Sudah hampir delapan tahun kami menikah. Namun, masih tetap sama. Amalia selalu bersuara saat tertidur. Bukan hanya kala terlelap di waktu malam, saat menemani putra kami tidur siang pun, tak pernah sekalipun Dia nampak tenang tanpa suara.
Iya! Aku sempat terkejut saat pertamakali mendengar irama tersembunyi sang Bidadari, aku pun pernah merasa sangat terganggu dengan getarnya. Bahkan, pernah pula kututup rapat telinga karena tak mampu memejamkan netra. Dan pastinya tanpa sepengetahuan Amalia, karena aku tak ingin Istriku yang sangat jelita itu merasa malu atau memendam elok parasnya.
"Dek ... kenapa belum tidur?" Tanyaku suatu malam melihat Amalia yang masih duduk terjaga mengusap layar pipih.
"Tidak apa-apa," jawab Istriku itu singkat, sangat acuh. Dan aku tahu ... dia tidak sedang baik-baik saja.
Sejenak kulirik benda bulat di dinding. Pukul satu dini hari ... sudah sangat larut. Namun, apa yang menganggu pikiran Bidadariku ini hingga memilih duduk bersandar, termenung seorang diri.
Sakit kah dia? Atau ada luka yang mencoba Ia rasakan sendiri?
Kutempelkan punggung tangan ke pelipisnya. Namun, Amaliaku menepis kasar. 'Ada apa ini? Apa salahku? Bahkan, sepulang kerja dia masih ramah menyambut dengan senyum terbaik, saat aku pamit tidur duluan pun dia masih mengangguk lembut. Tapi ... kini apa yang terjadi? Apakah tidurku menyakitinya?'
Menunduk, aku mencoba mencerna kembali, keras mengingat barangkali ada secuil kata burukku yang terlewat. Namun nihil ... aku tak menemukan apapun.
"Ada apa?" Tanyaku mengalah dengan nada paling rendah.
Saat seperti ini apa yang mampu dilakukan oleh seorang lelaki? Tak ada ... selain pasrah menerima ribuan cerca juga mengangguk mengiyakan segala dosa.
"Tidak apa-apa," jawabnya kembali. Namun, kali ini terdengar parau. Sangat kentara kalau dia sedang menahan deras air mata.
Lekat kutatap lembut Amalia. Iya, dirinya yang dalam setiap detik selalu kupuja, dirinya yang mampu membuatku mengabaikan masa bahwa tubuh ini butuh istirahat untuk tenaga esok kerja.
"Kamu sakit?" Tanyaku lirih, mencoba memastikan.
"Sakit?! Tidak! Aku sehat," ketusnya, menatap ke sisi lain, menyembunyikan bulir dari pelupuk mata.
"Ada masalah apa?" Tukasku lembut, menatap sendu.
"Nggak ada," jawabnya acuh, terdengar gemetar.
"Mas, minta maaf kalau ada salah ya,"
"Kenapa minta maaf?! Emang ada salah apa?" Tukasnya tajam, garang menatap murka.
Terdiam, tak mampu kujawab tanya. Karena sesungguhnya diri ini pun tak tahu letak sebuah cela.
"Kenapa diam?!" Cerca Amalia.
"Hm ... aku juga nggak tahu ada salah apa ... jika kamu berkenan ...."
"Kalau tak merasa bersalah ... kenapa harus minta maaf!" Pangkas Amalia kasar, sekilas menautkan netra tajam.
"Tidak apa-apa ... sekedar minta maaf aja, Sayang,"
"Tak perlu,"
"Iya ... lalu kenapa kamu seperti ini? Apa ada yang menganggu pikiranmu? Atau ada perilakuku yang menyinggungmu?"
"Tak ada kok ... aku baik-baik saja," jawabnya parau, terdengar serak.
"Kalau baik-baik saja kenapa harus nangis?"
"Hanya pengin nangis saja ... mungkin lelah. Emang tidak boleh kalau aku nangis?!" sela Amalia, kembali membentak.
"Boleh kok ... nangis aja. Tapi jangan lupa, sekarang kamu punya aku, bersandarlah, ceritakan, jangan menangis seorang diri. Apalagi, tengah malam seperti ini," balasku halus, lembut membingkai wajah ayunya.
Namun ditepis, Amaliaku kembali menolak.
"Tidak perlu ... aku bisa menjaga diri sendiri!"
"Aku tahu ... kamu pandai menjaga diri. Aku hanya ingin ada dan menemanimu dalam segala hal. Apa kamu keberatan?"
Hening, Istriku itu nampak rapat melipat bibir dengan air yang semakin deras mengalir.
"Sudah larut ... tidur yuk," ajakku, hangat merangkul bahunya.
"Aku akan tetap seperti ini ... terjaga sampai kapanpun!"
Terhenyak, kutatap sang istri heran.
"Kamu butuh istirahat, Sayang," bujukku kembali, mencoba mengajaknya berbaring.
"Kalau aku tidur nanti mengganggu dirimu!" Jawabnya ketus, membuatku semakin bingung, tak mengerti.
"Menganggu gimana sih, Dek?"
"Iyalah ... aku kan ngorok! Keras lagi!"
Pahit kutelan getir saliva. Kalimat itu? Iya, sore tadi kami sempat bercanda. Bahkan Amalia nampak tertawa lepas saat kugoda. Namun, mengapa gelak itu kini menjadi fatal?
"Apa sih? Tidak lah ... kan sudah lama kita tidur bersama. Dan aku tak pernah terjaga oleh sebab itu,"
"Tidak! Tadi sore kamu bilangnya tidak seperti itu! Bahkan, sangat jelas, kamu berucap akan betapa lantangnya dengkuranku!"
"Ish ... itu kan hanya bercanda, Dek. Bukan makna sebenarnya," elakku mencoba meredakan amarahnya.
"Entahlah ... nyatanya memang seperti itu kan?!" Jawab Amalia gemetar, menekuk lutut, pilu menangis, membenamkan wajah ayu.
"Maaf ya ... kalau kalimatku sudah menyakitimu. Tapi sungguh, tak pernah sekalipun aku terganggu oleh dengkuranmu,"
Semenjak malam itu, aku tak pernah lagi membahas tentang dengkuran Istriku. Biarlah, semuanya berlalu seperti itu. Seperti kesempurnaannya yang tak henti kupuja, satu kekurangannya pun tak mau kuanggap ada. Toh, kini aku sudah sangat terbiasa oleh alunan yang dibuatnya.
Entah, apa yang dia mimpikan hingga irama yang keluar begitu indah. Ketukannya pun sangat teratur meski tercipta dari alam bawah sadarnya.
🌾🌾🌾
Dan kini ... aku hanya mampu mengenang, membayangkan kembali keberadaan Istriku itu dari serpihan ingatan.
Delapan tahun hidup bersama, membuat malamku terasa berbeda, hangat, penuh irama. Namun, kini aku telah kehilangan semua. Suara itu tak lagi mampu kudengar, irama itu mengalun semakin lirih, sebelum akhirnya pergi, menyisakan sunyi.
"Kemarin, dengan bangga kau kembalikan Amalia. Dan kini engkau datang kesini untuk mengambilnya ... semudah itu?!" Ucap mertuaku itu tegas, terdengar sangsi.
"Maafkan aku, Pak .... " tuturku santun, melipat rahang.
Terbahak, sang mertua tertawa bengis.
"Tepuk dadamu itu ... mendongak lah! Tatap aku! Seperti kemarin ... iya, saat kau serahkan kembali putri tunggal, kesayanganku!"
Tanpa menjawab, aku memilih tetap bungkam. Bukan karena enggan tapi lebih pada rasa sungkan yang besar kusematkan pada sosoknya.
"Kau bisa memperlakukan Putriku dengan tidak layak, Brian. Tapi ingat, aku pun akan menjaganya lebih ketat ... Jangan harap kau bisa membawanya kembali. Bahkan, untuk sekedar bertemu pun, aku akan tegak berdiri, membusungkan dada seorang diri!" Ucap sang mertua, gagah, penuh dengan murka.
"Tak peduli seberapa gesit gerakmu, tak peduli pula betapa kuat tenaga mudamu ... nyataya! Aku yang sudah renta ini akan tetap melawan demi harga diri putriku!" Imbuhnya, tajam menatap kasar.
"Maaf, Pak. Tapi kehadiranku kesini hanya ingin membawa istri dan anakku kembali ... tak ada yang lain," tandasku lembut, tetap bersikap santun.
"Kau telah menceraikannya, Brian! Kau juga yang telah mengatarnya pulang ke sini!"
"Aku memang telah sangat salah dengan mengantar Amalia pulang. Tapi ... aku berjanji tak akan mengulang kesalahan ini kembali. Aku mohon ... ijinkan aku membawa Amalia, biarkan aku menebus semua dosa-dosaku pada dirinya," pintaku tanpa mampu membalas tatapan tejamnya.
"Wanita yang kau minta menjadi Istri itu adalah putri tunggal kesayanganku ... kamu tahu betapa berartinya itu?! Hah?! Dia mampu mengubah segalanya, mengantarkanku menjadi manusia yang lebih berguna!"
"Aku tahu itu, Pak,"
"Sekedar tahu tanpa mau mengerti, bukan?! Karena dengan sangat angkuh kau antarkan dia kembali! Apa kau pikir hanya putriku yang terluka oleh perbuatanmu itu?! Tidak! Aku ... lebih hancur daripada Amalia, air matanya adalah cambuk yang tak henti memecut bongkahan daging di dalam sini!" Lantang Pak Heru, keras membelah rungu.
"Maafkan aku, Pak ... maafkan aku,"
"Aku tak peduli dengan ucapan maafmu itu! Yang pasti ... sejak kau antarkan Amalia pulang, tanggung jawab atas dirinya telah kembali padaku ... dan aku?! Tak akan pernah menyerahkan kembali permataku pada orang yang menghinakannya seperti dirimu!" Tegas Pak Heru, bangkit, mengakhiri perbincangan sore ini.
Lunglai, kususuri hamparan aspal dalam kehancuran. Andai, ego itu mampu kutahan, jika saja amarah itu mampu kupendam, atau setidaknya dapat kulipat rapat bibir ini. Maka semua akan baik-baik saja.
Namun, semua telah terjadi, awan hitam pun terlihat pekat menyelimuti. Jangankan indah warna pelangi, sinar mentari pun tak mampu menembus kerapatannya.
Aku lemah ... tak mampu membawa Bidadariku itu kembali. Bahkan, untuk sekedar melihat parasnya pun, aku tak bisa melakukannya.
"Amalia ... sungguh, aku merindukanmu," lirihku pilu seorang diri.
***
Delapan tahun lamanya aku pasrahkan segala kebutuhan diri ini pada Amalia. Tak banyak yang kutahu akan betapa berat beban yang harus dipikulnya, tak banyak pula yang kuminta selain menjadi seorang Ibu sekaligus Istri yang sempurna.Memang tak sekalipun kuulurkan tangan untuk membantu atau sekedar meringankan tugasnya. Toh hanya pekerjaan rumah, kan? yang cuma itu-itu saja ... kurasa tak akan butuh banyak tenaga apalagi harus brfikir keras memutar otak.Namun, ternyata semua berlalu tak semudah itu. Bahkan, harus rapat kututup hidung serta mulut akibat bau keringat yang menempel di baju. Iya! Kini aku harus melakukan semuanya seorang diri. Mengurus pakaian kotor juga persoalan perut. Bahkan rumah pun nampak berantakan tak beraturan.Argh! Andai Amalia ada disini. Pasti tangan itu akan terampil menyusun barang-barang juga memastikan aku dapat beristirahat dengan nyaman, menikmati senja sembari menyesap kopi pahit buatannya.Perih ... sangat nyeri ulu ini kala teringat akan malam saat a
"Amalia, tunggu!" Hardikku keras menghentikan derap.Menolah. Iya, dia memutar badan, menunjukkan murka yang jelas tergambar di wajah."Apa lagi, Mas?! Apa lagi!?" Seru Amalia, melebarkan kelopak netra."Haruskah, kau bersikap segila ini?! Dimana bakti yang dulu selalu kau junjung tinggi?!""Kenapa ... kamu tersinggung, Mas?! Apakah hatimu terluka dengan sikapku?!" Tantang Amalia, tertawa sengit."Aku suamimu!""Aku tahu ... aku tahu kau suamiku!" "Apakah kamu juga tahu, wajib bagimu bertutur lembut padaku, Amalia! Wajib!" Tandasku gusar.Menunduk, Amalia nampak dalam melipat rahang. Sebelum akhirnya mendongak dengan mulut gemetar."Aku sangat tahu itu! Tapi apakah kau juga tahu, bersikap baik pada seorang Istri itu juga kewajiban, Mas?!""Iya! Oleh karena itu, aku selalu mengusahakan yang terbaik untukmu!""Iya, kah? Bagian yang mana itu, Mas?!" Tantang Amalia, mendekat, kembali melangkah maju."Semuanya ... semua kewajiban sebagai seorang suami telah kulakukan dengan cara terbaik,"
"Entahlah ... aku pun tak mengerti. Mungkin karena lelah ... iya! Aku sangat lelah. Sakit ini teramat dalam ... aku tak sanggup lagi," ucapnya tergugu.'Apa maksudnya ini?!' Teriakku tanpa suara."Kamu lelah menjadi istriku, Amalia ... benarkah kamu tak lagi sanggup hidup bersama suamimu ini?! Tukasku tak percaya, lebar membuka netra.Tanpa menjawab pujaan hatiku itu menggeleng kuat, menguras sungai di balik kelopak matanya."Tak kenal waktu kuperas keringat ini, bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kita. Memastikan Anak dan Istriku hidup berkecukupan ... tapi apa balasanmu?! Bahkan dengan tega kau bilang tak lagi sanggup hidup bersamaku?! Seberat itukah?! Dan pengorbananku ... kau anggap apa?! Secuil pun, apakah tak adakah artinya?!"Terbahak, Amalia mengumbar tawa. Entah apa yang menggelitik rungu itu hingga harus melebarkan kedua bibirnya."Pengorbanan?! Tugas menafkahi Istri itu adalah kewajiban, Mas! Mutlak kau lakukan ... bagaimana bisa kau sebut sebagai pengorbanan?!" "Aku ta
"Amalia .... " panggil Mas Brian mencoba menjeda langkah cepatku.Tanpa menoleh, tetap kuhentikan ayunan kaki. Mungkin, ada sesal ... atau keinginan untuk memperbaiki semua, mempertahankan bahtera ini."Maafkan aku bila memang keputusan ini terdengar begitu cepat ... maaf juga atas ego yang tak mampu kukalahkan. Entahlah, mungkin benar aku telah menyerah ... mungkin benar pula aku tak lagi ingin berjuang. Tapi ... kurasa tak mudah untuk menyelaraskan langkah sementara kita memang tak pernah benar-benar ingin bersama ...." lirih Mas Brian terjeda.Bukan! Tidak untuk menyesali keputusan. Mas Brian berucap tegas mengokohkan pendirian."Tak pernah benar-benar ingin bersama?! Siapa yang kau maksud, Mas?! Aku atau dirimu?! Sejak kau ucapkan ikrar di depan Bapak dan para saksi ... saat itu pula telah kupasrahkan hidup ini untuk sepenuhnya mengabdi. Apapun itu terjal yang harus kulewati ... apapun itu, Mas," ucapku menoleh cepat."Maaf ... tapi ... Aku ... a-ku mengidamkan sosok Istri seperti
Hampa kuedarkan pandangan ke luar kaca mobil, menopang kepala yang terasa berat dan semakin sakit. Malam telah larut, hilir mudik kendaraan pun sudah semakin surut. Tapi tetap saja, ada beberapa anak muda yang memilih duduk bergerombol di pinggir jalan daripada menghabiskan waktu di rumah merebahkan badan.Hampir jam sepuluh malam tapi kami masih harus menempuh separuh lagi perjalanan. Mungkin menjelang dini hari, roda mobil ini baru akan berhenti bekerja mengikuti arahan sang empu."Mas, untuk terakhir kali ... tolong antarkan kami selepas sholat Isya," tawarku pada Mas Brian, sebagai pinta terakhir padanya.Bukan untuk menunda atau berharap masa akan memperbaiki semua. Bahkan, sebenarnya aku pun sudah tak lagi ingin berpijak lebih lama. Tapi, ada dua hati yang beranjak senja di sana, dua wajah tua yang mungkin akan berkerut kecewa, dua keping hati yang mungkin saja akan patah tak bersisa.Sepasang suami Istri yang selalu mendukung apapun keputusan Putri semata wayangnya.Satu windu
"Makan dulu ya ... biar Ibu ambilkan," tawarnya bangkit tanpa menunggu persetujuan."Bu .... " panggilku gamang, terdengar llirih selaras dengan dengan asa yang melemah.Ibu berhenti.Namun tidak menoleh. Dari balik punggungnya, kulihat lengan itu mengusap sudut netra. Lantas berbalik bersama senyum sumbangnya."Iya .... " sahut Ibu.Aku menunduk.menghembuskan nafas berat dan kembali medongak dengan bibir gemetar."Maafkan aku, Bu ... maafkan aku harus pulang seperti ini," lirihku, sangat pelan. Bahkan, terdengar samar di rungu sendiri.Andai bisa terus berpura baik-baik saja ... maka aku akan memilih untuk melakukannya. Tapi keadaan memaksa lain ... aku harus kembali, dalam kondisi paling memprihatinkan."Kamu tak salah, Nak. Ini rumahmu ... kamu bisa pulang kapanpun itu,"Berhambur, tak lagi mampu kutekan pilu, memeluk erat wanita yang dulu telah manjadi perantara kehadiranku.
Pagi ini tak lagi sama, kulalui masa dengan suasana dan kebiasaan berbeda. Tak terbanyang memang, menikah di usia belia membuatku menjadi janda di umur yang relatif masih muda. Dua puluh sembilan tahun. Iya, bahkan belum genap kulewati sisanya. Tapi, kini aku harus rela, lebih tegar bila ada yang berkata kurang baik tentang kisahku, tentang statusku, tentang perilakuku. Bahkan, aku pun harus ikhlas bila nanti senyum sapaku menjadi tak benar bagi sebagian orang.Merenung, jauh netra ini memandang jauh, banyak hal yang sangat kurindukan, banyak pula waktu yang kukenang. Tapi, kini semua tak akan kembali, masa itu telah benar-benar pergi, meninggalkanku seorang diri."Nduk ...." panggil Bapak, lembut memegang bahu, mengejutkanku.Tergagap, aku menoleh cepat, tak sempat menghapus bulir yang entah sejak kapan membanjiri pipi."Pagi-pagi seperti ini paling enak menyesap kopi ya .... " tutur Bapak, meletakkan bobot tubuh tepat di sebelahku."Eh,
