan. Tidak lama setelah dia pulang, Kelly pun sudah sampai.Begitu masuk, Kelly langsung bersandar di tubuh Nadine dan tidak mau melepaskannya. "Kamu memang yang terbaik. Semua yang kamu beli adalah
Nadine tidak bisa berkata-kata untuk sesaat. Kelly pasti sengaja, 'kan? Jika tidak, bagaimana mungkin teleponnya langsung tersambung ke Arnold? Kalau orang lain, mereka tidak mungkin datang secepat ini!Sepuluh menit kemudian, Nadine sudah menenangkan Kelly. Kemudian, dia keluar dari kamar dan menutup pintu dengan pelan.Begitu berbalik, Nadine melihat Arnold duduk di sofa ruang tamu. Matanya tertuju pada tumpukan kaleng bir yang belum sempat dibersihkan."Semua ini dia yang minum?" Suara Arnold tidak terdengar tegas, tetapi Nadine bisa merasakan tekanan yang ada.Nadine menjawab jujur, "Aku minum sedikit.""Cuma sedikit?" Arnold menatapnya dalam-dalam.Nadine menyerah. "Ehem! Dua kaleng ... seharusnya nggak banyak, 'kan? Tapi, aku benaran nggak mabuk."Kelly mabuk karena suasana hatinya buruk dan ingin melupakan masalah dengan alkohol. Selain itu, dia juga membuka anggur di lemari. Campuran dua jenis alkohol membuat efeknya semakin kuat.Arnold terlihat agak pusing. "Kamu duduk saja,
Arnold yang disebut Kelly jarang berhubungan dengannya dan menjadi asing setelah tumbuh dewasa, ternyata begitu peduli padanya.Sebenarnya tidak ada yang perlu diherankan. Arnold memang terlihat cuek, tetapi Nadine tahu itu cuma karena dia terlalu sibuk. Dia tidak punya waktu untuk memperlihatkan perhatiannya kepada orang lain. Sebenarnya, hatinya lebih lembut daripada siapa pun."Kalau kejadian seperti ini terulang lagi, kamu bisa menghubungiku kapan saja."Arnold berjeda, lalu melirik ke samping. "Alkohol bisa merangsang sistem saraf, menyebabkan gejala seperti mual atau pusing. Bahkan ada yang sampai pingsan. Sebaiknya jangan sering-sering minum. Gimana menurutmu?"Ketika menyadari bahwa Arnold sedang menasihatinya, wajah dan telinga Nadine sontak memerah. Dia berdeham, lalu membela diri, "Efek sampingnya memang banyak, tapi bisa membantu orang melupakan masalah. Sesekali melepaskan emosi bukan cara yang salah, 'kan?"Arnold tidak menyangka Nadine bukan hanya tidak membantah, tetapi
Dini hari, turun hujan deras. Reagan kembali ke vila dan memarkirkan mobilnya, tetapi dia tidak mau keluar.Reagan menatap rumah yang ada di depannya. Kini, tempat ini tidak bisa disebut rumah lagi karena tidak ada kehadiran Nadine.Reagan mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Karena pintu dan jendela tertutup rapat, asap rokok tidak bisa keluar.Cahaya merah terlihat membara di antara jari Reagan. Bersama dengan asap putih yang membubung, pandangan Reagan menjadi kabur. Reagan seolah-olah terperangkap dalam kegelapan.Setelah menghabiskan sebatang rokok, tatapan Reagan yang tadinya linglung menjadi jernih kembali. Dia tidak mungkin melepaskan Nadine!Dia memang telah kehilangan Nadine, tetapi bukan berarti tidak bis memilikinya lagi di masa depan. Asalkan bisa mendapatkan Nadine kembali, semua akan kembali seperti semula.Reagan membuka pintu mobil dan turun, lalu membuang puntung rokok dan memasuki vila. Eva berdiri di depan pintu sambil tersenyum manis. Reagan melihat jam t
