Pukul 10 malam, salju kembali turun dengan deras. Arnold menutup payungnya dan salju yang menumpuk di atasnya pun berjatuhan. Tak lama, butiran salju yang menempel meleleh menjadi air.Eksperimen di laboratoriumnya mengalami masalah bertubi-tubi, sehingga Arnold merasa agak lelah mengatasinya.Saat menjelang akhir tahun, suasana tahun baru semakin terasa. Sudah beberapa hari ini Arnold tidak bisa tidur nyenyak. Kali ini, karena data eksperimen akhirnya mencapai nilai yang aman, dia memutuskan untuk memberikan dua hari liburan bagi seluruh tim.Arnold mengeluarkan kunci dan hendak membuka pintu. Namun, di belakangnya terdengar suara pintu terbuka.Cahaya lampu yang hangat bersinar dari celah pintu dan menyinari lorong yang gelap tersebut. Setelah itu, terdengar suara Nadine yang hangat menyapanya."Cepat sekali Pak Arnold pulang hari ini. Cucu perempuan dari bibi lantai tiga baru saja lahir. Tadi sore dia mengantarkan telur merah ke sini. Jatahmu dititipkan padaku. Tunggu sebentar ya, b
Pukul 8 pagi, pasar terbesar di Kota Linong sangat ramai."Pak Jeremy, kamu mau beli ikan lagi?""Ya, ada ikan kakap putih nggak?""Ada dong, kusimpan khusus untukmu," ujar wanita paruh baya itu sambil membersihkan sisik ikan. "Nah, sudah selesai."Jeremy mengeluarkan ponselnya dan bertanya, "Berapa harganya?""Nggak usah lagi. Anakku sering merepotkanmu. Anggap saja tanda terima kasihku.""Jangan begitu. Kamu berbisnis. Mana boleh gratis begitu." Jeremy langsung memindai kode QR dan mentransfer 60 ribu. Sama sekali tidak kurang.Wanita paruh baya itu hanya bisa menghela napas. "Hais ... aku yang jadi malu.""Justru aku yang malu kalau nggak bayar. Ya sudah, aku mau pergi beli daun bawang dulu.""Eh, tunggu sebentar, Pak ....""Kenapa?""Begini, kudengar SMA Cendekia selalu ada kuota lomba fisika setiap tahun. Kalau menang medali emas, bisa masuk Universitas Brata atau universitas terkenal lainnya. Apa benar?" Wanita itu mencengkeram celemeknya dengan gugup.Jeremy mengangguk. "Ya, ada
"Hah? Serius? Ngapain dong kalau nggak kerja dan kuliah?""Palingan jadi wanita simpanan pria kaya! Tinggal berbaring dan buka kaki. Gampang, 'kan? Nggak usah repot-repot cari kerja lagi!""Jangan sembarangan bicara! Ini menyangkut reputasi anak orang!""Cih! Kalau putrinya hidup dengan baik, mana mungkin nggak pulang bertahun-tahun. Pasti mereka menyuruhnya nggak usah pulang daripada buat malu. Nanti citra Pak Jeremy yang rusak!""Astaga ...."Jeremy tentu tidak mendengar obrolan ini. Kalaupun mendengarnya, dia paling-paling hanya akan diam. Ini karena di matanya, yang dilakukan putrinya memang tidak ada bedanya dengan menjadi wanita simpanan.....Nadine turun dari MRT dan mengeratkan jaketnya. Bulan ini, Kota Linong sangat dingin. Setelah naik taksi, Nadine memandang pemandangan di luar sambil mengenang masa lalu di kampung halaman.Penduduk di Kota Linong tidak terlalu banyak. Karena industri secara bertahap pindah ke luar kota, pemerintah gencar mengembangkan pariwisata dalam bebe