"Amalia ...." panggil Bapak pagi ini. Sudah hampir satu minggu disini tapi aku masih berusaha keras untuk membiasakan diri.Bukan hanya tentang suasana, tapi juga berbagai macam pertanyaan para tetangga sekaligus isu miringnya."Iya, Pak," jawabku santun, mengayun langkah menghampiri."Kamu bisa ikut Bapak ke toko?" Beliau adalah si pemilik sebuah toko bengunan, yang berdiri tepat di ujung jalan. Tak besar memang tapi cukup ramai pelanggan. Oleh sebab, waktu yang sudah sangat lama ia jalankan. Tiga puluh lima tahun, bahkan tempat Bapak mencari nafkah itu lebih lama didirikan sebelum aku dilahirkan."Bapak sangat kewalahan, Nak. Mbak Nuril resign karena mau ikut suaminya pindah ke luar kota ... kurasa Bapak sudah sangat tua untuk berurusan dengan rentetan angka ... Pusing ... apa kau bisa membantu Bapak?"Tersenyum, kutarik kedua sudut bibir simpul. Aku tahu, ini adalah cara Beliau untuk menghapus pilu ini, menyingkirka
"Buk, apa aku harus pergi ke rumah orang pintar untuk meminta bantuan mengembalikan Amalia," ujarku meminta pendapat sang Ibunda.Kalut, sungguh aku tak tahu lagi harus berusaha dengan cara seperti apa. Berbagai macam hal telah kulakukan namun semua terpatahkan sia-sia.Kesekian kali Amalia kembali meruntuhkan apa yang disebut sebagai asa. Lalu salahkan bila kini aku mulai putus asa?! Tidak! Ini bukan putus asa tapi wujud dari betapa besar kegigihan ini untuk kembali mengikatnya."Astagfirullah ... apa yang kau pikirkan, Nak. Istighfar ... minta perlindungan Allah," ucap Ibu terhenyak dengan nada sedikit lebih tinggi."Tapi ini seorang ustadz, Buk. Pasti baik karena beliau rekomendasi dari teman kantorku," sanggahku meyakinkan."Ustadz?! Ustadz seperti apa yang kau maksud itu?!""Beliau tidak menggunakan jampi-jampi atau bacaan-bacaan yang keluar dari kaidah islam. Tapi, ayat Al-Quran. Iya, Beliau menggunakan itu untuk membantu o
Lunglai, kutapaki langkah tak berdaya. Harapan untuk bisa bersatu kini semakin nyata tak akan pernah bisa. Meski telah kubawa malaikat tanpa sayap untuk memberikan pengertian. Nyatanya, Amalia tak lagi mau mengerti. "Datanglah bila memang kau merindukan Agam, Mas. Aku tak akan memberikan batasan apapun untuk kalian bersua atau memberi sekat dalam kasih kalian. Tak akan ... tapi cukup untuk itu. Jangan lebih ... apalagi memintaku kembali," tandas Amalia saat aku pamit, hendak pergi. Iya, itulah kalimat terakhir yang keluar dari wicaranya. Meski terucap lembut namun sangat tajam menggores, mencipta luka. Untuk Agam dia menginginkan yang terbaik ... tapi untuk hubungan kami dia memutuskan hal yang paling buruk. Tak apa ... mungkin ini adalah hukuman untukku. Sosok suami yang tak bisa menghargai perjuangan seorang Istri. Namun bukan berarti aku akan benar-benar berhenti ... tidak! Aku tak selemah itu. Walau tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya s