"Kak Reagan, aku bantu kamu ikat dasi.""Heh ... hari ini aku pakai kemeja hitam."Eva terdiam sejenak, tampak bingung. "Aku tahu kok."'Sudahlah.' Reagan menyerah. Dia hanya bisa bilang mereka tidak cocok.Kemeja hitam dipadukan dengan dasi warna campuran, heh .... Cuma Eva yang bisa membuat perpaduan seperti itu.Reagan menepis tangan Eva, "Kalau nggak bisa, mending nggak usah."Setelah itu, dia langsung pergi tanpa peduli pada ekspresi Eva.....Malam hari, Reagan meninggalkan kantor setelah selesai kerja. Dia masuk ke mobil, menyalakan sebatang rokok, tetapi tidak langsung menyalakan mesin mobil.Setelah rokoknya habis, Reagan memadamkan apinya dan mengendarai mobilnya. Dia tidak ingin kembali ke vila, jadi memutari pinggir sungai beberapa kali.Di tengah perjalanan, Rebecca menelepon, tetapi Reagan tidak mengangkat. Dia terus menyetir, tanpa sadar tiba di ujung gang yang sudah sangat familier.Kali ini, Reagan lagi-lagi dimarahi karena parkir sembarangan."Dasar! Kamu kira nyetir
"Ya, Teddy juga ada di sini.""Di bar mana?""Di tempat yang biasa kita datangi.""Aku segera ke sana."....Di bar, terdengar musik yang bising. Begitu pintu ruang privat ditutup, tempat ini seolah-olah terpisah dari dunia luar."Halo, Reagan." Teddy memeluk seorang wanita bertubuh montok dan berpakaian minim. Saat melihat Reagan membuka pintu, dia menyapanya dengan senyuman.Reagan langsung duduk di sofa. Teddy memberi isyarat mata pada wanita di sampingnya. Wanita itu langsung mendekati Reagan dengan senyuman menggoda."Jangan sentuh aku." Reagan menahan tangan wanita itu dengan lincah, lalu menjauhkannya dari pahanya.Senyuman wanita itu membeku. Kemudian, dia menatap Teddy dengan tatapan meminta tolong."Kenapa? Nggak suka ya?" Teddy mengangkat alisnya "Mau ganti yang lain?"Reagan menuangkan segelas anggur untuk dirinya sendiri. "Nggak tertarik.""Wow! Dulu kamu nggak begini. Setelah putus dari Nadine, bukannya kamu seharusnya bebas? Jangan-jangan ... istrimu yang hamil itu menga
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa
Keesokan paginya, Nadine keluar untuk jogging pagi. Setelah punya lebih banyak waktu luang, dia kembali pada kebiasaan lari pagi. Setiap kali selesai lari dan mandi, dia merasa segar dan bertenaga sepanjang hari."Pagi, Pak Arnold.""Pagi."Arnold baru saja selesai berlari dan bersiap pulang. Namun, melihat Nadine, dia berbalik arah. "Ayo, kutemani kamu lari sebentar.""Nggak mengganggu jadwalmu di laboratorium?""Proyek baru sekarang ditangani sama Calvin, jadi aku nggak terlalu sibuk belakangan ini.""Wah, Pak Calvin pasti punya banyak keluhan," canda Nadine."Keluhan nggak akan berguna, tetap saja dia harus bekerja," jawab Arnold dengan wajah serius. Kalau Calvin mendengar itu, dia mungkin akan langsung frustasi.Keduanya berlari mengelilingi taman dua putaran. Ketika Nadine mulai terlihat kelelahan, Arnold menyadari hal itu."Atur napas, perhatikan ritme. Ikuti aku ... tarik, hembus, tarik, hembus ...."Nadine mengikuti instruksinya dan merasa lebih baik. "Wah, jadi lebih ringan!"
"Astaga!" Kelly langsung menepis tangan Teddy dari pundaknya, berdiri tegak, sambil diam-diam bersyukur karena sudah membuang puntung rokok lebih awal.Nadine butuh usaha besar untuk menutup mulutnya yang ternganga. "Ehm .... Kel, kamu lupa tasmu tadi."Dia sebenarnya cuma mau mengembalikan tas, tapi malah menyaksikan apa ini? Kelly terlihat bersandar mesra dengan seorang pria? Punggung pria itu ... kenapa rasanya tidak asing?Saat keduanya berbalik, teka-teki itu terjawab.Itu Teddy?!Jadi ... ini yang disebut Kelly sebagai "mitra kerja samanya"?Kelly berjalan mendekat dan mengambil tas dari tangan Nadine. "Makasih ya, Nadine! Malam-malam begini masih repot-repot ngantarin tasku. Cepat naik ke atas, sudah malam, bahaya di luar. Aku tunggu di sini sampai kamu di balkon, ya. Kalau sudah sampai, lambaikan tangan biar aku yakin.""Oke."Nadine berbalik dan pulang ke apartemennya. Dia tahu betul siapa Kelly. Meskipun temannya terlihat santai dan tanpa beban, dia selalu punya rencana matan
"Kalau nggak mau nunggu, ya pergi saja. Siapa juga yang mau ketemu kamu?" Kelly mendengus sambil memutar bola matanya. "Lihat sikapmu itu. Kamu yang butuh bantuan, 'kan?"Teddy menarik napas dalam-dalam, menahan diri. Wanita ini bisa bela diri. Kalau dia sampai membuat wanita ini marah, yang rugi adalah dirinya sendiri."Jangan marah dong," Teddy langsung mengganti wajahnya dengan senyuman, "Aku sudah bilang ini kasus darurat. Kamu santai begini, gimana aku nggak curiga?""Ada apa, langsung bilang." Kelly melirik ke dalam mobilnya. "Eh, itu ... ada rokok nggak?""Buat apa?""Kasih aku satu."Teddy terdiam. Dengan pasrah, dia kembali ke mobil, mengambil rokok dan korek api, lalu menyerahkannya. Namun, Kelly tidak langsung menerima. Dia menyilangkan tangan di depan dada dan menatapnya dengan senyum mengejek."Oke," Teddy mengangguk dan memasang ekspresi sabar. "Aku ini bukan cari pacar, aku malah cari majikan." Dia lalu menyalakan rokok untuk Kelly.Ini pertama kalinya Teddy menyalakan r
"Di mana kamu? Kenapa selama beberapa hari ini teleponku nggak kamu angkat?! Apa sekarang kamu bahkan nggak peduli lagi sama ibumu?"Tiga pertanyaan berturut-turut. Nada bicaranya semakin tajam di setiap kalimat.Reagan menjawab dengan tenang, "Aku lagi dinas. Sibuk, jadi nggak sempat angkat telepon.""Kamu sekarang juga harus pulang! Sekarang! Kalau kamu nggak pulang, jangan pernah anggap aku sebagai ibumu lagi!"Mendengar nada bicara ibunya yang tidak seperti biasanya, Reagan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa banyak bertanya, dia menutup telepon dan langsung menuju rumah lama keluarganya.Begitu sampai di depan pintu, dia mendengar suara pecahan vas bunga. Reagan berhenti sejenak, lalu masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku sudah pulang."Mendengar suaranya, Rebecca muncul dari dalam. Tanpa menunggu, dia langsung memarahi Reagan habis-habisan."Orang macam apa yang kamu pilih?! Kalau Eva itu memang murahan, aku masih bisa terima, tapi keluarganya juga seperti preman pasar! Terutama i
