"Entahlah ... aku pun tak mengerti. Mungkin karena lelah ... iya! Aku sangat lelah. Sakit ini teramat dalam ... aku tak sanggup lagi," ucapnya tergugu.
'Apa maksudnya ini?!' Teriakku tanpa suara.
"Kamu lelah menjadi istriku, Amalia ... benarkah kamu tak lagi sanggup hidup bersama suamimu ini?! Tukasku tak percaya, lebar membuka netra.
Tanpa menjawab pujaan hatiku itu menggeleng kuat, menguras sungai di balik kelopak matanya.
"Tak kenal waktu kuperas keringat ini, bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kita. Memastikan Anak dan Istriku hidup berkecukupan ... tapi apa balasanmu?! Bahkan dengan tega kau bilang tak lagi sanggup hidup bersamaku?! Seberat itukah?! Dan pengorbananku ... kau anggap apa?! Secuil pun, apakah tak adakah artinya?!"
Terbahak, Amalia mengumbar tawa. Entah apa yang menggelitik rungu itu hingga harus melebarkan kedua bibirnya.
"Pengorbanan?! Tugas menafkahi Istri itu adalah kewajiban, Mas! Mutlak kau lakukan ... bagaimana bisa kau sebut sebagai pengorbanan?!"
"Aku tahu itu, Amalia ... aku sangat tahu hal itu. Tapi tak bisakah sejenak saja kau lihat betapa berat perjuangan yang harus kulakukan?"
"Melihat perjuanganmu?! Aku tak mampu, Mas! Karena sudah sejak lama kau mematikan rasaku ... memaksaku membenci segala kelakuanmu!"
"Amalia .... " ucapku lirih, nyaris tak terdengar.
Menerawang, netra itu nampak jauh memandang. Miris, sungguh aku pun tak sanggup melihat mata sembabnya.
"Malam itu ... senyum tak pernah pamit dari wajah ini ... saat tahu esok aku akan memiliki gelar baru, bertahta sebagai Nyonya Brian Pramestu, sosok Ratu satu-satunya di hidupmu, Mas," ungkap Amalia lirih, tersedu pilu.
"Dan benar ... kau begitu istimewa memperlakukanku, mencipta indah pelangi tanpa dingin rintik hujan ... aku bahagia kala itu ... sangat bahagia ... hingga lupa seperti apa sedih itu terasa ... Namun, aku terlena, tak menyadari bahwa waktu bisa menghapus garis indah di langit biru ... aku lupa bahwa duka terlahir bersama cita ... aku lupa bahwa masa pun bisa merubah segalanya,"
"Amalia ...." lirihku terhenti, tersungkur di depannya.
"Hanya satu tahun ... iya! Tak lebih dari tiga ratus enam puluh hari. Sebelum akhirnya kau berangsur menekanku dengan dalih mendidik seorang Istri, kau memintaku berhemat dengan cara memaksa, kau menekanku berlaku sempurna tanpa mau tahu sekeras apa terjal jalan yang harus dilalui ... acuh ... kau memilih rapat menutup mata ... hanya ingin mendengar bahwa aku bisa dan baik-baik saja,"
"Amalia ... maafkan aku,"
"Sakit, Mas. Sungguh ... aku bersuami tapi serasa hidup seorang diri ... kau tak pernah benar-benar menuntun langkahku ... kau tak pernah benar-benar mengiringi perjuanganku. Iya ... kau selalu ... dan hanya selalu menyeretku mengikuti langkah cepatmu. Tak peduli seberapa berat kaki ini terseok, tak peduli seberapa lelah nafas ini tersenggal ... tak peduli ... karena kau tak pernah sudi menengok, menatap peluhku,"
"Aku tak tahu ... aku tak tahu kau semenderita ini hidup denganku ... maafkan aku, Amalia. Maaf ... maaf untuk neraka yang kuciptakan untukmu ... sungguh aku benar-benar tak bermaksud melakukannya,"
"Maaf?! Iya, mungkin aku bisa memberi itu ... tapi bagaimana dengan hatiku, Mas? Apakah kau yakin mampu mengembalikan keutuhannya?!" Seru Amalia, keras memukul bagian tegah dadanya.