"Amalia .... " lirihku perih. Sungguh, kenyataan ini begitu pahit untuk sekedar kudengar. Apalagi bila harus kujalani. Sefatal itu kah kesalahan ini hingga ampunan pun tak pantas kumiliki? "Cukup, Mas! Cukup! Berhentilah ... jangan lagi datang kemari untuk mengemis seperti ini!" Tandas Amalia, lantang membelah luka. "Berhenti? Dengan cara apa aku bisa berhenti memperjuangkan Istri dan juga anakku ... dengan cara apa, Amalia ... dengan cara seperti apa?!" Tanyaku frustasi. Nampak jelas Amalia menggelengkan kepala pelan, melebarkan kelopak tak percaya. "Dengan cara apa?! Mengapa kau tanyakan itu padaku, Mas?! Mengapa?! Oh ya, bukankah kemarin kau bilang tentang langkah kita yang tak lagi selaras? Dan kau pun juga berucap untukku berlaku ikhlas? Lakukan saja seperti itu, Mas?! Sebagaimana yang kau perintahkan padaku ... lakukan saja seperti itu," tandas Amalia, tertawa sengit. "Nak .... " panggil Ibu menghentikan per
"Sebelumnya, saya minta maaf bila kedatangan kami kemari menganggu waktu Bu zainab," ucap Ibu terjeda. "Baru kemarin saya mengetahui tentang apa yang telah menimpa pernikahan anak-anak kita, Bu. Saya tidak menyangka Brian akan bertindak sejauh itu ... mengembalikan Istri pada orangtuanya. Sungguh, itu adalah kesalan besar ... dan saya sangat murka pada keputusan Brian," "Iya, memang sudah seharusnya seperti itu," timpal Bu zainab menatapku tajam. "Saya berharap ... semua ini masih bisa diperbaiki dan Nak Amalia mau lagi kembali ke rumah bersama Brian," "Kembali?! Sebagai seorang Ibu kurasa hati ini tak akan mampu melepas Putriku pada lelaki yang ... maaf ... seperti Nak Brian ini," "Saya faham, Bu. Tentang rasa khawatir yang saat ini Ibu zainab rasa ... saya sangat mengerti. Tapi ... InsyaAllah Brian telah menyadari letak kesalahannya dan tak akan mengulangi di masa mendatang. Bukan begitu, Nak?" tandas Ibu sejenak mengalihkan netra
Tak henti kucoba menekan gundah, melirihkan gejolak yang terasa keras mendentum dada. Namun, upayaku jauh dari kata sempurna. Bahkan layak dikata tak berguna sebab getir itu tetap ada, semakin tinggi merangkak memposisikan diri. Lurus menatap, kucoba untuk tetap fokus. Perjalanan masih sangat panjang. Dan pastinya aku berharap selamat senantiasa mengiringi sampai tujuan. "Bila nanti Amalia mau kembali ... tolong jaga dia, Nak. Perlakukan dirinya dengan cara terbaik," tutur Ibu tanpa benar-benar menatapku. Netranya berembun. Iya! Sejak tak mendapati keberadaan sang menantu, pelupuk itu tak pernah benar-benar kering. "Pasti, Bu ... Pasti," ucapku, mencoba meyakinkan, menanam kembali benih kepercayaan. Sungguh, telah sangat jauh aku membuang sikap itu. Kikir. Iya! Meski sampai saat ini aku pun belum bisa menerima bila diriku disebut sehina itu. Namun, demi utuhnya bahtera pernikahan. Aku rela ... sungguh tak apa bila harus kus
Cintanya pada Amalia. Memang sangat lah besar dan nyata. Bahkan, tak henti Beliau selalu membanggakan pribadi menantunya itu.Dan kini, kenyataan berlaku begitu pahit ... sangat getir untuk diterima nalarnya."Tanpa memberitahu Ibu ... kau ambil keputusan seberat itu, Nak? Kenapa?! Apa kau tak lagi membutuhkan pendapat Ibu?!" Serunya, mendongak, deras mengalir air dari ke dua sudut netra senjanya.Usianya tak lagi muda, tapi luka itu harus Beliau rasa. Sungguh, bukan hanya tak pantas dibangga. Aku pun menjadi sosok anak tak berguna."Maaf, Bu ... maafkan aku," lirihku bersimpuh, eret memeluk lututnya."Mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya bukanlah hal yang patut kau sebut sebagai ketidaksengajaan, Nak ... Tak pantas kau sebut seperti itu," lirih Ibu nyaris tak terdengar. Tersedu. Iya, wanita yang selalu kukagumi itu mulai terisak pilu, menyayat perih, mengiris kalbu."Aku tahu ... aku memang telah bersalah menge