"Siapa?" Ketika mendengar suara ketukan pintu, Jeremy segera menyeka tangannya di celemek. Kemudian, dia menyajikan ikan kakap kukus sebelum membuka pintu.Irene yang sedang menyiram tanaman juga mendengar suara ketukan pintu. Dia melirik sekilas, lalu bertanya, "Siapa? Alde ya?""Tadi Alde kirim pesan bilang besok baru sampai. Mungkin bibi tetangga. Kamu nggak enak badan belakangan ini. Aku suruh dia antar ayam kampung."Di depan pintu, Nadine menatap Jeremy yang membuka pintu untuknya. Sudah enam tahun mereka tidak bertemu. Uban di pelipis ayahnya bertambah banyak, begitu juga keriput di wajahnya.Ketika masih kecil, Nadine paling suka duduk di bahu ayahnya. Namun, sekarang ayahnya sudah tua dan mulai bungkuk. Hanya mata ayahnya yang masih tajam seperti dulu."Ayah," panggil Nadine.Jeremy awalnya termangu. Sesaat kemudian, dia bertanya dengan ekspresi suram, "Ngapain kamu pulang?"Irene tidak mendengar suara apa pun sehingga merasa aneh. Dia berjalan keluar dari ruang tamu sambil be
"Aku pulang karena rindu sekali sama kalian. Aku juga harap kalian bisa memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku."Selama bertahun-tahun ini, Nadine tidak berani pulang karena takut melihat sorot mata ayah dan ibunya yang dipenuhi kekecewaan.Pada saat yang sama, Nadine juga keras kepala dan ingin membuktikan bahwa pilihannya tidak salah. Namun, kini dia sudah sadar bahwa pilihannya salah besar.Jeremy membelalakkan matanya. Dia tidak salah dengar? Putrinya mengaku salah?Irene merasa getir. Jika putrinya yang keras kepala ini tidak mengalami masalah, mana mungkin dia mengakui kesalahannya?"Ka ... kamu yakin?" Nada bicara Jeremy menjadi lebih lembut.Nadine menggigit bibirnya. "Aku sudah lama menyadari kesalahanku. Cuma, aku nggak berani pulang karena takut kalian marah."Nadine menarik napas dalam-dalam, mengingat rasa gugup dan takutnya sebelum pulang. Dia pun mendongak dengan hati-hati. "Ayah, Ibu, apa aku boleh tinggal di sini lagi? Aku ingin melewati tahun baru dengan kalia
Sore hari, aroma di dapur semerbak. Jeremy menyajikan sup sambil berkata, "Ini sup seafood. Aku baru mempelajarinya. Kamu cicipi."Nadine menatap meja yang dipenuhi makanan. Daging rendang, ikan kukus, tumis sayur, dan sup seafood. Semuanya adalah makanan favorit Nadine.Irene mengambilkan bagian daging terempuk untuk Nadine. "Ayahmu kurang pintar masak ikan, tapi aku sudah coba tadi. Ini rasa yang kamu suka. Ayo makan."Jeremy pun memutar bola mata dan mencemberutkan bibirnya dengan jengkel. Irene dan Nadine merasa lucu melihat tingkahnya.Irene mengangguk. "Ya deh. Kamu pintar masak. Kamu bisa masak semuanya. Sudah puas?""Begini baru benar. Tetangga kita saja minta resep dariku. Kamu seharusnya senang karena aku mau masak setiap hari untukmu.""Ya, ya. Aku senang kok. Makan, makan.""Kamu kedengarannya nggak ikhlas sekali. Coba kamu tanya saja Nadine. Pasti dia bilang masakanku enak."Nadine tersenyum melihat ibu dan ayahnya berdebat. Dia memasukkan daging ikan ke mulutnya. Rasanya
Nadine menggigitnya, lalu tersenyum. "Enak sekali."Irene menatap senyuman di wajah Nadine, lalu teringat pada ekspresi sedih Nadine tadi. Hatinya seketika tergerak. Dia meraih tangan Nadine dan mengelus kepalanya, lalu mengamatinya dengan saksama sebelum berujar, "Kamu kurusan.""Nggak kok. Perutku buncit. Aku saja ingin diet," timpal Nadine yang berpura-pura merasa gusar.Jeremy langsung mengernyit dan menegur, "Diet apanya? Kamu kurus begitu, masih mau diet? Mau jadi tengkorak ya?"Anak zaman sekarang terus menghabiskan waktu di internet. Kalau melihat ada yang kurus, mereka langsung mau diet. Sudah syukur tidak mati kelaparan. Masih mau diet.Mata Nadine berkaca-kaca. Dia meraih lengan Irene, lalu bersandar dengan culas. "Aku cuma iseng.""Nggak boleh. Awas kalau kulihat kamu makin kurus." Irene mengetuk kepala Nadine.Nadine pun tersenyum. "Aduh, ya deh."Irene tahu putrinya ini memang kurusan. Dia mengelus rambut Nadine dan akhirnya menanyakan pertanyaan yang sangat ingin dilonta
