"Hah? Serius? Ngapain dong kalau nggak kerja dan kuliah?""Palingan jadi wanita simpanan pria kaya! Tinggal berbaring dan buka kaki. Gampang, 'kan? Nggak usah repot-repot cari kerja lagi!""Jangan sembarangan bicara! Ini menyangkut reputasi anak orang!""Cih! Kalau putrinya hidup dengan baik, mana mungkin nggak pulang bertahun-tahun. Pasti mereka menyuruhnya nggak usah pulang daripada buat malu. Nanti citra Pak Jeremy yang rusak!""Astaga ...."Jeremy tentu tidak mendengar obrolan ini. Kalaupun mendengarnya, dia paling-paling hanya akan diam. Ini karena di matanya, yang dilakukan putrinya memang tidak ada bedanya dengan menjadi wanita simpanan.....Nadine turun dari MRT dan mengeratkan jaketnya. Bulan ini, Kota Linong sangat dingin. Setelah naik taksi, Nadine memandang pemandangan di luar sambil mengenang masa lalu di kampung halaman.Penduduk di Kota Linong tidak terlalu banyak. Karena industri secara bertahap pindah ke luar kota, pemerintah gencar mengembangkan pariwisata dalam bebe
"Siapa?" Ketika mendengar suara ketukan pintu, Jeremy segera menyeka tangannya di celemek. Kemudian, dia menyajikan ikan kakap kukus sebelum membuka pintu.Irene yang sedang menyiram tanaman juga mendengar suara ketukan pintu. Dia melirik sekilas, lalu bertanya, "Siapa? Alde ya?""Tadi Alde kirim pesan bilang besok baru sampai. Mungkin bibi tetangga. Kamu nggak enak badan belakangan ini. Aku suruh dia antar ayam kampung."Di depan pintu, Nadine menatap Jeremy yang membuka pintu untuknya. Sudah enam tahun mereka tidak bertemu. Uban di pelipis ayahnya bertambah banyak, begitu juga keriput di wajahnya.Ketika masih kecil, Nadine paling suka duduk di bahu ayahnya. Namun, sekarang ayahnya sudah tua dan mulai bungkuk. Hanya mata ayahnya yang masih tajam seperti dulu."Ayah," panggil Nadine.Jeremy awalnya termangu. Sesaat kemudian, dia bertanya dengan ekspresi suram, "Ngapain kamu pulang?"Irene tidak mendengar suara apa pun sehingga merasa aneh. Dia berjalan keluar dari ruang tamu sambil be
"Aku pulang karena rindu sekali sama kalian. Aku juga harap kalian bisa memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku."Selama bertahun-tahun ini, Nadine tidak berani pulang karena takut melihat sorot mata ayah dan ibunya yang dipenuhi kekecewaan.Pada saat yang sama, Nadine juga keras kepala dan ingin membuktikan bahwa pilihannya tidak salah. Namun, kini dia sudah sadar bahwa pilihannya salah besar.Jeremy membelalakkan matanya. Dia tidak salah dengar? Putrinya mengaku salah?Irene merasa getir. Jika putrinya yang keras kepala ini tidak mengalami masalah, mana mungkin dia mengakui kesalahannya?"Ka ... kamu yakin?" Nada bicara Jeremy menjadi lebih lembut.Nadine menggigit bibirnya. "Aku sudah lama menyadari kesalahanku. Cuma, aku nggak berani pulang karena takut kalian marah."Nadine menarik napas dalam-dalam, mengingat rasa gugup dan takutnya sebelum pulang. Dia pun mendongak dengan hati-hati. "Ayah, Ibu, apa aku boleh tinggal di sini lagi? Aku ingin melewati tahun baru dengan kalia
Sore hari, aroma di dapur semerbak. Jeremy menyajikan sup sambil berkata, "Ini sup seafood. Aku baru mempelajarinya. Kamu cicipi."Nadine menatap meja yang dipenuhi makanan. Daging rendang, ikan kukus, tumis sayur, dan sup seafood. Semuanya adalah makanan favorit Nadine.Irene mengambilkan bagian daging terempuk untuk Nadine. "Ayahmu kurang pintar masak ikan, tapi aku sudah coba tadi. Ini rasa yang kamu suka. Ayo makan."Jeremy pun memutar bola mata dan mencemberutkan bibirnya dengan jengkel. Irene dan Nadine merasa lucu melihat tingkahnya.Irene mengangguk. "Ya deh. Kamu pintar masak. Kamu bisa masak semuanya. Sudah puas?""Begini baru benar. Tetangga kita saja minta resep dariku. Kamu seharusnya senang karena aku mau masak setiap hari untukmu.""Ya, ya. Aku senang kok. Makan, makan.""Kamu kedengarannya nggak ikhlas sekali. Coba kamu tanya saja Nadine. Pasti dia bilang masakanku enak."Nadine tersenyum melihat ibu dan ayahnya berdebat. Dia memasukkan daging ikan ke mulutnya. Rasanya