Keributan di luar begitu besar sehingga menarik perhatian para nyonya yang sedang berkumpul di ruang pertemuan.Ketika mereka melihat keluar, pemandangan yang mereka lihat membuat mata mereka membelalak. Rebecca dengan rambut berantakan, sedang ditarik-tarik oleh seorang wanita yang terus memakinya tanpa henti.Luar biasa! Skandal sebesar apa ini? Para nyonya saling menatap dan bertukar pandangan penuh arti. Melihat banyak orang mulai berkumpul, Lupita semakin bersemangat."Semua orang, lihat baik-baik! Ini dia wanita itu! Anaknya mempermainkan perasaan putriku, membuat putriku hamil, tapi nggak mau bertanggung jawab!""Putriku adalah gadis baik-baik, masa depannya hancur begitu saja! Bukannya meminta maaf, dia malah menghindar dan nggak mau menemui kami? Memangnya keluarga kami ini nggak punya harga diri?!"Lupita sambil berbicara mulai menggulung lengan bajunya, bersiap untuk aksi lebih lanjut."Ayo, semua rekam ini! Sebarkan videonya ke internet, biar seluruh masyarakat tahu seperti
"Kenapa satpam belum datang juga?! Cepat tahan mereka ...."Di tengah kekacauan itu, Lupita berhenti berpura-pura sopan dan berteriak lantang, suaranya menggema di lobi. "Rebecca mana?! Siapa yang namanya Rebecca?! Aku mau bicara sama Rebecca! Suruh dia keluar sekarang juga!"Dua hari sebelumnya, Lupita dan putranya, Rocky, tiba di Kota Juanin. Begitu sampai, mereka langsung pergi menjenguk Eva yang masih dirawat di rumah sakit, lalu ....Mereka tinggal di kamar pasien itu.Lupita berkata, "Kenapa harus tinggal di hotel? Hotel kan mahal! Menurutku kamar rumah sakit ini sudah cukup bagus, luas, terang, dan yang paling penting, gratis!""Tapi cuma ada satu tempat tidur. Kamu dan Rocky ....""Kenapa? Kami ibu dan anak, apa yang perlu dipermasalahkan?"Rocky yang baru saja selesai makan siang, ikut menimpali sambil membersihkan giginya, "Iya, betul! Aku dan Ibu juga sering tidur bareng di rumah. Hemat listrik, cukup pakai satu AC."Tidak peduli seberapa keras Eva mencoba membujuk mereka, h
Teddy tersenyum percaya diri. "Koneksiku jauh lebih luas daripada si Jim ... apalah tadi namanya."Kelly menatapnya selama beberapa detik dengan ekspresi aneh, sebelum berkata, "Kamu yakin mau kerja sama denganku?""Tentu saja. Kenapa? Pandanganmu itu meremehkan aku, ya?"Kelly memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi.Keluarga Teddy jelas tidak perlu diragukan. Salah satu dari delapan keluarga besar di Kota Juanin, mereka berada beberapa level di atas Keluarga Tanoto.Dan Teddy sendiri, meski playboy dan punya banyak skandal, dia terlihat cukup stabil secara emosional. Bahkan tadi dia tidak membalas ketika ditampar, menunjukkan bahwa dia bisa bersikap tenang dan sedikit gentleman.Meski gaya hidupnya liar, itu tidak masalah bagi Kelly. Lagi pula, dia juga hidup dengan cara yang sama! Bagus. Mereka tidak akan saling mengatur.Kalaupun bertemu di kelab malam, mereka mungkin malah bisa bersenang-senang bersama.Yang terpenting, Teddy adalah tipe pria yang bisa dengan
Wanita itu selesai berbicara, lalu berbalik dan pergi dengan langkah tegas. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan ritme yang mantap. Teddy hanya tertawa kecil, sama sekali tidak memedulikan kutukan wanita itu.Pahitnya cinta?Huh! Omong kosong!Belum lama wanita itu pergi, seorang gadis muda keluar dari bar. Dia mengenakan rok pendek, memperlihatkan sepasang kaki panjang nan putih, rambut ikalnya terurai indah, dengan riasan wajah yang sempurna."Pak Teddy ...."Gadis itu mendekat dengan percaya diri, mengira pria itu tidak akan menolak. Namun, di luar dugaannya, Teddy justru menghindar dengan cepat. Dia mengulurkan tangannya dan malah merangkul pinggang Kelly serta menariknya ke dalam pelukannya.Kelly yang tadinya sedang asyik menonton drama, langsung terkejut. Teddy menatap gadis itu dengan santai. "Maaf ya, kamu telat datang."Gadis itu menggigit bibirnya, melirik Kelly dengan kesal, lalu pergi dengan berat hati."Pakai aku sebagai tameng?" Kelly melipat tangan di depan dada