"Atas dasar apa kamu mengatai hasil karyaku sampai seburuk itu? Kamu nggak tahu ini adalah hinaan besar bagi seorang penulis?""Ya, kamu seorang editor. Aku seharusnya percaya pada penilaian dan analisismu. Tapi, ini adalah keahlianku. Boleh saja kalau mau mengubah gaya menulis. Tapi, perubahan ini terlalu drastis.""Aku rasa kita sebaiknya tenangkan diri masing-masing. Sudah dulu, aku masih ada urusan."Irene mengakhiri panggilan, lalu berbalik dan melihat tatapan heran Nadine. Dia tersenyum sambil berkata, "Nggak apa-apa, editor mencariku.""Kamu yakin?""Tentu saja." Irene merangkul Nadine sambil menjelaskan, "Beberapa tahun ini, industri penerbitan mengalami penurunan. Banyak penulis beralih ke webnovel dan menghasilkan banyak uang.""Tapi, ada beberapa yang gagal menyesuaikan diri juga tersingkirkan. Editor menyuruhku menulis webnovel. Aku masih kurang yakin.""Webnovel? Genre apa?" tanya Nadine yang merasa agak kaget."Romansa." Senyuman Irene tampak agak kaku.Irene adalah penul
Karen yang begitu galak tidak mungkin menerima kerugian seperti itu. Hari itu juga, dia langsung pergi ke kantor agen properti itu, menuntut agar agen muda itu keluar.Namun, penanggung jawab memberitahukan bahwa agen itu sudah mengundurkan diri tiga hari yang lalu.Karena tidak punya cara lain, Karen datang ke kantor dan membuat keributan setiap hari, bahkan mengajak kerabat dan teman-temannya membawa spanduk di luar. Dengar-dengar, kejadian ini sangat heboh.Manajer tidak bisa berbuat apa-apa, jadi akhirnya memberi tahu Karen alamat tempat tinggal Devin. Karen mengikuti petunjuk itu dan datang ke rumahnya.Namun, Devin sama sekali tidak merasa bersalah dan berkata dengan percaya diri, "Ngapain kamu ribut? Lagian, rumahmu sudah kubeli. Uangnya sudah kubayar dan sekarang namaku yang tertera di sertifikat kepemilikan. Ribut juga nggak ada gunanya."Karen duduk di depan pintu rumahnya dan menangis kencang, menggunakan semua trik yang dia kuasai.Devin juga orang yang keras kepala. Ketika
Nadine lantas mengangkat ujung terusannya dan lebih berhati-hati kali ini.Orang-orang tidak menganggap serius insiden kecil tadi. Perhatian mereka lebih terfokus pada Nadine terluka atau tidak.Calvin langsung mengulurkan tangannya. "Nadine, kupinjamkan tanganku. Ada ototnya lho! Aku jamin kamu nggak akan jatuh."Hanya Olive yang memandang pinggang Nadine, seolah-olah ingin menembusnya dengan tatapannya.Saat makan, Wilfred memperhatikan bahwa Olive hanya makan sedikit. Dia khawatir Olive merasa tidak enak badan, jadi bertanya, "Kenapa hari ini makan sedikit sekali? Maagmu kambuh lagi?"Olive sering melewatkan waktu makan dan Wilfred sudah terbiasa mengingatkannya."Makanan hari ini nggak pedas atau berminyak kok. Bagus untuk pencernaan. Nah, ini makanan favoritmu ....""Bisa diam nggak sih?" Olive mendorong tangan Wilfred. "Aku cuma nggak mau makan saja. Kenapa kamu cerewet sekali? Apa aku nggak boleh memutuskan sendiri mau makan atau nggak?"Tangan Wilfred yang sedang mengambil maka
"Duduklah. Jangan terlalu sungkan, aku nggak terbiasa," ucap Arnold.Nadine pun tertawa dan akhirnya duduk.Arnold berkata, "Aku suka masakanmu, traktiranmu ini adalah ucapan terima kasih terbaik."Setelah itu, Arnold mengangkat mangkuk sup dan membenturkannya dengan ringan ke mangkuk Nadine.Kemudian, Arnold mengambil sepotong sayap ayam yang digoreng hingga keemasan. Kulitnya renyah dengan tepi yang sedikit terbakar dan bagian dalamnya yang berair. Perpaduan ini begitu seimbang dan rasanya sangat kaya."Di luar sana, belum tentu ada sayap ayam seenak ini."Nadine tertawa karena merasa lucu. "Kalau begitu, kamu habiskan saja semua sayap ayamnya."Arnold mengangkat alis dan senyumannya semakin lebar. "Bukan masalah."Makan siang selesai. Sekarang sudah pukul 2 siang. Mereka sama-sama membereskan dapur dan keluar.Arnold akan pergi ke laboratorium, sementara Nadine pergi ke perpustakaan. Karena sejalan, mereka pun berangkat bersama.Sesampainya di persimpangan jalan, Arnold berbelok ke
Nadine tertawa sambil bercanda, "Jangan, jangan. Masa tamu disuruh kerja?""Tamu bilang dia sangat senang bisa membantu."Berkat bantuan Arnold, pekerjaan menjadi lebih cepat selesai.Setelah semua beres, Nadine mengangkat ikan kakap dari air jahe daun bawang, lalu meletakkannya di piring dan mengeringkannya dengan tisu dapur. Kemudian, dia mengoleskan minyak goreng di permukaannya untuk mengunci kesegaran.Pekerjaan Arnold sudah beres Dia hanya bisa berdiri di samping dan menonton. "Perlu bantuan?""Bisa tolong ambilkan kukusan di atas sana?""Oke."Arnold bertubuh tinggi, jadi bisa meraihnya dengan mudah. Hanya saja, kukusan digantung agak tinggi tepat di atas kepala Nadine. Artinya, jika Arnold ingin mengambilnya, dia harus berdiri di belakang Nadine.Begitu Arnold menjulurkan tangan, dia merasa dirinya seperti memeluk Nadine. Untungnya, prosesnya sangat cepat sehingga tidak ada rasa canggung meskipun jarak mereka sangat dekat."Kemarikan kukusannya." Nadine mengulurkan tangannya.A
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa
Keesokan paginya, Nadine keluar untuk jogging pagi. Setelah punya lebih banyak waktu luang, dia kembali pada kebiasaan lari pagi. Setiap kali selesai lari dan mandi, dia merasa segar dan bertenaga sepanjang hari."Pagi, Pak Arnold.""Pagi."Arnold baru saja selesai berlari dan bersiap pulang. Namun, melihat Nadine, dia berbalik arah. "Ayo, kutemani kamu lari sebentar.""Nggak mengganggu jadwalmu di laboratorium?""Proyek baru sekarang ditangani sama Calvin, jadi aku nggak terlalu sibuk belakangan ini.""Wah, Pak Calvin pasti punya banyak keluhan," canda Nadine."Keluhan nggak akan berguna, tetap saja dia harus bekerja," jawab Arnold dengan wajah serius. Kalau Calvin mendengar itu, dia mungkin akan langsung frustasi.Keduanya berlari mengelilingi taman dua putaran. Ketika Nadine mulai terlihat kelelahan, Arnold menyadari hal itu."Atur napas, perhatikan ritme. Ikuti aku ... tarik, hembus, tarik, hembus ...."Nadine mengikuti instruksinya dan merasa lebih baik. "Wah, jadi lebih ringan!"
"Astaga!" Kelly langsung menepis tangan Teddy dari pundaknya, berdiri tegak, sambil diam-diam bersyukur karena sudah membuang puntung rokok lebih awal.Nadine butuh usaha besar untuk menutup mulutnya yang ternganga. "Ehm .... Kel, kamu lupa tasmu tadi."Dia sebenarnya cuma mau mengembalikan tas, tapi malah menyaksikan apa ini? Kelly terlihat bersandar mesra dengan seorang pria? Punggung pria itu ... kenapa rasanya tidak asing?Saat keduanya berbalik, teka-teki itu terjawab.Itu Teddy?!Jadi ... ini yang disebut Kelly sebagai "mitra kerja samanya"?Kelly berjalan mendekat dan mengambil tas dari tangan Nadine. "Makasih ya, Nadine! Malam-malam begini masih repot-repot ngantarin tasku. Cepat naik ke atas, sudah malam, bahaya di luar. Aku tunggu di sini sampai kamu di balkon, ya. Kalau sudah sampai, lambaikan tangan biar aku yakin.""Oke."Nadine berbalik dan pulang ke apartemennya. Dia tahu betul siapa Kelly. Meskipun temannya terlihat santai dan tanpa beban, dia selalu punya rencana matan
"Kalau nggak mau nunggu, ya pergi saja. Siapa juga yang mau ketemu kamu?" Kelly mendengus sambil memutar bola matanya. "Lihat sikapmu itu. Kamu yang butuh bantuan, 'kan?"Teddy menarik napas dalam-dalam, menahan diri. Wanita ini bisa bela diri. Kalau dia sampai membuat wanita ini marah, yang rugi adalah dirinya sendiri."Jangan marah dong," Teddy langsung mengganti wajahnya dengan senyuman, "Aku sudah bilang ini kasus darurat. Kamu santai begini, gimana aku nggak curiga?""Ada apa, langsung bilang." Kelly melirik ke dalam mobilnya. "Eh, itu ... ada rokok nggak?""Buat apa?""Kasih aku satu."Teddy terdiam. Dengan pasrah, dia kembali ke mobil, mengambil rokok dan korek api, lalu menyerahkannya. Namun, Kelly tidak langsung menerima. Dia menyilangkan tangan di depan dada dan menatapnya dengan senyum mengejek."Oke," Teddy mengangguk dan memasang ekspresi sabar. "Aku ini bukan cari pacar, aku malah cari majikan." Dia lalu menyalakan rokok untuk Kelly.Ini pertama kalinya Teddy menyalakan r
"Di mana kamu? Kenapa selama beberapa hari ini teleponku nggak kamu angkat?! Apa sekarang kamu bahkan nggak peduli lagi sama ibumu?"Tiga pertanyaan berturut-turut. Nada bicaranya semakin tajam di setiap kalimat.Reagan menjawab dengan tenang, "Aku lagi dinas. Sibuk, jadi nggak sempat angkat telepon.""Kamu sekarang juga harus pulang! Sekarang! Kalau kamu nggak pulang, jangan pernah anggap aku sebagai ibumu lagi!"Mendengar nada bicara ibunya yang tidak seperti biasanya, Reagan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa banyak bertanya, dia menutup telepon dan langsung menuju rumah lama keluarganya.Begitu sampai di depan pintu, dia mendengar suara pecahan vas bunga. Reagan berhenti sejenak, lalu masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku sudah pulang."Mendengar suaranya, Rebecca muncul dari dalam. Tanpa menunggu, dia langsung memarahi Reagan habis-habisan."Orang macam apa yang kamu pilih?! Kalau Eva itu memang murahan, aku masih bisa terima, tapi keluarganya juga seperti preman pasar! Terutama i