Nadine menggigitnya, lalu tersenyum. "Enak sekali."Irene menatap senyuman di wajah Nadine, lalu teringat pada ekspresi sedih Nadine tadi. Hatinya seketika tergerak. Dia meraih tangan Nadine dan mengelus kepalanya, lalu mengamatinya dengan saksama sebelum berujar, "Kamu kurusan.""Nggak kok. Perutku buncit. Aku saja ingin diet," timpal Nadine yang berpura-pura merasa gusar.Jeremy langsung mengernyit dan menegur, "Diet apanya? Kamu kurus begitu, masih mau diet? Mau jadi tengkorak ya?"Anak zaman sekarang terus menghabiskan waktu di internet. Kalau melihat ada yang kurus, mereka langsung mau diet. Sudah syukur tidak mati kelaparan. Masih mau diet.Mata Nadine berkaca-kaca. Dia meraih lengan Irene, lalu bersandar dengan culas. "Aku cuma iseng.""Nggak boleh. Awas kalau kulihat kamu makin kurus." Irene mengetuk kepala Nadine.Nadine pun tersenyum. "Aduh, ya deh."Irene tahu putrinya ini memang kurusan. Dia mengelus rambut Nadine dan akhirnya menanyakan pertanyaan yang sangat ingin dilonta
"Atas dasar apa kamu mengatai hasil karyaku sampai seburuk itu? Kamu nggak tahu ini adalah hinaan besar bagi seorang penulis?""Ya, kamu seorang editor. Aku seharusnya percaya pada penilaian dan analisismu. Tapi, ini adalah keahlianku. Boleh saja kalau mau mengubah gaya menulis. Tapi, perubahan ini terlalu drastis.""Aku rasa kita sebaiknya tenangkan diri masing-masing. Sudah dulu, aku masih ada urusan."Irene mengakhiri panggilan, lalu berbalik dan melihat tatapan heran Nadine. Dia tersenyum sambil berkata, "Nggak apa-apa, editor mencariku.""Kamu yakin?""Tentu saja." Irene merangkul Nadine sambil menjelaskan, "Beberapa tahun ini, industri penerbitan mengalami penurunan. Banyak penulis beralih ke webnovel dan menghasilkan banyak uang.""Tapi, ada beberapa yang gagal menyesuaikan diri juga tersingkirkan. Editor menyuruhku menulis webnovel. Aku masih kurang yakin.""Webnovel? Genre apa?" tanya Nadine yang merasa agak kaget."Romansa." Senyuman Irene tampak agak kaku.Irene adalah penul
Saat itu, Irene hampir mengalami depresi. Untungnya, ada suami dan putri yang menemaninya melewati masa-masa terpuruk itu. Sejak saat itu, Irene tidak bermain internet lagi dan hanya menggunakan ponsel jadul.Setelah novel kisah remaja itu, Irene pun tidak merilis hasil karya apa pun lagi."Sudahlah, ngapain dibahas? Rotinya enak nggak?""Enak, rasanya masih sama seperti dulu."Nadine menatap wajah ibunya. Dia hendak berbicara, tetapi akhirnya mengurungkan niatnya dan hanya berkata, "Tapi, masih sangat panas.""Masa? Ditiup saja."....Malam ini adalah malam tahun baru, jadi suasana di kota kecil menjadi sangat meriah. Ada banyak lampu digantung di kedua sisi jalan.Supermarket di dekat rumah pun sangat ramai. Barang-barang menjadi terbatas. Makanya, Irene memilih untuk pergi ke supermarket terbesar di pusat kota.Setelah memarkirkan mobil, keduanya naik lift. Sebelum memasuki supermarket, mereka melihat orang di dalam sangat banyak dan ada banyak perlengkapan tahun baru.Tidak ada ana
Irene berkata, "Aku lupa beli merica. Nad, bantu aku ambil di sana.""Oke." Nadine tahu Irene tidak ingin dirinya mendengar obrolan mereka.Setelah melihat putrinya pergi, Irene berujar, "Sudah kubilang tadi pagi. Biar kupertimbangkan dulu.""Mau sampai kapan? Aku sudah mengusulkannya sejak tiga bulan lalu. Aku sudah beri waktu, kamu malah terus menunda. Sampai sekarang, kamu belum memberiku jawaban pasti."Irene mengernyit. "Kita sudah lama bekerja sama. Kamu seharusnya tahu keahlianku adalah novel misteri. Total kata pun sekitar 200 hingga 300 kata. Sekarang kamu mau aku menulis webnovel. Ini nggak sesuai denganku.""Keduanya sama-sama novel kok. Kenapa nggak sesuai? Semua sastra sama saja!" Nada bicaranya terdengar tajam. Senyumannya juga hilang.Irene mencoba menganalisis, "Begini, webnovel sangat panjang. Rata-rata berisi jutaan kata. Yang populer kebanyakan adalah romansa kota dan pernikahan keluarga kaya. Ini bukan keahlianku. Lalu, gimana aku bisa menulisnya?""Kamu masih ingat
