Saat ini, terdengar suara staf. "Masalah jalur sudah teratasi. Silakan berbaris untuk keluar."Orang-orang mulai berbaris sehingga kekacauan pun berakhir. Nadine malas menghiraukan Reagan. Dia langsung berjalan keluar.Reagan menarik lengannya dari genggaman Eva, lalu mengikuti di belakang. Eva menggertakkan gigi sambil memanggil, "Kak, tunggu aku ...."Di depan sana, Kelly sudah menunggu di luar sejak tadi. Ketika mendengar ada masalah di dalam, dia langsung cemas karena Nadine belum keluar. Kalau bukan karena dihalangi staf, dia pasti sudah menerobos masuk.Untungnya, sebelum 30 menit berlalu, Nadine keluar dalam keadaan selamat. Kelly buru-buru menghampiri dan bertanya, "Kamu baik-baik saja, 'kan? Tadi aku dengar suara alarm. Mengejutkanku saja.""Aku nggak apa-apa. Ayo, kita pulang." Setelah bermain seharian, Nadine benar-benar sudah lelah.Kelly mengangguk. "Ya sudah, kita .... Eh? Bukannya itu Reagan?"Terlihat Reagan dan Eva berjalan keluar bersama."Kenapa bisa ketemu 2 makhluk
Reagan sedang menikmati makan malam romantis dengan Eva di restoran. Ketika melihat pesan-pesan itu, ekspresinya langsung menjadi masam. Eva tentu melihatnya. Dia bertanya dengan hati-hati, "Ada apa?"Reagan menahan emosinya dan tidak melontarkan sepatah kata pun. Kemudian, dia membalas pesan.[ Bukan urusanku. ]Stendy menatap layar ponsel sambil tersenyum misterius dan mengirim pesan lagi.[ Sepertinya kali ini kalian serius mau putus ya? ]Reagan melirik sekilas, lalu menggertakkan gigi dan mengetik pesan yang berusaha menunjukkan dirinya tidak peduli.[ Ya. Kamu keberatan? ][ Stendy: Nggak, aku nggak keberatan. ]Stendy menambahkan emotikon menyerah di belakang pesannya.[ Stendy: Gimana kalau ada pria yang mengejar Nadine? Kamu seharusnya nggak keberatan, 'kan? ][ Teddy: Kenapa? Jangan-jangan kamu ingin mengejar Nadine? ]Dengan ekspresi agak suram, Stendy mengirim GIF mengangguk.[ Philip: Hahahaha! ][ Stendy: Dasar kamu ini. ]Tidak ada yang percaya. Reagan tidak peduli. Dia
Stendy tidak banyak tanya. Dia tersenyum dan menawarkan, "Aku baru buka burgundi ini. Mau nggak?"Stendy menuangkan setengah gelas untuk Reagan, lalu menyodorkannya. Reagan mengambilnya dan menyesapnya. Dia memuji, "Hm, lumayan."Sesaat kemudian, Reagan berpura-pura bertanya dengan tidak peduli, "Bukannya kamu bilang ada Nadine di sini? Kenapa aku nggak melihatnya?""Jangan-jangan kamu kemari untuk melihatnya?" goda Stendy sambil menggoyang gelasnya dan tersenyum tipis."Heh. Aku cuma datang untuk minum-minum. Masa tanya saja nggak boleh?" sahut Reagan dengan ekspresi suram.Stendy mengedikkan bahu dan berkata, "Aku ketemu dia di koridor tadi. Dia juga datang untuk minum-minum. Tapi, aku rasa dia sudah pulang sejak tadi."Reagan tidak berbicara lagi. Hanya saja, ekspresinya menjadi lebih baik. Ternyata, Nadine memang tidak cocok dengan lingkungan seperti ini.Reagan meletakkan gelasnya, lalu bangkit dan berujar, "Aku masih harus kerja besok. Aku pergi dulu. Kutraktir kalian semua hari
Kehidupan belajar sangat membosankan, tetapi Nadine sudah terbiasa. Hari ini, dia selesai belajar. Setelah pulang, Nadine memijat bahunya dan ingin istirahat. Namun, Freya tiba-tiba meneleponnya.Freya menanyakan kemajuan belajar Nadine. Nadine melaporkan secara singkat. Freya pun tidak bertanya lagi karena Nadine bukan mahasiswi yang perlu dicemaskannya.Nadine tersenyum. Tiba-tiba, Freya berkata, "Besok pagi kamu datang ke rumahku."Usai mengatakan itu, Freya buru-buru mengakhiri panggilan karena khawatir ditolak Nadine.Keesokan hari, Nadine bangun pagi dan menghabiskan 30 menit untuk masak sarapan. Tentunya, dia tidak lupa menyiapkan sarapan untuk Arnold yang tinggal di sebelah.Sejak kemarin, Nadine tidak mendengar suara apa pun dari kamar Arnold. Dia bisa menebak bahwa Arnold bergadang di laboratorium.Begitu membuka pintu, Nadine benar-benar bertemu Arnold yang baru pulang. Sudah 2 minggu berlalu sejak malam hujan itu. Mungkin karena bekerja keras di laboratorium, pakaian Arnold