"Dulu kukira kau akan berubah, Mas ... saat jelas mendengar rintihku melahirkan keturunanmu. Tapi tidak! Hanya sesaat kau memelukku mesra ... lirih berucap terimakasih atas kelahiran sang putra. Dan setelah itu?! Kau kembali, tak henti memaksaku mengikuti standarmu,"
"Tanpa putus asa ... masih kulangitkan pinta agar Allah berkehendak melembutkan hatimu, saat kau tahu payudara ini berdarah kala menyusui Agam. Tapi apa yang kudapat? Tak ada! Selain kecewa yang harus kembali kutelan sia-sia... tak apa ... aku masih bisa bersabar ... sesuai kemampuan kuikuti arahmu ... meski seringkali cerca yang harus kau lontarkan akan batas yang tak sanggup kucapai,"
"Namun ... ternyata aku tak sekuat itu untuk menanggung lara, Mas. Aku tak setangguh itu mengikuti tekananmu. Aku lemah ... iya! Mungkin itu yang ada dipikiranmu, aku wanita yang mudah menyerah ... terserah ... apapun itu. Delapan tahun sudah kupaksa kaki ini tegak tanpa sendi ... mungkin ini adalah jawaban atas sujud panjangku, mungkin ini jalan terbaik sebelum akhirnya aku benar-benar hancur karena tak mampu mengikutimu," cerca Amalia meluapkan segala murka.
"Maaf ... maafkan aku," lirihku lemah, gemetar meraih tubuhnya.
🌾🌾🌾🌾
Dalam peraduan tak lepas kurengkuh tubuh Amalia, penuh haru mengecup kening sang Istri yang nampak lelap dengan mata sembab.
Aku meyesal?! Sangat ... sungguh aku pun tak mampu menampik rasa itu.
Benarkah teramat tinggi standar yang kusematkan untuk keluarga ini?! Ataukah Amalia yang memang tak sanggup berjalan beriringan denganku?!
Mewujudkan keluarga harmonis yang sederhana ... hanya itu saja. Apakah itu teramat memberatkan? Ataukah memang tujuan kami yang tak sama?!
Entahlah ... tapi yang pasti. Dia terluka dengan impian sederhana ini, Amaliaku tersakiti dengan harapan kecil ini.
"Bersiaplah ... aku akan mengantarmu dan Agam ke rumah Bapak," ujarku lirih, datar, tanpa menatap.
"Ke rumah Bapak? Kapan? Kenapa kamu tak bilang, Mas?" Tanya Istriku itu heran, penuh tanya meyajikan secangkir kopi pagiku.
Pahit kutelan getir saliva ... bukan hanya melukainya ... keputusan ini pun serasa mematahkanku. Tapi ini yang terbaik ... harus diambil meski menyakitkan untuk kami bertiga.
"Bawa semua pakaianmu dan juga punya Agam ... kita akan berangkat selepas sembahyang tiga rekaat," ucapku mencoba tetap tegar dalam tangis yang rapat kupendam.
Sungguh, aku pun tak ingin .. tak mengharapkan semua ini. Namun apa kuasaku?! Tujuan kami berbeda ... impian kami pun tak sama.
"Mengapa harus berlaku sejauh ini, Mas? Bila tadi malam ada khilaf kataku ... aku mohon maafkan aku ... tapi jangan kau pulangkan aku pada Bapak ..." pinta Amalia, sujud tersungkur, mencium kakiku.
Tersentak, kucoba menjauh sebelum akhirnya bersimpuh, memegang kedua bahu yang nampak terguncang oleh isak.
"Amalia ... bangun lah ..." titahku mencoba membimbingnya bangkit.
"Jangan kau pulangkan aku, Mas ... aku mohon," elak Amalia, kuat menggelengkan kepala.