Baru makan dua suapan, Nadine tanpa sengaja mengangkat kepala dan langsung melihat seorang pria berdiri di depan gedung apartemennya.Arnold memang punya kebiasaan joging malam. Bahkan di cuaca sedingin ini, Nadine masih sering melihatnya keluar berolahraga. Namun malam ini ... dia tidak memakai pakaian olahraga?Arnold mengenakan mantel panjang yang rapi. Wajahnya tampak agak serius. Nadine merasa ... Arnold sepertinya sengaja menunggunya di sini?"Pak Arnold," sapa Nadine sambil tersenyum dan melangkah mendekat.Arnold membalas dengan senyum tipis. Namun, ketika melihat buket mawar biru yang digendong Nadine, sorot matanya seketika berubah. Dia terdiam sejenak."Baru pulang dari jalan-jalan?""Kalau dibilang jalan-jalan, nggak juga. Tadi aku ambil mobil di showroom, terus nonton konser piano."Arnold melirik lagi ke arah bunga di pelukannya. "Bunganya ... cukup unik."Mata Nadine langsung berbinar. "Pak Arnold, coba lihaat. Apa kamu melihat ada yang Istimewa?"Sambil berbicara, Nadin
Kota Linong?Stendy sempat tertegun, tapi tidak terlalu memikirkannya.Dari sudut matanya, dia melirik Nadine sekilas, lalu buru-buru berkata ke seberang telepon, "Kakek, sekarang aku lagi ada urusan yang sangat penting. Begitu selesai, aku akan langsung pulang. Kalian jaga emosi kalian dulu. Dokter sudah bilang, jangan sampai terlalu sedih atau terlalu senang.""Kalau begitu lanjutkan dulu urusanmu, nggak usah buru-buru. Lagi pula, orangnya sudah ditemukan dan kamu juga kenal dengannya."Stendy mengerutkan kening. "Aku kenal?""Iya. Adik ibumu sekarang namanya Irene. Dia itu penulis buku 'Seven Days'! Waktu di Toko Buku Gramilia itu lho, dia lagi ada acara tanda tangan buku di lantai atas, sedangkan kami ada di lantai bawah.""Salahku juga, waktu itu nenekmu ingin naik ke atas melihat-lihat, tapi aku nggak setuju. Jadi kami cuma berpapasan begitu saja ....""Soal Nadine ... pantas saja nenekmu langsung merasa akrab saat pertama kali melihat gadis itu. Ternyata memang ada hubungan dara
Nadine menoleh dan langsung bertemu dengan tatapan Stendy yang dalam dan penuh perasaan. Jantung Nadine seketika berdegup lebih kencang dan tanpa sadar, dia ingin menghindar.Malam ketika sesuatu terjadi pada Nadine, Stendy mengantarnya pulang dan melihat dirinya berjalan berdampingan dengan Arnold menaiki tangga. Saat itulah, Stendy merasa tidak bisa lagi menahan diri.Stendy tahu dirinya bukan orang yang sabar.Namun demi Nadine, dia sudah menunggu selama enam tahun. Enam tahun untuk melihatnya berpisah dari Reagan, lalu satu tahun tambahan hanya untuk membuat hubungan mereka bertahan di titik "teman biasa".Akan tetapi dia tahu, hubungan itu tidak bisa selamanya berhenti di situ.Malam itu, Stendy menyadari bahwa jika terus menunggu, semuanya hanya akan berakhir seperti dulu. Jadi, kenapa tidak ... pertaruhkan semuanya kali ini?Demi hari ini, demi pengakuan yang ingin dia sampaikan, Stendy telah mempersiapkan diri sejak lama. Dia tidak mau lagi menjadi sosok yang hanya menunggu dal
"Benar. Memang nggak ada mawar biru alami di alam liar, jadi bunga ini baru melambangkan harapan yang nggak bisa terwujud atau misi yang nggak terselesaikan. Tapi, coba kamu lihat bunga di tanganmu itu dengan teliti," kata Stendy sambil menatap Nadine."Hah? Ini alami? Bukan pakai pewarna?" tanya Nadine yang terkejut, lalu menatap Stendy untuk mencari jawaban dari ekspresi Stendy. Saat melihat Stendy tersenyum, dia langsung tahu dugaannya memang benar.Nadine kembali bertanya dengan kaget, "Bagaimana kamu bisa mendapatkannya?""Belakangan ini ada artikel di jurnal biologi sintetis tentang kloning dan Ekspresi Nonribosomal Peptida Sintetis untuk memproduksi mawar biru. Penulis utamanya adalah seorang doktoral internasional dari Fakultas Farmasi Universitas Tobas, Ankanahari Nangawa. Langkah awalnya buat plasmid ganda yang berisi dua gen bakteri untuk sintetis indigo dan masukkan plasmidnya ke dalam agrobakterium, lalu ...."Stendy tertegun sejenak setelah mengatakan itu, seolah-olah sed
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga