"Amalia, tunggu!" Hardikku keras menghentikan derap.
Menolah. Iya, dia memutar badan, menunjukkan murka yang jelas tergambar di wajah.
"Apa lagi, Mas?! Apa lagi!?" Seru Amalia, melebarkan kelopak netra.
"Haruskah, kau bersikap segila ini?! Dimana bakti yang dulu selalu kau junjung tinggi?!"
"Kenapa ... kamu tersinggung, Mas?! Apakah hatimu terluka dengan sikapku?!" Tantang Amalia, tertawa sengit.
"Aku suamimu!"
"Aku tahu ... aku tahu kau suamiku!"
"Apakah kamu juga tahu, wajib bagimu bertutur lembut padaku, Amalia! Wajib!" Tandasku gusar.
Menunduk, Amalia nampak dalam melipat rahang. Sebelum akhirnya mendongak dengan mulut gemetar.
"Aku sangat tahu itu! Tapi apakah kau juga tahu, bersikap baik pada seorang Istri itu juga kewajiban, Mas?!"
"Iya! Oleh karena itu, aku selalu mengusahakan yang terbaik untukmu!"
"Iya, kah? Bagian yang mana itu, Mas?!" Tantang Amalia, mendekat, kembali melangkah maju.
"Semuanya ... semua kewajiban sebagai seorang suami telah kulakukan dengan cara terbaik," tandasku bangga.
"Argh ... ya. Termasuk soal nafkah?!"
"Jelas ... itu menjadi fokus utamaku,"
"Merampas sebagian nafkah Istri ... apakah juga termasuk cara terbaik yang kau agungkan itu?!" Tukas Amalia, tajam menatapku garang.
"Merampas?!" Tanyaku, terhenyak, mengeryit tak mengerti.
"Iya, kau merampas uang belanja bulanan yang sudah setahun lamanya kuterima. Tujuh tahun kau melakukannya ... aku diam ... iya, aku memang memilih menutup rapat wicara. Tapi, benarkah kau berpikir bahwa di dalam sini tak ada tanya, kecewa ataupun murka, Mas?!" Ucap Amalia, keras memukul bagian tengah dada.
"Aku melakukannya demi kebaikan kita!"
"Kebaikan kita?! Kebaikan yang mana, Mas?! Bahkan, harus kulipat perut sendiri demi kata cukup ... apa kamu tahu itu?! Argh! Tapi tidak! Kurasa kamu tak akan mau mengerti! Kamu hanya butuh kalimat pasti ... aku bisa mengatur keuangan dengan baik. Tanpa, mau tahu derita yang kualami,"
"Hanya lima ratus ribu ... kau sebut itu sebagai derita?! Bahkan tak ada seperempat dari jumlah yang kuberi!" Tandasku gusar.
"Iya, memang hanya lima ratus ribu. Sangat kecil, bukan?! Tapi kau tega mengambilnya ... tanpa bertanya lebih dulu padaku, tanpa memberitahuku. Apalagi meminta persetujuanku!"
"Haruskah kulakukan itu?" Tukasku sangsi.
"Menurutmu?! Apakah itu tak perlu?! Aku yang mengelola ... Setidaknya kau bertanya, Mas. Andai kupangkas sebagian apakah kau bisa mengaturnya?" Seru Amalia terjeda.
"Seharusnya, kau melakukan itu! Tapi tidak! Kau putuskan semuanya sendiri ... seolah takut jika ada sisa dari uang yang kau beri, seakan tak terima bila aku memiliki uang lebih, seakan tidak ridho jika istri dan anakmu makan dengan layak!" Imbuhnya menekan setiap kata.
"Aku tak bermaksud seperti itu. Bahkan, aku rela kehilangan apapun demi kalian berdua,"
"Apapun?! Apa kau yakin, Mas?! Bahkan, sisa parkir tiga ribu rupiah pun, kau tega memintanya. Menengadahkan tangan kekarmu itu! Bila tak segan padaku ... setidaknya kau malu pada tukang parkir yang masih menunggu mobilmu menyala!" Tandas Amalia bengis.
Berat kuhembuskan napas! Sisa parkir?! Mengapa harus dia bawa dalam pertengkaran ini? Pantaskah?!
"Aku hanya ingin mengajarimu bagaimana mengelola keuangan dengan bijak!"
Terbahak, Amalia menanggapi perkataanku dengan tawa keras.
"Itu hanya dalihmu saja, Mas! Faktanya, kau tak ingin dianggap kikir ... meski sifat itu mengalir bersama darah di nadimu!"
Gemetar, kuraih tas hitam yang tergeletak di samping tubuhnya. Aku terluka ... sangat terluka dengan lontaran kalimat pedasnya. Fitnah itu, sungguh sangat keji keberadaannya. Sangat keji ... lebih kejam daripada hilangnya nyawa.
"Ini ... ini adalah uang belanja yang aku potong dari jatah belanjamu. Semuanya aman... sepeserpun tak berkurang ... ambil lah, kau bisa menghitungnya," ucapku tercekat, menyodorkan buku kecil bersampul biru padanya. Berharap, bisa meredakan prahara.
Tak dipungkiri, kecewa merayap memposisikan diri. Wanita yang selama ini kuperjuangkan. Ternyata, adalah sosok yang mampu menjatuhkanku je dasar jurang, menganggap diri ini sangat hina dengan cara paling nista.
"Aku tak butuh itu ... tak butuh, Mas!" Tampik Amalia, menolak menerima.
Terhenyak. Sungguh, diri ini sangsi tak percaya. Bagaimana dia bisa menolak lembaran yang dicintai banyak umat manusia.
"Coba kau lihat ... hitunglah. Bahkan, telah kutambahi dari jumlah yang kau sebut sebagai harta rampasan tadi," Tekanku, menyodorkan kembali. Mengungkapkan fakta akan kemilau yang sudah pasti disukai oleh banyak Istri.
"Kenapa? Ambillah ... bukankah ini yang kau inginkan?"
"Kata siapa aku menginginkan ini, Mas?! Kata siapa?!"
"Oke ... kamu memang tak pernah mengatakannya. Tapi dengan jumlah yang ada di dalam sini, kau bisa membeli segalanya. Termasuk mesin cuci yang tercanggih sekalipun!"
"Tidak dengan cara seperti ini, Mas! Tidak seperti ini!" Ucap Amalia, menggeleng kuat.
"Bukankah mesin itu yang kau dambakan? Yang membuatmu mencercaku sekeras ini? Lantas, mengapa kini kau menolak?! Ambil lah, beli apapun yang kau inginkan,"
"Tidak! Aku tak mau!" Tolaknya kembali, menolak keras.
"Oke! Aku salah ... telah salah mengambil sebagian uang belanjamu. Tapi ini adalah bukti, betapa semua memang kulakukan demi kebaikan kita," tandasku.
"Sepertinya kau sangat puas telah berhasil mengumpulkan sebagian dari jatah bulanan ya, Mas?! Atau kau cukup bangga karena merasa telah berhasil mendidik Istrimu untuk hidup sederhana!" Seru Amalia kembali, mendongak, menatapku murka.
"Amalia .... " ucapku tertahan.
"Sekian tahun kau memaksaku mengikuti aturanmu, berlaku semaumu tanpa meminta persetujuanku ... kini kau berharap mampu menutup luka dengan pundi di dalam sini, Mas?!" Ucap Amalia menepis buku kecil yang telah kusodorkan.
Sungguh aku tak mengerti dengan wanita yang telah delapan tahun kunikahi ini ... mengapa masih ada murka meski telah kutunjukkan tabungannya. Bahkan tanpa membuka dia tolak begitu saja.
"Simpan saja, Mas ... aku tak butuh semua ini!" Tolak Amalia, deras berlinang air mata.
"Bahkan kau masih marah setelah kuberikan ini padamu? Lantas apa maumu?! Apa kau akan terus mengutuk suamimu seperti ini?" Tukasku hancur di dasar rasa kecewa.
"Iya ... aku akan terus menguntukmu, Mas! Sampai kapanpun!"
"Mengapa harus seperti ini?!"
"Ini bukan hanya tentang berapa uang yang kau rampas. Bukan pula tentang jumlah yang berhasil kau kumpulkan, Mas! Lebih dari itu... ada harga diri ... harga diri seorang Istri yang selama ini kau abaikan!"
"Harga diri?! Hanya persoalan kecil ... dan kau anggap aku mengacuhkan harga dirimu?!" Tukasku tak terima.
"Argh! Sepertinya aku memang telah salah memilihmu sebagai seorang suami ... sangat salah, Mas?!"
"Amalia!"
"Kenapa?! Memang seperti itu kenyataannya! Aku telah salah memperjuangkanmu di hadapan kedua orangtuaku! Andai ... iya, andai saja dulu kuikuti apa kata Bapak. Mungkin, saat ini aku akan bersanding dengan Imam yang lebih bijak dan tahu cara memuliakan seorang Istri!"
"Haruskah kau berkata seperti itu, Amalia?! Haruskah, kau ucapkan itu setelah kutunjukkan ini padamu?!" Tukasku sangsi, kembali menggoyang buku kecil le depan wajahnya.
***
"Entahlah ... aku pun tak mengerti. Mungkin karena lelah ... iya! Aku sangat lelah. Sakit ini teramat dalam ... aku tak sanggup lagi," ucapnya tergugu.'Apa maksudnya ini?!' Teriakku tanpa suara."Kamu lelah menjadi istriku, Amalia ... benarkah kamu tak lagi sanggup hidup bersama suamimu ini?! Tukasku tak percaya, lebar membuka netra.Tanpa menjawab pujaan hatiku itu menggeleng kuat, menguras sungai di balik kelopak matanya."Tak kenal waktu kuperas keringat ini, bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kita. Memastikan Anak dan Istriku hidup berkecukupan ... tapi apa balasanmu?! Bahkan dengan tega kau bilang tak lagi sanggup hidup bersamaku?! Seberat itukah?! Dan pengorbananku ... kau anggap apa?! Secuil pun, apakah tak adakah artinya?!"Terbahak, Amalia mengumbar tawa. Entah apa yang menggelitik rungu itu hingga harus melebarkan kedua bibirnya."Pengorbanan?! Tugas menafkahi Istri itu adalah kewajiban, Mas! Mutlak kau lakukan ... bagaimana bisa kau sebut sebagai pengorbanan?!" "Aku ta
"Amalia .... " panggil Mas Brian mencoba menjeda langkah cepatku.Tanpa menoleh, tetap kuhentikan ayunan kaki. Mungkin, ada sesal ... atau keinginan untuk memperbaiki semua, mempertahankan bahtera ini."Maafkan aku bila memang keputusan ini terdengar begitu cepat ... maaf juga atas ego yang tak mampu kukalahkan. Entahlah, mungkin benar aku telah menyerah ... mungkin benar pula aku tak lagi ingin berjuang. Tapi ... kurasa tak mudah untuk menyelaraskan langkah sementara kita memang tak pernah benar-benar ingin bersama ...." lirih Mas Brian terjeda.Bukan! Tidak untuk menyesali keputusan. Mas Brian berucap tegas mengokohkan pendirian."Tak pernah benar-benar ingin bersama?! Siapa yang kau maksud, Mas?! Aku atau dirimu?! Sejak kau ucapkan ikrar di depan Bapak dan para saksi ... saat itu pula telah kupasrahkan hidup ini untuk sepenuhnya mengabdi. Apapun itu terjal yang harus kulewati ... apapun itu, Mas," ucapku menoleh cepat."Maaf ... tapi ... Aku ... a-ku mengidamkan sosok Istri seperti
Hampa kuedarkan pandangan ke luar kaca mobil, menopang kepala yang terasa berat dan semakin sakit. Malam telah larut, hilir mudik kendaraan pun sudah semakin surut. Tapi tetap saja, ada beberapa anak muda yang memilih duduk bergerombol di pinggir jalan daripada menghabiskan waktu di rumah merebahkan badan.Hampir jam sepuluh malam tapi kami masih harus menempuh separuh lagi perjalanan. Mungkin menjelang dini hari, roda mobil ini baru akan berhenti bekerja mengikuti arahan sang empu."Mas, untuk terakhir kali ... tolong antarkan kami selepas sholat Isya," tawarku pada Mas Brian, sebagai pinta terakhir padanya.Bukan untuk menunda atau berharap masa akan memperbaiki semua. Bahkan, sebenarnya aku pun sudah tak lagi ingin berpijak lebih lama. Tapi, ada dua hati yang beranjak senja di sana, dua wajah tua yang mungkin akan berkerut kecewa, dua keping hati yang mungkin saja akan patah tak bersisa.Sepasang suami Istri yang selalu mendukung apapun keputusan Putri semata wayangnya.Satu windu
"Makan dulu ya ... biar Ibu ambilkan," tawarnya bangkit tanpa menunggu persetujuan."Bu .... " panggilku gamang, terdengar llirih selaras dengan dengan asa yang melemah.Ibu berhenti.Namun tidak menoleh. Dari balik punggungnya, kulihat lengan itu mengusap sudut netra. Lantas berbalik bersama senyum sumbangnya."Iya .... " sahut Ibu.Aku menunduk.menghembuskan nafas berat dan kembali medongak dengan bibir gemetar."Maafkan aku, Bu ... maafkan aku harus pulang seperti ini," lirihku, sangat pelan. Bahkan, terdengar samar di rungu sendiri.Andai bisa terus berpura baik-baik saja ... maka aku akan memilih untuk melakukannya. Tapi keadaan memaksa lain ... aku harus kembali, dalam kondisi paling memprihatinkan."Kamu tak salah, Nak. Ini rumahmu ... kamu bisa pulang kapanpun itu,"Berhambur, tak lagi mampu kutekan pilu, memeluk erat wanita yang dulu telah manjadi perantara kehadiranku.
Pagi ini tak lagi sama, kulalui masa dengan suasana dan kebiasaan berbeda. Tak terbanyang memang, menikah di usia belia membuatku menjadi janda di umur yang relatif masih muda. Dua puluh sembilan tahun. Iya, bahkan belum genap kulewati sisanya. Tapi, kini aku harus rela, lebih tegar bila ada yang berkata kurang baik tentang kisahku, tentang statusku, tentang perilakuku. Bahkan, aku pun harus ikhlas bila nanti senyum sapaku menjadi tak benar bagi sebagian orang.Merenung, jauh netra ini memandang jauh, banyak hal yang sangat kurindukan, banyak pula waktu yang kukenang. Tapi, kini semua tak akan kembali, masa itu telah benar-benar pergi, meninggalkanku seorang diri."Nduk ...." panggil Bapak, lembut memegang bahu, mengejutkanku.Tergagap, aku menoleh cepat, tak sempat menghapus bulir yang entah sejak kapan membanjiri pipi."Pagi-pagi seperti ini paling enak menyesap kopi ya .... " tutur Bapak, meletakkan bobot tubuh tepat di sebelahku."Eh,
"Amalia ...." panggil Bapak pagi ini. Sudah hampir satu minggu disini tapi aku masih berusaha keras untuk membiasakan diri.Bukan hanya tentang suasana, tapi juga berbagai macam pertanyaan para tetangga sekaligus isu miringnya."Iya, Pak," jawabku santun, mengayun langkah menghampiri."Kamu bisa ikut Bapak ke toko?" Beliau adalah si pemilik sebuah toko bengunan, yang berdiri tepat di ujung jalan. Tak besar memang tapi cukup ramai pelanggan. Oleh sebab, waktu yang sudah sangat lama ia jalankan. Tiga puluh lima tahun, bahkan tempat Bapak mencari nafkah itu lebih lama didirikan sebelum aku dilahirkan."Bapak sangat kewalahan, Nak. Mbak Nuril resign karena mau ikut suaminya pindah ke luar kota ... kurasa Bapak sudah sangat tua untuk berurusan dengan rentetan angka ... Pusing ... apa kau bisa membantu Bapak?"Tersenyum, kutarik kedua sudut bibir simpul. Aku tahu, ini adalah cara Beliau untuk menghapus pilu ini, menyingkirka
"Amalia ... aku mohon. Ikutlah pulang bersamaku. Kita bisa memperbaiki semuanya ... menjadi lebih baik lagi," pinta Mas Brian, menekan kata, menegaskan kesungguhan.Tergelak, aku tertawa sinis."Apa yang ingin kau perbaiki, Mas?! Tak ada ... semuanya sudah hancur, tak tersisa," tangkisku tajam, lebar membuka netra."Pernikahan, Amalia ... rumahtangga kita," ucap Mas Brian tergagap, bingung."Rumahtangga kita telah berarang, Mas?! Dan kau adalah sosok yang membakarnya! Apa kau lupa ... atau pura-pura tak mengingatnya?!" Seruku gusar, menggeleng kuat.Sungguh, aku tak lagi mengerti apa yang ada dibalik kepalanya. Setelah dipatahkan, kini ia menutut serpihan ini kembali tegak?!"Aku tahu ... aku tahu, Amalia. Tapi kita bisa rujuk dan membangunnya kembali, bukan? Dengan niat lurus dan cara yang lebih baik lagi,"Tergelak, kembali aku menepis pinta dengan tawa sengit. "Saat hati ini benar-benar telah habis terkoyak
Sungguh, aku pun tak mengira mahligai yang tersusun oleh kepingan cinta itu harus berakhir tanpa makna. Dulu kukira cinta bisa membeli segalanya. Kenyamanan, pengertian, perhatian, pengorbanan, kesetiaan, kebahagiaan ... semuanya ... semuanya.Tapi faktanya prasangka itu tak benar, janji cinta itu tak nyata. Aku tak mendapatkannya ... satu pun tak kuperoleh dalam mahligai berlandas cinta."Amalia ... aku mohon percayalah padaku ... sekali ini saja kembali lah ... demi Agam ... demi masa depannya ....""Demi Agam?! Hah! Bahkan kau mengusir putra kecil kita dengan halus tutur katamu itu, Mas! Apa kembali kau tak mengingat semuanya?! Baru seminggu, Mas. Bahkan belum genap tujuh hari kau melewatinya ... tapi mengapa kau bisa melupakan banyak hal?!""Amalia .... " lirihnya lesu, melipat rahang tak berdaya."Mungkin akan kupikirkan bila kemarin kau bersikap lebih bijak. Menahan Istrimu, mempertahankan pernikahan, meredakan segala prahara. Tapi
"Buk, apa aku harus pergi ke rumah orang pintar untuk meminta bantuan mengembalikan Amalia," ujarku meminta pendapat sang Ibunda.Kalut, sungguh aku tak tahu lagi harus berusaha dengan cara seperti apa. Berbagai macam hal telah kulakukan namun semua terpatahkan sia-sia.Kesekian kali Amalia kembali meruntuhkan apa yang disebut sebagai asa. Lalu salahkan bila kini aku mulai putus asa?! Tidak! Ini bukan putus asa tapi wujud dari betapa besar kegigihan ini untuk kembali mengikatnya."Astagfirullah ... apa yang kau pikirkan, Nak. Istighfar ... minta perlindungan Allah," ucap Ibu terhenyak dengan nada sedikit lebih tinggi."Tapi ini seorang ustadz, Buk. Pasti baik karena beliau rekomendasi dari teman kantorku," sanggahku meyakinkan."Ustadz?! Ustadz seperti apa yang kau maksud itu?!""Beliau tidak menggunakan jampi-jampi atau bacaan-bacaan yang keluar dari kaidah islam. Tapi, ayat Al-Quran. Iya, Beliau menggunakan itu untuk membantu o
Lunglai, kutapaki langkah tak berdaya. Harapan untuk bisa bersatu kini semakin nyata tak akan pernah bisa. Meski telah kubawa malaikat tanpa sayap untuk memberikan pengertian. Nyatanya, Amalia tak lagi mau mengerti. "Datanglah bila memang kau merindukan Agam, Mas. Aku tak akan memberikan batasan apapun untuk kalian bersua atau memberi sekat dalam kasih kalian. Tak akan ... tapi cukup untuk itu. Jangan lebih ... apalagi memintaku kembali," tandas Amalia saat aku pamit, hendak pergi. Iya, itulah kalimat terakhir yang keluar dari wicaranya. Meski terucap lembut namun sangat tajam menggores, mencipta luka. Untuk Agam dia menginginkan yang terbaik ... tapi untuk hubungan kami dia memutuskan hal yang paling buruk. Tak apa ... mungkin ini adalah hukuman untukku. Sosok suami yang tak bisa menghargai perjuangan seorang Istri. Namun bukan berarti aku akan benar-benar berhenti ... tidak! Aku tak selemah itu. Walau tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya s
"Amalia .... " lirihku perih. Sungguh, kenyataan ini begitu pahit untuk sekedar kudengar. Apalagi bila harus kujalani. Sefatal itu kah kesalahan ini hingga ampunan pun tak pantas kumiliki? "Cukup, Mas! Cukup! Berhentilah ... jangan lagi datang kemari untuk mengemis seperti ini!" Tandas Amalia, lantang membelah luka. "Berhenti? Dengan cara apa aku bisa berhenti memperjuangkan Istri dan juga anakku ... dengan cara apa, Amalia ... dengan cara seperti apa?!" Tanyaku frustasi. Nampak jelas Amalia menggelengkan kepala pelan, melebarkan kelopak tak percaya. "Dengan cara apa?! Mengapa kau tanyakan itu padaku, Mas?! Mengapa?! Oh ya, bukankah kemarin kau bilang tentang langkah kita yang tak lagi selaras? Dan kau pun juga berucap untukku berlaku ikhlas? Lakukan saja seperti itu, Mas?! Sebagaimana yang kau perintahkan padaku ... lakukan saja seperti itu," tandas Amalia, tertawa sengit. "Nak .... " panggil Ibu menghentikan per
"Sebelumnya, saya minta maaf bila kedatangan kami kemari menganggu waktu Bu zainab," ucap Ibu terjeda. "Baru kemarin saya mengetahui tentang apa yang telah menimpa pernikahan anak-anak kita, Bu. Saya tidak menyangka Brian akan bertindak sejauh itu ... mengembalikan Istri pada orangtuanya. Sungguh, itu adalah kesalan besar ... dan saya sangat murka pada keputusan Brian," "Iya, memang sudah seharusnya seperti itu," timpal Bu zainab menatapku tajam. "Saya berharap ... semua ini masih bisa diperbaiki dan Nak Amalia mau lagi kembali ke rumah bersama Brian," "Kembali?! Sebagai seorang Ibu kurasa hati ini tak akan mampu melepas Putriku pada lelaki yang ... maaf ... seperti Nak Brian ini," "Saya faham, Bu. Tentang rasa khawatir yang saat ini Ibu zainab rasa ... saya sangat mengerti. Tapi ... InsyaAllah Brian telah menyadari letak kesalahannya dan tak akan mengulangi di masa mendatang. Bukan begitu, Nak?" tandas Ibu sejenak mengalihkan netra
Tak henti kucoba menekan gundah, melirihkan gejolak yang terasa keras mendentum dada. Namun, upayaku jauh dari kata sempurna. Bahkan layak dikata tak berguna sebab getir itu tetap ada, semakin tinggi merangkak memposisikan diri. Lurus menatap, kucoba untuk tetap fokus. Perjalanan masih sangat panjang. Dan pastinya aku berharap selamat senantiasa mengiringi sampai tujuan. "Bila nanti Amalia mau kembali ... tolong jaga dia, Nak. Perlakukan dirinya dengan cara terbaik," tutur Ibu tanpa benar-benar menatapku. Netranya berembun. Iya! Sejak tak mendapati keberadaan sang menantu, pelupuk itu tak pernah benar-benar kering. "Pasti, Bu ... Pasti," ucapku, mencoba meyakinkan, menanam kembali benih kepercayaan. Sungguh, telah sangat jauh aku membuang sikap itu. Kikir. Iya! Meski sampai saat ini aku pun belum bisa menerima bila diriku disebut sehina itu. Namun, demi utuhnya bahtera pernikahan. Aku rela ... sungguh tak apa bila harus kus