Di kamar ini kulalui malam seorang diri. Tentang sepi usah ditanya lagi seerat apa kami berkarib. Sungguh, kini hanya dia yang setia menemani, kuat memeluk kesendirian ini.Di sudut itu, biasanya tertumpu netra ini pada keelokan paras Amalia, tengah masyuk membersihkan wajah ayunya. Katanya sih, itu sebuah kewajiban bagi seorang wanita agar elok itu tetap terjaga. Entahlah, yang pasti aku tak tertarik melakukannya.Rengekan Agam pun terdengar riuh, memenuhi seluruh ruangan. Memanggil sang Bunda tak sabar, meminta ditemani dalam pelukan. Meski, aku ada bersamanya.Hubungan mereka memang lah sangat erat, sedekat darah dalam nadi. Indah, melebihi goresan warna di langit biru.'Argh! Amalia ... apa yang harus kulakukan untuk membawamu kembali?' Jeritku meraung, rapat tersimpan dalam hati.Rindu ini terasa sangat kuat mendentum jiwa. Andai ia memiliki warna, mungkin telah pekat tak berpori.Dalam keputusasaan, layar pipih itu memanggil. Sebelum akhirnya hening tak lagi berbunyi.[Nak, beso
Sungguh, aku pun tak mengira mahligai yang tersusun oleh kepingan cinta itu harus berakhir tanpa makna. Dulu kukira cinta bisa membeli segalanya. Kenyamanan, pengertian, perhatian, pengorbanan, kesetiaan, kebahagiaan ... semuanya ... semuanya.Tapi faktanya prasangka itu tak benar, janji cinta itu tak nyata. Aku tak mendapatkannya ... satu pun tak kuperoleh dalam mahligai berlandas cinta."Amalia ... aku mohon percayalah padaku ... sekali ini saja kembali lah ... demi Agam ... demi masa depannya ....""Demi Agam?! Hah! Bahkan kau mengusir putra kecil kita dengan halus tutur katamu itu, Mas! Apa kembali kau tak mengingat semuanya?! Baru seminggu, Mas. Bahkan belum genap tujuh hari kau melewatinya ... tapi mengapa kau bisa melupakan banyak hal?!""Amalia .... " lirihnya lesu, melipat rahang tak berdaya."Mungkin akan kupikirkan bila kemarin kau bersikap lebih bijak. Menahan Istrimu, mempertahankan pernikahan, meredakan segala prahara. Tapi
"Amalia ... aku mohon. Ikutlah pulang bersamaku. Kita bisa memperbaiki semuanya ... menjadi lebih baik lagi," pinta Mas Brian, menekan kata, menegaskan kesungguhan.Tergelak, aku tertawa sinis."Apa yang ingin kau perbaiki, Mas?! Tak ada ... semuanya sudah hancur, tak tersisa," tangkisku tajam, lebar membuka netra."Pernikahan, Amalia ... rumahtangga kita," ucap Mas Brian tergagap, bingung."Rumahtangga kita telah berarang, Mas?! Dan kau adalah sosok yang membakarnya! Apa kau lupa ... atau pura-pura tak mengingatnya?!" Seruku gusar, menggeleng kuat.Sungguh, aku tak lagi mengerti apa yang ada dibalik kepalanya. Setelah dipatahkan, kini ia menutut serpihan ini kembali tegak?!"Aku tahu ... aku tahu, Amalia. Tapi kita bisa rujuk dan membangunnya kembali, bukan? Dengan niat lurus dan cara yang lebih baik lagi,"Tergelak, kembali aku menepis pinta dengan tawa sengit. "Saat hati ini benar-benar telah habis terkoyak