"Amalia ... maafkan aku. Tapi aku tak sanggup ... aku tak bisa untuk terus mempertahankan rumahtangga kita ... aku takut untuk terus menggores luka di hatimu,"
"Tidak, Mas ... aku baik-baik saja ... sungguh. Kemarin ... iya, mungkin karena aku sangat lelah. Tapi aku janji ... tak akan lagi mengulangi semua itu ... janji untuk berhenti merengek, meminta sesuatu yang tak perlu, janji tak akan bertutur kasar. Sungguh ... aku akan berhenti berlaku arogan seperti itu ... aku janji, Mas," tutur Amalia, mendongak gemetar.
"Maafkan aku, Sayang ... tapi percayalah ... ini yang terbaik untuk kita," lirihku lembut, pedih membingkai wajah ayunya.
"Tak ada yang terbaik selain kebersamaan kita, Mas. Tak ada ... ini hanya salah paham saja. Kita bisa memikirkannya kembali,"
"Amalia ... aku sudah memikirkannya ... sangat matang. Memang inilah yang terbaik untuk kita,"
"Tidak, Mas ... itu tidak benar .... " rintih Amalia, menggelengkan kepala.
"Sekali ini saja, Mas. Tolong dengarkan aku ... katakan bila kita akan terus bersama ... katakan, Mas! Katakan!" Teriak Amalia, kuat menggoncang bahuku.
"Aku tahu ini berat ... pun begitu untuk diriku ... sama sakitnya denganmu. Tapi, keputusan ini harus kita ambil," pungkasku, menghapus bulir di pipinya.
"Kau menyerah, Mas? Apa kau sungguh ingin menyudahi delapan tahun pernikahan kita seperti ini?" Tukas Amalia berkaca-kaca.
"Maafkan aku ... terserah bila kau pikir aku telah menyerah. Tapi yang pasti ... aku ingin kau tak lagi tersiksa dengan keegoisanku"
"Apakah seperti ini caramu menyudahi tangisku, Mas?! Apakah benar seperti ini langkah yang ingin kau tempuh untuk menghentikan penderitaanku?!"
"Amalia ... aku mencintaimu ... sangat ingin hidup bersama denganmu. Tapi, hubungan kita tak sehat. Hanya akan menyakiti satu sama lain bila dipertahankan. Tak akan baik untukku ataupun dirimu,"
"Argh! Benarkah itu?! Dan Agam?! Oh ya ... apa kau yakin mampu menjalani hari tanpa dirinya?! Bukankah hubungan kalian sangat dekat?! Apakah kau tega mengabarkan pada anak kita, Mas?! Tentang semua ini ... mengenai cinta yang tak lagi sama untuknya?!"
"Untuk Agam ... kasih itu tak akan berubah ... cinta untuknya akan tetap sama. Hanya hubungan kita saja yang berbeda,"
"Hanya hubungan kita yang berbeda?! Apa kau yakin tak akan berpengaruh pada kehidupan Putramu, Mas?! Bila memang bukan untuk diriku ... coba sedikit saja kau tengok wajah putra kecil kita?! Tak mampukah terbersit rintih tangisnya bila kita tak lagi bersama?!"
"Semua itu ... sudah kupikirkan Amalia. Apapun yang terjadi aku akan selalu ada untuk mendukung Agam. Percayalah ..."
"Dalam semalam ... iya! sepertinya sudah sangat matang keputusanmu untuk sesuatu yang menurutku sangatlah rumit ini ... itulah dirimu ... sangat angkuh pada pendirian sendiri terlepas baik atau buruk!" Ucap Amalia tertawa miris.
"Tapi dengan mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya! Argh ... kupikir kau bisa bersikap lebih bijak, Mas. Tapi tidak! Kau ternyata lebih kejam dari yang selama ini kupikirkan ... kukira kau akan lebih legowo, menerima kekurangan. Hingga, berusaha untuk berjalan ke sisi yang lebih baik. Tapi aku salah ... kau lebih memilih menyingkirkan seseorang yang kau anggap tak sejalan denganmu,"
Terdengar hembusan nafas berat dalam jeda kalimat. Biarkan ... biar dia lepas amarahnya ... segala cerca ... sepatahpun tak akan kubalas.
"Delapan tahun kebersamaan kita ... cukup lama ... tapi ternyata bukan jaminan untuk bisa memahami satu sama lain ... terlalu banyak perbedaan ... yang sebenarnya bisa diselaraskan, asal ego berkenan sedikit diluruhkan ... sedikit saja. Tapi tak apa ... kau sudah memutuskan ... meski tanpa persetujuanku ... tak apa ... kuikuti maumu. Aku akan pulang ... ke rumah Bapak ... tapi ingat, selangkah pun tak akan lagi kuinjakkan kaki di pelataran ini!" Tandas Amalia, pergi berlalu, merengkuh kecewa.
***
"Amalia .... " panggil Mas Brian mencoba menjeda langkah cepatku.Tanpa menoleh, tetap kuhentikan ayunan kaki. Mungkin, ada sesal ... atau keinginan untuk memperbaiki semua, mempertahankan bahtera ini."Maafkan aku bila memang keputusan ini terdengar begitu cepat ... maaf juga atas ego yang tak mampu kukalahkan. Entahlah, mungkin benar aku telah menyerah ... mungkin benar pula aku tak lagi ingin berjuang. Tapi ... kurasa tak mudah untuk menyelaraskan langkah sementara kita memang tak pernah benar-benar ingin bersama ...." lirih Mas Brian terjeda.Bukan! Tidak untuk menyesali keputusan. Mas Brian berucap tegas mengokohkan pendirian."Tak pernah benar-benar ingin bersama?! Siapa yang kau maksud, Mas?! Aku atau dirimu?! Sejak kau ucapkan ikrar di depan Bapak dan para saksi ... saat itu pula telah kupasrahkan hidup ini untuk sepenuhnya mengabdi. Apapun itu terjal yang harus kulewati ... apapun itu, Mas," ucapku menoleh cepat."Maaf ... tapi ... Aku ... a-ku mengidamkan sosok Istri seperti
Hampa kuedarkan pandangan ke luar kaca mobil, menopang kepala yang terasa berat dan semakin sakit. Malam telah larut, hilir mudik kendaraan pun sudah semakin surut. Tapi tetap saja, ada beberapa anak muda yang memilih duduk bergerombol di pinggir jalan daripada menghabiskan waktu di rumah merebahkan badan.Hampir jam sepuluh malam tapi kami masih harus menempuh separuh lagi perjalanan. Mungkin menjelang dini hari, roda mobil ini baru akan berhenti bekerja mengikuti arahan sang empu."Mas, untuk terakhir kali ... tolong antarkan kami selepas sholat Isya," tawarku pada Mas Brian, sebagai pinta terakhir padanya.Bukan untuk menunda atau berharap masa akan memperbaiki semua. Bahkan, sebenarnya aku pun sudah tak lagi ingin berpijak lebih lama. Tapi, ada dua hati yang beranjak senja di sana, dua wajah tua yang mungkin akan berkerut kecewa, dua keping hati yang mungkin saja akan patah tak bersisa.Sepasang suami Istri yang selalu mendukung apapun keputusan Putri semata wayangnya.Satu windu
"Makan dulu ya ... biar Ibu ambilkan," tawarnya bangkit tanpa menunggu persetujuan."Bu .... " panggilku gamang, terdengar llirih selaras dengan dengan asa yang melemah.Ibu berhenti.Namun tidak menoleh. Dari balik punggungnya, kulihat lengan itu mengusap sudut netra. Lantas berbalik bersama senyum sumbangnya."Iya .... " sahut Ibu.Aku menunduk.menghembuskan nafas berat dan kembali medongak dengan bibir gemetar."Maafkan aku, Bu ... maafkan aku harus pulang seperti ini," lirihku, sangat pelan. Bahkan, terdengar samar di rungu sendiri.Andai bisa terus berpura baik-baik saja ... maka aku akan memilih untuk melakukannya. Tapi keadaan memaksa lain ... aku harus kembali, dalam kondisi paling memprihatinkan."Kamu tak salah, Nak. Ini rumahmu ... kamu bisa pulang kapanpun itu,"Berhambur, tak lagi mampu kutekan pilu, memeluk erat wanita yang dulu telah manjadi perantara kehadiranku.
Pagi ini tak lagi sama, kulalui masa dengan suasana dan kebiasaan berbeda. Tak terbanyang memang, menikah di usia belia membuatku menjadi janda di umur yang relatif masih muda. Dua puluh sembilan tahun. Iya, bahkan belum genap kulewati sisanya. Tapi, kini aku harus rela, lebih tegar bila ada yang berkata kurang baik tentang kisahku, tentang statusku, tentang perilakuku. Bahkan, aku pun harus ikhlas bila nanti senyum sapaku menjadi tak benar bagi sebagian orang.Merenung, jauh netra ini memandang jauh, banyak hal yang sangat kurindukan, banyak pula waktu yang kukenang. Tapi, kini semua tak akan kembali, masa itu telah benar-benar pergi, meninggalkanku seorang diri."Nduk ...." panggil Bapak, lembut memegang bahu, mengejutkanku.Tergagap, aku menoleh cepat, tak sempat menghapus bulir yang entah sejak kapan membanjiri pipi."Pagi-pagi seperti ini paling enak menyesap kopi ya .... " tutur Bapak, meletakkan bobot tubuh tepat di sebelahku."Eh,
"Amalia ...." panggil Bapak pagi ini. Sudah hampir satu minggu disini tapi aku masih berusaha keras untuk membiasakan diri.Bukan hanya tentang suasana, tapi juga berbagai macam pertanyaan para tetangga sekaligus isu miringnya."Iya, Pak," jawabku santun, mengayun langkah menghampiri."Kamu bisa ikut Bapak ke toko?" Beliau adalah si pemilik sebuah toko bengunan, yang berdiri tepat di ujung jalan. Tak besar memang tapi cukup ramai pelanggan. Oleh sebab, waktu yang sudah sangat lama ia jalankan. Tiga puluh lima tahun, bahkan tempat Bapak mencari nafkah itu lebih lama didirikan sebelum aku dilahirkan."Bapak sangat kewalahan, Nak. Mbak Nuril resign karena mau ikut suaminya pindah ke luar kota ... kurasa Bapak sudah sangat tua untuk berurusan dengan rentetan angka ... Pusing ... apa kau bisa membantu Bapak?"Tersenyum, kutarik kedua sudut bibir simpul. Aku tahu, ini adalah cara Beliau untuk menghapus pilu ini, menyingkirka
"Amalia ... aku mohon. Ikutlah pulang bersamaku. Kita bisa memperbaiki semuanya ... menjadi lebih baik lagi," pinta Mas Brian, menekan kata, menegaskan kesungguhan.Tergelak, aku tertawa sinis."Apa yang ingin kau perbaiki, Mas?! Tak ada ... semuanya sudah hancur, tak tersisa," tangkisku tajam, lebar membuka netra."Pernikahan, Amalia ... rumahtangga kita," ucap Mas Brian tergagap, bingung."Rumahtangga kita telah berarang, Mas?! Dan kau adalah sosok yang membakarnya! Apa kau lupa ... atau pura-pura tak mengingatnya?!" Seruku gusar, menggeleng kuat.Sungguh, aku tak lagi mengerti apa yang ada dibalik kepalanya. Setelah dipatahkan, kini ia menutut serpihan ini kembali tegak?!"Aku tahu ... aku tahu, Amalia. Tapi kita bisa rujuk dan membangunnya kembali, bukan? Dengan niat lurus dan cara yang lebih baik lagi,"Tergelak, kembali aku menepis pinta dengan tawa sengit. "Saat hati ini benar-benar telah habis terkoyak
Sungguh, aku pun tak mengira mahligai yang tersusun oleh kepingan cinta itu harus berakhir tanpa makna. Dulu kukira cinta bisa membeli segalanya. Kenyamanan, pengertian, perhatian, pengorbanan, kesetiaan, kebahagiaan ... semuanya ... semuanya.Tapi faktanya prasangka itu tak benar, janji cinta itu tak nyata. Aku tak mendapatkannya ... satu pun tak kuperoleh dalam mahligai berlandas cinta."Amalia ... aku mohon percayalah padaku ... sekali ini saja kembali lah ... demi Agam ... demi masa depannya ....""Demi Agam?! Hah! Bahkan kau mengusir putra kecil kita dengan halus tutur katamu itu, Mas! Apa kembali kau tak mengingat semuanya?! Baru seminggu, Mas. Bahkan belum genap tujuh hari kau melewatinya ... tapi mengapa kau bisa melupakan banyak hal?!""Amalia .... " lirihnya lesu, melipat rahang tak berdaya."Mungkin akan kupikirkan bila kemarin kau bersikap lebih bijak. Menahan Istrimu, mempertahankan pernikahan, meredakan segala prahara. Tapi
Di kamar ini kulalui malam seorang diri. Tentang sepi usah ditanya lagi seerat apa kami berkarib. Sungguh, kini hanya dia yang setia menemani, kuat memeluk kesendirian ini.Di sudut itu, biasanya tertumpu netra ini pada keelokan paras Amalia, tengah masyuk membersihkan wajah ayunya. Katanya sih, itu sebuah kewajiban bagi seorang wanita agar elok itu tetap terjaga. Entahlah, yang pasti aku tak tertarik melakukannya.Rengekan Agam pun terdengar riuh, memenuhi seluruh ruangan. Memanggil sang Bunda tak sabar, meminta ditemani dalam pelukan. Meski, aku ada bersamanya.Hubungan mereka memang lah sangat erat, sedekat darah dalam nadi. Indah, melebihi goresan warna di langit biru.'Argh! Amalia ... apa yang harus kulakukan untuk membawamu kembali?' Jeritku meraung, rapat tersimpan dalam hati.Rindu ini terasa sangat kuat mendentum jiwa. Andai ia memiliki warna, mungkin telah pekat tak berpori.Dalam keputusasaan, layar pipih itu memanggil. Sebelum akhirnya hening tak lagi berbunyi.[Nak, beso
"Buk, apa aku harus pergi ke rumah orang pintar untuk meminta bantuan mengembalikan Amalia," ujarku meminta pendapat sang Ibunda.Kalut, sungguh aku tak tahu lagi harus berusaha dengan cara seperti apa. Berbagai macam hal telah kulakukan namun semua terpatahkan sia-sia.Kesekian kali Amalia kembali meruntuhkan apa yang disebut sebagai asa. Lalu salahkan bila kini aku mulai putus asa?! Tidak! Ini bukan putus asa tapi wujud dari betapa besar kegigihan ini untuk kembali mengikatnya."Astagfirullah ... apa yang kau pikirkan, Nak. Istighfar ... minta perlindungan Allah," ucap Ibu terhenyak dengan nada sedikit lebih tinggi."Tapi ini seorang ustadz, Buk. Pasti baik karena beliau rekomendasi dari teman kantorku," sanggahku meyakinkan."Ustadz?! Ustadz seperti apa yang kau maksud itu?!""Beliau tidak menggunakan jampi-jampi atau bacaan-bacaan yang keluar dari kaidah islam. Tapi, ayat Al-Quran. Iya, Beliau menggunakan itu untuk membantu o
Lunglai, kutapaki langkah tak berdaya. Harapan untuk bisa bersatu kini semakin nyata tak akan pernah bisa. Meski telah kubawa malaikat tanpa sayap untuk memberikan pengertian. Nyatanya, Amalia tak lagi mau mengerti. "Datanglah bila memang kau merindukan Agam, Mas. Aku tak akan memberikan batasan apapun untuk kalian bersua atau memberi sekat dalam kasih kalian. Tak akan ... tapi cukup untuk itu. Jangan lebih ... apalagi memintaku kembali," tandas Amalia saat aku pamit, hendak pergi. Iya, itulah kalimat terakhir yang keluar dari wicaranya. Meski terucap lembut namun sangat tajam menggores, mencipta luka. Untuk Agam dia menginginkan yang terbaik ... tapi untuk hubungan kami dia memutuskan hal yang paling buruk. Tak apa ... mungkin ini adalah hukuman untukku. Sosok suami yang tak bisa menghargai perjuangan seorang Istri. Namun bukan berarti aku akan benar-benar berhenti ... tidak! Aku tak selemah itu. Walau tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya s
