Share

Bab 3

Jiwaku dipaksa mengikuti Kevin pulang ke rumah.

Rumah yang dulu adalah rumahku, kini sudah tak ada jejakku sama sekali.

Yang ada sekarang adalah barang-barang milik Vivi dan Kevin yang tinggal bersama.

"Kamu sudah pulang?" kata Vivi sambil langsung memeluk pinggang Kevin begitu dia pulang.

Kevin dengan lembut balas memeluknya, menenggelamkan wajahnya di leher Vivi, lalu memejamkan mata.

Betapa hangatnya pemandangan itu.

Gerakan mereka tampak begitu mesra serta alami. Dulu, Kevin tak pernah melakukan hal itu padaku.

"Apa tanganmu masih sakit?" tanya Kevin.

Vivi tersenyum sambil menggelengkan kepala, lalu menjawab, "Nggak sakit lagi!"

Kevin memandangnya dengan penuh kasih sayang, lalu berujar, "Apa kamu diam-diam minum obat pereda nyeri lagi?"

"Jessica sudah menikammu berkali-kali saat itu! Sekarang bahkan masih ada efek sampingnya."

Aku melayang di udara, ingin membela diri. "Ini jelas bukan perbuatanku, aku nggak melakukannya!" pikirku.

Mengapa hanya dari tuduhan tak berdasar Vivi, aku langsung dianggap sebagai orang yang bersalah?

Kevin sama sekali tak pernah memercayaiku.

Sebelum aku menjalin hubungan dengan Kevin, aku tak tahu bahwa dia punya Vivi, gadis yang selalu dia cintai.

Pada tahun kelulusan, Vivi dengan tegas memutuskan hubungan dengan Kevin, lalu pergi belajar ke luar negeri bersama seorang anak keluarga kaya.

Aku baru mengenal Kevin setelah mulai bekerja.

Saat bersama dengannya, Kevin selalu merawatku dengan sangat baik. Teman-temanku bilang dia adalah pacar yang sempurna.

Bahkan aku pun berpikir, kami akan selalu bersama seperti ini.

Namun, pada tahun kami merencanakan pernikahan, Vivi kembali.

Kevin mulai menjauh dalam hubungan kami.

Sudah tak terhitung berapa kali dia meninggalkanku demi Vivi. Dia bahkan menunda pernikahan kami beberapa kali demi wanita itu.

Kevin berkata, "Bisakah kamu berhenti bertingkah seperti orang gila?"

"Aku dan Vivi hanya teman biasa. Kamu jangan terus mencurigai kami."

Namun, apa teman biasa saling memberi hadiah di Hari Valentine?

Apakah dia akan meninggalkan pasangannya di tempat tidur hanya karena satu panggilan telepon dari wanita lain yang mengatakan dia takut petir?

Atau membiarkan teman-temannya mengatakan bahwa Vivi adalah pacar barunya tanpa menyangkal?

Sehari sebelum pernikahan, aku melihat pesan Vivi di ponsel Kevin.

"Kalau nggak ada Jessica, apakah kamu akan menikah denganku?"

Saat melihat balasan Kevin, seluruh tubuhku gemetaran.

Pria itu menjawab, "Ya, aku mencintaimu."

"Tapi Jessica sudah bersamaku selama bertahun-tahun. Menikahinya adalah tanggung jawabku."

Ternyata dalam hatinya, aku hanyalah sebuah tanggung jawab. Sedangkan Vivi adalah orang yang dicintainya.

Meski kemampuan dan prestasi Vivi biasa saja, entah bagaimana Kevin menggunakan koneksinya untuk memasukkan Vivi ke dalam tim ekspedisi ilmiah.

Pertengkaran kami yang paling hebat terjadi setelah itu. Namun, yang aku dapat sebagai balasan hanyalah kalimat dingin darinya.

"Jessica, kamu sudah gila! Kalau kamu berani mempersulit Vivi di tempat kerja hanya karena hubungan kami di masa lalu, lebih baik kita nggak menikah!"

Hari itu, aku dan Kevin mengalami konflik paling besar dalam hubungan kami.

Aku bahkan tidak peduli dengan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku langsung mengajukan diri untuk ikut dalam ekspedisi ilmiah ke Asantri.

Namun, aku sama sekali tidak menyangka bahwa Vivi akan ikut serta.

Di minggu ketiga di Asantri, aku baru menyadari bahwa diriku hamil.

Agar tidak merepotkan orang lain, aku merahasiakan berita ini. Aku berpikir akan memutuskan semuanya setelah kami pulang.

Hanya saja, aku tidak menyangka kalau aku tidak akan pernah bisa pulang.

Karena kesalahan Vivi, kami semua terjebak di Asantri.

Anggota tim ekspedisi ilmiah lainnya meninggalkan aku dan Vivi di atas kapal. Mereka berniat mencari bantuan terdekat.

Namun, Vivi mencoba mencuri semua persediaan dan melarikan diri.

Saat aku memergokinya, semua persediaan kami jatuh ke celah es dalam pertengkaran.

"Apa kamu puas sekarang? Sekarang nggak ada yang bisa pergi! Semua ini salahmu!" kata Vivi menyalahkanku.

Di kejauhan, kapal penyelamat sedang mendekat ke arah kami.

Tanpa ragu sedikit pun, Vivi mengambil tali di sebelahnya untuk mencekikku.

Setelah aku pingsan, dia menikamku berkali-kali dengan pisau. Bahkan demi menutupi identitasku, dia juga merusak wajahku.

Pisau yang dia gunakan lebih dingin dari es di Asantri, mengiris kulitku sedikit demi sedikit.

Akhirnya, dia melemparkanku ke dalam danau Asantri.

Setelah aku mati, dia mendorong tubuhku ke luar kapal.

"Maaf, Jessica, hanya dengan kematianmu aku bisa menyimpan rahasiaku selamanya!"

Setelah semuanya beres, dia melukai dirinya sendiri beberapa kali, lalu memberi keterangan palsu.

"Maaf! Jessica kabur membawa persediaan ...."

"Ini semua salahku. Aku nggak menjaga semua ini dengan baik."

Vivi melemparkan semua kesalahan padaku, mengatakan aku melarikan diri karena rasa bersalah.

Aku memandang Vivi yang tampak tak berbahaya di depanku. Amarahku berkobar tak terkendali!

Mengapa setelah aku mati, si pembunuh ini bisa hidup dengan begitu baik?

Dia mengambil tunanganku, juga rumahku!

Vivi bersandar di pelukan Kevin sambil berkata, "Nggak apa-apa, beberapa luka ini bisa membuatmu melihat wajah asli Jessica. Menurutku itu sepadan!"

"Jadi, Kevin, setelah kita menikah, jangan mencari Jessica lagi. Biarkan masa lalu berlalu."

Kevin memandang Vivi dengan tatapan penuh kasih sayang. Suaranya penuh simpati ketika berujar, "Beberapa kali aku melihatmu kesakitan sampai nggak bisa tidur."

"Setiap kali aku memikirkannya, aku ingin sekali menemukan Jessica, membuat dia juga merasakan penderitaanmu!"

Namun, bukankah kamu sudah melakukannya, Kevin?

Bukankah aku sudah kamu bedah dengan tanganmu sendiri?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status