Cintanya pada Amalia. Memang sangat lah besar dan nyata. Bahkan, tak henti Beliau selalu membanggakan pribadi menantunya itu.Dan kini, kenyataan berlaku begitu pahit ... sangat getir untuk diterima nalarnya."Tanpa memberitahu Ibu ... kau ambil keputusan seberat itu, Nak? Kenapa?! Apa kau tak lagi membutuhkan pendapat Ibu?!" Serunya, mendongak, deras mengalir air dari ke dua sudut netra senjanya.Usianya tak lagi muda, tapi luka itu harus Beliau rasa. Sungguh, bukan hanya tak pantas dibangga. Aku pun menjadi sosok anak tak berguna."Maaf, Bu ... maafkan aku," lirihku bersimpuh, eret memeluk lututnya."Mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya bukanlah hal yang patut kau sebut sebagai ketidaksengajaan, Nak ... Tak pantas kau sebut seperti itu," lirih Ibu nyaris tak terdengar. Tersedu. Iya, wanita yang selalu kukagumi itu mulai terisak pilu, menyayat perih, mengiris kalbu."Aku tahu ... aku memang telah bersalah menge
Di kamar ini kulalui malam seorang diri. Tentang sepi usah ditanya lagi seerat apa kami berkarib. Sungguh, kini hanya dia yang setia menemani, kuat memeluk kesendirian ini.Di sudut itu, biasanya tertumpu netra ini pada keelokan paras Amalia, tengah masyuk membersihkan wajah ayunya. Katanya sih, itu sebuah kewajiban bagi seorang wanita agar elok itu tetap terjaga. Entahlah, yang pasti aku tak tertarik melakukannya.Rengekan Agam pun terdengar riuh, memenuhi seluruh ruangan. Memanggil sang Bunda tak sabar, meminta ditemani dalam pelukan. Meski, aku ada bersamanya.Hubungan mereka memang lah sangat erat, sedekat darah dalam nadi. Indah, melebihi goresan warna di langit biru.'Argh! Amalia ... apa yang harus kulakukan untuk membawamu kembali?' Jeritku meraung, rapat tersimpan dalam hati.Rindu ini terasa sangat kuat mendentum jiwa. Andai ia memiliki warna, mungkin telah pekat tak berpori.Dalam keputusasaan, layar pipih itu memanggil. Sebelum akhirnya hening tak lagi berbunyi.[Nak, beso
Sungguh, aku pun tak mengira mahligai yang tersusun oleh kepingan cinta itu harus berakhir tanpa makna. Dulu kukira cinta bisa membeli segalanya. Kenyamanan, pengertian, perhatian, pengorbanan, kesetiaan, kebahagiaan ... semuanya ... semuanya.Tapi faktanya prasangka itu tak benar, janji cinta itu tak nyata. Aku tak mendapatkannya ... satu pun tak kuperoleh dalam mahligai berlandas cinta."Amalia ... aku mohon percayalah padaku ... sekali ini saja kembali lah ... demi Agam ... demi masa depannya ....""Demi Agam?! Hah! Bahkan kau mengusir putra kecil kita dengan halus tutur katamu itu, Mas! Apa kembali kau tak mengingat semuanya?! Baru seminggu, Mas. Bahkan belum genap tujuh hari kau melewatinya ... tapi mengapa kau bisa melupakan banyak hal?!""Amalia .... " lirihnya lesu, melipat rahang tak berdaya."Mungkin akan kupikirkan bila kemarin kau bersikap lebih bijak. Menahan Istrimu, mempertahankan pernikahan, meredakan segala prahara. Tapi
"Amalia ... aku mohon. Ikutlah pulang bersamaku. Kita bisa memperbaiki semuanya ... menjadi lebih baik lagi," pinta Mas Brian, menekan kata, menegaskan kesungguhan.Tergelak, aku tertawa sinis."Apa yang ingin kau perbaiki, Mas?! Tak ada ... semuanya sudah hancur, tak tersisa," tangkisku tajam, lebar membuka netra."Pernikahan, Amalia ... rumahtangga kita," ucap Mas Brian tergagap, bingung."Rumahtangga kita telah berarang, Mas?! Dan kau adalah sosok yang membakarnya! Apa kau lupa ... atau pura-pura tak mengingatnya?!" Seruku gusar, menggeleng kuat.Sungguh, aku tak lagi mengerti apa yang ada dibalik kepalanya. Setelah dipatahkan, kini ia menutut serpihan ini kembali tegak?!"Aku tahu ... aku tahu, Amalia. Tapi kita bisa rujuk dan membangunnya kembali, bukan? Dengan niat lurus dan cara yang lebih baik lagi,"Tergelak, kembali aku menepis pinta dengan tawa sengit. "Saat hati ini benar-benar telah habis terkoyak