"Amalia .... " lirihku perih. Sungguh, kenyataan ini begitu pahit untuk sekedar kudengar. Apalagi bila harus kujalani. Sefatal itu kah kesalahan ini hingga ampunan pun tak pantas kumiliki? "Cukup, Mas! Cukup! Berhentilah ... jangan lagi datang kemari untuk mengemis seperti ini!" Tandas Amalia, lantang membelah luka. "Berhenti? Dengan cara apa aku bisa berhenti memperjuangkan Istri dan juga anakku ... dengan cara apa, Amalia ... dengan cara seperti apa?!" Tanyaku frustasi. Nampak jelas Amalia menggelengkan kepala pelan, melebarkan kelopak tak percaya. "Dengan cara apa?! Mengapa kau tanyakan itu padaku, Mas?! Mengapa?! Oh ya, bukankah kemarin kau bilang tentang langkah kita yang tak lagi selaras? Dan kau pun juga berucap untukku berlaku ikhlas? Lakukan saja seperti itu, Mas?! Sebagaimana yang kau perintahkan padaku ... lakukan saja seperti itu," tandas Amalia, tertawa sengit. "Nak .... " panggil Ibu menghentikan per
"Sebelumnya, saya minta maaf bila kedatangan kami kemari menganggu waktu Bu zainab," ucap Ibu terjeda. "Baru kemarin saya mengetahui tentang apa yang telah menimpa pernikahan anak-anak kita, Bu. Saya tidak menyangka Brian akan bertindak sejauh itu ... mengembalikan Istri pada orangtuanya. Sungguh, itu adalah kesalan besar ... dan saya sangat murka pada keputusan Brian," "Iya, memang sudah seharusnya seperti itu," timpal Bu zainab menatapku tajam. "Saya berharap ... semua ini masih bisa diperbaiki dan Nak Amalia mau lagi kembali ke rumah bersama Brian," "Kembali?! Sebagai seorang Ibu kurasa hati ini tak akan mampu melepas Putriku pada lelaki yang ... maaf ... seperti Nak Brian ini," "Saya faham, Bu. Tentang rasa khawatir yang saat ini Ibu zainab rasa ... saya sangat mengerti. Tapi ... InsyaAllah Brian telah menyadari letak kesalahannya dan tak akan mengulangi di masa mendatang. Bukan begitu, Nak?" tandas Ibu sejenak mengalihkan netra
Tak henti kucoba menekan gundah, melirihkan gejolak yang terasa keras mendentum dada. Namun, upayaku jauh dari kata sempurna. Bahkan layak dikata tak berguna sebab getir itu tetap ada, semakin tinggi merangkak memposisikan diri. Lurus menatap, kucoba untuk tetap fokus. Perjalanan masih sangat panjang. Dan pastinya aku berharap selamat senantiasa mengiringi sampai tujuan. "Bila nanti Amalia mau kembali ... tolong jaga dia, Nak. Perlakukan dirinya dengan cara terbaik," tutur Ibu tanpa benar-benar menatapku. Netranya berembun. Iya! Sejak tak mendapati keberadaan sang menantu, pelupuk itu tak pernah benar-benar kering. "Pasti, Bu ... Pasti," ucapku, mencoba meyakinkan, menanam kembali benih kepercayaan. Sungguh, telah sangat jauh aku membuang sikap itu. Kikir. Iya! Meski sampai saat ini aku pun belum bisa menerima bila diriku disebut sehina itu. Namun, demi utuhnya bahtera pernikahan. Aku rela ... sungguh tak apa bila harus kus
Cintanya pada Amalia. Memang sangat lah besar dan nyata. Bahkan, tak henti Beliau selalu membanggakan pribadi menantunya itu.Dan kini, kenyataan berlaku begitu pahit ... sangat getir untuk diterima nalarnya."Tanpa memberitahu Ibu ... kau ambil keputusan seberat itu, Nak? Kenapa?! Apa kau tak lagi membutuhkan pendapat Ibu?!" Serunya, mendongak, deras mengalir air dari ke dua sudut netra senjanya.Usianya tak lagi muda, tapi luka itu harus Beliau rasa. Sungguh, bukan hanya tak pantas dibangga. Aku pun menjadi sosok anak tak berguna."Maaf, Bu ... maafkan aku," lirihku bersimpuh, eret memeluk lututnya."Mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya bukanlah hal yang patut kau sebut sebagai ketidaksengajaan, Nak ... Tak pantas kau sebut seperti itu," lirih Ibu nyaris tak terdengar. Tersedu. Iya, wanita yang selalu kukagumi itu mulai terisak pilu, menyayat perih, mengiris kalbu."Aku tahu ... aku memang telah bersalah menge
Di kamar ini kulalui malam seorang diri. Tentang sepi usah ditanya lagi seerat apa kami berkarib. Sungguh, kini hanya dia yang setia menemani, kuat memeluk kesendirian ini.Di sudut itu, biasanya tertumpu netra ini pada keelokan paras Amalia, tengah masyuk membersihkan wajah ayunya. Katanya sih, itu sebuah kewajiban bagi seorang wanita agar elok itu tetap terjaga. Entahlah, yang pasti aku tak tertarik melakukannya.Rengekan Agam pun terdengar riuh, memenuhi seluruh ruangan. Memanggil sang Bunda tak sabar, meminta ditemani dalam pelukan. Meski, aku ada bersamanya.Hubungan mereka memang lah sangat erat, sedekat darah dalam nadi. Indah, melebihi goresan warna di langit biru.'Argh! Amalia ... apa yang harus kulakukan untuk membawamu kembali?' Jeritku meraung, rapat tersimpan dalam hati.Rindu ini terasa sangat kuat mendentum jiwa. Andai ia memiliki warna, mungkin telah pekat tak berpori.Dalam keputusasaan, layar pipih itu memanggil. Sebelum akhirnya hening tak lagi berbunyi.[Nak, beso
Sungguh, aku pun tak mengira mahligai yang tersusun oleh kepingan cinta itu harus berakhir tanpa makna. Dulu kukira cinta bisa membeli segalanya. Kenyamanan, pengertian, perhatian, pengorbanan, kesetiaan, kebahagiaan ... semuanya ... semuanya.Tapi faktanya prasangka itu tak benar, janji cinta itu tak nyata. Aku tak mendapatkannya ... satu pun tak kuperoleh dalam mahligai berlandas cinta."Amalia ... aku mohon percayalah padaku ... sekali ini saja kembali lah ... demi Agam ... demi masa depannya ....""Demi Agam?! Hah! Bahkan kau mengusir putra kecil kita dengan halus tutur katamu itu, Mas! Apa kembali kau tak mengingat semuanya?! Baru seminggu, Mas. Bahkan belum genap tujuh hari kau melewatinya ... tapi mengapa kau bisa melupakan banyak hal?!""Amalia .... " lirihnya lesu, melipat rahang tak berdaya."Mungkin akan kupikirkan bila kemarin kau bersikap lebih bijak. Menahan Istrimu, mempertahankan pernikahan, meredakan segala prahara. Tapi
"Amalia ... aku mohon. Ikutlah pulang bersamaku. Kita bisa memperbaiki semuanya ... menjadi lebih baik lagi," pinta Mas Brian, menekan kata, menegaskan kesungguhan.Tergelak, aku tertawa sinis."Apa yang ingin kau perbaiki, Mas?! Tak ada ... semuanya sudah hancur, tak tersisa," tangkisku tajam, lebar membuka netra."Pernikahan, Amalia ... rumahtangga kita," ucap Mas Brian tergagap, bingung."Rumahtangga kita telah berarang, Mas?! Dan kau adalah sosok yang membakarnya! Apa kau lupa ... atau pura-pura tak mengingatnya?!" Seruku gusar, menggeleng kuat.Sungguh, aku tak lagi mengerti apa yang ada dibalik kepalanya. Setelah dipatahkan, kini ia menutut serpihan ini kembali tegak?!"Aku tahu ... aku tahu, Amalia. Tapi kita bisa rujuk dan membangunnya kembali, bukan? Dengan niat lurus dan cara yang lebih baik lagi,"Tergelak, kembali aku menepis pinta dengan tawa sengit. "Saat hati ini benar-benar telah habis terkoyak