"Ingatanmu sangat hebat. Seingatku ada buku yang membahas tentang pengujian genetik di sini. Kenapa nggak ketemu ya?" keluh Freya.Daya ingat Nadine tidak sehebat itu, tetapi dia selalu mengingat pokok penting. Kebetulan sekali, dia membaca buku itu di perpustakaan 2 hari lalu. Tatapannya menyapu ke rak buku. Sesaat kemudian, dia bertanya, "Bu, ini bukunya?"Freya melihat sampul buku itu, lalu menyahut, "Ya, ya! Matamu tajam sekali. Aku cari setengah mati, tapi ternyata ada di depanku.""Taufan, sini. Buku ini ditambah beberapa tesis, seharusnya sudah cukup untuk dijadikan referensi. Kamu ambil dulu buku ini. Nanti kucari lagi buku lain," ujar Freya."Terima kasih, Bu." Taufan menerimanya. Dia sedang menulis tesis, tetapi kekurangan data. Karena mendengar Freya punya buku yang dia butuhkan, dia pun datang kemari.Freya lupa dirinya belum memperkenalkan Nadine kepada Taufan. Dia berkata, "Ini Nadine. Dulu dia muridku, sebentar lagi dia juga bakal jadi muridku lagi."Taufan termangu. Ses
Eva memasang alarm pukul 7 pagi, tetapi terlambat bangun. Dia hampir terlambat, makanya terburu-buru begini."Lantai berapa?" tanya Nadine sambil menatap Eva dengan tenang."Lantai 2." Kalau dibandingkan dengan Nadine yang tenang, Eva yang berlarian jelas terlihat sangat kacau. Dia hanya bisa menggertakkan gigi dengan kesal.Keduanya sama-sama menuju ke lantai 2. Eva menyadari sesuatu, lalu melihat buku-buku di tangan Nadine. Dia bertanya dengan ekspresi aneh, "Kamu juga mau ke perpustakaan? Kamu mau ikut ujian pascasarjana?"Nadine tidak merespons dan ekspresinya terlihat datar. Eva meneruskan sendiri, "Banyak mahasiswa yang nggak lolos. Kamu sudah tamat bertahun-tahun. Mana mungkin bisa lolos?"Nadine membalas dengan nada datar, "Itu bukan urusanmu. Kamu bilang banyak mahasiswa yang nggak lolos. Apa kamu salah satunya?"Eva hampir mengamuk. Tahun ini adalah tahun ketiga kuliahnya. Dia tidak ingin bekerja, jadi berniat kuliah S2 juga. Lagi pula, masih ada satu tahun. Dia tidak perlu t
Jantung Eva berdebar-debar. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia mengikuti Reagan masuk.Eva tahu vila ini sangat besar, tetap tidak pernah masuk sebelumnya. Dekorasi di dalam benar-benar megah. Warnanya didominasi hitam, putih, dan abu. Tidak terlihat mencolok, tetapi tetap terkesan mewah.Eva mengikuti ekstrakurikuler seni saat tahun kedua kuliahnya. Dia tahu lukisan yang digantung di dinding dilukis oleh pelukis zaman dulu. Harganya sangat mahal. Bahkan, ada logo LV di tong sampah.Setelah melewati ruang tamu, terlihat taman indoor yang dirawat dengan sangat baik. Di sampingnya adalah teater, gym, dan terlihat satu set tongkat golf di sudut. Dengar-dengar, ada arena golf di kawasan vila ini.Eva mengepalkan tangannya. Sebelum bertemu Reagan, barang termewah yang pernah dilihatnya hanya tas Hermes edisi terbatas temannya. Harga untuk tas bekas itu mencapai 600 juta. Jika di kampung halamannya, uang 600 juta sudah bisa membeli rumah dengan tiga kamar.Sementara itu, ada banyak sekal
"Hm?" Reagan mengangkat alis."Apa aku boleh mencatat sidik jariku di pintu?" Eva menunjuk pintu dengan ekspresi sedih sambil melanjutkan, "Aku sudah beberapa kali menunggumu di luar. Lihat, aku digigit nyamuk. Total ada tiga. Kamu tega melihatku begini?""Nggak tega," sahut Reagan."Hore!" Eva melompat dengan kegirangan. "Sebenarnya aku sengaja. Aku mau sidik jariku tercatat supaya aku bisa mencarimu kapan saja.""Dasar kamu ini. Kenapa seperti anak kecil saja?" Reagan tidak bisa menahan tawanya.Reagan membantu Eva mencatat sidik jari di pintu. Kemudian, dia teringat pada Eva yang berusaha memasak bubur untuknya dan digigit nyamuk karena menunggunya. Dia mengeluarkan dompetnya dan berujar, "Ini kartu kredit tambahanku. Limitnya 200 juta per bulan. Pakai saja."Eva menggigit bibirnya dengan panik. Dia menolak, "Ja ... jangan deh. Masa aku pakai uangmu?""Sudah seharusnya pria membelanjakan wanitanya," ucap Reagan."Begitu ya ....""Ambil saja, nggak usah merasa terbebani.""Baiklah. A
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala